Minggu, 03 Mei 2020


Beberapa Catatan atas Pengelolaan BUMN
Disusun oleh : Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.
Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
·         Landasan filosofis dan konstitusional pembentukan BUMN seharusnya adalah Hak Menguasai Negara atas BUMN yang diderivasi dari Pasal 33 UUD Negara RI 1945.
·         Pemerintah secara teoretis dalam melakukan tindakan hukum (rechtshandeling) meliputi dua topi (twee petten): a. sebagai subjek hukum publik (public actor) dan b. sebagai subjek hukum privat (privat actor).
·         Badan Usaha Milik Negara atau BUMN merupakan suatu unit usaha yang sebagian besar atau seluruh modal berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan serta membuat suatu produk atau jasa yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Bentuk BUMN:
a.       Persero
Persero adalah BUMN yang bentuk usahanya adalah perseoran terbatas atau PT. Bentuk persero semacam itu tentu saja tidak jauh berbeda sifatnya dengan perseroan terbatas / PT swasta yakni samasama mengejar keuntungan yang setinggi-tingginya / sebesar-besarnya. Saham kepemilikan persero sebagian besar atau setara 51% harus dikuasai oleh pemerintah. Karena persero diharapkan dapat memperoleh laba yang besar, maka otomatis persero dituntut untuk dapat memberikan produk barang maupun jasa yang terbaik agar produk output yang dihasilkan tetap laku dan terus-menerus mencetak keuntungan. Organ persero yaitu direksi, komisaris dan rups / rapat umum pemegang saham. Contoh persero yaitu : PT Angkasa Pura, PT Jasamarga, Bank BNI, PT Asuransi Jiwasraya, PT PLN, PT Perkebunan Nusantara V dan lain-lain.
b. Perum / Perusahaan Umum
Perusahaan umum atau disingkat perum adalah perusahaan unit bisnis negara yang seluruh modal dan kepemilikan dikuasai oleh pemerintah dengan tujuan untuk memberikan penyediaan barang dan jasa publik yang baik demi melayani masyarakat umum serta mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengolahan perusahaan.Organ perum yaitu dewan pengawas, menteri dan direksi. Contoh perum / perusahaan umum yakni : Perum Peruri / PNRI (Percetakan Negara RI), Perum Perhutani, Perum Damri, Perum Pegadaian, dan lain-lain.
·         Dengan melakukan privatisasi BUMN maka Pemerintah bertindak menggunakan instrumen hukum campuran (gemengde instrumenten).
·         Proses swastanisasi pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah ini pada dasarnya merupakan langkah yang sangat kritis, khususnya apabila dikaitkan dengan kedaulatan politik sebuah bangsa yang demokratis. Pelayanan oleh swasta akan mengakibatkan terjadinya pergeseran kekuatan politik dan ekonomi dalam hal pelayanan hak-hak dasar rakyat sebuah negara. Keberadaan pemerintah yang melakukan kerjasama dengan pihak swasta, menimbulkan persoalan tentang pihak swasta mana yang harus terlibat dan memperoleh keuntungan dari usaha bersama di sektor pemerintah ini. Dengan masuknya swasta sebagai penyelenggara barang dan jasa publik akan secara tidak langsung menjadikan sektor swasta itu bagian dari pemegang mandat politik, yang seharusnya ditentukan lewat proses politik di Dewan Perwakilan Rakyat.
·         Di dalam Pasal 78 Undang-undang N0. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kurang tegas dalam menentukan prosentase penjualan saham Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Terutama mengenai pembatasan prosentase penjualan saham Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebesar 100 persen kepada investor asing. Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham Dalam Peusahaan yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dalam Pasal 2 ayat (1) point b disebutkan penanaman modal asing dapat dilakukan dalam bentuk langsung dalam arti seluruh modalnya dimiliki oleh warga negara dan/atau badan hukum asing. Hal ini jelas bertentangan dengan bunyi Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang mengatakan bahwa sektor-sektor publik yang startegis seperti air, listrik, telekomunikasi, senjata , jalan raya dan lain-lain tidak boleh diusahakan dengan melibatkan modal asing sama sekali.
·         Sebelum dikeluarkannya Undang-undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pengaturan Perusahaan Negara mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan tersebut secara berurutan adalah: 1. Perusahaan IBW (Indische Bedrijven Wet), Stb. 1927 No. 419, diubah dengan Stb. 1936, 1954, dan Stb. 1955; 2. Perusahaan ICW (Indische Comptabiliteits Wet), Stb. 1925 No. 448, diubah dengan Lembaran Negara 1948 No. 334; 3. Undang-undang No. 19 Prp. Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara; 4. Undang-undang No. 9 Tahun 1969 tentang Perusahaan Negara; 5. Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan; 6. Undang-undang No. 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
·         Sebelum dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) No. 17 tahun 1967, bentuk Usaha Negara sanngat banyak yang dirasakan kurang bermanfaat. Agar Perusahaan Negara lebih bermanfaat, maka pada tanggal 28 Desember 1967 Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan Instruksi Presiden No. 17 Tahun 1967 tentang Pengarahan dan Penyederhanaan Perusahaan Negara ke dalam tiga bentuk Usaha Negara. Ketiga bentuk Perusahaan-perusahaan Negara tersebut berdasarkan Instruksi Presiden No. 17 Tahun 1967 adalah: 1. Usaha-usaha Negara Perusahaan (Negara) Jawatan (Departmental Agency). 2. Usaha-usaha Negara Perusahaan (Negara) Umum (Public Corporation). 3. Usaha-usaha Negara Perusahaan (Negara) Perseroan (Public/State Company).
·         Privatisasi perusahaan diartikan sebagai setiaap tindakan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan, melalui perubahan status hukum, organisasi dan pemilikan saham.224 Privatisasi dapat berbentuk kerjasama operasi atau kontrak manajemen dengan pihak ketiga, konsolidasi, merger, pemecahan badan usaha, penjualan saham secara langsung, pembentukan perusahaan joint venture. Privatisasi menurut Undang-undang No. 19 tahun 2003 adalah penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat. Paling sedikit terdapat 3 (tiga) teori yang memberikan justifikasi atas privatisasi/divestasi BUMN. Pertama, teori monopoli. Secara sederhana dikatakan bahwa BUMN dalam banyak kasus sering menerima privilege (kekhususan) monopoli. Akibatnya, mereka sering terjerumus menjadi tidak efisien karena hak istimewa ini (lihat misalnya, Stiglitz 2000; Hanke dan Walters 1994; serta Dunleavy 1986).Kedua, teori property rights. Esensinya, perusahaan swasta dimiliki oleh individu-individu yang bebas untuk menggunakan, mengelola, dan memberdayakan aset-aset privatnya. Konsekuensinya, mereka akan mendorong habis-habisan usahanya agar efisien. Property rights swasta telah menciptakan insentif bagi terciptanya efisiensi perusahaan. Sebaliknya, BUMN tidak dimiliki oleh individual, tetapi oleh "negara". Dalam realitas, pengertian "negara" menjadi kabur dan tidak jelas. Jadi, seolah-olah mereka justru seperti "tanpa pemilik". Akibatnya, jelas, manajemen BUMN menjadi kekurangan insentif untuk mendorong efisiensi (lihat misalnya, Hanke 1987). Ketiga, teori principal-agent. Dalam teori ini diungkapkan bagaimana peta hubungan antara principal (pemilik perusahaan, dalam hal BUMN adalah pemerintah) dan agent (perusahaan, yakni BUMN). Di sektor swasta, manajemen perusahaan (sebagai agen) sudah jelas tunduk dan loyal kepada pemilik atau pemegang saham (shareholders). Di BUMN, mau loyal kepada siapa? Di sini kemudian nuansa "politisasi" menjadi kental karena berbagai kepentingan politik aktif bermain, yang ujung-ujungnya menyebabkan BUMN tereksploitasi oleh para politisi. Para pengelola BUMN terpaksa harus "meladeni" para politisi sehingga pasti mengganggu ruang geraknya menuju efisiensi. Upaya untuk menghilangkan intervensi politik dalam pengelolaan BUMN ini ditempuh dengan konsep stakeholder economy, yakni perusahaan harus memiliki tanggung jawab (responsibility) terhadap sejumlah pihak yang terkait (stakeholders), yakni karyawan, kreditor, masyarakat setempat, dan seterusnya (lihat Dixit, 1997).
·         Dalam sistem ekonomi Pancasila terdapat 3 (tiga) sektor ekonomi, yaitu: 1. sektor koperasi sebagai wadah perekonomian rakyat yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; 2. sektor usaha negara yang mengelola kekayaan bumi,air, dan segala isi yang terkandung di dalamnya; 3. sektor usaha swasta sebagai sektor ketiga di samping sektor koperasi dan usaha negara.
·         Perusahan swasta dan koperasi keduanya merupakan badan usaha non pemerintah. Sedangkan Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha milik pemerintah maka harus dapat digunakan sebagai alat pemerintah yang efektif untuk menjunjung keberhasilan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang ekonomi.
·         BUMN mempunyai dua rumusan berikut: (1).  BUMN tetap masuk dalam definisi badan publik, tetapi garis-garis prinsip yang menyangkut rezim hukum bisnis yang melekat pada BUMN harus tetap menjadi wilayah rahasia yang akan dirumuskan dalam pasal pengecualian. Kedua, BUMN tidak dimasukkan dalam definisi badan publik, namun aktifitas BUMN yang menjadi wilyah rezim politik (akuntabilitas publik) harus diatur dalam pasal khusus yang menjelaskan prinsip keterbukaan.
·         BUMN dapat ditugaskan oleh Pemerintah untuk melaksanakan misi tertentu melalui Public Service Obligation PSO. PSO adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh negara akibat disparitas/perbedaan harga pokok penjualan BUMN/swasta dengan harga atas produk/jasa tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah agar pelayanan produk/jasa tetap terjamin dan terjangkau oleh sebagian besar masyarakat (publik). Dasar hukum PSO adalah Undang-Undang RI No 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara Pasal 66 ayat 1. Menurut UU No. 19 Tahun 2003 tersebut, pemerintah dapat memberikan penugasan khusus kepada BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan kegiatan BUMN. Apabila penugasan tersebut menurut kajian secara finansial tidak visibel, pemerintah harus memberikan kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan oleh BUMN tersebut termasuk margin yang diharapkan. Dalam hal ini, terdapat intervensi politik dalam penetapan harga. Pemberian subsidi dalam rangka penugasan pelayanan umum yang sesuai dengan UU BUMN baru diberikan sejak tahun 2004. Adapun BUMN yang diberikan tugas PSO adalah BUMN-BUMN yang bergerak di bidang transportasi dan komunikasi, seperti PT Kereta Api (Persero) untuk tugas layanan jasa angkutan kereta api kelas ekonomi, PT  Pos Indonesia (Persero) untuk tugas layanan jasa pos pada kantor cabang luar kota dan daerah terpencil, PT Pelayaran Nasional Indonesia (Persero) untuk tugas layanan jasa angkutan laut kelas ekonomi, dan PT TVRI (Persero) antara lain untuk program penyiaran publik.
·         Public Service Obligation (PSO) adalah kewajiban BUMN dalam melayani kebutuhan publik. Tugas pelayanan publik alias public service obligation (PSO) yang dibebankan ke BUMN tidak dijalankan secara maksimal. Hal ini disebabkan tugas PSO bertumpuk, sementara dukungan dari pemerintah amat minim, baik dari sisi peraturan sebagai captive market maupun dari sisi bantuan anggaran. Agar penugasan PSO dijalankan dengan sepenuh hati, Kementerian Negara BUMN mengusulkan adanya kontrak kerja PSO antara pemerintah sebagai pemberi tugas dan BUMN sebagai penerima tugas. Padahal soal dana PSO BUMN tersebut telah jelas diatur dalam penjelasan pasal 66 UU 19/2003 tentang BUMN yang menyatakan, apabila penugasan yang diberikan tersebut tidak flexible , maka seluruh biaya harus ditanggung oleh pemerintah plus marjin. Adanya Public Service Obligation (PSO) adalah dalam rangka menjaga agar kegiatan penyediaan barang publik, tersedia dalam jumlah yang cukup sekalipun tidak memberikan keuntungan yang cukup bagi penyedia jasa untuk tetap dapat menjalankan kegiatannya. PSO yang secara finansial tidak memberikan keuntungan harus tetap disediakan, karena hal tersebut diharapkan akan memberikan multiplier effect secara ekonomi bagi masyarakat.
·         Pemisahan Kekayaan Negara di BUMN
Mahkamah Konstitusi, melalui Putusan MK No 48 dan 62/PUU-XI/2013 yang dibacakan tanggal 18 September 2014, telah mengukuhkan status kekayaan negara yang bersumber dari keuangan negara dan dipisahkan dari APBN untuk disertakan menjadi penyertaan modal di BUMN tetap menjadi bagian dari rezim keuangan negara.Hal itu telah mengakhiri perdebatan mengenai frasa "kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah" dalam Pasal 2 Huruf g Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang merupakan salah satu unsur dari keuangan negara. Meskipun UU Nomor 17 Tahun 2003 dengan tegas telah menempatkan kekayaan yang dipisahkan pada BUMN merupakan bagian dari keuangan negara, ketentuan tersebut sering dibenturkan dengan pandangan yang menganut prinsip otonomi badan hukum privat dan teori transformasi keuangan negara. Pandangan yang pertama tersebut menyatakan bahwa dehgan perubahan bentuk hukum suatu BUMN menjadi PT persero, status kekayaan negara yang bersumber dari pemisahan keuangan negara di BUMN yang dalam UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dikatakan tak lagi tunduk pada prinsip-prinsip pengelolaan APBN, seakan-akan tak lagi terjamah oleh sistem pengawasan BPK terhadap penggunaan uang yang bersumber dari APBN tersebut Pandangan ini melupakan bahwa pengawasan terhadap penggunaan keuangan negara dari APBN yang disertakan sebagai modal/saham dalam BUMN hanya dilakukan khusus terhadap aliran keuangan negara tersebut Negara berkepentingan untuk mengamankan uang negara yang masuk dalam kas BUMN melalui mekanisme subsidi maupun penyertaan modal. Dalam teori hukum keuangan negara, eksistensi asas kelengkapan (volledigheid beginsel) telah menjamin bahwa tak boleh ada celah abu-abu yang memungkinkan adanya aliran keuangan negara yang lepas dari sistem pengawasan parlemen melalui audit BPK. BPK dalam konstitusi ditegaskan memiliki atribusi wewenang sebagai organ tinggi negara dengan fungsi auditif. Selain itu, dengan prinsip "hak preferensi negara", negara tak boleh kehilangan wewenang pengawasan terhadap penggunaan keuangan negara yang harus selalu dipertanggungjawabkan melalui siklus pengelolaan APBN. Hal itu juga sekaligus mengafirmasi kesahihan "teori sumber" sebagai salah satu teori klasik dalam pengelolaan keuangan negara, yang menegaskan prinsip bahwa setiap aliran uang negara yang bersumber dari APBN harus dipertanggungjawabkan berdasarkan mekanisme pertanggungjawaban APBN. Paradigma pengelolaan BUMN tak boleh berlari meninggalkan prinsip dasar yang terkandung dalam Pasal 33 UUD Negara RI 1945. Oleh karena itu, seharusnya ruh dalam pengelolaan BUMN tetap diarahkan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan negara tak boleh kehilangan kendali pengawasan atas tata kelola BUMN. Hal ini sekaligus juga meruntuhkan konsep sumir bahwa melalui privatisasi BUMN telah terjadi transformasi keuangan negara menjadi uang privat dalam wadah BUMN persero yang seakan-akan tak terjamah lagi oleh sistem pengawasan negara. Privatisasi tak boleh menjadi wilayah abu-abu untuk melakukan berbagai praktik koruptif dengan membingkainya menjadi risiko bisnis. Cara pandang terakhir ini bisamengancam penyalahgunaan aset negara di berbagai BUMN yang jumlahnya kini tak kurang dari Rp 3.500 triliun. BUMN didirikan oleh negara dan tak boleh sekadar hanya berorientasi profit karena Pasal 33 harus selalu menjadi paradigma dalam pengelolaan BUMN. BUMN dalam perspektif konstitusi harus tetap menjadi agen pembangunan untuk memberikan kemanfaatan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Putusan Mahkamah Agung No 1863/K/Pid.Sus/2010 sebelumnya telah menjadi yurisprudensi yang menjadi rujukan bagi KPK untuk menyelamatkan triliunan rupiah uang negara yang disalahgunakan pengelolaannya oleh beberapa BUMN. Dengan adanya putusan MK dan putusan MA tersebut, seharusnya tak perlu lagi keuangan negara di BUMN diperdebatkan status hukum publiknya, apalagi dengan motif tersembunyi untuk mengambil keuntungan dari wilayah abu-abu dalam pengelolaannya (Artikel W Riawan Tjandra, Kompas, 1 Oktober 2014).


Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...