Analisis atas Putusan
PTUN Semarang No. 015/G/2015/PTUN.Semarang dan
Putusan PT TUN Surabaya No. 79/B/2016/PT.TUN.SBY
Oleh: Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.
Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Substansi pertimbangan
hukum hakim dalam Putusan PTUN Semarang No. 015 secara umum berupaya untuk
mencapai standar pembuktian vide Pasal 107 UU No. 5/1986 jis UU No. 9/2004 dan
UU No. 51/2009 yaitu harus terpenuhi paling sedikit 2 (dua) alat bukti ditambah
keyakinan hakim. Hal itu terlihat dari pertimbangan hakim yang tidak hanya
menilai syarat sahnya SK Bupati Pati No.660.1/4767 Tahun 2014 tertanggal 8
Desember 2014 (objek sengketa) dari ranah formal-prosedural semata, namun, juga
menilai kualitas procedural-substantif dari proses penerbitan objek sengketa.
Persetujuan warga masyarakat yang
terkena dampak dari terbitnya SK objek sengketa yang tak mencapai 100 persen
atau 87 % warga masyarakat menolak penerbitan SK objek sengketa dan dalam
diagram Bab II Deskripsi Rona Lingkungan Hidup Awal halaman II-172 menunjukkan
sebanyak 79 % menyatakan tidak perlu dilanjutkan. Kondisi itu dipertimbangkan
oleh majelis hakim bahwa konsultasi publik yang dipersyaratkan dalam peraturan
perundang-undangan sebagai syarat substantif penerbitan SK objek sengketa belum
terpenuhi. Majelis hakim dengan melihat persesuaian antara satu alat bukti
dengan alat bukti lain dalam persidangan juga telah menempatkan alat bukti
“pengetahuan hakim” secara implisit dalam mempertimbangkan legalitas objek
sengketa dalam sengketa tata usaha negara tersebut. Fenomena kurang maksimalnya
konsultasi publik itu oleh majelis hakim dinilai mengindikasikan kurang adanya
keterbukaan dan komunikasi yang intensif antara masyarakat sekitar dengan pihak
tergugat maupun pemrakarsa (tergugat II intervensi). Parameter kuantitatif
berupa prosentase responden yang menunjukkan penurunan itu dinilai majelis
hakim telah menggeser variable-variabel lain yang harus dipertimbangkan dalam
memberikan ruang partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat menurut majelis
hakim dinilai tidak cukup hanya berhenti sampai di ranah konsultatif saja,
karena dampak signifikan dari proyek pembangunan pabrik semen tersebut terhadap
lingkungan dan masyarakat. Di titik ini, sejatinya putusan PTUN tersebut telah
berhasil mencapai standar pertimbangan putusan sampai pada level keyakinan
majelis hakim untuk mencapai kebenaran materiil sebagai tujuan dari pembuktian
dalam hukum acara PTUN.
Dalam perspektif, tanggapan majelis
hakim PTUN atas sejumlah eksepsi yang sebelumnya pernah diajukan oleh para
tergugat, sebenarnya, perlu dijadikan sebagai suatu landmark decision untuk menilai legal standing dari LSM yang
bergerak untuk mengadvokasi lingkungan hidup untuk mewakili lingkungan hidup
karena diakuinya adanya “natural right” yang memerlukan representasi untuk
melakukan aksi hukum yang dalam hal ini diwakili oleh LSM lingkungan
hidup. Hal ini semestinya harus
dijadikan rujukan tetap bagi dunia peradilan, sehingga di kemudian hari tak
perlu lagi menjadi perdebatan maupun inkonsistensi putusan PTUN yang bervariatif
dalam menyikapi legal standing LSM yang mengadvokasi lingkungan hidup sejauh
telah memenuhi kriteria LSM sebagaimana terdapat pada putusan PTUN Jakarta
tertanggal 12 Desember 1994.
Namun, putusan PTUN tersebut
memiliki kelemahan dalam menilai kedudukan instrumen hukum upaya administratif
sebagai bagian dari hak inspraak dalam teori hukum administrasi negara. Hal itu
disebabkan putusan PTUN itu mencampuradukkan konsep upaya administratif yang
diatur dalam UU PTUN dan UU Administrasi Pemerintahan. Upaya administratif
sebagaimana diatur pada Pasal 48 jo Pasal 51 ayat (3) UU No 5/1986 jika
dikaitkan dengan penjelasan kedua pasal itu sebenarnya hanya diarahkan untuk
upaya administratif dalam sengketa kepegawaian yang bersifat mutlak harus
ditempuh sebelum pihak penggugat mengajukan gugatan di PTUN (pembatasan
kompetensi absolute yang berisfat relatif). Sedangkan upaya administratif
sebagaimana diatur dalam UU Administrasi Pemerintahan merupakan upaya
administtratif di luar sengketa kepegawaian sifatnya fakultatif. Artinya, dapat
dipergunakan maupun tidak dipergunakan oleh orang atau badan hukum privat jika
dirugikan oleh suatu Keputusan TUN.
Menilik pertimbangan majelis hakim
PTUN tersebut sebenarnya dapat digunakan untuk menyempurnakan doktrin dalam
hukum administrasi negara selama ini cenderung memaknai syarat sahnya KTUN
hanya dari sisi procedural-formil.Putusan tersebut telah menempatkan sisi
procedural sebagai syarat sah penerbitkan KTUN harus juga sampai pada level
kualitas procedural-materiil dengan mempertimbangkan bobot/kualitas penerimaan
masyarakat atas rencana penerbitan suatu KTUN perijinan lingkungan.
Putusan PT TUN Surabaya No.
79/B/2016/PT.TUN.SBY tertanggal 1 Juli 2016 justru terlihat controversial.
Ketidakberhasilan majelis hakim menghasilkan putusan melalui mekanisme
musyawarah berujung pada dilakukannya voting dalam penentuan putusan telah
menyebabkan dibatalkannya putusan PTUN Semarang. Dalil-dalam gugatan penggugat
ditolak oleh majelis hakim tinggi dengan menggeser logika hukum pertimbangan
procedural-materiil penetapan objek sengketa kembali menjadi pertimbangan
prosedura-formil. Majelis hakim tinggi hanya berpedoman pada bahwa SK Bupati
Pati No. 660.1/4766 Tahun 2014 tertanggal 8 Desember 2014 selain memberikan
Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Pembangunan Pabrik Semen serta Pertambangan
Batugamping dan Batulempung di Kabupaten Pati oleh PT Sahabat Mulia Sakti juga
memberikan tanggung jawab dan kewajiban bagi PT Sahabat Mulia Sakti dan SKPD untuk melaksanakan pengawasan terhadap
kelayakan lingkungan hidup.
Konstruksi berpikir hukum dalam
pertimbangan hukum putusan PTTUN juga menuai terjadinya dissenting opinion yang
pada intinya tetap mendukung pertimbangan hukum Putusan PTUN Semarang. Putusan
PT TUN tersebut telah dihasilkan melalui tingkat kebulatan pendapat di antara
majelis hakim tinggi yang rendah dan memicu kontroversi daripada menghasilkan
sebuah solusi untuk mngakhiri sebuah sengketa dan pertaruhan nasib lingkungan
serta rakyat yang menjadi korban kebijakan Pemda yang bias komersialisasi
wilayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar