Oleh:
Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.[2]
Pengertian keuangan negara dalam UU No. 17/2003 adalah
semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala
sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara
berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut (Pasal 1 butir 1).
Pengertian tersebut secara historis konseptual sebenarnya mengikuti rumusan
pengertian keuangan negara yang pernah dihasilkan dalam seminar ICW tanggal 30
Agustus-5 September 1970 di Jakarta yang sebelumnya dalam teori hukum keuangan
negara pernah pula dikemukakan oleh van der Kemp.
Definisi keuangan negara dalam Pasal 1 butir 1 UU No.
17/2003 tersebut menggunakan definisi yang luas untuk mengamankan kekayaan
negara yang bersumber dari uang rakyat yang diperoleh melalui pajak, retribusi
maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak. Komitmen tersebut terlihat dari definisi
keuangan negara dalam UU No. 17/2003 yang menggunakan sistem definisi yang bersifat
luas/komprehensif. Hal itu diperjelas oleh penjelasan UU No. 17/2003 butir ke-3
sebagai berikut:
Pendekatan yang digunakan dalam
merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan
Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang,
termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan
kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun
berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak
dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek
yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh obyek sebagaimana
tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan
keuangan negara. Dari sisi proses,
Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan
pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan
dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara
meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan
pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan negara.
Selanjutnya, konsisten dengan
rumusan definisi keuangan negara yang bersifat luas/komprehensif tersebut untuk
mengatasi kelemahan dari peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku
selama ini khususnya UU Perbendaharaan Indonesia (UPI) yang merupakan
metamorfosa dari ICW, maka ruang lingkup keuangan negara dalam Pasal 2 UU No.
17/2003 disebutkan meliputi 9 macam, yaitu:
a. hak negara untuk memungut pajak,
mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
b. kewajiban negara untuk
menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan
pihak ketiga;
c. Penerimaan Negara;
d. Pengeluaran Negara;
e. Penerimaan Daerah;
f. Pengeluaran Daerah;
g. kekayaan
negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat
berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk
kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah;
h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh
pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan
umum;
i. kekayaan pihak lain yang
diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.
Definisi
dan ruang lingkup keuangan negara yang dirumuskan secara luas/komprehensif
tersebut dimaksudkan untuk mencegah adanya loopholes
dalam regulasi yang bisa berimplikasi terhadap terjadinya kerugian negara dalam
hal pengelolaan keuangan negara. Jika dikaitkan dengan upaya pemberantasan
korupsi, Penjelasan UU No. 31/1999 juga
terlihat menganut sistem definisi yang luas/komprehensif terhadap pemaknaan
keuangan negara dengan menyatakan bahwa:
Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara
dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk
didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang
timbul karena:
(a) berada dalam penguasaan,
pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat
pusat maupun di daerah;
(b) berada dalam penguasaan, pengurusan,
dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah,
yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau
perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan
Negara.
Hal
itu dimaksudkan untuk memperjelas rumusan keuangan negara yang terdapat dalam
Pasal 2 ayat (1) UU No. 31/1999 Setiap
orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda
paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sedangkan definisi perekonomian negara
dalam Pasal 2 ayat (1) itupun dijabarkan dalam penjelasan bahwa yang dimaksud
dengan Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai
usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara
mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun
di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh
kehidupan rakyat.
Dikaitkan dengan pengelolaan keuangan negara
yang dipisahkan di BUMN terlihat bahwa UU No. 17/2003 terlihat telah menegaskan
bahwa uang negara yang dipisahkan pada BUMN secara yuridis normatif termasuk
dalam keuangan negara sebagaimana diatur pada Pasal 2 huruf g yang menyatakan
bahwa kekayaan negara/kekayaan daerah
yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga,
piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan
yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah. Pasal 1 butir 10 UU
No. 19/2003 mendefinisikan Kekayaan Negara yang dipisahkan adalah kekayaan
negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan
penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas
lainnya. Sumber kekayaan negara yang berasal dari APBN menunjukkan bahwa uang
negara tersebut harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai uang negara
yang bersumber dari APBN. BUMN hanya sebatas mengelolanya tetapi sifat kekayaan
negara yang bersumber dari APBN kiranya tidak menghilangkan karakteristiknya
sebagai uang negara, meskipun dikelola oleh BUMN persero.
Meskipun
Pasal 1 butir 10 UU No. 19/2003 mendefinisikan bahwa kekayaan negara yang dipisahkan adalah
kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan
terbatas lainnya, jika dikaitkan dengan Pasal 71 ayat (2) pada Bab VII tentang
Pemeriksaan Eksternal UU No. 19/2003 yang menyatakan bahwa Badan Pemeriksa
Keuangan berwenang melakukan pemeriksaan terhadap BUMN sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, timbul keyakinan kuat bahwa semangat pembentuk UU
No. 19/2003 sejalan dengan UU No. 17/2003 untuk mengamankan uang negara yang
dipisahkan agar dapat dipertanggungjawabkan pengelolaannya kepada rakyat. Hal
itu kiranya sejalan dengan amanat TAP MPR Nomor X/MPR/2001 yang
merekomendasikan kepada Lembaga Tinggi Negara, termasuk Badan Pemeriksa
Keuangan, antara sebagai berikut:
a.
Badan
Pemeriksa Keuangan merupakan satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal keuangan
negara dan peranannya perlu dimantapkan sebagai lembaga yang independen.
b.
Badan
Pemeriksa Keuangan perlu meningkatkan intensitas dan efektivitas pemeriksaannya
terhadap lembaga-lembaga tinggi negara institusi pemerintahan, BUMN, BUMD dan
lembaga lain yang menggunakan uang negara.
Pasal 3 ayat (1)
UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Kewangan
Negara menegaskan bahwa pemeriksaan
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh BPK meliputi
seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang
Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Hal ini artinya uang negara yang
dipisahkan dan dikelola oleh BUMN termasuk dalam lingkup kewenangan pemeriksaan
BPK dan merupakan bagian dari keuangan negara. Pasal 10 ayat (1) UU No. 15/2006
tentang BPK juga menyatakan bahwa BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah
kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja
maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga
atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan
keuangan negara. Jadi, posisi BUMN dalam perspektif hukum positif adalah
melakukan pengelolaan keuangan negara. Artinya, pengelolaan keuangan negara
oleh BUMN tidak menghilangkan sifat dari kekayaan negara yang dipisahkan
sebagai uang negara, tidak berubah
sifatnya menjadi uang privat.
Analisis di atas kiranya tidak berlebihan
karena maksud dan tujuan pendirian BUMN sebagaimana diatur pada Pasal 2 ayat
(1) huruf a adalah memberikan sumbangan
bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada
khususnya dan Pasal 2 ayat (1) huruf c menyatakan bahwa maksud dan tujuan
pendirian BUMN juga adalah menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang
dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang
banyak.
Meskipun dalam teori-teori hukum bisa
dilakukan berbagai analisis konseptual sehubungan dengan hubungan antara
keuangan negara dengan BUMN, tetapi jika dikaitkan dengan pendekatan historis
atas lahirnya UU No. 17/2003 sebagai UU Keuangan Negara yang pertama yang mampu
menggantikan UPI, sangat jelas adanya keinginan rakyat untuk meletakkan
landasan akuntabilitas, profesionalitas dan transparansi dalam pengelolaan
keuangan negara, agar tidak terjadi berbagai upaya dengan berbagai dalih apapun
yang berakibat terjadinya kerugian negara. Selain itu, jika sudah ada hukum
positif yang mengatur sesuatu masalah, maka norma hukum itulah yang mengikat
dan harus dipatuhi sebagai konsekuensi suatu negara hukum.
Kesimpulan
1.
Dalam
penegakan hukum pegangan yuridis yang harus dipergunakan adalah hukum positif yang
berlaku.
2.
Uang
negara yang dipisahkan dan dikelola oleh BUMN termasuk dalam klasifikasi
keuangan negara yang harus dipertanggungjawanbkan pengelolaannya kepada rakyat
tata kelolanya di BUMN.
[1] Pendapat
hukum dalam perkara Tindak Pidana Korupsi dalam pengadaan Outsourcing Pengelolaan Sistem Manajemen Pelanggan (Customer Management System) Berbasis TI
pada PT PLN (persero) distribusi Jawa Timur thn 2004-2008 a.n. terdakwa Ir.
Hariadi Sadono di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat (d/a Gedung Uppindo
Jl H. Rasuna Said Kav. C No. 19 Jakarta Selatan) tanggal 15 Pebruari 2010 pukul
14.00 WIB.
[2]
Direktur Pasca Sarjana Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar