Minggu, 03 Mei 2020


Kewenangan Hukum Administrasi Penetapan Keputusan Tata Usaha Negara (Beschikking) di Bidang Kepabeanan dan Cukai
oleh: Dr. W.Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.
willyriawan@yahoo,com
Forum Group Discussion " Meninjau pertanggungjawaban hukum pejabat DJBC atas kewenangan administrasi dari sudut pandang Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara dan Hukum Pidana"
Ruang Rapat Direktorat PPKC 705, Lantai 7 Kantor Pusat DJBC
Jakarta, 10 Maret 2014

    Perspektif Hukum Administrasi Negara kewenangan mengeluarkan penetapan di bidang bea dan cukai termasuk dalam klasifikasi kewenangan Hukum Administrasi Sektoral (bijzondere administratiieve recht). Kriteria suatu tindakan yang dilakukan oleh badan atau pejabat tata usaha negara merupakan suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat ditentukan berdasarkan Pasal 1 angka (3) UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo Pasal 1 angka (8) UU No. 51 Tahun 2009 yang meliputi:
1. Penetapan tertulis
2. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
3. Berisi tindakan hukum tata usaha negara
4. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
5. Bersifat konkrit, individual dan final
6. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Seluruh elemen kriteria Keputusan Tata Usaha Negara di atas bersifat kumulatif, sehingga apabila suatu tindakan hukum yang dilakukan oleh badan atau pejabat tata usaha negara mengandung elemen-elemen tersebut di atas dikategorikan sebagai tindakan hukum administrasi yang keabsahannya harus didasarkan atas parameter-parameter pengujian suatu keputusan tata usaha negara sebagaimana diatur pada Pasal 53 ayat (2) UU No.9 Tahun 2004.

1. Karakter Tindakan Hukum Administrasi Negara
    Dalam kepustakaan Hukum Administrasi Negara Belanda (Nederlandse Bestuursrecht), CJN. Versteden dalam buku 'Inleiding Algemeen Bestuursrecht' (1984) menyatakan bahwa:

    Zo geeft het bestuursrecht het bestuur veelvuldig bevoegdheden om hem eenzijdig (dus ook zonder dat betrokkene daaraan behoeft mee te werken) te dwingen iets te doen of te laten. Een bestuursorgan kan de hem als zodanig toekomende bevoegheden hebben gekregen d.m.v. attributie, delegatie of mandaat. Deze begrippen zullen hierna nog nader uit de doeken wirden gedaan. Legitimatie van het bestuur vindt bijvoorbeeld plaats in alle bepalingen waarin bepaalde handelingen enz. verboden worden behoudens vergunning, ontheffing en andere beschikkingen.

     Karakter suatu Keputusan Tata Usaha sebagai suatu perbuatan hukum administrasi negara yang bersifat sepihak (eenzijdig) lazimnya dilengkapi dengan kewenangan memaksakan untuk dilakukan atau tidak dilakukannya sesuatu hal tertentu. Penilaian terhadap kewenangan hukum administrasi negara dalam pelaksanaan tindakan hukum administrasi negara oleh badan atau pejabat tata usaha negara harus dikembalikan pada sifat wewenang pemerintahan tersebut dalam bentuk: atribusi, delegasi dan mandat. Oleh karena itu, untuk menentukan karakter hukum administrasi negara dari suatu tindakan pemerintah, harus ditelusuri dari sifat kewenangan yang diberikan melalui 3 (tiga) sumber kewenangan tersebut.
      Terkait dengan sifat kewenangan hukum administrasi negara suatu tindakan pemerintah perlu ditelusuri pula dari makna hukum administrasi negara. Francisco Esparraga dan Ian Ellis-Jones (2011) mengatakan:

      Administrative law is:
      * a branch of 'public law'
      * primarily concerned with the functions, powers and obligations of the executive arm of government, including the administration, and certain non-governmental bodies, known as 'domestic tribunals'.
Berdasarkan pemahaman makna hukum administrasi negara tersebut dapat ditelusuri karakter suatu tindakan hukum pemerintah sebagai suatu tindakan hukum administrasi negara yang berkaitan dengan fungsi, kekuasaan dan berbagai kewajiban dari organ pemerintah. Esparraga dan Ian Ellis-Jones melanjutkan bahwa: " However, what is 'administrative' will include, for example, the application of a general policy or rule to particular cases...." Oleh karena itu, dengan menelusuri makna dan hakikat dari hukum administrasi negara, dapat diketahui bahwa terhadap suatu tindakan hukum afministrasi negara terlebih dahulu harus diterapkan parameter keabsahan dalam perspektif peraturan perundang-undangan di bidang tata usaha negara maupun asas-asas umum pemerintahan yang baik. Hal itu disebabkan suatu tindakan hukum administrasi negara selalu dapat diuji legalitasnya karena merupakan produk kewenangan jabatan tata usaha negara.

2. Tanggung Gugat Jabatan Tata Usaha Negara
      Berdasarkan ketentuan hukum, pejabat hanya menjalankan fungsi dan wewenang, karena pejabat tidak memiliki wewenang. Yang memiliki dan dilekati wewenang adalah jabatan. Dalam kaitan ini, Logemann mengatakan bahwa, berdasarkan Hukum Tata Negara, jabatanlah yang dibebani dengan kewajiban, yang diberi wewenang untuk melakukan perbuatan hukum. Logemann mengatakan bahwa Negara dan organisasi jabatan de staat is ambtenorganisatie (Logemann, 1854:88) dan dalam suatu Negara itu ada jabatan pemerintahan, yakni lingkungan pekerjaan tetap yang dilekati dengan wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, yakni semua tugas-tugas kenegaraan selain bidang pembuatan undang-undang dan peradilan, elke werkzaamheid van de overheid, welke niet als wetgeving of als rechtspraak is aan te merken C.J.N.Versteden,1984:13). Tugas dan wewenang yang melekat pada jabatan ini dijalankan oleh manusia (natuurlijke persoon), yang bertindak selaku wakil jabatan dan disebut pemangku jabatan atau pejabat (F.R.Bothlingk,1954:32). Hak dan Kewajiban berjalan terus, tidak peduli dengan pergantian pejabat (Logemann, 1958:89). Karena kewenangan itu melekat pada jabatan, sementara tanggungjawab dalam bidang hukum publik itu terkait dengan kewenangan, maka beban tanggungjawab itu pada dasarnya juga melekat pada jabatan. Tanggungjawab jabatan ini berkenaan dengan keabsahan tindakan hukum pemerintahan yang dilakukan oleh pejabat untuk dan atas nama jabatan (ambtshalve).
      Sehubungan dengan analisis tersebut, jika terjadi dugaan adanya tindakan maladministrasi terlebih dahulu yang harus diuji adalah keabsahan tindakan hukum administrasi negara yang dilakukan oleh pejabat tata usaha negara tersebut dalam koridor hukum administrasi negara. Tindakan hukum yang dilakukan oleh pejabat tata usaha negara yang dituangkan dalam suatu Keputusan Tata Usaha Negara merupakan kompetensi dari Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Pajak atau jika terkait dengan pelayanan publik, hal itu merupakan kewenangan dari Ombudsman.
      Maladministrasi berasal dari bahasa Latin malum (jahat, buruk, jelek) dan administrare (to manage, mengurus, atau melayani), Maladministrasi berarti pelayanan atau pengurusan yang buruk atau jelak. Berdasarkan pasal 1 angka (3) UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, yang dimaksud Maladministrasi adalah Perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial masyarakat dan orang perseorangan.  
      Jika terjadi perdebatan seputar keabsahan tindakan hukum pejabat tata usaha negara yang di dalam peraturan perundang-undangan yang mendasari tindakan jabatan tata usaha negara tersebut dinisbatkan sebagai tindakan hukum administrasi negara, harus digunakan parameter keabsahan (rechtsmatigheid) terhadap tindakan hukum tersebut. Jika ada tuduhan dilakukannya penyalahgunaan kewenangan jabatan tata usaha negara sejauh didasarkan atas kewenangan atributif, delegasi atau mandat dalam norma yang berkarakter Hukum Administrasi Negara, yang diukur adalah keabsahan tindakan jabatan tata usaha negara itu ditinjau dari sudut hukum administrasi negara, bukan diarahkan pertama-tama kepada persoon pejabat-nya. Pengujian keabsahan (rechtsmatigheid toetsing) terhadap tindakan pejabat tata usaha negara harus ditelusuri ruang lingkupnya dari dimensi kewenangan, prosedur dan substansinya dengan mengukur koherensi isi dan tujuan peraturan dasarnya dengan isi dan tujuan Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) yang dikeluarkan oleh pejabat tata usaha negara tersebut. Hal itu merupakan konsekuensi dari eksistensi salah satu unsur dari negara hukum (rechtsstaat) yaitu prinsip pemerintahan menurut hukum (rectsmatigheid van het bestuur).


3. Perspektif Yuridis Keputusan Tata Usaha Negara di Bidang Kepabeanan
      Polemik seputar karakter dari penetapan KTUN vide Pasal 17 UU Kepabeanan perlu dtelusuri dari sifat KTUN tersebut. Pasal 17 UU Kepabeanan mengatrur:
(1) Direktur  Jenderal  dapat menetapkan kembali tarif dan nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean.
(2) Dalam hal penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbeda dengan penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Direktur Jenderal memberitahukan secara tertulis kepada importir untuk: a. melunasi bea masuk yang kurang dibayar; atau b. mendapatkan pengembalian bea masuk yang lebih dibayar.
(3). Bea masuk yang kurang dibayar atau pengembalian bea masuk yang lebih dibayar       sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibayar sesuai dengan penetapan kembali.
(4) Penetapan  kembali  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (2), apabila diakibatkan oleh adanya kesalahan nilai transaksi yang diberitahukan sehingga mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk, dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang kurang dibayar dan paling banyak 1000% (seribu persen) dari bea masuk yang kurang dibayar.

      Berkaitan dengan upaya hukum yang dapat dilakukan terkait dengan penetapan sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 ayat (2),  diatur adanya hak untuk mengajukan keberatan (administratieve bezwaar) sebagaimana diatur pada Pasal 95 UU Kepabeanan. Pasal 95 UU Kepabeanan mengatur bahwa orang yang berkeberatan terhadap penetapan Direktur Jenderal atas tarif dan nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), keputusan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2), Pasal 93A ayat (4), atau Pasal 94 ayat (2) dapat mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan atau tanggal keputusan, setelah pungutan yang terutang dilunasi.
      Jika mencermati ketentuan-ketentuan tersebut, terlihat dengan jelas karakter tindakan hukum yang dilakukan pejabat pemerintah dengan mendasarkan pada Pasal 17 UU Kepabeanan merupakan tindakan hukum administrasi negara pejabat pemerintah. Maka, jika ada keberatan terkait penetapan pejabat pemerintah penilaian mengenai dimensi kewenangan, prosedur dan substansi yang terkait dengannya, merupakan isu legalitas dan harus diuji berdasarkan norma-norma hukum administrasi negara (bestuursnorm).
      Rumusan ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU Kepabeanan tersebut menggunakan kata "dapat" dalam ketentuan yang menyatakan: Direktur  Jenderal  dapat menetapkan kembali tarif dan nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean. Tipologi norma semacam itu dalam Hukum Administrasi Negara dikategorikan sebagai norma yang memberikan kebebasan penilaian (beoordelingsvrijheid) kepada pejabat tata usaha negara. Dengan mempertimbangkan kondisi yang dihadapi pejabat pemerintah diberikan wewenang secara eksklusif untuk mempertimbangkan penetapan Keputusan TUN vide Pasal 17 ayat (2). Kewenangan diskresioner semacam itu mengharuskan adanya penghormatan dari hakim dan aparat penegak hukum untuk tidak mempersoalkannya, sejauh dipenuhi syarat-syarat penggunaan wewenang diskresi, yaitu: (1) Tidak melanggar undang-undang dan (2) Tidak bertentangan dengan kepentingan umum (publieke belang).
      Dakam teori hukum adminustrasi negara, dikenal adagium "kebijakan tidak dapat diadili". Hal itu berarti adanya jaminan imunitas dari tindakan uji materiil (judicial review) terhadap tindakan hukum yang dilakukan oleh badan atau pejabat pemerintah. Bahkan, sebagai komparasi, di Amerika Serikat, persoalan diskresi yang dilakukan pejabat pemerintah termasuk dalam kategori political question atau nonjusticiable issue. Artinya, pengadilan akan menahan diri untuk tidak melakukan intervensi (self restraint) atas kewenangan pemerintah yang bersifat tekhnikal dalam menggunakan kewenangan diskresi (discretionnaire power) tersebut.

4. Rekomendasi
1. Kewenangan hukum administrasi negara dalam pelaksanaan tindakan hukum administrasi negara oleh badan pejabat tata usaha negara harus dikembalikan dari sifat wewenang pemerintahan tersebut dalam bentuk: atribusi, delegasi dan mandat. Oleh karena itu, untuk menentukan karakter hukum administrasi negara dari suatu tindakan pemerintah,
2. Jika ada tuduhan dilakukannya penyalahgunaan kewenangan jabatan tata usaha negara sejauh didasarkan atas kewenangan atributif, delegasi atau mandat dalam norma yang berkarakter Hukum Administrasi Negara, yang diukur adalah keabsahan tindakan jabatan tata usaha negara itu ditinjau dari sudut hukum administrasi negara, bukan diarahkan pertama-tama kepada persoon pejabat-nya. Pengujian keabsahan (rechtsmatigheid toetsing) terhadap tindakan pejabat tata usaha negara harus ditelusuri ruang lingkupnya dari dimensi kewenangan, prosedur dan substansinya dengan mengukur koherensi isi dan tujuan peraturan dasarnya dengan isi dan tujuan Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) yang dikeluarkan oleh pejabat tata usaha negara tersebut.
3. Karakter tindakan hukum yang dilakukan pejabat pemerintah dengan mendasarkan pada Pasal 17 UU Kepabeanan merupakan tindakan hukum administrasi negara pejabat pemerintah. Maka, jika ada keberatan terkait penetapan pejabat pemerintah penilaian mengenai dimensi kewenangan, prosedur dan substansi terkait dengannya, merupakan isu legalitas yang harus diuji berdasarkan norma-norma hukum administrasi negara (bestuursnorm).
4. Rumusan ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU Kepabeanan tersebut menggunakan kata "dapat" dalam ketentuan yang menyatakan: Direktur  Jenderal  dapat menetapkan kembali tarif dan nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean. Tipologi norma semacam itu dalam Hukum Administrasi Negara dikategorikan sebagai norma yang memberikan kebebasan penilaian (beoordelingsvrijheid) kepada pejabat tata usaha negara. Dengan mempertimbangkan kondisi yang dihadapi pejabat pemerintah diberikan wewenang secara eksklusif untuk mempertimbangkan penetapan Keputusan TUN vide Pasal 17 ayat (2). Kewenangan diskresioner semacam itu mengharuskan adanya penghormatan dari hakim dan aparat penegak hukum untuk tidak mempersoalkannya, sejauh dipenuhi syarat-syarat penggunaan wewenang diskresi, yaitu: (1) Tidak melanggar undang-undang dan (2) Tidak bertentangan dengan kepentingan umum (publieke belang).
     
Daftar Pustaka
Esparraga, Francisco, et.al., 2011, Administrative Law-Guidebook, Oxford University Press, Australia & New Zealand.

Haan, P. de, et.al., 1986, Bestuursrecht in de Sociale Rechtsstat Deel 1 Ontwikkeling, Organisatie, Instrumentarium, Kluwer, Deventer, Nederland.

Versteden, CJN., 1984, Inleiding Algemeen Bestuursrecht, Samsom HD Tjeenk Willinkm Alphen den Rijn, Vuga Boekerij 's Gravenhage.

W. Riawan Tjandra, 2012, Demokrasi Melawan Kekuasaan Melalui PTUN, Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...