Beberapa
Catatan atas Pengelolaan BUMN
Disusun oleh : Dr. W. Riawan Tjandra,
S.H., M.Hum.
Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya
Yogyakarta
·
Landasan filosofis dan konstitusional
pembentukan BUMN seharusnya adalah Hak Menguasai Negara atas BUMN yang
diderivasi dari Pasal 33 UUD Negara RI 1945.
·
Pemerintah secara teoretis dalam
melakukan tindakan hukum (rechtshandeling) meliputi dua topi (twee petten): a. sebagai subjek hukum
publik (public actor) dan b. sebagai subjek hukum privat (privat actor).
·
Badan
Usaha Milik Negara atau BUMN merupakan suatu unit usaha yang sebagian besar
atau seluruh modal berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan serta membuat
suatu produk atau jasa yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Bentuk
BUMN:
a. Persero
Persero
adalah BUMN yang bentuk usahanya adalah perseoran terbatas atau PT. Bentuk
persero semacam itu tentu saja tidak jauh berbeda sifatnya dengan perseroan
terbatas / PT swasta yakni samasama mengejar keuntungan yang setinggi-tingginya
/ sebesar-besarnya. Saham kepemilikan persero sebagian besar atau setara 51%
harus dikuasai oleh pemerintah. Karena persero diharapkan dapat memperoleh laba
yang besar, maka otomatis persero dituntut untuk dapat memberikan produk barang
maupun jasa yang terbaik agar produk output yang dihasilkan tetap laku dan
terus-menerus mencetak keuntungan. Organ persero yaitu direksi, komisaris dan
rups / rapat umum pemegang saham. Contoh persero yaitu : PT Angkasa Pura, PT
Jasamarga, Bank BNI, PT Asuransi Jiwasraya, PT PLN, PT Perkebunan Nusantara V dan
lain-lain.
b. Perum /
Perusahaan Umum
Perusahaan umum atau disingkat perum
adalah perusahaan unit bisnis negara yang seluruh modal dan kepemilikan
dikuasai oleh pemerintah dengan tujuan untuk memberikan penyediaan barang dan
jasa publik yang baik demi melayani masyarakat umum serta mengejar keuntungan
berdasarkan prinsip pengolahan perusahaan.Organ perum yaitu dewan pengawas,
menteri dan direksi. Contoh perum / perusahaan umum yakni : Perum Peruri / PNRI
(Percetakan Negara RI), Perum Perhutani, Perum Damri, Perum Pegadaian, dan
lain-lain.
·
Dengan melakukan privatisasi BUMN maka
Pemerintah bertindak menggunakan instrumen hukum campuran (gemengde instrumenten).
·
Proses swastanisasi pelayanan publik
yang dilakukan oleh pemerintah ini pada dasarnya merupakan langkah yang sangat
kritis, khususnya apabila dikaitkan dengan kedaulatan politik sebuah bangsa
yang demokratis. Pelayanan oleh swasta akan mengakibatkan terjadinya pergeseran
kekuatan politik dan ekonomi dalam hal pelayanan hak-hak dasar rakyat sebuah negara.
Keberadaan pemerintah yang melakukan kerjasama dengan pihak swasta, menimbulkan
persoalan tentang pihak swasta mana yang harus terlibat dan memperoleh
keuntungan dari usaha bersama di sektor pemerintah ini. Dengan masuknya swasta
sebagai penyelenggara barang dan jasa publik akan secara tidak langsung
menjadikan sektor swasta itu bagian dari pemegang mandat politik, yang
seharusnya ditentukan lewat proses politik
di Dewan Perwakilan Rakyat.
·
Di dalam
Pasal 78 Undang-undang N0. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) kurang tegas dalam menentukan prosentase penjualan saham Badan Usaha
Milik Negara (BUMN). Terutama mengenai pembatasan prosentase penjualan saham
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebesar 100 persen kepada investor asing.
Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham
Dalam Peusahaan yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dalam Pasal 2
ayat (1) point b disebutkan penanaman modal asing dapat dilakukan dalam bentuk
langsung dalam arti seluruh modalnya dimiliki oleh warga negara dan/atau badan
hukum asing. Hal ini jelas bertentangan dengan bunyi Pasal 33 Undang-Undang
Dasar 1945 dan Undang-Undang No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang
mengatakan bahwa sektor-sektor publik yang startegis seperti air, listrik,
telekomunikasi, senjata , jalan raya dan lain-lain tidak boleh diusahakan
dengan melibatkan modal asing sama sekali.
