Kewenangan Hukum Administrasi Penetapan Keputusan
Tata Usaha Negara (Beschikking) di Bidang
Kepabeanan dan Cukai
oleh: Dr. W.Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.
willyriawan@yahoo,com
Forum Group Discussion " Meninjau pertanggungjawaban hukum pejabat
DJBC atas kewenangan administrasi dari sudut pandang Hukum Tata Negara, Hukum
Administrasi Negara dan Hukum Pidana"
Ruang Rapat Direktorat PPKC 705, Lantai 7 Kantor Pusat DJBC
Jakarta, 10 Maret 2014
Perspektif Hukum Administrasi Negara kewenangan
mengeluarkan penetapan di bidang bea dan cukai termasuk dalam klasifikasi kewenangan
Hukum Administrasi Sektoral (bijzondere
administratiieve recht). Kriteria suatu tindakan yang dilakukan oleh badan atau
pejabat tata usaha negara merupakan suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat ditentukan
berdasarkan Pasal 1 angka (3) UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
jo Pasal 1 angka (8) UU No. 51 Tahun 2009 yang meliputi:
1. Penetapan tertulis
2. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
3. Berisi tindakan hukum tata usaha negara
4. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
5. Bersifat konkrit, individual dan final
6. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Seluruh elemen kriteria Keputusan Tata Usaha Negara di atas bersifat
kumulatif, sehingga apabila suatu tindakan hukum yang dilakukan oleh badan atau
pejabat tata usaha negara mengandung elemen-elemen tersebut di atas dikategorikan
sebagai tindakan hukum administrasi yang keabsahannya harus didasarkan atas parameter-parameter
pengujian suatu keputusan tata usaha negara sebagaimana diatur pada Pasal 53 ayat
(2) UU No.9 Tahun 2004.
1. Karakter Tindakan
Hukum Administrasi Negara
Dalam kepustakaan Hukum Administrasi Negara Belanda
(Nederlandse Bestuursrecht), CJN. Versteden dalam buku 'Inleiding Algemeen Bestuursrecht'
(1984) menyatakan bahwa:
Zo geeft het bestuursrecht het bestuur
veelvuldig bevoegdheden om hem eenzijdig (dus ook zonder dat betrokkene daaraan
behoeft mee te werken) te dwingen iets te doen of te laten. Een bestuursorgan
kan de hem als zodanig toekomende bevoegheden hebben gekregen d.m.v. attributie,
delegatie of mandaat. Deze begrippen zullen hierna nog nader uit de doeken
wirden gedaan. Legitimatie van het bestuur vindt bijvoorbeeld plaats in alle bepalingen
waarin bepaalde handelingen enz. verboden worden behoudens vergunning,
ontheffing en andere beschikkingen.
Karakter
suatu Keputusan Tata Usaha sebagai suatu perbuatan hukum administrasi negara yang
bersifat sepihak (eenzijdig) lazimnya
dilengkapi dengan kewenangan memaksakan untuk dilakukan atau tidak dilakukannya
sesuatu hal tertentu. Penilaian terhadap kewenangan hukum administrasi negara dalam
pelaksanaan tindakan hukum administrasi negara oleh badan atau pejabat tata usaha
negara harus dikembalikan pada sifat wewenang pemerintahan tersebut dalam bentuk:
atribusi, delegasi dan mandat. Oleh karena itu, untuk menentukan karakter hukum
administrasi negara dari suatu tindakan pemerintah, harus ditelusuri dari sifat
kewenangan yang diberikan melalui 3 (tiga) sumber kewenangan tersebut.
Terkait dengan sifat kewenangan hukum administrasi
negara suatu tindakan pemerintah perlu ditelusuri pula dari makna hukum administrasi
negara. Francisco Esparraga dan Ian Ellis-Jones (2011) mengatakan:
Administrative law is:
* a branch of 'public law'
* primarily concerned with the functions,
powers and obligations of the executive arm of government, including the administration,
and certain non-governmental bodies, known as 'domestic tribunals'.
Berdasarkan pemahaman makna hukum administrasi negara tersebut
dapat ditelusuri karakter suatu tindakan hukum pemerintah sebagai suatu tindakan
hukum administrasi negara yang berkaitan dengan fungsi, kekuasaan dan berbagai kewajiban
dari organ pemerintah. Esparraga dan Ian Ellis-Jones melanjutkan bahwa: " However,
what is 'administrative' will include, for example, the application of a general
policy or rule to particular cases...." Oleh karena itu, dengan menelusuri
makna dan hakikat dari hukum administrasi negara, dapat diketahui bahwa terhadap
suatu tindakan hukum afministrasi negara terlebih dahulu harus diterapkan parameter
keabsahan dalam perspektif peraturan perundang-undangan di bidang tata usaha negara
maupun asas-asas umum pemerintahan yang baik. Hal itu disebabkan suatu tindakan
hukum administrasi negara selalu dapat diuji legalitasnya karena merupakan produk
kewenangan jabatan tata usaha negara.
2. Tanggung Gugat
Jabatan Tata Usaha Negara
Berdasarkan ketentuan hukum, pejabat hanya
menjalankan fungsi dan wewenang, karena pejabat tidak memiliki wewenang. Yang
memiliki dan dilekati wewenang adalah jabatan. Dalam kaitan ini, Logemann
mengatakan bahwa, berdasarkan Hukum Tata Negara, jabatanlah yang dibebani
dengan kewajiban, yang diberi wewenang untuk melakukan perbuatan hukum.
Logemann mengatakan bahwa Negara dan organisasi jabatan “de staat is ambtenorganisatie” (Logemann, 1854:88) dan dalam suatu Negara itu ada
jabatan pemerintahan, yakni lingkungan pekerjaan tetap yang dilekati dengan
wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, yakni semua tugas-tugas
kenegaraan selain bidang pembuatan undang-undang dan peradilan, ”elke werkzaamheid van de
overheid, welke niet als wetgeving of als rechtspraak is aan te merken” C.J.N.Versteden,1984:13).
Tugas dan wewenang yang melekat pada jabatan ini dijalankan oleh manusia (natuurlijke persoon), yang bertindak selaku
wakil jabatan dan disebut pemangku jabatan atau pejabat (F.R.Bothlingk,1954:32).
Hak dan Kewajiban berjalan terus, tidak peduli dengan pergantian pejabat
(Logemann, 1958:89). Karena kewenangan itu melekat pada jabatan, sementara
tanggungjawab dalam bidang hukum publik itu terkait dengan kewenangan, maka
beban tanggungjawab itu pada dasarnya juga melekat pada jabatan. Tanggungjawab
jabatan ini berkenaan dengan keabsahan tindakan hukum pemerintahan yang
dilakukan oleh pejabat untuk dan atas nama jabatan (ambtshalve).
Sehubungan dengan analisis tersebut, jika terjadi
dugaan adanya tindakan maladministrasi terlebih dahulu yang harus diuji adalah keabsahan
tindakan hukum administrasi negara yang dilakukan oleh pejabat tata usaha negara
tersebut dalam koridor hukum administrasi negara. Tindakan hukum yang dilakukan
oleh pejabat tata usaha negara yang dituangkan dalam suatu Keputusan Tata Usaha
Negara merupakan kompetensi dari Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Pajak atau
jika terkait dengan pelayanan publik, hal itu merupakan kewenangan dari Ombudsman.
Maladministrasi berasal dari bahasa Latin malum (jahat, buruk, jelek) dan administrare (to manage, mengurus, atau melayani), Maladministrasi berarti
pelayanan atau pengurusan yang buruk atau jelak. Berdasarkan pasal 1 angka (3)
UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, yang dimaksud
Maladministrasi adalah “Perilaku
atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk
tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau
pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan
oleh penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil
dan/atau immaterial masyarakat dan orang perseorangan”.
Jika terjadi perdebatan seputar keabsahan tindakan
hukum pejabat tata usaha negara yang di dalam peraturan perundang-undangan yang
mendasari tindakan jabatan tata usaha negara tersebut dinisbatkan sebagai tindakan
hukum administrasi negara, harus digunakan parameter keabsahan (rechtsmatigheid) terhadap tindakan hukum
tersebut. Jika ada tuduhan dilakukannya penyalahgunaan kewenangan jabatan tata usaha
negara sejauh didasarkan atas kewenangan atributif, delegasi atau mandat dalam norma
yang berkarakter Hukum Administrasi Negara, yang diukur adalah keabsahan tindakan
jabatan tata usaha negara itu ditinjau dari sudut hukum administrasi negara, bukan
diarahkan pertama-tama kepada persoon
pejabat-nya. Pengujian keabsahan (rechtsmatigheid
toetsing) terhadap tindakan pejabat tata
usaha negara harus ditelusuri ruang lingkupnya dari dimensi kewenangan, prosedur
dan substansinya dengan mengukur koherensi isi dan tujuan peraturan dasarnya dengan
isi dan tujuan Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking)
yang dikeluarkan oleh pejabat tata usaha negara tersebut. Hal itu merupakan konsekuensi
dari eksistensi salah satu unsur dari negara hukum (rechtsstaat) yaitu prinsip pemerintahan menurut hukum (rectsmatigheid van het bestuur).
3. Perspektif Yuridis
Keputusan Tata Usaha Negara di Bidang Kepabeanan
Polemik seputar karakter dari penetapan KTUN vide
Pasal 17 UU Kepabeanan perlu dtelusuri dari sifat KTUN tersebut. Pasal 17 UU Kepabeanan
mengatrur:
(1) Direktur Jenderal
dapat menetapkan kembali tarif dan nilai pabean untuk penghitungan bea
masuk dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan
pabean.
(2) Dalam hal
penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbeda dengan penetapan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Direktur Jenderal memberitahukan secara
tertulis kepada importir untuk: a. melunasi bea masuk yang kurang dibayar; atau
b. mendapatkan pengembalian bea masuk yang lebih dibayar.
(3). Bea
masuk yang kurang dibayar atau pengembalian bea masuk yang lebih dibayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dibayar sesuai dengan penetapan kembali.
(4) Penetapan kembali
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila diakibatkan oleh
adanya kesalahan nilai transaksi yang diberitahukan sehingga mengakibatkan
kekurangan pembayaran bea masuk, dikenai sanksi administrasi berupa denda
paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang kurang dibayar dan paling
banyak 1000% (seribu persen) dari bea masuk yang kurang dibayar.
Berkaitan
dengan upaya hukum yang dapat dilakukan terkait dengan penetapan sebagaimana dimaksud
pada Pasal 17 ayat (2), diatur adanya hak
untuk mengajukan keberatan (administratieve
bezwaar) sebagaimana diatur pada Pasal 95 UU Kepabeanan. Pasal 95 UU Kepabeanan
mengatur bahwa orang yang berkeberatan terhadap penetapan Direktur Jenderal
atas tarif dan nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2),
keputusan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2), Pasal
93A ayat (4), atau Pasal 94 ayat (2) dapat mengajukan permohonan banding kepada
Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal
penetapan atau tanggal keputusan, setelah pungutan yang terutang dilunasi.
Jika mencermati
ketentuan-ketentuan tersebut, terlihat dengan jelas karakter tindakan hukum yang
dilakukan pejabat pemerintah dengan mendasarkan pada Pasal 17 UU Kepabeanan merupakan
tindakan hukum administrasi negara pejabat pemerintah. Maka, jika ada keberatan
terkait penetapan pejabat pemerintah penilaian mengenai dimensi kewenangan, prosedur
dan substansi yang terkait dengannya, merupakan isu legalitas dan harus diuji berdasarkan
norma-norma hukum administrasi negara (bestuursnorm).
Rumusan
ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU Kepabeanan tersebut menggunakan kata "dapat"
dalam ketentuan yang menyatakan: Direktur
Jenderal dapat menetapkan kembali tarif dan nilai pabean untuk penghitungan
bea masuk dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal
pemberitahuan pabean. Tipologi norma semacam itu dalam Hukum Administrasi Negara
dikategorikan sebagai norma yang memberikan kebebasan penilaian (beoordelingsvrijheid) kepada pejabat tata
usaha negara. Dengan mempertimbangkan kondisi yang dihadapi pejabat pemerintah diberikan
wewenang secara eksklusif untuk mempertimbangkan penetapan Keputusan TUN vide Pasal
17 ayat (2). Kewenangan diskresioner semacam itu mengharuskan adanya penghormatan
dari hakim dan aparat penegak hukum untuk tidak mempersoalkannya, sejauh dipenuhi
syarat-syarat penggunaan wewenang diskresi, yaitu: (1) Tidak melanggar undang-undang
dan (2) Tidak bertentangan dengan kepentingan umum (publieke belang).
Dakam teori
hukum adminustrasi negara, dikenal adagium "kebijakan tidak dapat diadili".
Hal itu berarti adanya jaminan imunitas dari tindakan uji materiil (judicial review) terhadap tindakan hukum
yang dilakukan oleh badan atau pejabat pemerintah. Bahkan, sebagai komparasi, di
Amerika Serikat, persoalan diskresi yang dilakukan pejabat pemerintah termasuk dalam
kategori political question atau nonjusticiable issue. Artinya, pengadilan
akan menahan diri untuk tidak melakukan intervensi (self restraint) atas kewenangan pemerintah yang bersifat tekhnikal dalam
menggunakan kewenangan diskresi (discretionnaire
power) tersebut.
4. Rekomendasi
1. Kewenangan
hukum administrasi negara dalam pelaksanaan tindakan hukum administrasi negara
oleh badan pejabat tata usaha negara harus dikembalikan dari sifat wewenang pemerintahan
tersebut dalam bentuk: atribusi, delegasi dan mandat. Oleh karena itu, untuk
menentukan karakter hukum administrasi negara dari suatu tindakan pemerintah,
2. Jika ada
tuduhan dilakukannya penyalahgunaan kewenangan jabatan tata usaha negara sejauh
didasarkan atas kewenangan atributif, delegasi atau mandat dalam norma yang
berkarakter Hukum Administrasi Negara, yang diukur adalah keabsahan tindakan
jabatan tata usaha negara itu ditinjau dari sudut hukum administrasi negara,
bukan diarahkan pertama-tama kepada persoon pejabat-nya. Pengujian keabsahan (rechtsmatigheid toetsing) terhadap
tindakan pejabat tata usaha negara harus ditelusuri ruang lingkupnya dari
dimensi kewenangan, prosedur dan substansinya dengan mengukur koherensi isi dan
tujuan peraturan dasarnya dengan isi dan tujuan Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) yang dikeluarkan oleh
pejabat tata usaha negara tersebut.
3. Karakter
tindakan hukum yang dilakukan pejabat pemerintah dengan mendasarkan pada Pasal
17 UU Kepabeanan merupakan tindakan hukum administrasi negara pejabat
pemerintah. Maka, jika ada keberatan terkait penetapan pejabat pemerintah
penilaian mengenai dimensi kewenangan, prosedur dan substansi terkait
dengannya, merupakan isu legalitas yang harus diuji berdasarkan norma-norma
hukum administrasi negara (bestuursnorm).
4. Rumusan
ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU Kepabeanan tersebut menggunakan kata
"dapat" dalam ketentuan yang menyatakan: Direktur Jenderal
dapat menetapkan kembali tarif dan nilai pabean untuk penghitungan bea
masuk dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan
pabean. Tipologi norma semacam itu dalam Hukum Administrasi Negara
dikategorikan sebagai norma yang memberikan kebebasan penilaian (beoordelingsvrijheid) kepada pejabat
tata usaha negara. Dengan mempertimbangkan kondisi yang dihadapi pejabat
pemerintah diberikan wewenang secara eksklusif untuk mempertimbangkan penetapan
Keputusan TUN vide Pasal 17 ayat (2). Kewenangan diskresioner semacam itu
mengharuskan adanya penghormatan dari hakim dan aparat penegak hukum untuk
tidak mempersoalkannya, sejauh dipenuhi syarat-syarat penggunaan wewenang
diskresi, yaitu: (1) Tidak melanggar undang-undang dan (2) Tidak bertentangan
dengan kepentingan umum (publieke belang).
Daftar Pustaka
Esparraga, Francisco,
et.al., 2011, Administrative
Law-Guidebook, Oxford University Press, Australia & New Zealand.
Haan, P. de, et.al.,
1986, Bestuursrecht in de Sociale
Rechtsstat Deel 1 Ontwikkeling, Organisatie, Instrumentarium, Kluwer, Deventer,
Nederland.
Versteden, CJN.,
1984, Inleiding Algemeen Bestuursrecht,
Samsom HD Tjeenk Willinkm Alphen den Rijn, Vuga Boekerij 's Gravenhage.
W. Riawan Tjandra,
2012, Demokrasi Melawan Kekuasaan Melalui
PTUN, Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar