INTEGRASI DATA LHKPN DAN DATA PAJAK DALAM RANGKA
EFISIENSI
PENYAMPAIAN LHKPN DAN SPT PAJAK[1]
Oleh: Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.[2]
Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara pada
Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
A.
Landasan hukum atas hubungan kerjasama sama antara dua instansi dari
sisi Hukum Administrasi Negara, khususnya untuk bidang kerjasama yang tidak
dipayungi oleh undang-undang organik dari masing-masing instansi
Mengacu pada tujuan dari tema yang dibahas yaitu untuk mengupayakan
dilakukannya integrasi data LHKPN dan data pajak dalam rangka efisiensi
penyampaian LHKPN dan SPT Pajak, dalam kerangka kerjasama antara dua instansi,
sebenarnya harus dikaitkan dengan 2 (dua) aspek, yaitu: kewenangan (bevoegdheid) dari masing-masing instansi
terkait dan karakter dari dari norma hukum yang menjadi rujukan derivatifnya.
Maka, sesungguhnya, jika hanya ditinjau dari kewenangan dari masing-masing
intansi publik untuk melakukan kerjasama, titik tolaknya adalah kewenangan dari
masing-masing badan atau pejabat tata usaha negara yang bersumber dari
peraturan perundang-undangan yang mendasari kewenangan pembentukan instansi
publik yang bersangkutan. Kerjasama antara instansi pemerintah merupakan “cara”
atau “instrumen” untuk melaksanakan fungsi pemerintahan (het bestuursinstrument). Dalam Hukum Administrasi Negara, ada 4 (empat)
sarana utama yang dapat digunakan untuk melaksanakan fungsi pemerintahan, salah
satunya adalah sarana yuridis (het
juridische instrument) berupa: peraturan perundang-undangan (wet/regeling),
keputusan tata uaha negara (beschikking)
peraturan kebijaksanaan (beleidsregel),
sarana hukum keperdataan (privaatsrecht instrument) a.l. perjanjian
kebijaksanaan (beleidsovereenkomst).
Dalam konteks inilah, kerjasama antarinstansi publik sandarannya adalah
perjanjian kebijaksanaan (beleidsovereenkomst).
Kerjasama antar instansi pemerintah yang sering dibuat dalam bentuk Memorandum of Understanding yang
ditindaklanjuti dengan dibuatnya serangkaian perjanjian yang lebih oerasional
dan kebijakan (beleid) termasuk dalam
lingkup hukum administrasi negara dalam rangka pelaksanaan pemerintahan faktual
(en echt besturen). Dalam Hukum
administrasi negara tipologi perjanjian kerjasama semacam itu dinamakan
perjanjian kerjasama mengenai penggunaan wewenang publik (publiekrechtelijk bevoegdheden overeenkomst). Ketiadaan norma
undang-undang tak menghalangi dilaksanakannya kerjasama antarinstansi
pemerintah karena terletak di ranah operasional pelaksanaan fungsi pemerintahan
(besturende functie). Hal yang kedua
terkait dengan obyek perjanjian kerjasama (het
object van het overenkomst) akan dibahas pada sub bab selanjutnya. Namun,
untuk menghindari celah-celah yang dapat dicari-cari terkait aspek landasan
yuridisnya, dapat saja dibuat Peraturan Pemerintah sebagai landasan hukum untuk
mengintegrasikan keduanya.
B.
Diskursus tentang Pencualian kerahasiaan data perpajakan (termasuk
Data SPT) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 UU KUP untuk tujuan integrasi
Data LHKPN-SPT Pajak
Pembahasan mengenai pengecualian kerahasiaan data perpajakan (termasuk
data SPT) vide Pasal 34 UU KUP dalam kaitannya dengan integrasi data LHKPN-SPT
Pajak merupakan kajian mengenai obyek perjanjian kerjasama antarinstansi
publik. Hal itu akan berkaitan dengan
karakter dari sebuah obyek perjanjian kerjasama yang diderivasi dari pengaturan
dalam undang-undang (wet) yang
lazimnya mengatur mengenai pengertian (het
begrip), karakter dari obyek yang diatur, kewenangan yang terkait dengan
obyek yang diatur dan sistem dalam pelaksanaan wewenang, hak maupun kewajiban.
Sehubungan dengan hal tersebut perlu dilakukan pembahasan terlebih dahulu
terhadap pengaturan atas obyek hukum tersebut melalui impact analysis dari norma hukumnya.
No.
|
UU KUP
|
Regulasi LHKPN
|
Impact Analysis
|
1
|
Pasal 34
UU UU KUP
Ayat (1)
Setiap pejabat baik petugas pajak maupun mereka
yang melakukan tugas di bidang
perpajakan, dilarang mengungkapkan
kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan, antara lain :
a. Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan lain-lain yang dilaporkan oleh
Wajib Pajak; b. data yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan; c.
dokumen dan atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang bersifat rahasia;
d. dokumen dan atau rahasia Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan yang berkenaan.
Ayat (2)
Para
ahli, seperti ahli bahasa, akuntan, pengacara, dan sebagainya yang ditunjuk
oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan undang-undang
perpajakan, adalah sama dengan petugas pajak yang dilarang pula untuk
mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1).Ayat (2a)
Yang
dimaksud dengan pihak lain antara lain lembaga negara atau instansi
pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan di bidang keuangan negara.
Dalam pengertian keterangan yang dapat diberitahukan, antara lain identitas
Wajib Pajak dan informasi yang bersifat umum tentang perpajakan.
Ayat (3)
Untuk
kepentingan negara, misalnya dalam rangka penyidikan, penuntutan atau dalam
rangka mengadakan kerja sama dengan instansi pemerintah lainnya, keterangan
atau bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak dapat diberikan atau
diperlihatkan kepada pihak tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
Dalam
surat izin yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan harus dicantumkan nama
Wajib Pajak, nama pihak yang ditunjuk dan nama pejabat atau ahli atau tenaga
ahli yang diizinkan untuk memberikan keterangan atau memperlihatkan bukti
tertulis dari atau tentang Wajib Pajak. Pemberian izin tersebut dilakukan
secara terbatas dalam hal-hal yang dipandang perlu oleh Menteri Keuangan.
Ayat (4)
Untuk
melaksanakan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara pidana atau
perdata yang berhubungan dengan masalah perpajakan, demi kepentingan
peradilan Menteri Keuangan memberikan izin pembebasan atas kewajiban
kerahasiaan kepada pejabat pajak dan para ahli sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2), atas permintaan tertulis Hakim ketua sidang.
Ayat (5)
Maksud dari ayat ini adalah merupakan
pembatasan dan penegasan, bahwa keterangan perpajakan yang diminta tersebut
adalah hanya mengenai perkara pidana atau perdata tentang perbuatan atau
peristiwa yang menyangkut bidang perpajakan dan hanya terbatas pada tersangka
yang bersangkutan.
|
Pasal 17 UU No. 28 Tahun 1999
Ayat (1)
Komisi Pemeriksa mempunyai
tugas dan wewenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap kekayaan
Penyelenggara Negara. (2) Tugas
dan wewenang Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah
: a.
melakukan pemantauan dan klarifikasi atas harta kekayaan Penyelenggara
Negara; b. meneliti laporan atau pengaduan masyarakat,
lembaga swadaya masyarakat, atau instansi Pemerintah tentang dugaan adanya
korupsi, kolusi, dan nepotisme dari
para Penyelenggara Negara; c.
melakukan penyelidikan atas inisiatif sendiri mengenai harta kekayaan
Penyelenggara Negara berdasarkan petunjuk adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme terhadap Penyelenggara Negara ybs.; d.
mencari dan memperoleh bukti-bukti, menghadirkan saksi-saksi untuk
penyelidikan Penyelenggara Negara yang diduga melakukan korupsi, kolusi, dan
nepotisme atau meminta dokumen-dokumen dari pihak-pihak yang terkait dengan
penyelidikan harta kekayaan Penyelenggara Negara ybs.; e.
jika dianggap perlu, selain meminta bukti kepemilikan sebagian
atau seluruh harta kekayaan
Penyelenggara Negara yang diduga diperoleh dari korupsi, kolusi, atau nepotisme selama menjabat
sebagai Penyelenggara Negara, juga meminta pejabat yang berwenang membuktikan
dugaan tsb sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pemeriksaan kekayaan Penyelenggara
Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sebelum, selama, dan
setelah ybs menjabat. (4) Ketentuan
mengenai tata cara pemeriksan kekayaan penyelenggara Negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dan (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 18 UU No. 28 Tahun 1999
Ayat (1)
Hasil pemeriksaan Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
disampaikan kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Badan Pemeriksa Keuangan. (2)
Khusus hasil pemeriksaan atas kekayaan Penyelenggara negara yang
dilakukan oleh Subkomisi Yudikatif, juga disampaikan kepada Mahkamah Agung.
(3) Apabila dalam hasil pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditemukan petunjuk adanya korupsi, kolusi, atau nepotisme, maka hasil pemeriksaan tsb disampaikan kepada instansi
yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, untuk ditindaklanjuti. Pasal 6 Perkom No. 07 Tahun 2016 ayat (1)
Penyampaian LHKPN sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 dan Pasal 5 dapat diserahkan langsung atau melalui media lain yang
ditentukan oleh KPK.
Ayat (2)
Format LHKPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh KPK yang sekurang-kurangnya memuat:
a. Nama;
b. Jabatan;
c. Instansi;
d. Tempat dan tanggal lahir;
e. Alamat;
f.
Identitas istri
atau suami;
g. Identitas anak;
h. Jenis, nilai dan asal-usul perolehan harta
kekayaan yang dimiliki;
i.
Besarnya
penghasilan dan pengeluaran;
j.
Surat kuasa untuk
mendapatkan data keuangan;
k. Surat kuasa untuk mengumumkan harta dan;
l.
Surat pernyataan.
|
Pengaturan mengenai kerahasiaan wajib pajak
pada Pasal 34 ayat (1) UU KUP diberlakukan terhadap subyek : Setiap pejabat
baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan,
dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak.
Pengaturan mengenai LHKPN bersifat terbuka dan
wajib dilaporkan sebelum, selama, dan setelah ybs menjabat.
|
Masih terdapat perbedaan ruang lingkup yang
terlihat dari masih adanya beberapa informasi yang berpotensi beririsan antara
yang dicantumkan dalam LHKPN dan SPT antara lain yaitu identitas, perolehan
harta, hutang, penerimaan dan pengeluaran. Namun, pada saat menyampaikan
kewajiban LHKPN dan SPT, seseorang yang berkedudukan sekaligus sebagai
Penyelenggara Negara dan Wajib Pajak (WP) harus
mengisi dua kali untuk jenis data yang sama, yaitu pada saat mengisi e-Filing LHKPN dan e-Filing SPT. Jika dilakukan
integrasi kewajiban penyampaian LHKP dan SPT sesungguhnya justru dapat
melaksanakan asas instrumental dalam hukum administrasi negara, yaitu doelmatigheid beginsel (asas
efektivitas) dan doeltreffenheid beginsel
(asas efisiensi). Ditinjau dari karakter norma hukum pengaturan atas obyek
perjanjian kewenangan sebagai landasan integrasi kedua kewajiban tersebut harus
diletakkan dalam konteks berlakunya
norma umum (algemene norm) dan
norma khusus (bijzondere norm).
Kewajiban LHKPN tidak dapat dilepaskan dari kedudukannya sebagai instrumen
untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggara negara guna mencegah
terjadinya praktik-praktik KKN. Maka, sebenarnya integrasi kewajiban
penyampaian LHKPN dan SPT dapat dilakukan dengan argumentasi-argumentasi di
atas. Integrasi kewajiban penyampaian LHKPN dan SPT sebagai objek dari
perjanjian dari perjanjian kebijaksanaan (het
object van het beleidsregel) dapat dilakukan karena ranahnya terletak pada
penyelenggaraan pemerintahan faktual (het
echt besturen).
C.
Dampak hukum dari sisi administrasi negara terhadap KPK dan
Kementerian Keuangan atas integrasi Data LHKPN-SPT Pajak
Ditinjau dari sudut hukum administrasi negara, integrasi data LHKP-SPT
digunakan untuk memenuhi asas instrumental dalam hukum administrasi negara,
yaitu doelmatigheid beginsel (asas
efektivitas) dan doeltreffenheid beginsel
(asas efisiensi). Kedua lembaga tersebut perlu melakukan kajian mengenai model
integrasi yang mungkin dilakukan sesuai dengan kebutuhan masing-masing lembaga
publik tersebut melalui unsur-unsur dokumen yang mungkin diintegrasikan. Tujuan dari LHKPN di dunia ini menurut Bank Dunia ada
dua mazhab besar, yang pertama adalah untuk mendeteksi conflict of interest yang biasanya digunakan di negara-negara yang
sudah maju, yang kedua untuk mendeteksi ilicit
enrichment yang bisa menjadi tujuan di negara berkembang seperti di
Indonesia.
Fungsi SPT
bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan adalah
sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan
penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan
tentang:
§
pembayaran atau pelunasan pajak yang telah
dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain
dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
§
harta dan kewajiban; dan/atau
§
pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang
pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu)
Masa Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ruang lingkup yang wajib dilaporkan Penyelenggara Negara dalam LHKPN
adalah sebagai berikut:
Tabel Unsur-unsur
Data LHKPN
Ditinjau dari unsur-unsur dokumen LHKPN yang diisi tersebut terlihat
adanya unsur-unsur yang pararel dengan dokumen yang harus diisi dalam SPT,
meskipun memang ada sedikit perbedaan dibandingkan dokumen SPT. PPh 21 memiliki banyak komponen yang harus dimasukkan
seperti berikut ini:
·
Penghasilan Bruto Wajib Pajak
·
Penghasilan Tidak Rutin
·
Biaya BPJS
·
Jaminan Kecelakaan Kerja
·
Jaminan Kematian
·
Jaminan Kesehatan
·
Tunjangan PPh 21 & BPJS yang dibayarkan
perusahaan
·
Pengurangan Penghasilan Bruto
Secara lebih lengkap, Objek Pajak yang harus
dilaporkan dalam SPT meliputi: 1). Penghasilan neto dari negeri dari usaha
dan/atau pekerjaan bebas. Penghitungan penghasilan neto ini berdasarkan jenis
WP yaitu WP yang menyelenggarakan pembukuan dan WP yang menggunakan norma
penghitungan penghasilan neto. 2.)
Penghasilan neto dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan. Penghasilan neto ini
merupakan penghasilan WP dari pekerjaannya sebagai PNS yang penghitungannya
berdasarkan Formulir 1721 – A2 yang merupakan bukti pemotongan PPh Pasal 21
bagi pegawai negeri sipil 3.) Penghasilan dalam negeri lainnya 4.) Penghasilan
neto luar negeri . Adapun yang dimaksud penghasilan yang tidak termasuk objek
pajak adalah: 1.) Bantuan/sumbangan/hibah 2.) Warisan
3.) Bagian laba anggotan perseroan komanditer tidak atas saham,
persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi
4.) Klaim asuransi kesehatan, kecelakaan, jiwa, dwiguna, beasiswa 5.)
Beasiswa dalam negeri 6.) Penghasilan
lainnya yang tidak termasuk objek pajak.
Pengurangan Meliputi: 1.) Zakat atau sumbangan yang bersifat wajib 2.)
Kompensasi kerugian 3.) Penghasilan
tidak kena pajak (PTKP) Penghitungan
dijelaskan sebagai berikut: 1.) PPh
Terhutang dihitung berdasarkan Tarif PPh Pasal 17 dikalikan Penghasilan Kena
Pajak (penghasilan neto – zakat/sumbangan yang bersifat wajib – kompensasi
kerugian – PTKP). 2.) PPh Kurang/Lebih
Bayar dihitung dari PPh Terhutang setelah dikurangi dengan PPh yang dipotong /
dipungut oleh pihak lain, PPh yang dibayar / dipotong di luar negeri dan PPh
ditanggung oleh pemerintah serta PPh yang dibayar sendiri meliputi: PPh Pasal
25 Bulanan, STP PPh Pasal 25 (hanya pokok pajak) dan fiscal luar negeri. 3.) Selain itu dihitung Angsuran PPh Pasal 25
tahun pajak berikutnya berdasarkan: 1).
Jumlah PPh yang harus dibayar sendiri dibagi 12 bulan; 2). Penghitungan WP
Orang Pribadi PNS dengan usaha tertentu. b. Pembayaran WP Orang Pribadi PNS terkait dengan
pembayaran dapat dilakukan dengan beberapa kondisi: 1.)
Bila WP tersebut tidak memiliki penghasilan lainnya di luar pekerjaannya
sebagai PNS, maka dari penghitungan tidak akan menghasilkan PPh Kurang / Lebih
Bayar atau Nihil sehingga tidak perlu dilakukan pembayaran tetapi tetap
melakukan pelaporan. 2.) Bila WP tersebut
memiliki penghasilan lainnya di luar pekerjaannya sebagai PNS, maka dari
penghitungan akan menghasilan PPh Kurang / Lebih Bayar. Atas PPh Kurang Bayar
tersebut mewajibkan WP untuk melakukan pembayaran paling lambat sebelum
dilakukan pelaporan dimana batas waktu pelaporan akhir bulan ketiga setelah
tahun pajak berakhir atau 31 Maret tahun pajak berikutnya. Sementara untuk PPh
Lebih Bayar memungkinkan WP untuk melakukan restitusi atau kompensasi mengikuti
ketentuan yang berlaku. Ditinjau secara umum, ada 3 jenis SPT yaitu : (1) Formulir
SPT 1770 (untuk wajib pajak dalam negeri dengan penghasilan dari kegiatan usaha
dan melakukan pekerjaan bebas); (2) Formulir SPT 1770-S (untuk wajib pajak
dalam negeri yang bekerja dengan penghasilan per tahun di atas Rp 60 juta); (3)
Formulir SPT 1770-SS (untuk wajib pajak dalam negeri yang bekerja dengan
penghasilan per tahun di bawah Rp 60 juta)
WP Orang Pribadi
PNS dalam melaporkan PPh Tahunan mengunakan: 1.) Formulir 1770 SPT Tahunan PPh
WP Orang Pribadi yang digunakan oleh WP Orang Pribadi yang mempunyai
penghasilan: a.) Dari usaha/pekerjaan bebas yang menyelenggarakan pembukuan
atau norma penghitungan penghasilan neto
b.) Dari satu atau lebih pemberi kerja
c.) Yang dikenakan PPh Final dan/atau bersifat final d.) Dari penghasilan lain. Formulir ini dilampiri
dengan Formulir 1770-I, Formulir 1770-II, Formulir 1770-III, dan Formulir
1770-IV. 2.) Formulir 1770 S SPT Tahunan
PPh WP Orang Pribadi yang digunakan oleh WP Orang Pribadi yang mempunyai
penghasilan: a.) Dari satu atau lebih
pemberi kerja b.) Dalam negeri
lainnya c.) Yang dikenakan PPh Final
dan/atau bersifat final. Formulir ini
dilampiri dengan Formulir 1770 S-I dan Formulir 1770 S-II. 3.) Formulir 1770 SS yang digunakan oleh WP
Orang Pribadi yang mempunyai penghasilan : a.) Dari satu pemberi kerja dengan
penghasilan bruto tidak melebihi Rp. 60.000.000 dan b.) Tidak mempunyai penghasilan lain kecuali
bunga bank dan/atau bunga koperasi.
Pelaporan SPT PPh Tahunan tersebut disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak
tempat WP Orang Pribadi terdaftar atau Pelaporan SPT pada tempat lain yang
ditunjuk sebagai tempat penerimaan pelaporan SPT .
Pada
esensinya integrasi data LHKP-SPT dengan mencermati
substansi dari kedua dokumen tersebut secara faktual-operasional tidak tertutup
kemungkinan untuk dilakukan. Hal itu disebabkan selain karena materi muatan
dari kedua dokumen tersebut pada hakikatnya memiliki kesamaan pada cukup banyak
unsurnya, juga ditinjau dari sudut tipologi pelaksanaan kewenangan pemerintahan
(merupakan fungsi pemerintahan faktual) dan instrumen sarana yuridisnya dalam
Hukum Administrasi Negara juga tersedia yaitu perjanjian mengenai kewenangan
pemerintahan (publiekrechtelijk
bevoegdheden beleidsovereenkomst). Disamping itu kewajiban untuk
mengumumkan harta kekayaan penyelenggara negara sebagai konsekuensi jabatan
strategis yang menghendaki adanya akuntabilitas dan transparansi juga merupakan
mandat dari UU No. 28 Tahun 1999 dan UU No. 30 Tahun 2002 beserta perubahannya,
yang dapat mengesampingkan rahasia perpajakan dalam pelaporan SPT.
D.
Preferensi kewajiban penyampaian LHKPN Sebelum pemenuhan kewajiban
SPT) dalam diskursus hukum administrasi negara ditinjau dari kewenangan
kelembagaan maupun dari sisi pihak PN dan WP yang diwajibkan memenuhi kedua
kewajiban tersebut.
Salah satu konsep integrasi data yang akan diterapkan adalah penarikan
data dari salah satu instansi (KPK atau Kementerian Keuangan c.q. Direktorat
Jenderal Pajak). Dengan demikian, maka salah satu kewajiban akan diprioritaskan
untuk dipenuhi terlebih dahulu untuk dapat ditarik datanya oleh instansi
lainnya. Misalnya, Penyelenggara Negara memenuhi kewajiban penyampaian LHKPN
terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan pemenuhan kewajiban SPT. Hal itu
dapat saja dilakukan karena kewajiban penyampaian LHKPN bagi penyelenggara
negara merupakan lex specialis jika
dibandingkan kewajiban perpajakan mengingat landasan hukum yang berbeda. Namun,
jika dilakukana bersamaan juga dapat saja dilakukan.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah
pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi
Undang-Undang menegaskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang
melaksanakan langkah atau upaya pencegahan antara lain dengan melakukan
pendaftaran dan pemeriksaan terhadap harta kekayaan Penyelenggara Negara.
Berkaitan dengan itu, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme mengamanatkan
pula bahwa setiap Penyelenggara Negara wajib melaporkan dan mengumumkan harta
kekayaannya sebelum dan setelah menjabat serta bersedia diperiksa kekayaannya
sebelum, selama dan setelah menjabat. Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara
Negara yang disampaikan kepada KPK bertujuan untuk mewujudkan Penyelenggara
Negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara agar terbebas dari
praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta perbuatan tercela lainnya.
Maka, LHKPN sesungguhnya merupakan derivat dari UU No. 30 Tahun 2002 dan
perubahannya yang terhadapnya dapat diterapkan asas preferensi sebelum
dilaksanakannya kewajiban pelaporan SPT sesuai dengan UU KUP. Tata cara
pelaksanaannya dapat dilaksanakan dengan pembuatan standar operasional prosedur
yang diturunkan dari perjanjian kerjasama penggunaan kewenangan (publiekrechtelijk bevoegdheden overenkomst)
antara KPK dengan Kementerian Keuangan.
Rekomendasi:
1. Pada esensinya integrasi data LHKP-SPT dengan mencermati substansi dari kedua dokumen
tersebut secara faktual-operasional tidak tertutup kemungkinan untuk dilakukan.
Hal itu disebabkan selain karena materi muatan dari kedua dokumen tersebut pada
hakikatnya memiliki kesamaan pada cukup banyak unsurnya, juga ditinjau dari
sudut tipologi pelaksanaan kewenangan pemerintahan (merupakan fungsi
pemerintahan faktual) dan instrumen sarana yuridisnya dalam Hukum Administrasi
Negara juga tersedia yaitu perjanjian mengenai kewenangan pemerintahan (publiekrechtelijk bevoegdheden
beleidsovereenkomst).
2. Jika dilakukan integrasi kewajiban penyampaian LHKP dan SPT
sesungguhnya justru dapat melaksanakan asas instrumental dalam hukum
administrasi negara, yaitu doelmatigheid
beginsel (asas efektivitas) dan doeltreffenheid
beginsel (asas efisiensi).
3. Substansi dari data yang diintegrasikan perlu dijadikan materi muatan
yang disepakati melalui perjanjian penggunaan wewenang pemerintahan antara KPK
dan Kementerian Keuangan. Tindak lanjutnya bisa dituangkan dalam Peraturan
Bersama antara KPK dan Kementerian Keuangan. Hal itu juga ditopang oleh Pasal
34 ayat (3) UU KUP yang esensinya mengatur: “ Untuk kepentingan negara …..dalam
rangka mengadakan kerja sama dengan instansi pemerintah lainnya, keterangan
atau bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak dapat diberikan atau
diperlihatkan kepada pihak tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.” Pada
intinya hal itu memungkinkan dibukanya data-data perpajakan untuk kepentingan
negara melalui kerjasama antara Kementerian Keuangan dengan instansi pemerintah
lainnya.
4. Subyek yang akan diatur untuk melakukan pengisian (e-filing) LHKP dan SPT pada hakikatnya
bersifat khusus (lex specialis)
dibandingkan wajib pajak pada umumnya (legi
generalis), maka, sebenarnya dapat saja dilakukan kebijakan pengintegrasian
tanpa melanggar ketentuan dalam KUP.
5. Dokumen untuk melaksanakan kewajiban e filing LHKP dan SPT bagi Penyelenggara Negara dapat mengikuti
kategori kedua jenis dokumen SPT, yaitu Formulir SPT 1770-S (untuk wajib pajak dalam
negeri yang bekerja dengan penghasilan per tahun di atas Rp 60 juta). Namun,
tidak menutup kemungkinan khusus untuk pelaporan secara integratif LHKP dan SPT
bagi penyelenggara negara diformulasikan formulir khusus mengingat
karakteristik khusus dari subyek yang diwajibkan mengisi dokumen integratif
tersebut.
[1]
Materi yang disampaikan dalam FORUM DISKUSI INTEGRASI DATA LHKPN DAN DATA PAJAK
DALAM RANGKA EFISIENSI PENYAMPAIAN LHKPN DAN SPT PAJAK yang diselenggarakan
oleh Direktorat PP LHKPN KPK- RI,
tanggal 3 Desember 2019, di Gedung
KPK Merah Putih, Jalan Kuningan Persada, Kav. 4, Jakarta Selatan.
[2]
Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya
Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar