Jumat, 29 Mei 2020


UU No. 2 Tahun 2020: Solusi Fiskal Dan Moneter Atasi Dampak Covid-19
Oleh:   W. Riawan Tjandra
Pengajar Hukum Keuangan Negara pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta

            Pandemi Covid-19 tidak hanya menimbulkan masalah berupa kerusakan struktur kesehatan sosial bagi masyarakat, namun juga menimbulkan dampak pemiskinan sosial akibat cara untuk mengatasinya mengharuskan dilakukannya sejumlah tindakan yang menjadi antitesis terhadap bekerjanya sistem perekonomian. Masyarakat harus melakukan tindakan untuk membuat jarak fisik (physical Distancing) maupun jarak sosial (social distancing).
            Tak urung, merebaknya virus Covid-19 membuat aktivitas produksi terpukul sehingga menyebabkan supply shock. Dampak selanjutnya banyak orang kehilangan penghasilan dan pekerjaan yang pada gilirannya menyebabkan terjadinya demand shock. Krisis ekonomi sebagai dampak dari Covid-19 ini bahkan melampaui krisis ekonomi tahun 1998 dan 2008. Pada krisis ekonomi tahun 1998 memang banyak korporasi besar tumbang, namun, perekonomian Indonesia masih tertolong oleh kekuatan dari sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Sedikit berbeda dengan krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 2008, akibat krisis itu cenderung dipicdu oleh faktor-faktor yang bersifat eksternal, Pemerintah pada waktu itu masih bisa mengatasinya dengan mendorong penguatan konsumsi dalam negeri. Kedua krisis itu, sangat berbeda dengan krisis yang terjadi sebagai dampak dari pandemi Covid-19. Cara mengatasi pandemi Covid-19 yang mengharuskan dilakukannya jarak fisik (physical Distancing) maupun jarak sosial (social distancing) dalam terutama dengan dilaksanakannya kebijakan struktural PSBB di berbagai daerah, bisa memicu krisis ekonomi pada perusahaan berskala besar maupun UMKM.
            Hadirnya Perppu No. 1 Tahun 2020 dan kini sudah disetujui serta disahkan menjadi UU No. 2 Tahun 2020 yang mengatur mengenai kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan dalam rangka mengatasi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional, bisa dikatakan menjadi titik tolak kebijakan struktural untuk mengatasi krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19.  UU No. 2 Tahun 2020 pada hakikatnya mengatur subyek dan obyek yang diperlukan untuk melakukan terapi finansial dan moneter terhadap krisis perekonomian. Subyek yang diatur dalam undang-undang itu adalah Pemerintah, Pemda, BI, OJK, KSSK dan LPS yang diberi kewenangan untuk mengambil kebijakan sesuai dengan kewenangan masing-masing secara sinergis guna mengantisipasi dan mengatasi ancaman krisis perekonomian nasional. Obyek yang diatur adalah keuangan negara yang menjadi instrumen bagi pengambilan kebijakan di bidang fiskal dan moneter guna melakukan pemulihan perekonomian.
            Kebijakan keuangan negara yang digunakan untuk mengantisipasi potensi krisis perekonomian nasional meliputi banyak sektor, yakni: penganggaran dan pembiayaan, keuangan daerah, perpajakan, stabilitas sistem keuangan dan moneter. Pemerintah diberikan kewenangan untuk menjalankan program pemulihan ekonomi nasional guna melakukan penyelamatan ekonomi nasional. Tujuan dari kebijakan itu adalah untuk melindungi, mempertahankan dan meningkatkan kemampuan ekonomi para pelaku usaha dari sektor riil dan sektor keuangan dalam menjalankan usahanya. Program pemulihan ekonomi nasional tersebut dapat dilaksanakan melalui penyertaan modal negara, penempatan dana dan/atau investasi pemerintah, kegiatan penjaminan dengan skema tertentu berdasarkan otoritas yang diberikan kepada Pemerintah.
            Sektor yang paling terpengaruh sebagai dampak dari pandemi Covid-19 adalah rumah tangga, UMKM, korporasi, dan sektor keuangan. Sektor rumah tangga sudah mulai mengalami tekanan dari sisi konsumsi, karena masyarakat kesulitan untuk bisa beraktivitas di luar rumah sehingga menyebabkan daya beli masyarakat menurun. Sektor rumah tangga juga terancam kehilangan pendapatan, karena tidak dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan dasarnya terutama bagi keluarga miskin dan rentan di sektor informal. Sektor UMKM mengalami tekanan ekonomi sebagai akibat tidak dapat melakukan kegiatan usaha yang berimplikasi terhadap terganggunya kemampuan untuk memenuhi kewajiban pembayaran kredit. Pada gilirannya hal ini berdampak terhadap peningkatan secara masif Non Performing Loan sektor perbankan yang bisa berpotensi memburuknya sistem perekonomian nasional. Hal itu juga diperparah sebagai akibat beberapa sektor bisnis yang terpukul akibat pandemi Covid-19 ini juga cukup banyak, mulai dari pariwisata, transportasi, otomotif, properti, manufaktur, pendidikan, jasa keuangan dan migas. Meskipun, di sisi lain, ada juga bisnis yang justru diuntungkan seperti sektor kesehatan, bisnis sektor pangan, sektor IT, ritel dan pengolahan bahan pangan,
            UU No. 2 Tahun 2020 diharapkan mampu menjadi kerangka hukum (legal framework) yang bersifat komprehensif bagi kebijakan keuangan negara dan stabilitas keuangan dalam mengatasi potensi krisis perekonomian nasional. Diperlukan langkah-langkah luar biasa (extraordinary) dalam rangka melaksanakan penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan melalui berbagai kebijakan relaksasi yang terkait dengan pelaksanakan APBN, khususnya dengan melakukan peningkatan belanja untuk kesehatan, pengeluaran jaring pengaman sosial (social safety net) dan pemulihan perekonomian serta memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan.
            Pemerintah saat ini perlu memiliki peta jalan (road map) dan cetak biru untuk melaksanakan pemulihan perekonomian berdasarkan identifikasi secara cermat kasus-kasus yang dihadapi oleh berbagai sektor akibat pandemi Covid-19 beserta kebijakan yang digunakan untuk mengatasinya. Hal ini sangat diperlukan agar program pemulihan perekonomian dan kondisi sosial masyarakat dapat dilakukan secara tepat, akurat dan efektif yang ditopang oleh alokasi dan pemanfaatan keuangan negara berdasarkan UU No. 2 Tahun 2020.
           

Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...