Menakar
Efektivitas Kebijakan Penal dalam Pemilu
Oleh: DR. W. RIAWAN TJANDRA
Pengamat
filsafat hukum dan mengajar di FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Pemilu 2014 diperkirakan akan
berjalan cukup seru dan kompetisi antarpartai maupun koalisi partai akan
berjalan dengan sangat alot Hal itu disebabkan hingga saat ini elektablitas
partai-partai yang akan berkontestasi dalam pemilu masih relatif berimbang
mengingat daya pembeda ideologis antarpartai semakin relatif. Selain itu,
publik pada umumnya belum memiliki preferensi terhadap partai tertentu yang
dinilai mampu membangun citra positif selama menjalankan mandat dari rakyat
semasa menduduki jabatan di legislatif. Partai-partai tertentu bahkan kini
mulai kehilangan elite politik yang mampu dijadikan maskot untuk mendulang
suara dalam pemilu. Jika dikaitkan dengan pilpres 2014, hingga saat ini
berdasarkan survei-survei yang pernah dilaksanakan juga terlihat bahwa
elektabilitas para tokoh yang dinominasikan untuk dicalonkan menjadi kandidat
capres relatif berimbang.
Pemilu tahun 2014 merupakan pemilu
yang akan sangat menentukan kelanjutan proses transformasi demokrasi di negeri
ini untuk menuju fase konsolidasi demokrasi, setelah negeri ini melalui
berbagai krisis di era transisi demokrasi. Berkaca pada pengalaman
penyelenggaraan pemilu-pemilu sebelumnya, menjelang maupun pada saat pemilu
dengan sistem demokrasi langsung dilaksanakan tak jarang dijumpai berbagai
praktik kampanye yang dilaksanakan dengan melanggar etika maupun norma hukum
pemilu. Pelanggaran itu pada umumnya dilakukan dalam berbagai modus, antara
lain: black campaign, politik uang (money politics), penggelembungan Daftar
Pemilih Tetap, tindakan yang menyebabkan orang lain kehilangan hak pilih, perusakan
fasilitas publik/pemilu, pemalsuan dokumen/surat, kampanye terselubung/di luar
jadwal, kecurangan dalam penghitungan suara, dan pelanggaran netralitas dalam
pemilu yang dilakukan oleh pejabat publik. Dalam skala lokal (Pemilukada),
kasus dugaan money politics yang oleh
kubu Rike-Teten dituduhkan kepada kubu Aher merupakan sebuah test case untuk menakar sejauh mana
kebijakan penal mampu menjadi solusi terhadap terjadinya dugaan tindak pidana
Pemilu.
Penerapan kebijakan penal maupun non
penal melalui kriminalisasi atau dekriminalisasi aktivitas yang berkaitan
dengan penyelenggaraan pemilu menurut Cherif Bassiouni (1978) perlu didasarkan
atas beberapa pertimbangan, diantaranya: keseimbangan dari sarana-sarana yang
dipergunakan dengan hasil yang ingin dicapai dan pengaruh sosial (social impact) dari kebijakan krimininalisasi
atau dekriminalisasi tersebut.
UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu
Anggota DPR, DPD DPRD mengonstruksikan
kebijakan penal (penal policy)
terkait dengan pemilu dalam cukup banyak ketentuan, yaitu diatur pada Pasal 273
sampai dengan Pasal 321 yang meliputi kualifikasi tindak pidana pelanggaran dan
kejahatan pemilu. Mencermati pelaksanaan kebijakan penal pada pemilu 2009,
terlihat bahwa penegakan norma hukum pidana yang terkait dengan praktik politik
uang (money politics) tidak mudah
dilaksanakan. Kini dalam UU No. 8 Tahun 2012 upaya untuk mengkriminalisasi
praktik money politics sebagai salah
satu jenis tindak pidana kejahatan dalam pemilu diatur dalam Pasal 297 dengan
menggunakan pola formulasi ketentuan pidana kumulatif, yaitu dengan mengatur
ancaman pidana penjara maksimal 3 (tiga) tahun dan denda maksimal Rp. 36 juta.
Namun, seberapa besar derajat efektivitas ketentuan anti money politics tersebut sangat tergantung pada banyak faktor,
seperti: kemampuan Bawaslu dalam mendeteksi terjadinya kejahatan tersebut,
tingkat kesadaran masyarakat mengenai perlunya pemilu bersih, perilaku politik
para kontestan dan kemampuan kebijakan penal yang dilegislasi dalam UU Pemilu tersebut
dalam menimbulkan efek takut bagi publik atau calon kontestan untuk melakukan
kejahatan tersebut. Di masa lalu, bahkan relatif sangat sulit untuk menerapkan
kriminalisasi terhadap kejahatan money
politics tersebut, karena ternyata secara sosiologis telah kejahatan pemilu
tersebut seakan-akan telah mengalami dekriminalisasi melalui berbagai hal,
diantaranya: jarang ada yang ma(mp)u menjadi whistle blower, rendahnya kesadaran publik maupun para aktor
politik yang berkontestasi mengenai urgensi membangun pemilu yang fairness, bersih dan akuntabel, serta keterbatasan
kapasitas institusi-institusi pengawas pemilu maupun penegak hukum dalam
memantau terjadinya kejahatan pemilu tersebut. Padahal, hal itulah yang
sebenarnya akar masalah dari terjadinya sistem demokrasi yang berbiaya tinggi (high cost democracy) dan mendorong
berbagai praktik korupsi politik yang kini telah menyandera banyak elite
politik maupun partai politik.
Terjadinya praktik saling menyandera
antarelite politik saat ini melalui berbagai kasus hukum yang membelit di
berbagai partai politik bisa berlanjut pada terjadinya revalitas yang tajam antarkontestan
pada saat pemilu 2014. Banalitas politik yang terjadi karena kekerasan semotik
dan simbolik dalam rivalitas maupun kontestasi politik akan mendekonstruksi
kualitas perpolitikan di negeri ini. Kebijakan non penal dalam bentuk upaya
penguatan institusi-insitusi yang berperan sebagai penyelenggara maupun
pengawas pemilu akan mendukung efektivitas penerapan kebijakan penal dalam
pemilu. Genealogi politik yang selama ini dibangun di atas kepentingan
semata-mata atas nama kontestasi yang tak jarang ditopang oleh berbagai praktik
curang dalam pemilu telah menyebabkan terjadinya minimalisme politik dan
absurditas dalam perpolitikan.
Pemilu seharusnya mampu menjadi
arena untuk menyeleksi secara seksama para calon anggota legislatif yang akan
menjalankan mandat representatif untuk menyuarakan berbagai kebutuhan dan
tuntutan riil konstituen dalam kerangka demokrasi deliberatif serta sekaligus
mensinergikan berbagai agenda kebijakan publik dengan kehendak publik. Namun,
pemilu yang dilaksanakan dengan mengeliminasi fairness, transparansi dan akuntablitas sebenarnya merupakan pintu
masuk bagi terulangnya apa yang disebut Pierre Bourdieu dengan kekerasan
simbolik melalui perilaku politik para wakil di lembaga legislatif yang abai,
tak amanah dan mengkhianati kepercayaan para pemilihnya. Pemilu 2014 harus
mampu membangun (kembali) harapan rakyat akan masa depan negeri ini yang lebih
baik. Tak seharusnya, nasib rakyat pemilih hanya berakhir dalam kotak-kotak
suara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar