Minggu, 03 Mei 2020


Menakar Efektivitas Kebijakan Penal dalam Pemilu
Oleh: DR. W. RIAWAN TJANDRA
Pengamat filsafat hukum dan mengajar di FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta

            Pemilu 2014 diperkirakan akan berjalan cukup seru dan kompetisi antarpartai maupun koalisi partai akan berjalan dengan sangat alot Hal itu disebabkan hingga saat ini elektablitas partai-partai yang akan berkontestasi dalam pemilu masih relatif berimbang mengingat daya pembeda ideologis antarpartai semakin relatif. Selain itu, publik pada umumnya belum memiliki preferensi terhadap partai tertentu yang dinilai mampu membangun citra positif selama menjalankan mandat dari rakyat semasa menduduki jabatan di legislatif. Partai-partai tertentu bahkan kini mulai kehilangan elite politik yang mampu dijadikan maskot untuk mendulang suara dalam pemilu. Jika dikaitkan dengan pilpres 2014, hingga saat ini berdasarkan survei-survei yang pernah dilaksanakan juga terlihat bahwa elektabilitas para tokoh yang dinominasikan untuk dicalonkan menjadi kandidat capres relatif berimbang.
            Pemilu tahun 2014 merupakan pemilu yang akan sangat menentukan kelanjutan proses transformasi demokrasi di negeri ini untuk menuju fase konsolidasi demokrasi, setelah negeri ini melalui berbagai krisis di era transisi demokrasi. Berkaca pada pengalaman penyelenggaraan pemilu-pemilu sebelumnya, menjelang maupun pada saat pemilu dengan sistem demokrasi langsung dilaksanakan tak jarang dijumpai berbagai praktik kampanye yang dilaksanakan dengan melanggar etika maupun norma hukum pemilu. Pelanggaran itu pada umumnya dilakukan dalam berbagai modus, antara lain: black campaign, politik uang (money politics), penggelembungan Daftar Pemilih Tetap, tindakan yang menyebabkan orang lain kehilangan hak pilih, perusakan fasilitas publik/pemilu, pemalsuan dokumen/surat, kampanye terselubung/di luar jadwal, kecurangan dalam penghitungan suara, dan pelanggaran netralitas dalam pemilu yang dilakukan oleh pejabat publik. Dalam skala lokal (Pemilukada), kasus dugaan money politics yang oleh kubu Rike-Teten dituduhkan kepada kubu Aher merupakan sebuah test case untuk menakar sejauh mana kebijakan penal mampu menjadi solusi terhadap terjadinya dugaan tindak pidana Pemilu.
            Penerapan kebijakan penal maupun non penal melalui kriminalisasi atau dekriminalisasi aktivitas yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu menurut Cherif Bassiouni (1978) perlu didasarkan atas beberapa pertimbangan, diantaranya: keseimbangan dari sarana-sarana yang dipergunakan dengan hasil yang ingin dicapai dan pengaruh sosial (social impact) dari kebijakan krimininalisasi atau dekriminalisasi tersebut.
            UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD  DPRD mengonstruksikan kebijakan penal (penal policy) terkait dengan pemilu dalam cukup banyak ketentuan, yaitu diatur pada Pasal 273 sampai dengan Pasal 321 yang meliputi kualifikasi tindak pidana pelanggaran dan kejahatan pemilu. Mencermati pelaksanaan kebijakan penal pada pemilu 2009, terlihat bahwa penegakan norma hukum pidana yang terkait dengan praktik politik uang (money politics) tidak mudah dilaksanakan. Kini dalam UU No. 8 Tahun 2012 upaya untuk mengkriminalisasi praktik money politics sebagai salah satu jenis tindak pidana kejahatan dalam pemilu diatur dalam Pasal 297 dengan menggunakan pola formulasi ketentuan pidana kumulatif, yaitu dengan mengatur ancaman pidana penjara maksimal 3 (tiga) tahun dan denda maksimal Rp. 36 juta. Namun, seberapa besar derajat efektivitas ketentuan anti money politics tersebut sangat tergantung pada banyak faktor, seperti: kemampuan Bawaslu dalam mendeteksi terjadinya kejahatan tersebut, tingkat kesadaran masyarakat mengenai perlunya pemilu bersih, perilaku politik para kontestan dan kemampuan kebijakan penal yang dilegislasi dalam UU Pemilu tersebut dalam menimbulkan efek takut bagi publik atau calon kontestan untuk melakukan kejahatan tersebut. Di masa lalu, bahkan relatif sangat sulit untuk menerapkan kriminalisasi terhadap kejahatan money politics tersebut, karena ternyata secara sosiologis telah kejahatan pemilu tersebut seakan-akan telah mengalami dekriminalisasi melalui berbagai hal, diantaranya: jarang ada yang ma(mp)u menjadi whistle blower, rendahnya kesadaran publik maupun para aktor politik yang berkontestasi mengenai urgensi membangun pemilu yang fairness, bersih dan akuntabel, serta keterbatasan kapasitas institusi-institusi pengawas pemilu maupun penegak hukum dalam memantau terjadinya kejahatan pemilu tersebut. Padahal, hal itulah yang sebenarnya akar masalah dari terjadinya sistem demokrasi yang berbiaya tinggi (high cost democracy) dan mendorong berbagai praktik korupsi politik yang kini telah menyandera banyak elite politik maupun partai politik.
            Terjadinya praktik saling menyandera antarelite politik saat ini melalui berbagai kasus hukum yang membelit di berbagai partai politik bisa berlanjut pada terjadinya revalitas yang tajam antarkontestan pada saat pemilu 2014. Banalitas politik yang terjadi karena kekerasan semotik dan simbolik dalam rivalitas maupun kontestasi politik akan mendekonstruksi kualitas perpolitikan di negeri ini. Kebijakan non penal dalam bentuk upaya penguatan institusi-insitusi yang berperan sebagai penyelenggara maupun pengawas pemilu akan mendukung efektivitas penerapan kebijakan penal dalam pemilu. Genealogi politik yang selama ini dibangun di atas kepentingan semata-mata atas nama kontestasi yang tak jarang ditopang oleh berbagai praktik curang dalam pemilu telah menyebabkan terjadinya minimalisme politik dan absurditas dalam perpolitikan.
            Pemilu seharusnya mampu menjadi arena untuk menyeleksi secara seksama para calon anggota legislatif yang akan menjalankan mandat representatif untuk menyuarakan berbagai kebutuhan dan tuntutan riil konstituen dalam kerangka demokrasi deliberatif serta sekaligus mensinergikan berbagai agenda kebijakan publik dengan kehendak publik. Namun, pemilu yang dilaksanakan dengan mengeliminasi fairness, transparansi dan akuntablitas sebenarnya merupakan pintu masuk bagi terulangnya apa yang disebut Pierre Bourdieu dengan kekerasan simbolik melalui perilaku politik para wakil di lembaga legislatif yang abai, tak amanah dan mengkhianati kepercayaan para pemilihnya. Pemilu 2014 harus mampu membangun (kembali) harapan rakyat akan masa depan negeri ini yang lebih baik. Tak seharusnya, nasib rakyat pemilih hanya berakhir dalam kotak-kotak suara.

Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...