·
Sebelum dikeluarkannya Undang-undang
No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pengaturan Perusahaan
Negara mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan tersebut secara berurutan
adalah: 1. Perusahaan IBW (Indische Bedrijven Wet), Stb. 1927 No. 419,
diubah dengan Stb. 1936, 1954, dan Stb. 1955; 2. Perusahaan ICW (Indische
Comptabiliteits Wet), Stb. 1925 No. 448, diubah dengan Lembaran Negara 1948
No. 334; 3. Undang-undang No. 19 Prp. Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara; 4.
Undang-undang No. 9 Tahun 1969 tentang Perusahaan Negara; 5. Peraturan
Pemerintah No. 12 Tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan; 6. Undang-undang No.
19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
·
Sebelum
dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) No. 17 tahun 1967, bentuk Usaha
Negara sanngat banyak yang dirasakan kurang bermanfaat. Agar Perusahaan Negara
lebih bermanfaat, maka pada tanggal 28 Desember 1967 Pemerintah Republik
Indonesia telah mengeluarkan Instruksi Presiden No. 17 Tahun 1967 tentang
Pengarahan dan Penyederhanaan Perusahaan Negara ke dalam tiga bentuk Usaha
Negara. Ketiga bentuk Perusahaan-perusahaan Negara tersebut berdasarkan
Instruksi Presiden No. 17 Tahun 1967 adalah: 1. Usaha-usaha Negara Perusahaan
(Negara) Jawatan (Departmental Agency). 2. Usaha-usaha Negara Perusahaan
(Negara) Umum (Public Corporation). 3. Usaha-usaha Negara Perusahaan
(Negara) Perseroan (Public/State Company).
·
Privatisasi
perusahaan diartikan sebagai setiaap tindakan untuk meningkatkan efisiensi dan
produktivitas perusahaan, melalui perubahan status hukum, organisasi dan
pemilikan saham.224 Privatisasi dapat berbentuk kerjasama operasi atau kontrak
manajemen dengan pihak ketiga, konsolidasi, merger, pemecahan badan usaha,
penjualan saham secara langsung, pembentukan perusahaan joint venture. Privatisasi
menurut Undang-undang No. 19 tahun 2003 adalah penjualan saham Persero, baik
sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja
dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta
memperluas pemilikan saham oleh masyarakat. Paling sedikit terdapat 3 (tiga)
teori yang memberikan justifikasi atas privatisasi/divestasi BUMN.
Pertama, teori monopoli. Secara sederhana dikatakan bahwa BUMN dalam banyak
kasus sering menerima privilege (kekhususan) monopoli. Akibatnya, mereka sering
terjerumus menjadi tidak efisien karena hak istimewa ini (lihat misalnya,
Stiglitz 2000; Hanke dan Walters 1994; serta Dunleavy 1986).Kedua, teori
property rights. Esensinya, perusahaan swasta dimiliki oleh individu-individu
yang bebas untuk menggunakan, mengelola, dan memberdayakan aset-aset privatnya.
Konsekuensinya, mereka akan mendorong habis-habisan usahanya agar efisien.
Property rights swasta telah menciptakan insentif bagi terciptanya efisiensi
perusahaan. Sebaliknya, BUMN tidak dimiliki oleh individual, tetapi oleh
"negara". Dalam realitas, pengertian "negara" menjadi kabur
dan tidak jelas. Jadi, seolah-olah mereka justru seperti "tanpa
pemilik". Akibatnya, jelas, manajemen BUMN menjadi kekurangan insentif
untuk mendorong efisiensi (lihat misalnya, Hanke 1987). Ketiga, teori
principal-agent. Dalam teori ini diungkapkan bagaimana peta hubungan antara
principal (pemilik perusahaan, dalam hal BUMN adalah pemerintah) dan agent
(perusahaan, yakni BUMN). Di sektor swasta, manajemen perusahaan (sebagai agen)
sudah jelas tunduk dan loyal kepada pemilik atau pemegang saham (shareholders).
Di BUMN, mau loyal kepada siapa? Di sini kemudian nuansa "politisasi"
menjadi kental karena berbagai kepentingan politik aktif bermain, yang
ujung-ujungnya menyebabkan BUMN tereksploitasi oleh para politisi. Para
pengelola BUMN terpaksa harus "meladeni" para politisi sehingga pasti
mengganggu ruang geraknya menuju efisiensi. Upaya untuk menghilangkan
intervensi politik dalam pengelolaan BUMN ini ditempuh dengan konsep
stakeholder economy, yakni perusahaan harus memiliki tanggung jawab (responsibility)
terhadap sejumlah pihak yang terkait (stakeholders), yakni karyawan, kreditor,
masyarakat setempat, dan seterusnya (lihat Dixit, 1997).
·
Dalam
sistem ekonomi Pancasila terdapat 3 (tiga) sektor ekonomi, yaitu: 1. sektor
koperasi sebagai wadah perekonomian rakyat yang disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan; 2. sektor usaha negara yang mengelola kekayaan
bumi,air, dan segala isi yang terkandung di dalamnya; 3. sektor usaha swasta
sebagai sektor ketiga di samping sektor koperasi dan usaha negara.
·
Perusahan
swasta dan koperasi keduanya merupakan badan usaha non pemerintah. Sedangkan
Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha milik pemerintah maka harus dapat
digunakan sebagai alat pemerintah yang efektif untuk menjunjung keberhasilan
kebijaksanaan pemerintah dalam bidang ekonomi.
·
BUMN
mempunyai dua rumusan berikut: (1). BUMN
tetap masuk dalam definisi badan publik, tetapi garis-garis prinsip yang
menyangkut rezim hukum bisnis yang melekat pada BUMN harus tetap menjadi wilayah
rahasia yang akan dirumuskan dalam pasal pengecualian. Kedua, BUMN tidak
dimasukkan dalam definisi badan publik, namun aktifitas BUMN yang menjadi
wilyah rezim politik (akuntabilitas publik) harus diatur dalam pasal khusus
yang menjelaskan prinsip keterbukaan.
·
BUMN
dapat ditugaskan oleh Pemerintah untuk melaksanakan misi tertentu melalui Public Service Obligation PSO. PSO
adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh negara akibat disparitas/perbedaan
harga pokok penjualan BUMN/swasta dengan harga atas produk/jasa tertentu yang
ditetapkan oleh Pemerintah agar pelayanan produk/jasa tetap terjamin dan
terjangkau oleh sebagian besar masyarakat (publik). Dasar hukum PSO adalah
Undang-Undang RI No 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara Pasal 66
ayat 1. Menurut UU No. 19 Tahun 2003 tersebut, pemerintah dapat memberikan
penugasan khusus kepada BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum
dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan kegiatan BUMN. Apabila penugasan
tersebut menurut kajian secara finansial tidak visibel, pemerintah harus
memberikan kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan oleh BUMN
tersebut termasuk margin yang diharapkan. Dalam hal ini, terdapat intervensi
politik dalam penetapan harga. Pemberian subsidi dalam rangka penugasan pelayanan
umum yang sesuai dengan UU BUMN baru diberikan sejak tahun 2004. Adapun BUMN
yang diberikan tugas PSO adalah BUMN-BUMN yang bergerak di bidang transportasi
dan komunikasi, seperti PT Kereta Api (Persero) untuk tugas layanan jasa
angkutan kereta api kelas ekonomi, PT Pos Indonesia (Persero) untuk tugas
layanan jasa pos pada kantor cabang luar kota dan daerah terpencil, PT
Pelayaran Nasional Indonesia (Persero) untuk tugas layanan jasa angkutan laut
kelas ekonomi, dan PT TVRI (Persero) antara lain untuk program penyiaran
publik.
·
Public Service
Obligation
(PSO) adalah kewajiban BUMN dalam melayani kebutuhan publik. Tugas pelayanan
publik alias public service obligation (PSO) yang dibebankan ke BUMN tidak
dijalankan secara maksimal. Hal ini disebabkan tugas PSO bertumpuk, sementara
dukungan dari pemerintah amat minim, baik dari sisi peraturan sebagai captive
market maupun dari sisi bantuan anggaran. Agar penugasan PSO dijalankan dengan
sepenuh hati, Kementerian Negara BUMN mengusulkan adanya kontrak kerja PSO
antara pemerintah sebagai pemberi tugas dan BUMN sebagai penerima tugas.
Padahal soal dana PSO BUMN tersebut telah jelas diatur dalam penjelasan pasal
66 UU 19/2003 tentang BUMN yang menyatakan, apabila penugasan yang diberikan
tersebut tidak flexible , maka seluruh biaya harus ditanggung oleh pemerintah
plus marjin. Adanya Public Service Obligation (PSO) adalah dalam rangka
menjaga agar kegiatan penyediaan barang publik, tersedia dalam jumlah yang
cukup sekalipun tidak memberikan keuntungan yang cukup bagi penyedia jasa untuk
tetap dapat menjalankan kegiatannya. PSO yang secara finansial tidak memberikan
keuntungan harus tetap disediakan, karena hal tersebut diharapkan akan
memberikan multiplier effect secara ekonomi bagi masyarakat.
·
Pemisahan Kekayaan Negara di BUMN
Mahkamah Konstitusi, melalui Putusan
MK No 48 dan 62/PUU-XI/2013 yang dibacakan tanggal 18 September 2014, telah
mengukuhkan status kekayaan negara yang bersumber dari keuangan negara dan
dipisahkan dari APBN untuk disertakan menjadi penyertaan modal di BUMN tetap
menjadi bagian dari rezim keuangan negara.Hal itu telah mengakhiri perdebatan
mengenai frasa "kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan
daerah" dalam Pasal 2 Huruf g Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara yang merupakan salah satu unsur dari keuangan negara. Meskipun
UU Nomor 17 Tahun 2003 dengan tegas telah menempatkan kekayaan yang dipisahkan
pada BUMN merupakan bagian dari keuangan negara, ketentuan tersebut sering
dibenturkan dengan pandangan yang menganut prinsip otonomi badan hukum privat
dan teori transformasi keuangan negara. Pandangan yang pertama tersebut
menyatakan bahwa dehgan perubahan bentuk hukum suatu BUMN menjadi PT persero,
status kekayaan negara yang bersumber dari pemisahan keuangan negara di BUMN
yang dalam UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dikatakan tak lagi tunduk pada
prinsip-prinsip pengelolaan APBN, seakan-akan tak lagi terjamah oleh sistem
pengawasan BPK terhadap penggunaan uang yang bersumber dari APBN tersebut Pandangan
ini melupakan bahwa pengawasan terhadap penggunaan keuangan negara dari APBN
yang disertakan sebagai modal/saham dalam BUMN hanya dilakukan khusus terhadap
aliran keuangan negara tersebut Negara berkepentingan untuk mengamankan uang
negara yang masuk dalam kas BUMN melalui mekanisme subsidi maupun penyertaan
modal. Dalam teori hukum keuangan negara, eksistensi asas kelengkapan
(volledigheid beginsel) telah menjamin bahwa tak boleh ada celah abu-abu yang
memungkinkan adanya aliran keuangan negara yang lepas dari sistem pengawasan
parlemen melalui audit BPK. BPK dalam konstitusi ditegaskan memiliki atribusi
wewenang sebagai organ tinggi negara dengan fungsi auditif. Selain itu, dengan
prinsip "hak preferensi negara", negara tak boleh kehilangan wewenang
pengawasan terhadap penggunaan keuangan negara yang harus selalu
dipertanggungjawabkan melalui siklus pengelolaan APBN. Hal itu juga sekaligus
mengafirmasi kesahihan "teori sumber" sebagai salah satu teori klasik
dalam pengelolaan keuangan negara, yang menegaskan prinsip bahwa setiap aliran
uang negara yang bersumber dari APBN harus dipertanggungjawabkan berdasarkan mekanisme
pertanggungjawaban APBN. Paradigma pengelolaan BUMN tak boleh berlari
meninggalkan prinsip dasar yang terkandung dalam Pasal 33 UUD Negara RI 1945.
Oleh karena itu, seharusnya ruh dalam pengelolaan BUMN tetap diarahkan untuk
mewujudkan kesejahteraan rakyat dan negara tak boleh kehilangan kendali
pengawasan atas tata kelola BUMN. Hal ini sekaligus juga meruntuhkan konsep
sumir bahwa melalui privatisasi BUMN telah terjadi transformasi keuangan negara
menjadi uang privat dalam wadah BUMN persero yang seakan-akan tak terjamah lagi
oleh sistem pengawasan negara. Privatisasi tak boleh menjadi wilayah abu-abu
untuk melakukan berbagai praktik koruptif dengan membingkainya menjadi risiko
bisnis. Cara pandang terakhir ini bisamengancam penyalahgunaan aset negara di
berbagai BUMN yang jumlahnya kini tak kurang dari Rp 3.500 triliun. BUMN
didirikan oleh negara dan tak boleh sekadar hanya berorientasi profit karena
Pasal 33 harus selalu menjadi paradigma dalam pengelolaan BUMN. BUMN dalam
perspektif konstitusi harus tetap menjadi agen pembangunan untuk memberikan
kemanfaatan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Putusan Mahkamah Agung No
1863/K/Pid.Sus/2010 sebelumnya telah menjadi yurisprudensi yang menjadi rujukan
bagi KPK untuk menyelamatkan triliunan rupiah uang negara yang disalahgunakan
pengelolaannya oleh beberapa BUMN. Dengan adanya putusan MK dan putusan MA
tersebut, seharusnya tak perlu lagi keuangan negara di BUMN diperdebatkan
status hukum publiknya, apalagi dengan motif tersembunyi untuk mengambil
keuntungan dari wilayah abu-abu dalam pengelolaannya (Artikel W Riawan Tjandra,
Kompas, 1 Oktober 2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar