UU Administrasi Pemerintahan: Kendala atau Peluang?
Oleh: W. RIAWAN TJANDRA
willyriawan@yahoo.com
Materi
dalam Diskusi Panel: “Quo Vadis UU Administrasi Pemerintahan?”
(Mengurai
Problematika Diskresi Pasca Lahirnya UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi
Pemerintahan)
di Program
Pasca Sarjana UII, 23 April 2015
1. Menyambut Revolusi Mental Birokrasi (
ditulis kembali dari artikel penulis yang pernah dimuat di Kompas)
Menpan dan
Reformasi Birokrasi, Yuddy Chrisnandy, di awal masa kerjanya sempat melakukan blusukan ke Kantor Pelayanan
Terpadu Satu Pintu (PTSP) Pemprov DKI Jakarta di Tanah Abang. Terdapat 41 jenis layanan dari enam
bidang yang dikerjakan oleh PTSP. Semua jenis layanan tertera di layar sentuh
yang menyimpan informasi. PTSP merupakan badan yang relatif baru yang berfungsi
melayani warga mengurus segala macam perizinan, mulai dari Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) hingga Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP). Yudi sempat
mengusulkan adanya penyederhanaan pengurusan SIUP, setelah mengamati bahwa persyaratan
pengurusan SIUP yang mengharuskan warga menyediakan tak kurang dari 16
persyaratan dinilainya masih terlalu banyak dan memberatkan pengguna pelayanan.
Momentum reformasi birokrasi saat
ini merupakan suatu keharusan (conditio
sine qua non) setelah di KTT APEC Presiden Jokowi mengajak investor
asing menanamkan modal di Indonesia. Presiden Jokowi dalam forum KTT APEC
tersebut sempat mempromosikan Indonesia sebagai tujuan investasi utama pebisnis
regional. Upaya untuk menarik minat para investor asing dalam menanamkan
modalnya di Indonesia tersebut tentunya memerlukan sejumlah persyaratan, salah
satu prasyarat yang terpenting adalah kemudahan perijinan melalui efektivitas
dan efisiensi tatakelola birokrasi pemerintah.
Dalam teori hukum organisasi pemerintah
terdapat teori yang menyatakan bahwa perbaikan dan reformasi birokrasi
merupakan suatu kegiatan yang berkesinambungan (sustainability activity) dengan didukung komitmen seorang pemimpin.
Hadirnya UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan disusul UU No. 5
Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) serta UU No. 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan
(Adpem) merupakan instrumen pokok untuk merealisasikan gagasan revolusi
mental birokrasi. UU Pelayanan Publik mengatur proses dan kualitas produk
pelayanan publik yang menghubungkan siklus kebutuhan rakyat terhadap kapasitas
birokrasi memenuhi kebutuhan rakyat terhadap pelayanan publik. UU ASN melakukan
reformasi pada level kualitas individu dan kinerja aparat birokrasi. Sedangkan
UU Adpem melakukan penataan terhadap prosedur kebijakan birokrasi pemerintah
yang selalu harus disandarkan pada legalitas kebijakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik
(AUPB). Dengan demikian, tak boleh ada celah terjadinya tindakan penyalahgunaan
wewenang (abuse of power) maupun
tindakan sewenang-wenang (ultra vires)
yang terjadi karena kebijakan aparat pemerintah yang melanggar prinsip-prinsip
fundamental dalam UU Adpem. Keseluruhan produk hukum sebagai landasan
bekerjanya sistem birokrasi pemerintah tersebut juga mengharuskan adanya
Standar Operasional Prosedur (SOP) terhadap setiap kebijakan pemerintahan
sektoral. Apalagi, dengan hadirnya UU No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi
dan Penilaian Kesesuaian juga mensyaratkan eksistensi SOP baku terhadap setiap
prosedur kebijakan dan pelayanan publik pemerintah.
Hadirnya UU Adpem tersebut merupakan
sebuah terobosan yang besar terhadap sistem administrasi pemerintahan di
Indonesia, meskipun proses pembentukan UU tersebut memerlukan waktu tak kurang
dari 10 tahun. Kini, dengan keberadaan UU Adpem tersebut dapat memperkuat sinergi administratif
dalam tata kelola birokrasi pemerintahan sektoral di negeri ini, sejajar dengan
eksistensi Administrative Procedure
Act (APA)/Sunshine Act di AS atau Algemene Wet Bestuursrecht (AWB) di Belanda dan Verwaltungsverfahrensgezetz (VwVfG) di Jerman. UU Adpem kini harus menjadi
rujukan utama para birokrat dalam melaksanakan kewenangannya dan tak lagi hanya
sekadar bersandar pada UU sektoral saja, yang selama ini telah terbukti justru
memicu terjadinya sekat-sekat sektoralisme. Dalam teori hukum administrasi
negara, UU Adpem tersebut bagi para birokrat menjadi norma fundamental yang
menjadi urat nadi pelaksanaan kewenangan administratif yang dimilikinya. Bagi
para hakim di PTUN, UU Adpem mengisi kekurangan norma sebagai dasar-dasar
pengujian (toetsingsgronden) terhadap
legalitas tindakan administratif. Sedangkan bagi rakyat, UU Adpem bisa
digunakan sebagai parameter untuk menilai kelayakan tindakan administratif yang
dilakukan para pejabat administrasi negara. Dalam sebuah negara yang
bertipologi negara kesejahteraan (welfare
state), hampir seluruh sisi kehidupan rakyat selalu bersentuhan dengan
kebijakan pemerintah, from the cradle to
the grave. Di sinilah arti penting sebuah revolusi mental birokrasi.
2. Implikasi Pengesahan RUU Administrasi
Pemerintahan
Disahkannya RUU
Administrasi Pemerintahan menjadi Undang-Undang oleh DPR RI pada tanngal 17 Oktober
2014 lalu, nyaris luput dari perhatian publik. Perhatian publik lebih banyak
terserap pada diskursus pengesahan RUU Pilkada menjadi Undang-Undang.
Pengesahan RUU Administrasi Pemerintahan menjadi Undang-Undang akan menjadikan
siatem birokrasi pemerintah lebih efektif dan efisien sehingga akan
menyempurnakan keberhasilan reformasi birokrasi. Bahkan, di Jerrman berkat UU
Administrasi Pemerintahan Jerman, birokrasi pemerintah memiliki imunitas
terhadap tekanan-tekanan politik dari parlemen maupun pejabat politik yang
menduduki pucuk pimpinan eksekutif di Pusat maupun Daerah. Hal itu menyebabkan
kekuatan birokrasi pemerintah di Jerman sering disebut sebagai "pilar
keempat" trias politica Jerman, di samping kuasa legislatif, eksekutif dan
yudikatif.
UU administrasi pemerintahan akan
menyempurnakan sistem hukum administrasi negara di Indonesia, karena selama ini
Indonesia hanya memiliki hukum acara formal berupa UU Peradilan Tata Usaha
Negara (UU No. 5 Tahun 1986 jis UU No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009).
Belum adanya hukum administrasi negara materiil seperti Algemene Wet
Bestuursrecht di Belanda atau Administrative Procedure Act di Amerika Serikat,
menyebabkan pengembangan huikum adminstrasi negara di Indonesia hanya bertumpu
pada UU sektoral yang justru berujung pada kian lebatnya "belantara
birokrasi" Indonesia karena kuatnya sektoralisme kebijakan yang miskin
harmonisasi dan defisit sinergi. Akibatnya, seringkali terjadi benturan antar
kepentingan sektoral dan berimpitnya tugas pokok dan fungsi antar lini
sektoral. Keberadaan UU Pelayanan Publik yang menginisiasi sistem pelayanan
satu atap tak mampu membangun secara sempurna sinergi dan harmonisasi
kebijakan, karena lebih berfokus pada produk pelayanan birokrasi. UU
Administrasi Pemerintahan berupaya memperbaiki tata klola birokrasi sejak dari
hulu hingga ke hilir kebijakan. Di sisi lain penyemaian asas-asas umum
pemerintahan yang baik (the principles of good administration) dalam UU
Administrasi pemerintahan akan mendorong terwujudnya kualitas administrasi
pemerintahan yang semakin cermat, berhati-hati dan berorientasi pada pelayanan
publik. Model kebijakan yang tertutup dan abai terhadap hak-hak rakyat akan
dikikis oleh sistem administrasi pemerintahan yang dilaksanakan secara
transparan, akuntabel dan partisipatif.
Tujuan UU Administrasi Pemerintahan
tersebut terdiri atas: a. menciptakan tertib penyelenggaraan administrasi
pemerintahan; b. menciptakan kepastian hukum; c. mencegah terjadinya
penyalahgunaan wewenang; d. menjamin akuntabilitas Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan; e. memberikan perlindungan hukum kepada warga masyarakat dan
aparatur pemerintahan; f. melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
dan menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik; dan g. memberikan
pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat.
Ruang lingkup pengaturan administrasi
pemerintahan dalam UU Administrasi Penerintahan meliputi semua aktivitas Badan
atau Pejabat Pemerintahan yang menyelenggarakan pemerintahan baik di pusat
maupun di daerah yang berbentuk Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat
Pemerintah berdasarkan wewenang pemerintahan dan akibat hukum yang ditimbulkan
dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Pengaturan Administrasi Pemerintahan
dalam UU yang baru saja disahkan oleh DPR tersebut mencakup beberapa isu
krusial dalam hukum administrasi negara yaitu: asas-asas umum pemerintahan yang
baik, kewenangan pemerintahan, diskresi, larangan penyalahgunaan wewenang,
penyelenggaraan administrasi pemerintahan, prosedur administrasi pemerintahan,
Keputusan, upaya administratif, ganti rugi, pembinaan dan pengembangan
administrasi pemerintahan, dan sanksi administratif. Dengan demikian tak ada
lagi wilayah administrasi pemerintahan yang luput dibidik oleh UU Administrasi
Pemerintahan. Hal itu dapat menghindarkan pejabat pemerintah dari tindakan yang
sewrnang-wenang (willekeurig) atau menyalahgunakan wewenang (misbruik van het
recht). UU administrasi Pemerintahan menegaskan bahwa penyelenggaraan
administrasi pemerintahan harus berasaskan: a. Asas legalitas; b. Asas
perlindungan terhadap hak asasi manusia; dan c. Asas-asas umum pemerintahan
yang baik. Hal itu semakin mendekatkan rakyat terhadap pemenuhan keadilan
administratif (administrative justice)
dan sekaligus menegaskan kedudukan hak administratif rakyat sebagai salah satu
bagian dari hak asasi yang wajib diproteksi oleh pemerintah. Oleh karena itu,
UU Administrasi Pemerintahan juga menegaskan bahwa setiap Keputusan dan/atau
Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintah wajib didasarkan atas peraturan perundang-undangan
dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Peraturan perundang-undangan yang harus
digunakan sebagai landasan keputusan pejabat pemerintah tersebut meliputi: a.
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar wewenang; dan b. peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan.
Asas-asas umum pemerintahan yang baik yang dimaksud dalam UU Administrasi
Pemerintahan tersebut meliputi: a. Asas kepastian hukum; b. Asas keseimbangan;
c. Asas ketidakberpihakan; d. Asas kecermatan; e. Asas tidak menyalahgunakan
kewenangan; f. Asas keterbukaan; dan g. Asas kepentingan umum. Keharusan bagi pejabat pemerintah dalam
menerbitkan keputusan untuk selalu bersandar pada norma hukum tertulis berupa
peraturan perundang-undangan dan norma hukum tak tertulis berupa asas-asas umum
pemerintahan yang baik akan mendorong pejabat pemerintah untuk menegakkan
supremasi hukum dan perlindungan hak-hak rakyat. Namun, pejabat pemerintah juga
diberikan ruang diskresi dalam melaksanakan kewenangannya guna mengatasi
situasi faktual yang bersifat mendesak untuk segera diambil keputusan dalam
rangka menyelesaikan problem-problem sosial, Dengan demikian, pejabat
pemerintah tetap diberikan kebebasan dalam bertindak jika kepentingan umum mengharuskan
untuk diambilnya sebuah kebijakan diskresi. UU Administrasi Pemerintahan
membatasi agar setiap penggunaan diskresi Pejabat Pemerintahan hanya ditujukan
untuk: a. kelancaran penyelenggaraan pemerintahan; b. mengisi kekosongan hukum; c. memberikan
kepastian hukum; dan d. mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu
guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Guna mencegah kesewenang-wenangan yang
diberikan selubung diskresi. UU Administrasi Pemerintahan mengatur secara
teliti tipologi diskresi yang diperbolehkan untuk dilakukan oleh Pejabat
Pemerintahan yang meliputi: a. pengambilan Keputusan atau Tindakan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan Keputusan dan/atau
Tindakan; b. pengambilan Keputusan atau Tindakan karena peraturan
perundang-undangan tidak ada; c.
pengambilan Keputusan atau Tindakan karena peraturan perundangundangan tidak
jelas; dan d. pengambilan Keputusan atau Tindakan karena adanya stagnasi
pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas. Selain itu, UU Administrasi
Pemerintahan juga mengatur limitasi secara ketat dalam penggunaan wewenang
diskresi. Pejabat Pemerintahan yang menggunakan diskresi wajib memperhatikan:
a. tujuan diskresi; b. ketentuan peraturan perundang-undangan; c. asas-asas
umum pemerintahan yang baik; d. berdasarkan alasan-alasan yang obyektif; e.
tidak menimbulkan konflik kepentingan; dan f. dilakukan dengan itikad baik
Dengan tegas, UU Administrasi
Pemerintahan mengatur bahwa Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan
wewenang. Larangan penyalahgunaan wewenang tersebut meliputi: a. larangan
melampaui wewenang; b. larangan mencampuradukkan wewenang; dan/atau c. larangan
bertindak sewenang-wenang. Ketatnya pengaturan mengenai substansi dan prosedur
penggunaan wewenang bagi badan atau pejabat pemerintah tersebut dapat mendorong
terwujudnya birokrasi pemerintah yang profesional dan berorientasi terhadap
pelayanan serta perlindungan hak-hak rakyat. Rakyat tak boleh lagi menjadi
korban birokrasi pemerintah yang sejatinya justru dibentuk untuk melayani
rakyat, sang pemilik kedaulatan dalam negara.
3. Mengembalikan Ruh UU Administrasi
Pemerintahan (artikel ini pernah dimuat di Kompas)
Pasca lahirnya UU
No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Adpem) sangat besar
harapan publik terhadap lahirnya budaya administrasi baru di kalangan para
pejabat administrasi pemerintahan. UU Adpem dalam telaah hukum administrasi
negara telah mengisi ruang kosong hukum administrasi materiil umum alias
non-sektoral yang belum pernah dimiliki selama puluhan tahun sejak negeri ini
merdeka. Selama ini, praktik birokrasi administrasi pemerintahan lebih banyak
bersandar pada UU Administrasi Sektoral yang tumbuh dan berkembang mengikuti
skema kebutuhan "pasar pelayanan administrasi". Akibatnya, telah
dikenal luas bahwa negeri ini telah menjelma menjadi belantara administrasi
sektoral yang tak jarang bersifat tumpang tindih atau justru bersifat antinomi
antara satu sektor dengan sektor yang lain.
Keberadaan menteri koordinator yang selalu
muncul dengan jumlah bervariasi pada setiap rezim pemerintahan hanya memiliki
kesahihan untuk melakukan koordinasi pada aras pejabat dan pada permukaan
kebijakan yang disusun oleh berbagai kewenangan sektoral. Namun, tak tuntas dalam
mengonstruksi sinkronisasi dan koordinasi pada level substansi kebijakan dan
implementasinya. Akibatnya, eksekusi kebijakan yang sudah dibuat tak jarang
berbenturan satu dengan yang lain. Maka, UU Adpem mengkonsiderasikan bahwa
kehadiran UU tersebut dimaksudkan untuk menyelesaikan permasalahan dalam
penyelenggararan pemerintahan.
Meskipun kehadiran UU Adpem diyakini
berkontribusi positif dalam meningkatkan kualitas penyelenggaraan administrasi
pemerintahan untuk melengkapi UU Peradilan Tata Usaha Negara sebagai hukum
formilnya, namun, ternyata UU tersebut juga memaknai administrasi pemerintahan
sekadar sebagai tata laksana dalam pengambilan keputusan dan/atau tindakan oleh
badan dan/atau pejabat pemerintahan. Secara paradigmatik. Padahal, mekanisme
pengambilan keputusan dan/atau tindakan administrasi pemerintahan tak hanya
sekadar melibatkan para pejabat administrasi pemerintahan yang bekerja
berdasarkan sistem karier, namun yang justru sangat berperan di dalamnya adalah
para pejabat politik baik itu Menteri, Gubernur, Bupati atau Walikota. UU Adpem
belum membidik secara serius perlunya pengaturan mengenai larangan bagi
pejabat-pejabat yang dipilih dan diangkat melalui proses politik (political
appointee) untuk mengintervensi proses administrasi pemerintahan yang
dijalankan oleh para pejabat administrasi pemerintahan.
Keunggulan sistem administrasi pemerintahan di
Jerman yang sempat menjadi negara rujukan dalam proses pembuatan UU Adpem
adalah imunitas para pejabat administrasi pemerintahan (Bureaucratic sublation)
dalam melaksanakan otoritas administratif dari pengaruh/tekanan eksternal di
luar sistem administrasi/birokrasi pemerintah. Sehingga, di Jerman administrasi
pemerintahan ditempatkan sebagai pilar keempat pembagian kekuasaan negara di
samping legislatif, eksekutif dan yudikatif. Tak satupun pasal dalam UU Adpem
yang secara tegas mengatur prinsip imunitas administratur pemerintahan dalam
melaksakan fungsi pemerintahan. Di titik inilah sejatinya UU Adpem hanya akan
sibuk berkutat di ranah kewenangan administratif dan gagal melaksanakan
perlindungan hukum bagi para administratur tersebut terhadap pengaruh/tekanan
eksternal yang selama ini tak jarang menyeret para birokrat dalam pusaran
politik transaksional, baik di ranah perebutan jabatan publik maupun eksekusi
kebijakan administratif.
Ruh UU Adpem sejatinya adalah merekatkan
kembali kedudukan administrasi negara sebagai pelayan masyarakat yang merupakan
kodrat administrasi negara. Maka, konteks pelaksanaan UU Adpem tak boleh dilepaskan
dari konsep dasarnya untuk menopang fungsi administrasi pemerintahan yang dalam
bahasa Latin dikenal sebagai administrare, yaitu pelayan dan abdi masyarakat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar