Minggu, 03 Mei 2020


Analisis atas Putusan
PTUN Semarang No. 015/G/2015/PTUN.Semarang dan
Putusan PT TUN Surabaya No. 79/B/2016/PT.TUN.SBY
Oleh: Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.
Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta

          Substansi pertimbangan hukum hakim dalam Putusan PTUN Semarang No. 015 secara umum berupaya untuk mencapai standar pembuktian vide Pasal 107 UU No. 5/1986 jis UU No. 9/2004 dan UU No. 51/2009 yaitu harus terpenuhi paling sedikit 2 (dua) alat bukti ditambah keyakinan hakim. Hal itu terlihat dari pertimbangan hakim yang tidak hanya menilai syarat sahnya SK Bupati Pati No.660.1/4767 Tahun 2014 tertanggal 8 Desember 2014 (objek sengketa) dari ranah formal-prosedural semata, namun, juga menilai kualitas procedural-substantif dari proses penerbitan objek sengketa.
            Persetujuan warga masyarakat yang terkena dampak dari terbitnya SK objek sengketa yang tak mencapai 100 persen atau 87 % warga masyarakat menolak penerbitan SK objek sengketa dan dalam diagram Bab II Deskripsi Rona Lingkungan Hidup Awal halaman II-172 menunjukkan sebanyak 79 % menyatakan tidak perlu dilanjutkan. Kondisi itu dipertimbangkan oleh majelis hakim bahwa konsultasi publik yang dipersyaratkan dalam peraturan perundang-undangan sebagai syarat substantif penerbitan SK objek sengketa belum terpenuhi. Majelis hakim dengan melihat persesuaian antara satu alat bukti dengan alat bukti lain dalam persidangan juga telah menempatkan alat bukti “pengetahuan hakim” secara implisit dalam mempertimbangkan legalitas objek sengketa dalam sengketa tata usaha negara tersebut. Fenomena kurang maksimalnya konsultasi publik itu oleh majelis hakim dinilai mengindikasikan kurang adanya keterbukaan dan komunikasi yang intensif antara masyarakat sekitar dengan pihak tergugat maupun pemrakarsa (tergugat II intervensi). Parameter kuantitatif berupa prosentase responden yang menunjukkan penurunan itu dinilai majelis hakim telah menggeser variable-variabel lain yang harus dipertimbangkan dalam memberikan ruang partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat menurut majelis hakim dinilai tidak cukup hanya berhenti sampai di ranah konsultatif saja, karena dampak signifikan dari proyek pembangunan pabrik semen tersebut terhadap lingkungan dan masyarakat. Di titik ini, sejatinya putusan PTUN tersebut telah berhasil mencapai standar pertimbangan putusan sampai pada level keyakinan majelis hakim untuk mencapai kebenaran materiil sebagai tujuan dari pembuktian dalam hukum acara PTUN.
            Dalam perspektif, tanggapan majelis hakim PTUN atas sejumlah eksepsi yang sebelumnya pernah diajukan oleh para tergugat, sebenarnya, perlu dijadikan sebagai suatu landmark decision untuk menilai legal standing dari LSM yang bergerak untuk mengadvokasi lingkungan hidup untuk mewakili lingkungan hidup karena diakuinya adanya “natural right” yang memerlukan representasi untuk melakukan aksi hukum yang dalam hal ini diwakili oleh LSM lingkungan hidup.  Hal ini semestinya harus dijadikan rujukan tetap bagi dunia peradilan, sehingga di kemudian hari tak perlu lagi menjadi perdebatan maupun inkonsistensi putusan PTUN yang bervariatif dalam menyikapi legal standing LSM yang mengadvokasi lingkungan hidup sejauh telah memenuhi kriteria LSM sebagaimana terdapat pada putusan PTUN Jakarta tertanggal 12 Desember 1994.
            Namun, putusan PTUN tersebut memiliki kelemahan dalam menilai kedudukan instrumen hukum upaya administratif sebagai bagian dari hak inspraak dalam teori hukum administrasi negara. Hal itu disebabkan putusan PTUN itu mencampuradukkan konsep upaya administratif yang diatur dalam UU PTUN dan UU Administrasi Pemerintahan. Upaya administratif sebagaimana diatur pada Pasal 48 jo Pasal 51 ayat (3) UU No 5/1986 jika dikaitkan dengan penjelasan kedua pasal itu sebenarnya hanya diarahkan untuk upaya administratif dalam sengketa kepegawaian yang bersifat mutlak harus ditempuh sebelum pihak penggugat mengajukan gugatan di PTUN (pembatasan kompetensi absolute yang berisfat relatif). Sedangkan upaya administratif sebagaimana diatur dalam UU Administrasi Pemerintahan merupakan upaya administtratif di luar sengketa kepegawaian sifatnya fakultatif. Artinya, dapat dipergunakan maupun tidak dipergunakan oleh orang atau badan hukum privat jika dirugikan oleh suatu Keputusan TUN.
            Menilik pertimbangan majelis hakim PTUN tersebut sebenarnya dapat digunakan untuk menyempurnakan doktrin dalam hukum administrasi negara selama ini cenderung memaknai syarat sahnya KTUN hanya dari sisi procedural-formil.Putusan tersebut telah menempatkan sisi procedural sebagai syarat sah penerbitkan KTUN harus juga sampai pada level kualitas procedural-materiil dengan mempertimbangkan bobot/kualitas penerimaan masyarakat atas rencana penerbitan suatu KTUN perijinan lingkungan.
            Putusan PT TUN Surabaya No. 79/B/2016/PT.TUN.SBY tertanggal 1 Juli 2016 justru terlihat controversial. Ketidakberhasilan majelis hakim menghasilkan putusan melalui mekanisme musyawarah berujung pada dilakukannya voting dalam penentuan putusan telah menyebabkan dibatalkannya putusan PTUN Semarang. Dalil-dalam gugatan penggugat ditolak oleh majelis hakim tinggi dengan menggeser logika hukum pertimbangan procedural-materiil penetapan objek sengketa kembali menjadi pertimbangan prosedura-formil. Majelis hakim tinggi hanya berpedoman pada bahwa SK Bupati Pati No. 660.1/4766 Tahun 2014 tertanggal 8 Desember 2014 selain memberikan Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Pembangunan Pabrik Semen serta Pertambangan Batugamping dan Batulempung di Kabupaten Pati oleh PT Sahabat Mulia Sakti juga memberikan tanggung jawab dan kewajiban bagi PT Sahabat Mulia Sakti dan SKPD  untuk melaksanakan pengawasan terhadap kelayakan lingkungan hidup.
            Konstruksi berpikir hukum dalam pertimbangan hukum putusan PTTUN juga menuai terjadinya dissenting opinion yang pada intinya tetap mendukung pertimbangan hukum Putusan PTUN Semarang. Putusan PT TUN tersebut telah dihasilkan melalui tingkat kebulatan pendapat di antara majelis hakim tinggi yang rendah dan memicu kontroversi daripada menghasilkan sebuah solusi untuk mngakhiri sebuah sengketa dan pertaruhan nasib lingkungan serta rakyat yang menjadi korban kebijakan Pemda yang bias komersialisasi wilayah.

           
             
           

Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...