Minggu, 03 Mei 2020


Status Pengelolaan Keuangan Negara di BUMN[1]
Oleh: Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.[2]
            Pengertian keuangan negara dalam UU No. 17/2003 adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut (Pasal 1 butir 1). Pengertian tersebut secara historis konseptual sebenarnya mengikuti rumusan pengertian keuangan negara yang pernah dihasilkan dalam seminar ICW tanggal 30 Agustus-5 September 1970 di Jakarta yang sebelumnya dalam teori hukum keuangan negara pernah pula dikemukakan oleh van der Kemp.
            Definisi keuangan negara dalam Pasal 1 butir 1 UU No. 17/2003 tersebut menggunakan definisi yang luas untuk mengamankan kekayaan negara yang bersumber dari uang rakyat yang diperoleh melalui pajak, retribusi maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak. Komitmen tersebut terlihat dari definisi keuangan negara dalam UU No. 17/2003 yang menggunakan sistem definisi yang bersifat luas/komprehensif. Hal itu diperjelas oleh penjelasan UU No. 17/2003 butir ke-3 sebagai berikut:
Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.

            Selanjutnya, konsisten dengan rumusan definisi keuangan negara yang bersifat luas/komprehensif tersebut untuk mengatasi kelemahan dari peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku selama ini khususnya UU Perbendaharaan Indonesia (UPI) yang merupakan metamorfosa dari ICW, maka ruang lingkup keuangan negara dalam Pasal 2 UU No. 17/2003 disebutkan meliputi 9 macam, yaitu:
a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c. Penerimaan Negara;
d. Pengeluaran Negara;
e. Penerimaan Daerah;
f. Pengeluaran Daerah;
g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah;
h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

Definisi dan ruang lingkup keuangan negara yang dirumuskan secara luas/komprehensif tersebut dimaksudkan untuk mencegah adanya loopholes dalam regulasi yang bisa berimplikasi terhadap terjadinya kerugian negara dalam hal pengelolaan keuangan negara. Jika dikaitkan dengan upaya pemberantasan korupsi, Penjelasan UU No. 31/1999  juga terlihat menganut sistem definisi yang luas/komprehensif terhadap pemaknaan keuangan negara dengan menyatakan bahwa:

Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
(a) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah;
(b) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.

Hal itu dimaksudkan untuk memperjelas rumusan keuangan negara yang terdapat dalam Pasal  2 ayat (1) UU No. 31/1999 Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sedangkan definisi perekonomian negara dalam Pasal 2 ayat (1) itupun dijabarkan dalam penjelasan bahwa yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.


   Dikaitkan dengan pengelolaan keuangan negara yang dipisahkan di BUMN terlihat bahwa UU No. 17/2003 terlihat telah menegaskan bahwa uang negara yang dipisahkan pada BUMN secara yuridis normatif termasuk dalam keuangan negara sebagaimana diatur pada Pasal 2 huruf g yang menyatakan bahwa  kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah. Pasal 1 butir 10 UU No. 19/2003 mendefinisikan Kekayaan Negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya. Sumber kekayaan negara yang berasal dari APBN menunjukkan bahwa uang negara tersebut harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai uang negara yang bersumber dari APBN. BUMN hanya sebatas mengelolanya tetapi sifat kekayaan negara yang bersumber dari APBN kiranya tidak menghilangkan karakteristiknya sebagai uang negara, meskipun dikelola oleh BUMN persero.
Meskipun Pasal 1 butir 10 UU No. 19/2003 mendefinisikan bahwa  kekayaan negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya, jika dikaitkan dengan Pasal 71 ayat (2) pada Bab VII tentang Pemeriksaan Eksternal UU No. 19/2003 yang menyatakan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan berwenang melakukan pemeriksaan terhadap BUMN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, timbul keyakinan kuat bahwa semangat pembentuk UU No. 19/2003 sejalan dengan UU No. 17/2003 untuk mengamankan uang negara yang dipisahkan agar dapat dipertanggungjawabkan pengelolaannya kepada rakyat. Hal itu kiranya sejalan dengan amanat TAP MPR Nomor X/MPR/2001 yang merekomendasikan kepada Lembaga Tinggi Negara, termasuk Badan Pemeriksa Keuangan, antara sebagai berikut:
a.       Badan Pemeriksa Keuangan merupakan satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal keuangan negara dan peranannya perlu dimantapkan sebagai lembaga yang independen.
b.      Badan Pemeriksa Keuangan perlu meningkatkan intensitas dan efektivitas pemeriksaannya terhadap lembaga-lembaga tinggi negara institusi pemerintahan, BUMN, BUMD dan lembaga lain yang menggunakan uang negara.
Pasal 3 ayat (1) UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Kewangan Negara menegaskan bahwa  pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh BPK meliputi seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Hal ini artinya uang negara yang dipisahkan dan dikelola oleh BUMN termasuk dalam lingkup kewenangan pemeriksaan BPK dan merupakan bagian dari keuangan negara. Pasal 10 ayat (1) UU No. 15/2006 tentang BPK juga menyatakan bahwa BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Jadi, posisi BUMN dalam perspektif hukum positif adalah melakukan pengelolaan keuangan negara. Artinya, pengelolaan keuangan negara oleh BUMN tidak menghilangkan sifat dari kekayaan negara yang dipisahkan sebagai uang negara, tidak berubah sifatnya menjadi uang privat.
   Analisis di atas kiranya tidak berlebihan karena maksud dan tujuan pendirian BUMN sebagaimana diatur pada Pasal 2 ayat (1) huruf a adalah  memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya dan Pasal 2 ayat (1) huruf c menyatakan bahwa maksud dan tujuan pendirian BUMN juga adalah menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak.
            Meskipun dalam teori-teori hukum bisa dilakukan berbagai analisis konseptual sehubungan dengan hubungan antara keuangan negara dengan BUMN, tetapi jika dikaitkan dengan pendekatan historis atas lahirnya UU No. 17/2003 sebagai UU Keuangan Negara yang pertama yang mampu menggantikan UPI, sangat jelas adanya keinginan rakyat untuk meletakkan landasan akuntabilitas, profesionalitas dan transparansi dalam pengelolaan keuangan negara, agar tidak terjadi berbagai upaya dengan berbagai dalih apapun yang berakibat terjadinya kerugian negara. Selain itu, jika sudah ada hukum positif yang mengatur sesuatu masalah, maka norma hukum itulah yang mengikat dan harus dipatuhi sebagai konsekuensi suatu negara hukum.

Kesimpulan
1.      Dalam penegakan hukum pegangan yuridis yang harus dipergunakan adalah hukum positif yang berlaku.
2.      Uang negara yang dipisahkan dan dikelola oleh BUMN termasuk dalam klasifikasi keuangan negara yang harus dipertanggungjawanbkan pengelolaannya kepada rakyat tata kelolanya di BUMN.




           


[1] Pendapat hukum dalam perkara Tindak Pidana Korupsi dalam pengadaan Outsourcing Pengelolaan Sistem Manajemen Pelanggan (Customer Management System) Berbasis TI pada PT PLN (persero) distribusi Jawa Timur thn 2004-2008 a.n. terdakwa Ir. Hariadi Sadono di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat (d/a Gedung Uppindo Jl H. Rasuna Said Kav. C No. 19 Jakarta Selatan) tanggal 15 Pebruari 2010 pukul 14.00 WIB.
[2] Direktur Pasca Sarjana Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...