Minggu, 03 Mei 2020


UU Administrasi Pemerintahan: Kendala atau Peluang?
Oleh: W. RIAWAN TJANDRA
willyriawan@yahoo.com
Materi dalam Diskusi Panel: “Quo Vadis UU Administrasi Pemerintahan?”
(Mengurai Problematika Diskresi Pasca Lahirnya UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan)
di Program Pasca Sarjana UII, 23 April 2015

1. Menyambut Revolusi Mental Birokrasi ( ditulis kembali dari artikel penulis yang pernah dimuat di Kompas)
Menpan dan Reformasi Birokrasi, Yuddy Chrisnandy, di awal masa kerjanya sempat melakukan blusukan ke Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Pemprov DKI Jakarta di Tanah Abang.  Terdapat 41 jenis layanan dari enam bidang yang dikerjakan oleh PTSP. Semua jenis layanan tertera di layar sentuh yang menyimpan informasi. PTSP merupakan badan yang relatif baru yang berfungsi melayani warga mengurus segala macam perizinan, mulai dari Izin Mendirikan Bangunan (IMB) hingga Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP). Yudi sempat mengusulkan adanya penyederhanaan pengurusan SIUP, setelah mengamati bahwa persyaratan pengurusan SIUP yang mengharuskan warga menyediakan tak kurang dari 16 persyaratan dinilainya masih terlalu banyak dan memberatkan pengguna pelayanan.  
            Momentum reformasi birokrasi saat ini merupakan suatu keharusan (conditio sine qua non) setelah di KTT APEC Presiden Jokowi mengajak investor asing menanamkan modal di Indonesia. Presiden Jokowi dalam forum KTT APEC tersebut sempat mempromosikan Indonesia sebagai tujuan investasi utama pebisnis regional. Upaya untuk menarik minat para investor asing dalam menanamkan modalnya di Indonesia tersebut tentunya memerlukan sejumlah persyaratan, salah satu prasyarat yang terpenting adalah kemudahan perijinan melalui efektivitas dan efisiensi tatakelola birokrasi pemerintah.
            Dalam teori hukum organisasi pemerintah terdapat teori yang menyatakan bahwa perbaikan dan reformasi birokrasi merupakan suatu kegiatan yang berkesinambungan (sustainability activity) dengan didukung komitmen seorang pemimpin. Hadirnya UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan disusul UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) serta UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan  (Adpem) merupakan instrumen pokok untuk merealisasikan gagasan revolusi mental birokrasi. UU Pelayanan Publik mengatur proses dan kualitas produk pelayanan publik yang menghubungkan siklus kebutuhan rakyat terhadap kapasitas birokrasi memenuhi kebutuhan rakyat terhadap pelayanan publik. UU ASN melakukan reformasi pada level kualitas individu dan kinerja aparat birokrasi. Sedangkan UU Adpem melakukan penataan terhadap prosedur kebijakan birokrasi pemerintah yang selalu harus disandarkan pada legalitas kebijakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Dengan demikian, tak boleh ada celah terjadinya tindakan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) maupun tindakan sewenang-wenang (ultra vires) yang terjadi karena kebijakan aparat pemerintah yang melanggar prinsip-prinsip fundamental dalam UU Adpem. Keseluruhan produk hukum sebagai landasan bekerjanya sistem birokrasi pemerintah tersebut juga mengharuskan adanya Standar Operasional Prosedur (SOP) terhadap setiap kebijakan pemerintahan sektoral. Apalagi, dengan hadirnya UU No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian juga mensyaratkan eksistensi SOP baku terhadap setiap prosedur kebijakan dan pelayanan publik pemerintah.
            Hadirnya UU Adpem tersebut merupakan sebuah terobosan yang besar terhadap sistem administrasi pemerintahan di Indonesia, meskipun proses pembentukan UU tersebut memerlukan waktu tak kurang dari 10 tahun. Kini, dengan keberadaan UU Adpem tersebut dapat memperkuat sinergi administratif dalam tata kelola birokrasi pemerintahan sektoral di negeri ini, sejajar dengan eksistensi Administrative Procedure Act (APA)/Sunshine Act di AS atau Algemene Wet Bestuursrecht (AWB) di Belanda dan Verwaltungsverfahrensgezetz (VwVfG) di Jerman. UU Adpem kini harus menjadi rujukan utama para birokrat dalam melaksanakan kewenangannya dan tak lagi hanya sekadar bersandar pada UU sektoral saja, yang selama ini telah terbukti justru memicu terjadinya sekat-sekat sektoralisme. Dalam teori hukum administrasi negara, UU Adpem tersebut bagi para birokrat menjadi norma fundamental yang menjadi urat nadi pelaksanaan kewenangan administratif yang dimilikinya. Bagi para hakim di PTUN, UU Adpem mengisi kekurangan norma sebagai dasar-dasar pengujian (toetsingsgronden) terhadap legalitas tindakan administratif. Sedangkan bagi rakyat, UU Adpem bisa digunakan sebagai parameter untuk menilai kelayakan tindakan administratif yang dilakukan para pejabat administrasi negara. Dalam sebuah negara yang bertipologi negara kesejahteraan (welfare state), hampir seluruh sisi kehidupan rakyat selalu bersentuhan dengan kebijakan pemerintah, from the cradle to the grave. Di sinilah arti penting sebuah revolusi mental birokrasi.

2. Implikasi Pengesahan RUU Administrasi Pemerintahan
Disahkannya RUU Administrasi Pemerintahan menjadi Undang-Undang oleh DPR RI pada tanngal 17 Oktober 2014 lalu, nyaris luput dari perhatian publik. Perhatian publik lebih banyak terserap pada diskursus pengesahan RUU Pilkada menjadi Undang-Undang. Pengesahan RUU Administrasi Pemerintahan menjadi Undang-Undang akan menjadikan siatem birokrasi pemerintah lebih efektif dan efisien sehingga akan menyempurnakan keberhasilan reformasi birokrasi. Bahkan, di Jerrman berkat UU Administrasi Pemerintahan Jerman, birokrasi pemerintah memiliki imunitas terhadap tekanan-tekanan politik dari parlemen maupun pejabat politik yang menduduki pucuk pimpinan eksekutif di Pusat maupun Daerah. Hal itu menyebabkan kekuatan birokrasi pemerintah di Jerman sering disebut sebagai "pilar keempat" trias politica Jerman, di samping kuasa legislatif, eksekutif dan yudikatif.
       UU administrasi pemerintahan akan menyempurnakan sistem hukum administrasi negara di Indonesia, karena selama ini Indonesia hanya memiliki hukum acara formal berupa UU Peradilan Tata Usaha Negara (UU No. 5 Tahun 1986 jis UU No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009). Belum adanya hukum administrasi negara materiil seperti Algemene Wet Bestuursrecht di Belanda atau Administrative Procedure Act di Amerika Serikat, menyebabkan pengembangan huikum adminstrasi negara di Indonesia hanya bertumpu pada UU sektoral yang justru berujung pada kian lebatnya "belantara birokrasi" Indonesia karena kuatnya sektoralisme kebijakan yang miskin harmonisasi dan defisit sinergi. Akibatnya, seringkali terjadi benturan antar kepentingan sektoral dan berimpitnya tugas pokok dan fungsi antar lini sektoral. Keberadaan UU Pelayanan Publik yang menginisiasi sistem pelayanan satu atap tak mampu membangun secara sempurna sinergi dan harmonisasi kebijakan, karena lebih berfokus pada produk pelayanan birokrasi. UU Administrasi Pemerintahan berupaya memperbaiki tata klola birokrasi sejak dari hulu hingga ke hilir kebijakan. Di sisi lain penyemaian asas-asas umum pemerintahan yang baik (the principles of good administration) dalam UU Administrasi pemerintahan akan mendorong terwujudnya kualitas administrasi pemerintahan yang semakin cermat, berhati-hati dan berorientasi pada pelayanan publik. Model kebijakan yang tertutup dan abai terhadap hak-hak rakyat akan dikikis oleh sistem administrasi pemerintahan yang dilaksanakan secara transparan, akuntabel dan partisipatif.
       Tujuan UU Administrasi Pemerintahan tersebut terdiri atas: a. menciptakan tertib penyelenggaraan administrasi pemerintahan; b. menciptakan kepastian hukum; c. mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang; d. menjamin akuntabilitas Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan; e. memberikan perlindungan hukum kepada warga masyarakat dan aparatur pemerintahan; f. melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik; dan g. memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat.
       Ruang lingkup pengaturan administrasi pemerintahan dalam UU Administrasi Penerintahan meliputi semua aktivitas Badan atau Pejabat Pemerintahan yang menyelenggarakan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah yang berbentuk Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintah berdasarkan wewenang pemerintahan dan akibat hukum yang ditimbulkan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Pengaturan Administrasi Pemerintahan dalam UU yang baru saja disahkan oleh DPR tersebut mencakup beberapa isu krusial dalam hukum administrasi negara yaitu: asas-asas umum pemerintahan yang baik, kewenangan pemerintahan, diskresi, larangan penyalahgunaan wewenang, penyelenggaraan administrasi pemerintahan, prosedur administrasi pemerintahan, Keputusan, upaya administratif, ganti rugi, pembinaan dan pengembangan administrasi pemerintahan, dan sanksi administratif. Dengan demikian tak ada lagi wilayah administrasi pemerintahan yang luput dibidik oleh UU Administrasi Pemerintahan. Hal itu dapat menghindarkan pejabat pemerintah dari tindakan yang sewrnang-wenang (willekeurig) atau menyalahgunakan wewenang (misbruik van het recht). UU administrasi Pemerintahan menegaskan bahwa penyelenggaraan administrasi pemerintahan harus berasaskan: a. Asas legalitas; b. Asas perlindungan terhadap hak asasi manusia; dan c. Asas-asas umum pemerintahan yang baik. Hal itu semakin mendekatkan rakyat terhadap pemenuhan keadilan administratif (administrative justice) dan sekaligus menegaskan kedudukan hak administratif rakyat sebagai salah satu bagian dari hak asasi yang wajib diproteksi oleh pemerintah. Oleh karena itu, UU Administrasi Pemerintahan juga menegaskan bahwa setiap Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintah wajib didasarkan atas peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
       Peraturan perundang-undangan yang harus digunakan sebagai landasan keputusan pejabat pemerintah tersebut meliputi: a. peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar wewenang; dan b. peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan. Asas-asas umum pemerintahan yang baik yang dimaksud dalam UU Administrasi Pemerintahan tersebut meliputi: a. Asas kepastian hukum; b. Asas keseimbangan; c. Asas ketidakberpihakan; d. Asas kecermatan; e. Asas tidak menyalahgunakan kewenangan; f. Asas keterbukaan; dan g. Asas kepentingan umum.  Keharusan bagi pejabat pemerintah dalam menerbitkan keputusan untuk selalu bersandar pada norma hukum tertulis berupa peraturan perundang-undangan dan norma hukum tak tertulis berupa asas-asas umum pemerintahan yang baik akan mendorong pejabat pemerintah untuk menegakkan supremasi hukum dan perlindungan hak-hak rakyat. Namun, pejabat pemerintah juga diberikan ruang diskresi dalam melaksanakan kewenangannya guna mengatasi situasi faktual yang bersifat mendesak untuk segera diambil keputusan dalam rangka menyelesaikan problem-problem sosial, Dengan demikian, pejabat pemerintah tetap diberikan kebebasan dalam bertindak jika kepentingan umum mengharuskan untuk diambilnya sebuah kebijakan diskresi. UU Administrasi Pemerintahan membatasi agar setiap penggunaan diskresi Pejabat Pemerintahan hanya ditujukan untuk: a. kelancaran penyelenggaraan pemerintahan;  b. mengisi kekosongan hukum; c. memberikan kepastian hukum; dan d. mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Guna mencegah kesewenang-wenangan yang diberikan selubung diskresi. UU Administrasi Pemerintahan mengatur secara teliti tipologi diskresi yang diperbolehkan untuk dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan yang meliputi: a. pengambilan Keputusan atau Tindakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan Keputusan dan/atau Tindakan; b. pengambilan Keputusan atau Tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak ada;  c. pengambilan Keputusan atau Tindakan karena peraturan perundangundangan tidak jelas; dan d. pengambilan Keputusan atau Tindakan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas. Selain itu, UU Administrasi Pemerintahan juga mengatur limitasi secara ketat dalam penggunaan wewenang diskresi. Pejabat Pemerintahan yang menggunakan diskresi wajib memperhatikan: a. tujuan diskresi; b. ketentuan peraturan perundang-undangan; c. asas-asas umum pemerintahan yang baik; d. berdasarkan alasan-alasan yang obyektif; e. tidak menimbulkan konflik kepentingan; dan f. dilakukan dengan itikad baik
       Dengan tegas, UU Administrasi Pemerintahan mengatur bahwa Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan wewenang. Larangan penyalahgunaan wewenang tersebut meliputi: a. larangan melampaui wewenang; b. larangan mencampuradukkan wewenang; dan/atau c. larangan bertindak sewenang-wenang. Ketatnya pengaturan mengenai substansi dan prosedur penggunaan wewenang bagi badan atau pejabat pemerintah tersebut dapat mendorong terwujudnya birokrasi pemerintah yang profesional dan berorientasi terhadap pelayanan serta perlindungan hak-hak rakyat. Rakyat tak boleh lagi menjadi korban birokrasi pemerintah yang sejatinya justru dibentuk untuk melayani rakyat, sang pemilik kedaulatan dalam negara.
      
3. Mengembalikan Ruh UU Administrasi Pemerintahan (artikel ini pernah dimuat di Kompas)
Pasca lahirnya UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Adpem) sangat besar harapan publik terhadap lahirnya budaya administrasi baru di kalangan para pejabat administrasi pemerintahan. UU Adpem dalam telaah hukum administrasi negara telah mengisi ruang kosong hukum administrasi materiil umum alias non-sektoral yang belum pernah dimiliki selama puluhan tahun sejak negeri ini merdeka. Selama ini, praktik birokrasi administrasi pemerintahan lebih banyak bersandar pada UU Administrasi Sektoral yang tumbuh dan berkembang mengikuti skema kebutuhan "pasar pelayanan administrasi". Akibatnya, telah dikenal luas bahwa negeri ini telah menjelma menjadi belantara administrasi sektoral yang tak jarang bersifat tumpang tindih atau justru bersifat antinomi antara satu sektor dengan sektor yang lain.
       Keberadaan menteri koordinator yang selalu muncul dengan jumlah bervariasi pada setiap rezim pemerintahan hanya memiliki kesahihan untuk melakukan koordinasi pada aras pejabat dan pada permukaan kebijakan yang disusun oleh berbagai kewenangan sektoral. Namun, tak tuntas dalam mengonstruksi sinkronisasi dan koordinasi pada level substansi kebijakan dan implementasinya. Akibatnya, eksekusi kebijakan yang sudah dibuat tak jarang berbenturan satu dengan yang lain. Maka, UU Adpem mengkonsiderasikan bahwa kehadiran UU tersebut dimaksudkan untuk menyelesaikan permasalahan dalam penyelenggararan pemerintahan.
       Meskipun kehadiran UU Adpem diyakini berkontribusi positif dalam meningkatkan kualitas penyelenggaraan administrasi pemerintahan untuk melengkapi UU Peradilan Tata Usaha Negara sebagai hukum formilnya, namun, ternyata UU tersebut juga memaknai administrasi pemerintahan sekadar sebagai tata laksana dalam pengambilan keputusan dan/atau tindakan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan. Secara paradigmatik. Padahal, mekanisme pengambilan keputusan dan/atau tindakan administrasi pemerintahan tak hanya sekadar melibatkan para pejabat administrasi pemerintahan yang bekerja berdasarkan sistem karier, namun yang justru sangat berperan di dalamnya adalah para pejabat politik baik itu Menteri, Gubernur, Bupati atau Walikota. UU Adpem belum membidik secara serius perlunya pengaturan mengenai larangan bagi pejabat-pejabat yang dipilih dan diangkat melalui proses politik (political appointee) untuk mengintervensi proses administrasi pemerintahan yang dijalankan oleh para pejabat administrasi pemerintahan.   
       Keunggulan sistem administrasi pemerintahan di Jerman yang sempat menjadi negara rujukan dalam proses pembuatan UU Adpem adalah imunitas para pejabat administrasi pemerintahan (Bureaucratic sublation) dalam melaksanakan otoritas administratif dari pengaruh/tekanan eksternal di luar sistem administrasi/birokrasi pemerintah. Sehingga, di Jerman administrasi pemerintahan ditempatkan sebagai pilar keempat pembagian kekuasaan negara di samping legislatif, eksekutif dan yudikatif. Tak satupun pasal dalam UU Adpem yang secara tegas mengatur prinsip imunitas administratur pemerintahan dalam melaksakan fungsi pemerintahan. Di titik inilah sejatinya UU Adpem hanya akan sibuk berkutat di ranah kewenangan administratif dan gagal melaksanakan perlindungan hukum bagi para administratur tersebut terhadap pengaruh/tekanan eksternal yang selama ini tak jarang menyeret para birokrat dalam pusaran politik transaksional, baik di ranah perebutan jabatan publik maupun eksekusi kebijakan administratif.
       Ruh UU Adpem sejatinya adalah merekatkan kembali kedudukan administrasi negara sebagai pelayan masyarakat yang merupakan kodrat administrasi negara. Maka, konteks pelaksanaan UU Adpem tak boleh dilepaskan dari konsep dasarnya untuk menopang fungsi administrasi pemerintahan yang dalam bahasa Latin dikenal sebagai administrare, yaitu pelayan dan abdi masyarakat


Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...