Minggu, 03 Mei 2020


INTEGRASI DATA LHKPN DAN DATA PAJAK DALAM RANGKA
 EFISIENSI PENYAMPAIAN LHKPN DAN SPT PAJAK[1]
Oleh: Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.[2]
Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara pada
Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta

A.      Landasan hukum atas hubungan kerjasama sama antara dua instansi dari sisi Hukum Administrasi Negara, khususnya untuk bidang kerjasama yang tidak dipayungi oleh undang-undang organik dari masing-masing instansi
Mengacu pada tujuan dari tema yang dibahas yaitu untuk mengupayakan dilakukannya integrasi data LHKPN dan data pajak dalam rangka efisiensi penyampaian LHKPN dan SPT Pajak, dalam kerangka kerjasama antara dua instansi, sebenarnya harus dikaitkan dengan 2 (dua) aspek, yaitu: kewenangan (bevoegdheid) dari masing-masing instansi terkait dan karakter dari dari norma hukum yang menjadi rujukan derivatifnya. Maka, sesungguhnya, jika hanya ditinjau dari kewenangan dari masing-masing intansi publik untuk melakukan kerjasama, titik tolaknya adalah kewenangan dari masing-masing badan atau pejabat tata usaha negara yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang mendasari kewenangan pembentukan instansi publik yang bersangkutan. Kerjasama antara instansi pemerintah merupakan “cara” atau “instrumen” untuk melaksanakan fungsi pemerintahan (het bestuursinstrument).  Dalam Hukum Administrasi Negara, ada 4 (empat) sarana utama yang dapat digunakan untuk melaksanakan fungsi pemerintahan, salah satunya adalah sarana yuridis (het juridische instrument) berupa: peraturan perundang-undangan (wet/regeling), keputusan tata uaha negara (beschikking) peraturan kebijaksanaan (beleidsregel), sarana hukum keperdataan (privaatsrecht instrument) a.l. perjanjian kebijaksanaan (beleidsovereenkomst). Dalam konteks inilah, kerjasama antarinstansi publik sandarannya adalah perjanjian kebijaksanaan (beleidsovereenkomst). Kerjasama antar instansi pemerintah yang sering dibuat dalam bentuk Memorandum of Understanding yang ditindaklanjuti dengan dibuatnya serangkaian perjanjian yang lebih oerasional dan kebijakan (beleid) termasuk dalam lingkup hukum administrasi negara dalam rangka pelaksanaan pemerintahan faktual (en echt besturen). Dalam Hukum administrasi negara tipologi perjanjian kerjasama semacam itu dinamakan perjanjian kerjasama mengenai penggunaan wewenang publik (publiekrechtelijk bevoegdheden overeenkomst). Ketiadaan norma undang-undang tak menghalangi dilaksanakannya kerjasama antarinstansi pemerintah karena terletak di ranah operasional pelaksanaan fungsi pemerintahan (besturende functie). Hal yang kedua terkait dengan obyek perjanjian kerjasama (het object van het overenkomst) akan dibahas pada sub bab selanjutnya. Namun, untuk menghindari celah-celah yang dapat dicari-cari terkait aspek landasan yuridisnya, dapat saja dibuat Peraturan Pemerintah sebagai landasan hukum untuk mengintegrasikan keduanya.

B.      Diskursus tentang Pencualian kerahasiaan data perpajakan (termasuk Data SPT) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 UU KUP untuk tujuan integrasi Data LHKPN-SPT Pajak

Pembahasan mengenai pengecualian kerahasiaan data perpajakan (termasuk data SPT) vide Pasal 34 UU KUP dalam kaitannya dengan integrasi data LHKPN-SPT Pajak merupakan kajian mengenai obyek perjanjian kerjasama antarinstansi publik.  Hal itu akan berkaitan dengan karakter dari sebuah obyek perjanjian kerjasama yang diderivasi dari pengaturan dalam undang-undang (wet) yang lazimnya mengatur mengenai pengertian (het begrip), karakter dari obyek yang diatur, kewenangan yang terkait dengan obyek yang diatur dan sistem dalam pelaksanaan wewenang, hak maupun kewajiban. Sehubungan dengan hal tersebut perlu dilakukan pembahasan terlebih dahulu terhadap pengaturan atas obyek hukum tersebut melalui impact analysis dari norma hukumnya.

No.
UU KUP
Regulasi LHKPN
Impact Analysis
1
Pasal 34 UU UU KUP
Ayat (1)
Setiap pejabat baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan, dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan, antara lain : a. Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan lain-lain yang dilaporkan oleh Wajib Pajak; b. data yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan; c. dokumen dan atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang bersifat rahasia; d. dokumen dan atau rahasia Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berkenaan.
Ayat (2)
Para ahli, seperti ahli bahasa, akuntan, pengacara, dan sebagainya yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan undang-undang perpajakan, adalah sama dengan petugas pajak yang dilarang pula untuk mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).Ayat (2a)
Yang dimaksud dengan pihak lain antara lain lembaga negara atau instansi pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan di bidang keuangan negara. Dalam pengertian keterangan yang dapat diberitahukan, antara lain identitas Wajib Pajak dan informasi yang bersifat umum tentang perpajakan.
Ayat (3)
Untuk kepentingan negara, misalnya dalam rangka penyidikan, penuntutan atau dalam rangka mengadakan kerja sama dengan instansi pemerintah lainnya, keterangan atau bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak dapat diberikan atau diperlihatkan kepada pihak tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
Dalam surat izin yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan harus dicantumkan nama Wajib Pajak, nama pihak yang ditunjuk dan nama pejabat atau ahli atau tenaga ahli yang diizinkan untuk memberikan keterangan atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak. Pemberian izin tersebut dilakukan secara terbatas dalam hal-hal yang dipandang perlu oleh Menteri Keuangan.
Ayat (4)
Untuk melaksanakan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara pidana atau perdata yang berhubungan dengan masalah perpajakan, demi kepentingan peradilan Menteri Keuangan memberikan izin pembebasan atas kewajiban kerahasiaan kepada pejabat pajak dan para ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), atas permintaan tertulis Hakim ketua sidang.
Ayat (5)
Maksud dari ayat ini adalah merupakan pembatasan dan penegasan, bahwa keterangan perpajakan yang diminta tersebut adalah hanya mengenai perkara pidana atau perdata tentang perbuatan atau peristiwa yang menyangkut bidang perpajakan dan hanya terbatas pada tersangka yang bersangkutan.
Pasal 17 UU No. 28 Tahun 1999
Ayat (1)  Komisi Pemeriksa mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap kekayaan Penyelenggara Negara. (2)   Tugas dan wewenang Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :  a.  melakukan pemantauan dan klarifikasi atas harta kekayaan Penyelenggara Negara;  b.  meneliti laporan atau pengaduan masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau instansi Pemerintah tentang dugaan adanya korupsi, kolusi, dan  nepotisme dari para Penyelenggara Negara;  c. melakukan penyelidikan atas inisiatif sendiri mengenai harta kekayaan Penyelenggara Negara berdasarkan petunjuk adanya korupsi, kolusi, dan  nepotisme terhadap Penyelenggara      Negara ybs.;  d.  mencari dan memperoleh bukti-bukti, menghadirkan saksi-saksi untuk penyelidikan Penyelenggara Negara yang diduga melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme atau meminta dokumen-dokumen dari pihak-pihak yang terkait dengan penyelidikan harta kekayaan Penyelenggara Negara ybs.;  e.  jika dianggap perlu, selain meminta bukti kepemilikan sebagian atau  seluruh harta kekayaan Penyelenggara Negara yang diduga diperoleh dari  korupsi, kolusi, atau nepotisme selama menjabat sebagai Penyelenggara Negara, juga meminta pejabat yang berwenang membuktikan dugaan tsb sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3)  Pemeriksaan kekayaan Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sebelum, selama, dan setelah ybs menjabat. (4)   Ketentuan mengenai tata cara pemeriksan kekayaan penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (3) diatur dengan Peraturan  Pemerintah.

Pasal 18 UU No. 28 Tahun 1999
Ayat (1)   Hasil pemeriksaan Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 disampaikan kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Badan Pemeriksa Keuangan.  (2)   Khusus hasil pemeriksaan atas kekayaan Penyelenggara negara yang dilakukan oleh Subkomisi Yudikatif, juga disampaikan kepada Mahkamah Agung. (3)  Apabila dalam hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)  ditemukan petunjuk adanya korupsi, kolusi, atau nepotisme, maka hasil  pemeriksaan tsb disampaikan kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, untuk ditindaklanjuti. Pasal 6 Perkom No. 07 Tahun 2016  ayat (1)
Penyampaian LHKPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 dapat diserahkan langsung atau melalui media lain yang ditentukan oleh KPK.
Ayat (2)
Format LHKPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh KPK yang sekurang-kurangnya memuat:
a.       Nama;
b.      Jabatan;
c.       Instansi;
d.      Tempat dan tanggal lahir;
e.      Alamat;
f.        Identitas istri atau suami;
g.       Identitas anak;
h.      Jenis, nilai dan asal-usul perolehan harta kekayaan yang dimiliki;
i.         Besarnya penghasilan dan pengeluaran;
j.        Surat kuasa untuk mendapatkan data keuangan;
k.       Surat kuasa untuk mengumumkan harta dan;
l.         Surat pernyataan.

Pengaturan mengenai kerahasiaan wajib pajak pada Pasal 34 ayat (1) UU KUP diberlakukan terhadap subyek : Setiap pejabat baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan, dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak.
Pengaturan mengenai LHKPN bersifat terbuka dan wajib dilaporkan sebelum, selama, dan setelah ybs menjabat.

Masih terdapat perbedaan ruang lingkup yang terlihat dari masih adanya beberapa informasi yang berpotensi beririsan antara yang dicantumkan dalam LHKPN dan SPT antara lain yaitu identitas, perolehan harta, hutang, penerimaan dan pengeluaran. Namun, pada saat menyampaikan kewajiban LHKPN dan SPT, seseorang yang berkedudukan sekaligus sebagai Penyelenggara Negara dan Wajib Pajak (WP) harus  mengisi dua kali untuk jenis data yang sama, yaitu pada saat mengisi e-Filing LHKPN dan e-Filing SPT.  Jika dilakukan integrasi kewajiban penyampaian LHKP dan SPT sesungguhnya justru dapat melaksanakan asas instrumental dalam hukum administrasi negara, yaitu doelmatigheid beginsel (asas efektivitas) dan doeltreffenheid beginsel (asas efisiensi). Ditinjau dari karakter norma hukum pengaturan atas obyek perjanjian kewenangan sebagai landasan integrasi kedua kewajiban tersebut harus diletakkan dalam konteks berlakunya  norma umum (algemene norm) dan norma khusus (bijzondere norm). Kewajiban LHKPN tidak dapat dilepaskan dari kedudukannya sebagai instrumen untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggara negara guna mencegah terjadinya praktik-praktik KKN. Maka, sebenarnya integrasi kewajiban penyampaian LHKPN dan SPT dapat dilakukan dengan argumentasi-argumentasi di atas. Integrasi kewajiban penyampaian LHKPN dan SPT sebagai objek dari perjanjian dari perjanjian kebijaksanaan (het object van het beleidsregel) dapat dilakukan karena ranahnya terletak pada penyelenggaraan pemerintahan faktual (het echt besturen).


C.      Dampak hukum dari sisi administrasi negara terhadap KPK dan Kementerian Keuangan atas integrasi Data LHKPN-SPT Pajak
Ditinjau dari sudut hukum administrasi negara, integrasi data LHKP-SPT digunakan untuk memenuhi asas instrumental dalam hukum administrasi negara, yaitu doelmatigheid beginsel (asas efektivitas) dan doeltreffenheid beginsel (asas efisiensi). Kedua lembaga tersebut perlu melakukan kajian mengenai model integrasi yang mungkin dilakukan sesuai dengan kebutuhan masing-masing lembaga publik tersebut melalui unsur-unsur dokumen yang mungkin diintegrasikan. Tujuan dari LHKPN di dunia ini menurut Bank Dunia ada dua mazhab besar, yang pertama adalah untuk mendeteksi conflict of interest yang biasanya digunakan di negara-negara yang sudah maju, yang kedua untuk mendeteksi ilicit enrichment  yang bisa menjadi tujuan di negara berkembang seperti di Indonesia. 
Fungsi  SPT  bagi  Wajib  Pajak  Pajak  Penghasilan  adalah  sebagai  sarana  untuk  melaporkan  dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
§  pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
§  penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak
§  harta dan kewajiban; dan/atau
§  pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ruang lingkup yang wajib dilaporkan Penyelenggara Negara dalam LHKPN adalah sebagai berikut:

Tabel Unsur-unsur Data LHKPN








Ditinjau dari unsur-unsur dokumen LHKPN yang diisi tersebut terlihat adanya unsur-unsur yang pararel dengan dokumen yang harus diisi dalam SPT, meskipun memang ada sedikit perbedaan dibandingkan dokumen SPT.  PPh 21 memiliki banyak komponen yang harus dimasukkan seperti berikut ini:
·                      Penghasilan Bruto Wajib Pajak
·                      Penghasilan Tidak Rutin
·                      Biaya BPJS
·                      Jaminan Kecelakaan Kerja
·                      Jaminan Kematian
·                      Jaminan Kesehatan
·                      Tunjangan PPh 21 & BPJS  yang dibayarkan perusahaan
·                      Pengurangan Penghasilan Bruto

Secara lebih lengkap, Objek Pajak yang harus dilaporkan dalam SPT meliputi: 1). Penghasilan neto dari negeri dari usaha dan/atau pekerjaan bebas. Penghitungan penghasilan neto ini berdasarkan jenis WP yaitu WP yang menyelenggarakan pembukuan dan WP yang menggunakan norma penghitungan penghasilan neto.  2.) Penghasilan neto dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan. Penghasilan neto ini merupakan penghasilan WP dari pekerjaannya sebagai PNS yang penghitungannya berdasarkan Formulir 1721 – A2 yang merupakan bukti pemotongan PPh Pasal 21 bagi pegawai negeri sipil 3.) Penghasilan dalam negeri lainnya 4.) Penghasilan neto luar negeri . Adapun yang dimaksud penghasilan yang tidak termasuk objek pajak adalah:  1.) Bantuan/sumbangan/hibah  2.) Warisan  3.) Bagian laba anggotan perseroan komanditer tidak atas saham, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi  4.) Klaim asuransi kesehatan, kecelakaan, jiwa, dwiguna, beasiswa 5.) Beasiswa dalam negeri  6.) Penghasilan lainnya yang tidak termasuk objek pajak.  Pengurangan Meliputi: 1.) Zakat atau sumbangan yang bersifat wajib 2.) Kompensasi kerugian  3.) Penghasilan tidak kena pajak (PTKP)  Penghitungan dijelaskan sebagai berikut:  1.) PPh Terhutang dihitung berdasarkan Tarif PPh Pasal 17 dikalikan Penghasilan Kena Pajak (penghasilan neto – zakat/sumbangan yang bersifat wajib – kompensasi kerugian – PTKP).  2.) PPh Kurang/Lebih Bayar dihitung dari PPh Terhutang setelah dikurangi dengan PPh yang dipotong / dipungut oleh pihak lain, PPh yang dibayar / dipotong di luar negeri dan PPh ditanggung oleh pemerintah serta PPh yang dibayar sendiri meliputi: PPh Pasal 25 Bulanan, STP PPh Pasal 25 (hanya pokok pajak) dan fiscal luar negeri.  3.) Selain itu dihitung Angsuran PPh Pasal 25 tahun pajak berikutnya berdasarkan:  1). Jumlah PPh yang harus dibayar sendiri dibagi 12 bulan; 2). Penghitungan WP Orang Pribadi PNS dengan usaha tertentu. b. Pembayaran  WP Orang Pribadi PNS terkait dengan pembayaran dapat dilakukan dengan beberapa kondisi:  1.)  Bila WP tersebut tidak memiliki penghasilan lainnya di luar pekerjaannya sebagai PNS, maka dari penghitungan tidak akan menghasilkan PPh Kurang / Lebih Bayar atau Nihil sehingga tidak perlu dilakukan pembayaran tetapi tetap melakukan pelaporan.  2.) Bila WP tersebut memiliki penghasilan lainnya di luar pekerjaannya sebagai PNS, maka dari penghitungan akan menghasilan PPh Kurang / Lebih Bayar. Atas PPh Kurang Bayar tersebut mewajibkan WP untuk melakukan pembayaran paling lambat sebelum dilakukan pelaporan dimana batas waktu pelaporan akhir bulan ketiga setelah tahun pajak berakhir atau 31 Maret tahun pajak berikutnya. Sementara untuk PPh Lebih Bayar memungkinkan WP untuk melakukan restitusi atau kompensasi mengikuti ketentuan yang berlaku. Ditinjau secara umum, ada 3 jenis SPT yaitu : (1) Formulir SPT 1770 (untuk wajib pajak dalam negeri dengan penghasilan dari kegiatan usaha dan melakukan pekerjaan bebas); (2) Formulir SPT 1770-S (untuk wajib pajak dalam negeri yang bekerja dengan penghasilan per tahun di atas Rp 60 juta); (3) Formulir SPT 1770-SS (untuk wajib pajak dalam negeri yang bekerja dengan penghasilan per tahun di bawah Rp 60 juta)
WP Orang Pribadi PNS dalam melaporkan PPh Tahunan mengunakan: 1.) Formulir 1770 SPT Tahunan PPh WP Orang Pribadi yang digunakan oleh WP Orang Pribadi yang mempunyai penghasilan: a.) Dari usaha/pekerjaan bebas yang menyelenggarakan pembukuan atau norma penghitungan penghasilan neto  b.) Dari satu atau lebih pemberi kerja  c.) Yang dikenakan PPh Final dan/atau bersifat final  d.) Dari penghasilan lain. Formulir ini dilampiri dengan Formulir 1770-I, Formulir 1770-II, Formulir 1770-III, dan Formulir 1770-IV.  2.) Formulir 1770 S SPT Tahunan PPh WP Orang Pribadi yang digunakan oleh WP Orang Pribadi yang mempunyai penghasilan:  a.) Dari satu atau lebih pemberi kerja  b.) Dalam negeri lainnya  c.) Yang dikenakan PPh Final dan/atau bersifat final.  Formulir ini dilampiri dengan Formulir 1770 S-I dan Formulir 1770 S-II.  3.) Formulir 1770 SS yang digunakan oleh WP Orang Pribadi yang mempunyai penghasilan : a.) Dari satu pemberi kerja dengan penghasilan bruto tidak melebihi Rp. 60.000.000 dan  b.) Tidak mempunyai penghasilan lain kecuali bunga bank dan/atau bunga koperasi.  Pelaporan SPT PPh Tahunan tersebut disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat WP Orang Pribadi terdaftar atau Pelaporan SPT pada tempat lain yang ditunjuk sebagai tempat penerimaan pelaporan SPT .


Pada esensinya integrasi data LHKP-SPT dengan mencermati substansi dari kedua dokumen tersebut secara faktual-operasional tidak tertutup kemungkinan untuk dilakukan. Hal itu disebabkan selain karena materi muatan dari kedua dokumen tersebut pada hakikatnya memiliki kesamaan pada cukup banyak unsurnya, juga ditinjau dari sudut tipologi pelaksanaan kewenangan pemerintahan (merupakan fungsi pemerintahan faktual) dan instrumen sarana yuridisnya dalam Hukum Administrasi Negara juga tersedia yaitu perjanjian mengenai kewenangan pemerintahan (publiekrechtelijk bevoegdheden beleidsovereenkomst). Disamping itu kewajiban untuk mengumumkan harta kekayaan penyelenggara negara sebagai konsekuensi jabatan strategis yang menghendaki adanya akuntabilitas dan transparansi juga merupakan mandat dari UU No. 28 Tahun 1999 dan UU No. 30 Tahun 2002 beserta perubahannya, yang dapat mengesampingkan rahasia perpajakan dalam pelaporan SPT.


D.      Preferensi kewajiban penyampaian LHKPN Sebelum pemenuhan kewajiban SPT) dalam diskursus hukum administrasi negara ditinjau dari kewenangan kelembagaan maupun dari sisi pihak PN dan WP yang diwajibkan memenuhi kedua kewajiban tersebut.
Salah satu konsep integrasi data yang akan diterapkan adalah penarikan data dari salah satu instansi (KPK atau Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Pajak). Dengan demikian, maka salah satu kewajiban akan diprioritaskan untuk dipenuhi terlebih dahulu untuk dapat ditarik datanya oleh instansi lainnya. Misalnya, Penyelenggara Negara memenuhi kewajiban penyampaian LHKPN terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan pemenuhan kewajiban SPT. Hal itu dapat saja dilakukan karena kewajiban penyampaian LHKPN bagi penyelenggara negara merupakan lex specialis jika dibandingkan kewajiban perpajakan mengingat landasan hukum yang berbeda. Namun, jika dilakukana bersamaan juga dapat saja dilakukan.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi Undang-Undang menegaskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang melaksanakan langkah atau upaya pencegahan antara lain dengan melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap harta kekayaan Penyelenggara Negara. Berkaitan dengan itu, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme mengamanatkan pula bahwa setiap Penyelenggara Negara wajib melaporkan dan mengumumkan harta kekayaannya sebelum dan setelah menjabat serta bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama dan setelah menjabat. Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara yang disampaikan kepada KPK bertujuan untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara agar terbebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta perbuatan tercela lainnya. Maka, LHKPN sesungguhnya merupakan derivat dari UU No. 30 Tahun 2002 dan perubahannya yang terhadapnya dapat diterapkan asas preferensi sebelum dilaksanakannya kewajiban pelaporan SPT sesuai dengan UU KUP. Tata cara pelaksanaannya dapat dilaksanakan dengan pembuatan standar operasional prosedur yang diturunkan dari perjanjian kerjasama penggunaan kewenangan (publiekrechtelijk bevoegdheden overenkomst) antara KPK dengan Kementerian Keuangan.

Rekomendasi:

1.       Pada esensinya integrasi data LHKP-SPT dengan mencermati substansi dari kedua dokumen tersebut secara faktual-operasional tidak tertutup kemungkinan untuk dilakukan. Hal itu disebabkan selain karena materi muatan dari kedua dokumen tersebut pada hakikatnya memiliki kesamaan pada cukup banyak unsurnya, juga ditinjau dari sudut tipologi pelaksanaan kewenangan pemerintahan (merupakan fungsi pemerintahan faktual) dan instrumen sarana yuridisnya dalam Hukum Administrasi Negara juga tersedia yaitu perjanjian mengenai kewenangan pemerintahan (publiekrechtelijk bevoegdheden beleidsovereenkomst).
2.       Jika dilakukan integrasi kewajiban penyampaian LHKP dan SPT sesungguhnya justru dapat melaksanakan asas instrumental dalam hukum administrasi negara, yaitu doelmatigheid beginsel (asas efektivitas) dan doeltreffenheid beginsel (asas efisiensi).
3.       Substansi dari data yang diintegrasikan perlu dijadikan materi muatan yang disepakati melalui perjanjian penggunaan wewenang pemerintahan antara KPK dan Kementerian Keuangan. Tindak lanjutnya bisa dituangkan dalam Peraturan Bersama antara KPK dan Kementerian Keuangan. Hal itu juga ditopang oleh Pasal 34 ayat (3) UU KUP yang esensinya mengatur: “ Untuk kepentingan negara …..dalam rangka mengadakan kerja sama dengan instansi pemerintah lainnya, keterangan atau bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak dapat diberikan atau diperlihatkan kepada pihak tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.” Pada intinya hal itu memungkinkan dibukanya data-data perpajakan untuk kepentingan negara melalui kerjasama antara Kementerian Keuangan dengan instansi pemerintah lainnya.
4.       Subyek yang akan diatur untuk melakukan pengisian (e-filing) LHKP dan SPT pada hakikatnya bersifat khusus (lex specialis) dibandingkan wajib pajak pada umumnya (legi generalis), maka, sebenarnya dapat saja dilakukan kebijakan pengintegrasian tanpa melanggar ketentuan dalam KUP.
5.       Dokumen untuk melaksanakan kewajiban e filing LHKP dan SPT bagi Penyelenggara Negara dapat mengikuti kategori kedua jenis dokumen SPT, yaitu Formulir SPT 1770-S (untuk wajib pajak dalam negeri yang bekerja dengan penghasilan per tahun di atas Rp 60 juta). Namun, tidak menutup kemungkinan khusus untuk pelaporan secara integratif LHKP dan SPT bagi penyelenggara negara diformulasikan formulir khusus mengingat karakteristik khusus dari subyek yang diwajibkan mengisi dokumen integratif tersebut.

               


[1] Materi yang disampaikan dalam FORUM DISKUSI INTEGRASI DATA LHKPN DAN DATA PAJAK DALAM RANGKA EFISIENSI PENYAMPAIAN LHKPN DAN SPT PAJAK yang diselenggarakan oleh  Direktorat PP LHKPN KPK- RI, tanggal 3 Desember 2019, di Gedung KPK Merah Putih, Jalan Kuningan Persada, Kav. 4, Jakarta Selatan. 
[2] Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...