UU No. 2 Tahun 2020: Solusi Fiskal
Dan Moneter Atasi Dampak Covid-19
Oleh: W. Riawan Tjandra
Pengajar Hukum Keuangan Negara pada
FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Pandemi Covid-19 tidak hanya
menimbulkan masalah berupa kerusakan struktur kesehatan sosial bagi masyarakat,
namun juga menimbulkan dampak pemiskinan sosial akibat cara untuk mengatasinya
mengharuskan dilakukannya sejumlah tindakan yang menjadi antitesis terhadap
bekerjanya sistem perekonomian. Masyarakat harus melakukan tindakan untuk
membuat jarak fisik (physical Distancing)
maupun jarak sosial (social distancing).
Tak urung, merebaknya virus Covid-19 membuat aktivitas produksi terpukul
sehingga menyebabkan supply shock. Dampak selanjutnya banyak
orang kehilangan penghasilan dan pekerjaan yang pada gilirannya menyebabkan terjadinya
demand shock. Krisis ekonomi sebagai dampak dari Covid-19 ini bahkan melampaui krisis
ekonomi tahun 1998 dan 2008. Pada krisis ekonomi tahun 1998 memang banyak
korporasi besar tumbang, namun, perekonomian Indonesia masih tertolong oleh
kekuatan dari sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Sedikit berbeda
dengan krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 2008, akibat krisis itu cenderung
dipicdu oleh faktor-faktor yang bersifat eksternal, Pemerintah pada waktu itu
masih bisa mengatasinya dengan mendorong penguatan konsumsi dalam negeri. Kedua
krisis itu, sangat berbeda dengan krisis yang terjadi sebagai dampak dari
pandemi Covid-19. Cara mengatasi pandemi Covid-19 yang mengharuskan
dilakukannya jarak fisik (physical Distancing) maupun jarak sosial (social distancing) dalam terutama dengan dilaksanakannya kebijakan
struktural PSBB di berbagai daerah, bisa memicu krisis ekonomi pada perusahaan
berskala besar maupun UMKM.
Hadirnya Perppu No. 1 Tahun 2020 dan
kini sudah disetujui serta disahkan menjadi UU No. 2 Tahun 2020 yang mengatur
mengenai kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan dalam rangka
mengatasi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional, bisa dikatakan
menjadi titik tolak kebijakan struktural untuk mengatasi krisis ekonomi akibat
pandemi Covid-19. UU No. 2 Tahun 2020
pada hakikatnya mengatur subyek dan obyek yang diperlukan untuk melakukan
terapi finansial dan moneter terhadap krisis perekonomian. Subyek yang diatur dalam
undang-undang itu adalah Pemerintah, Pemda, BI, OJK, KSSK dan LPS yang diberi
kewenangan untuk mengambil kebijakan sesuai dengan kewenangan masing-masing
secara sinergis guna mengantisipasi dan mengatasi ancaman krisis perekonomian
nasional. Obyek yang diatur adalah keuangan negara yang menjadi instrumen bagi
pengambilan kebijakan di bidang fiskal dan moneter guna melakukan pemulihan
perekonomian.
Kebijakan keuangan negara yang
digunakan untuk mengantisipasi potensi krisis perekonomian nasional meliputi
banyak sektor, yakni: penganggaran dan pembiayaan, keuangan daerah, perpajakan,
stabilitas sistem keuangan dan moneter. Pemerintah diberikan kewenangan untuk
menjalankan program pemulihan ekonomi nasional guna melakukan penyelamatan
ekonomi nasional. Tujuan dari kebijakan itu adalah untuk melindungi,
mempertahankan dan meningkatkan kemampuan ekonomi para pelaku usaha dari sektor
riil dan sektor keuangan dalam menjalankan usahanya. Program pemulihan ekonomi
nasional tersebut dapat dilaksanakan melalui penyertaan modal negara,
penempatan dana dan/atau investasi pemerintah, kegiatan penjaminan dengan skema
tertentu berdasarkan otoritas yang diberikan kepada Pemerintah.
Sektor yang paling terpengaruh
sebagai dampak dari pandemi Covid-19 adalah rumah tangga, UMKM, korporasi, dan sektor keuangan. Sektor
rumah tangga sudah mulai mengalami tekanan dari sisi konsumsi, karena
masyarakat kesulitan untuk bisa beraktivitas di luar rumah sehingga menyebabkan
daya beli masyarakat menurun. Sektor rumah tangga juga terancam kehilangan
pendapatan, karena tidak dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan dasarnya
terutama bagi keluarga miskin dan rentan di sektor informal. Sektor UMKM
mengalami tekanan ekonomi sebagai akibat tidak dapat melakukan kegiatan usaha yang
berimplikasi terhadap terganggunya kemampuan untuk memenuhi kewajiban pembayaran
kredit. Pada gilirannya hal ini berdampak terhadap peningkatan secara masif Non Performing Loan sektor perbankan
yang bisa berpotensi memburuknya sistem perekonomian nasional. Hal itu juga diperparah sebagai akibat
beberapa sektor bisnis yang terpukul akibat pandemi Covid-19 ini juga cukup
banyak, mulai dari pariwisata, transportasi, otomotif, properti, manufaktur,
pendidikan, jasa keuangan dan migas. Meskipun, di sisi lain, ada juga bisnis
yang justru diuntungkan seperti sektor kesehatan, bisnis sektor pangan, sektor
IT, ritel dan pengolahan bahan pangan,
UU
No. 2 Tahun 2020 diharapkan mampu menjadi kerangka hukum (legal framework) yang bersifat komprehensif bagi kebijakan keuangan
negara dan stabilitas keuangan dalam mengatasi potensi krisis perekonomian
nasional. Diperlukan langkah-langkah luar biasa (extraordinary) dalam rangka melaksanakan penyelamatan perekonomian
nasional dan stabilitas sistem keuangan melalui berbagai kebijakan relaksasi
yang terkait dengan pelaksanakan APBN, khususnya dengan melakukan peningkatan
belanja untuk kesehatan, pengeluaran jaring pengaman sosial (social safety net) dan pemulihan
perekonomian serta memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor
keuangan.
Pemerintah
saat ini perlu memiliki peta jalan (road
map) dan cetak biru untuk melaksanakan pemulihan perekonomian berdasarkan
identifikasi secara cermat kasus-kasus yang dihadapi oleh berbagai sektor akibat
pandemi Covid-19 beserta kebijakan yang digunakan untuk mengatasinya. Hal ini
sangat diperlukan agar program pemulihan perekonomian dan kondisi sosial
masyarakat dapat dilakukan secara tepat, akurat dan efektif yang ditopang oleh
alokasi dan pemanfaatan keuangan negara berdasarkan UU No. 2 Tahun 2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar