Mencegah Korupsi dalam Pengadaan Barang
dan Jasa pada BUMN
Disampaikan dalam FGD Pakar "Mencegah Korupsi dalam Pengadaan
Barang dan Jasa pada BUMN - Lesson Learnt dari Putusan Pengadilan Tipikor Medan
1 Oktober 2014 tentang Tindak Pidana Korupsi terkait Pengadaan Pekerjaan Life
Time Extension pada PLTGU Belawan" yang diselenggarakan oleh Pusat
Konsultasi dan Bantuan Hukum (PKBH) Fakultas Hukum UGM tanggal 18 November 2014
oleh: Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.
1. Status Pemisahan Kekayaan Negara di BUMN (Sub
bab ini diperluas dari opini penulis yang pernah dimuat di harian KOMPAS
tanggal 1 Oktober 2014)
Mahkamah
Konstitusi melalui Putusan MK No. 48 dan 62/PUU-XI/2013 yang dibacakan tanggal
18 September 2014 telah mengukuhkan status kekayaan negara yang bersumber dari
keuangan negara yang dipisahkan dari APBN untuk disertakan menjadi penyertaan
modal di BUMN tetap menjadi bagian dari rezim keuangan negara. Hal itu telah
mengakhiri perdebatan mengenai frasa kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan
daerah dalam Pasal 2 huruf g UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang
merupakan salah satu unsur dari keuangan negara.
Meskipun
UU No. 17 Tahun 2003 dengan tegas telah menempatkan kekayaan yang dipisahkan
pada BUMN merupakan bagian dari keuangan negara, namun ketentuan tersebut
sering dibenturkan dengan pandangan yang menganut prinsip otonomi badan hukum
privat dan teori transformasi keuangan negara. Pandangan yang pertama tersebut
menyatakan bahwa dengan perubahan bentuk hukum suatu BUMN menjadi PT persero,
maka, status kekayaan negara yang bersumber dari pemisahan keuangan negara di
BUMN yang dalam UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN dikatakan tak lagi tunduk
pada prinsip-prinsip pengelolaan APBN, seakan-akan tak lagi terjamah oleh sistem
pengawasan BPK terhadap penggunaan uang yang bersumber dari APBN tersebut.
Pandangan ini melupakan bahwa pengawasan terhadap penggunaan keuangan negara
dari APBN yang disertakan sebagai modal/saham dalam BUMN hanya dilakukan khusus
terhadap aliran keuangan negara tersebut. Negara berkepentingan untuk
mengamankan uang negara yang masuk dalam kas BUMN melalui mekanisme subsidi
maupun penyertaan modal. Dalam teori hukum keuangan negara, eksistensi asas
kelengkapan (volledigheid beginsel)
telah menjamin bahwa tak boleh ada celah abu-abu yang memungkinkan adanya
aliran keuangan negara yang lepas dari sistem pengawasan parlemen melalui audit
BPK, yang dalam konstitusi ditegaskan memiliki atribusi wewenang sebagai organ
tinggi negara dengan fungsi auditif. Selain itu, dengan prinsip hak preferensi
negara, negara tak boleh kehilangan wewenang pengawasan terhadap penggunaan
keuangan negara yang harus selalu dipertanggungjawabkan melalui siklus
pengelolaan APBN. Hal itu juga sekaligus mengafirmasi kesahihan teori sumber
sebagai salah satu teori klasik dalam pengelolaan keuangan negara yang menegaskan prinsip bahwa setiap aliran
uang negara yang bersumber dari APBN harus dipertanggungjawabkan berdasarkan
mekanisme pertanggungjawaban APBN.
Paaradigma
pengelolaan BUMN tak boleh berlari meninggalkan prinsip dasar yang terkandung
dalam Pasal 33 UUD Negara RI 1945. Oleh karena itu, seharusnya ruh dalam
pengelolaan BUMN tetap diarahkan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan
negara tak boleh kehilangan kendali pengawasan atas tata kelola BUMN. Hal ini
sekaligus juga meruntuhkan konsep sumir bahwa melalui privatisasi BUMN telah
terjadi transformasi keuangan negara menjadi uang privat dalam wadah BUMN
persero yang seakan-akan tak terjamah lagi oleh sistem pengawasan negara.
Privatisasi tak boleh menjadi wilayah abu-abu untuk melakukan berbagai
praktik-praktik koruptif dengan membingkainya menjadi resiko bisnis. Cara
pandang yang terakhir ini bisa mengancam penyalahgunaan aset negara di berbagai
BUMN yang jumlahnya kini tak kurang dari Rp 3.500 triliun. BUMN didirikan oleh
negara tak boleh sekadar hanya berorientasi profit karena Pasal 33 harus selalu
menjadi paradigma dalam pengelolaan BUMN. BUMN dalam perspektif konstitusi
harus tetap menjadi agent of development untuk
memberikan kemanfaatan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Putusan
Mahkamah Agung No. 1863/K/Pid.Sus/2010 juga sebelumnya telah menjadi
yurisprudensi yang menjadi rujukan bagi KPK untuk menyelamatkan triliunan
rupiah uang negara yang disalahgunakan pengelolaannya oleh beberapa BUMN.
Dengan adanya putusan MK dan putusan MA, tersebut seharusnya tak perlu lagi
keuangan negara di BUMN diperdebatkan status hukum publiknya, apalagi dengan
motif tersembunyi untuk mengambil keuntungan dari wilayah abu-abu dalam
pengelolaannya.
Jika membaca
putusan MK No. 48/PUU-XI/2013 sangat jelas terlihat pendirian MK yang
menempatkan BUMN sebagai kepanjangan tangan negara dari negara untuk
menjalankan sebagian fungsi negara untuk mencapai tujuan negara, yaitu
mencerdaskan kehidupan bangsa atau memajukan kesejahteraan umum. Pengertian
keuangan negara dalam UU No. 17/2003 adalah semua hak dan kewajiban negara yang
dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa
barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban tersebut (Pasal 1 angka 1). Pengertian tersebut secara historis
konseptual sebenarnya mengikuti rumusan pengertian keuangan negara yang pernah
dihasilkan dalam seminar ICW tanggal 30 Agustus-5 September 1970 di Jakarta
yang sebelumnya dalam teori hukum keuangan negara pernah pula dikemukakan oleh
van der Kemp. Definisi keuangan negara yang diatur dalam UU No. 17/2003
diderivasi dari teori negara kesejahteraan (welfare
state) yang secara eksplisit dianut dalam UUD Negara RI 1945, sejak dari
pembukaan hingga pasal-pasalnya. Pembentuk UUD 1945 yang diwarnai pemikiran
negara kesejahteraan (welfare state) mencita-citakan pembentukan suatu
pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan mampu
memajukan kesejahteraan umum dan seterusnya.Sehubungan dengan definisi keuangan
negara vide Pasal 1 angka 1 UU No. 17 Tahun 2003, Definisi keuangan negara
dalam Pasal 1 butir 1 UU No. 17/2003 tersebut menggunakan definisi yang luas
untuk mengamankan kekayaan negara yang bersumber dari uang rakyat yang
diperoleh melalui pajak, retribusi maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Komitmen tersebut terlihat dari definisi keuangan negara dalam UU No. 17/2003
yang menggunakan sistem definisi yang bersifat luas/komprehensif.
Definisi dan
ruang lingkup keuangan negara yang dirumuskan secara luas/ komprehensif
tersebut dimaksudkan untuk mencegah adanya loopholes dalam regulasi yang bisa
berimplikasi terhadap terjadinya kerugian negara dalam hal pengelolaan keuangan
negara. Jika dikaitkan dengan ialah pemberantasan korupsi, Penjelasan UU No.
31/1999 juga terlihat menganut sistem definisi yang luas/komprehensif terhadap
pemaknaan keuangan negara dengan menyatakan bahwa: Keuangan negara yang
dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan
atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara
dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: (a) berada dalam penguasaan,
pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat
pusat maupun di daerah; (b) berada dalam
penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan
Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal
negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan
perjanjian dengan Negara.
Putusan MK No.
62/PUU-XI/2013 menegaskan pendirian MK bahwa pemisahan kekayaan negara di BUMN
dilihat dari perspektif transaksi bukanlah transaksi yang mengalihkan suatu hak,
sehingga akibat hukumnya tidak terjadi peralihan hak dari negara kepada BUMN,
BUMD, atau nama lain yang sejenisnya. Dengan demikian kekayaan negara yang
dipisahkan itu masih tetap menjadi kekayaan negara.
2. Perspektif Pengadaan Barang dan Jasa di Lingkungan
BUMN
Kepastian hukum
mengenai kedudukan BUMN sebagai kepanjangan tangan negara dalam pelaksanaan
fungsi perwujudan kesejahteraan umum, telah mengembalikan prinsip hukum
administrasi negara bahwa BUMN merupakan salah salah satu dari 8 (delapan) cara
pelaksanaan tindakan negara dalam melaksanakan tugas negara kesejahteraan (bestuurszorg). Meskipun negara bisa
bertindak melalui badan hukum privat, namun, terdapat limitasi tethadap
tindakan-tindakan yang dapat dilakukan oleh badan hukum privat tersebut melalui
seperangkat norma hukum publik yang terletak di ranah hukum publik.
Dalam Pengadaan
barang/Jasa ada dua subjek hukum yang mempunyai kesetaraan/kedudukan yang
mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Pertama dari sisi Pengguna barang/Jasa
yaitu pemerintah/instansi yang membutuhkan barang/jasa. Kedua dari sisi
Penyedia Barang/Jasa yaitu badan usaha atau orang perorangan yang menyediakan
Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Konsultansi/ atau Jasa Lainnya. atau
Penyedianya melalui swakelola. Swakelola adalah Pengadaan Barang/Jasa dimana
pekerjaannya direncanakan, dikerjakan dan/atau diawasi sendiri oleh
Kementerian/Lembaga/Daerah/Institusi sebagai penanggung jawab anggaran,
instansi pemerintah lain dan/atau kelompok masyarakat. Ditinjau dari sisi Pengguna
Pengadaan barang/Jasa pada hakikatnya adalah upaya pengguna barang/jasa untuk
mendapatkan barang/jasa yang dibutuhkan dengan menggunakan metode dan proses
tertentu agar dicapai kesepakatan tepat harga, kualitas (spesifikasi),
kuantitas (volume), waktu, tempat, dan kesepakatan lainnya. Sedangkan
Penyedia Barang/Jasa adalah badan usaha
atau orang perorangan yang menyediakan Barang/Pekerjaan Kontruksi, Jasa
Konsultansi dan Jasa Lainnya. Hakikat pengadaan tersebut dapat dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya apabila pihak pengguna maupun penyedia harus berpedoman
pada etika dan norma pengadaan yang berlaku, mengikuti prinsip-prinsip, metode,
dan prosedur pengadaan yang baik (sound practices). Dalam pengadaan barang/jasa
fakta menunjukan telah banyak terjadi baik dari sisi pengguna maupun sisi
penyedia tersangkut kasus korupsi, mulai dari tersangka, terdakwa maupun
terpidana. Para pejabat tersebut ada dari pelaksana/staf, pejabat struktural,
bahkan pejabat negara.
Hubungan hukum
yang merupakan hubungan hukum administrasi negara (HAN) atau tata usaha negara.
adalah hubungan hukum antara pengguna dengan penyedia barang/jasa pada proses
persiapan sampai proses penerbitan surat penetapan penyedia barang/jasa
instansi pemerintah. Bertindak sebagai subjek hukum publik pada instansi adalah
kepala kantor secara ex-officio menjadi Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna
Anggaran (PA/KPA). PA/KPA bertindak sebagai pejabat negara/daerah dan mewakili
negara/daerah dalam melakukan tindakan/perbuatan hukum, bukan berkedudukan
sebagai individu/pribadi.
Pengadaan barang
dan jasa publik (PBJ) di lingkungan BUMN perlu memperhatikan dan mengacu
prinsip-prinsip fundamental yang terdapat dalam mekanisme PBJ yang berlaku di
lingkungan Pemerintah (Kementerian/Lembaga/SKPD) yang saat ini diatur dalam
Perpres No. 54 Tahun 2010 jis Perpres No. 35 Tahun 2011 dan Perpres No. 70
Tahun 2011 tentang Perubahan atas Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (selanjutnya
disebut Peraturan PBJ). Memang, terdapat banyak masukan yang sudah mulai direspons
pemerintah untuk meningkatkan level produk hukum tersebut menjadi UU.
Dalam Peraturan
PBJ Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut dengan Pengadaan
Barang/Jasa dimaknai sebagai kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/
Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi yang prosesnya dimulai dari
perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh
Barang/Jasa. Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa dilakukan melalui: a. Swakelola;
dan/atau b. pemilihan Penyedia Barang/Jasa. Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
dalam Peraturan PBJ meliputi: a. Barang; b. Pekerjaan Konstruksi; c. Jasa
Konsultansi; dan d. Jasa Lainnya.
Pengadaan barang
dan jasa (procurement) pada
hakekatnya merupakan upaya untuk mendapatkan atau mewujudkan barang dan jasa
yang diinginkan dengan menggunakan metode dan proses tertentu untuk mencapai
kesepakatan harga, waktu, dan kesepakatan lainnya. Pengadaan dilakukan atas
dasar pemikiran yang logis dan sistimatis, mengikuti norma dan etika yang
berlaku, berdasarkan metoda dan proses pengadaan yang baku. Kegiatan pengadaan
barang dan jasa ini dituangkan dalam suatu perjanjian atau kontrak pengadaan
barang dan jasa.
Kegiatan
pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah memiliki dimensi yang sedikit berbeda
dan lebih rumit dibandingkan sektor swasta, karena adanya dimensi publik dan
privat dalam kegiatan kontraktualisasi yang dilakukan pemerintah. Ada 3 (tiga)
karakteristik pembelanjaan oleh Negara (government
spending) yang membedakannya dengan pembelanjaan oleh swasta (private spending). Pertama,
kontrak-kontrak pemerintah pada umumnya diatur atau diregulasi secara
sedemikian rupa untuk mencegah penyalahgunaan dana dan untuk memastikan adanya
keseragaman prosedur dan praktek antar lembaga Negara/pemerintah. Kedua,
ketentuan-ketentuan dalam kontrak adalah produk yang disusun dengan penuh
kehatihatian oleh para ahli hukum pemerintah. Ketiga, karena status sengketa
yang terjadi berkaitan dengan kontrak pemerintah berbeda dengan kontrak-kontrak
swasta pada umumnya.
Tindakan
pemerintahan (bestuurshandeling) oleh
badan atau pejabat tata usaha negara dapat dilakukan dalam peranan sebagai
pelaku hukum publik (public actor)
dan pelaku hukum keperdataan (civil
actor). Kontrak yang dibuat oleh pemerintah sebagai pelaku hukum
keperdataan merupakan kontrak dengan karakter hibrida. Meskipun hubungan hukum
yang tercipta di antara para pihak adalah hubungan kontraktual, namun kontrak
tersebut mengandung unsur hukum publik, karena salah satu pihak (pemerintah)
berkedudukan sebagai penguasa. Kedudukan pemerintah sebagai penguasa
mendatangkan kemungkinan penyalahgunaan keadaan yang dapat merugikan mitra
(pihak privat).
Dalam pengadaan
barang/jasa pemerintah terdapat 15 (lima belas) tahapan penting, yaitu: 1.
Perencanaan Pengadaan 2. Pembentukan Panitia 3. Prakualifikasi Perusahaan 4.
Penyusunan Dokumen Pemilihan 5. Pengumuman Lelang 6. Pengambilan Dokumen
Pemilihan 7. Penyusunan HPS 8. Rapat Penjelasan (aanwijzing) 9. Penyerahan dan Pembukaan Penawaran 10. Evaluasi
Penawaran 11.Pengumuman Calon Pemenang 12. Sanggahan Peserta Lelang 13.
Penunjukan Pemenang Lelang 14. Penandatangan Kontrak 15. Penyerahan Barang.
Perencanaan
sebagai dasar dalam melakukan kegiatan pengadaan barang/jasa adalah suatu
tindakan terpadu dari suatu kementerian atau instansi Pemerintah atau
pemerintah daerah dengan tujuan agar tercipta suatu keadaan yang tertib
bilamana tindakan tersebut selesai direalisasikan. Suatu rencana menunjukkan
kebijakan yang akan dijalankan oleh administrasi Negara pada kegiatan pengadaan
barang/jasa. Perencanaan dalam kegiiatran pengadaan barang/jasa ini secara
hukum administrasi negara dilakukan oleh (Pejabat Pembuat Komitmen) sebagai
piminnan Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya.
Hal ini disebabkan terdapat suatu surat keputusan dari pejabat administrasi
negara yang memberikan kewenangan kepada PPK yang bersangkutan.
Jika di
lingkungan BUMN dibuat peraturan internal PBJ, beberapa nilai dasar dalam
Peraturan PBJ harus dijadikan pedoman dalam PBJ tersebut, yaitu bahwa Pengadaan
Barang/Jasa menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut: a. efisien;
b. efektif; c. transparan; d.
terbuka; e. bersaing; f. adil/tidak diskriminatif; dan g. akuntabel. Pihak-pihak yang terlibat dalam
mekanisme PBJ meliputi: (1). Organisasi Pengadaan Barang/Jasa untuk Pengadaan
melalui Penyedia Barang/Jasa terdiri atas: a. PA/KPA; b. PPK; c. ULP/Pejabat
Pengadaan; dan d. Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan; dan (2) Organisasi
Pengadaan Barang/Jasa untuk Pengadaan melalui Swakelola terdiri atas: a.
PA/KPA; b. PPK; b1. ULP/Pejabat Pengadaan/Tim Pengadaan; dan c. Panitia/Pejabat
Penerima Hasil Pekerjaan. Pengaturan kewenangan dari masing-masing pejabat PBJ
di lingkungan BUMN perlu menderivasi norma-norma hukum dari Pasal 8 s/d Pasal
18 Peraturan PBJ. Hal ini dimaksudkan agar terdapat kejelasan dan kepastian
hukum menyangkut wewenang dan pelaksanaan wewenang dalam mekanisme PBJ di
lingkungan BUMN. PBJ harus dilaksanakan berdasarkan Rencana Umum PBJ yang di
lingkungan BUMN perlu mengacu pada standar penggunaan anggaran, persetujuan
Menteri-menteri terkait atau pejabat yang ditunjuk dan sangat baik jika ada
konsultasi dengan BPK terkait dengan adanya Standar Peneriksaan Keuangan Negara
dalam Peraturan BPK No. 1 Tahun 2007. Keberadaan Deputi Pencegahan KPK RI bisa
diletakkan sebagai mitra konsultatif untuk dilibatkan dalam mekanisme preventif
mencegah terjadinya kesalahan dalam proses PBJ sekaligus meminta input dari
LKPBJ terkait pengaturan secara internal mekanisme PBJ di lingkungan BUMN.
Mekanisme PBJ
berdasarkan prinsip swakelola tak boleh meninggalkan prinsip-prinsip pokok (primary norm) yang terkandung dalam Bab
V Pasal 26 s/d 32 Peraturan PBJ. Sedangkan, untuk mekanisme PBJ melalui
penyedia barang/jasa harus mengikuti prinsip-prinsip yang terkandung dalam Bab
VI Pasal 33 s/d Pasal 95 Peraturan PBJ.
Pengadaan
barang/jasa pemerintah dengan dukungan pembiayaan APBN/D memiliki fungsi
ekonomi, politik dan sosial yang sangat penting dalam penyelnggaraan fungsi
pemerintah. Benon Basheka dalam tulisannya dalam Khi V. Thai dalam
“International Handbook of Public Procurement” (2009: 135) mengatakan: “In any country, there will always be goods
and services that citizens expect from their governments. Such goods and
services include national security or defense, medical and health provision,
protection of their rights and their property, sanitation and provision of
water, electricity provision, education, and transport services. Such services
can be provided if there are effective public procurement systems. Poor public
procurement management has serious impacts on the functioning of the public
sector. Poor systems may, for example, lead to delays in the implementation of government
programs and this could have adverse eff ects on society. A discussion of the
contribution of public procurement to the functioning of the public sector has
to be made in the context of the objectives of public procurement. During the
1980s and 1990s, many countries were performing badly in achieving their public
service objectives. The public procurement systems were not working properly.
It was therefore held that effective public procurement systems could be
created through public procurement reforms. A well-functioning procurement
system is built on certain benchmarks, which revolves around four
pillars—legislative and regulatory framework, institutional framework and
management capacity, procurement operations and market practices, and integrity
of procurement practices (Agaba and Shipman, 2006). Each of these pillars has
certain indicators. Public procurement was conducted within the public sector,
which had essentially broader social and economic goals to fulfill through
offering efficient and effective services like health, education, transport,
sanitation, etc. Efficient and effective service delivery would in turn
contribute to good governance.”
Terjadinya
korupsi dalam penyelenggaraan fungsi pemerintah dalam perspektif Hukum Administrasi
Negara prinsipnya selalu diawali dengan adanya tindakan penyalahgunaan wewenang
atau tindakan sewenang-wenang. Dengan demikian perlu dipahami dengan baik
karakter dari wewenang dalam hukum administrasi negara. Sebagai suatu konsep
hukum publik, wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga komponen, yaitu :
pengaruh, dasar hukum dan konformitas hukum. Komponen pengaruh bermakna bahwa
penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subjek hukum.
Komponen dasar hukum mengandung makna bahwa wewenang itu selalu harus dapat
ditunjuk dasar hukumnya. Komponen konformitas hukum mengandung makna adanya
standar wewenang, yaitu standar umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus
(untuk jenis wewenang tertentu).
Ada tidaknya
unsur penyalahgunaan wewenang diuji dengan asas spesialitas (specialiteitsbeginsel) yakni asas yang
menentukan bahwa wewenang itu diberikan kepada organ pemerintahan dengan tujuan
tertentu (L.J.A.Damen, 2005:57). Jika menyimpang dari tujuan diberikannya
wewenang ini dianggap penyalahgunaan wewenang. Unsur sewenang-wenang diuji
dengan asas rasionalitas atau kepantasan (redelijk).
Suatu kebijakan dikategorikan mengandung unsur willekeur jika kebijakan itu nyata-nyata tidak masuk akal atau
tidak beralasan (kennelijk onredelijk).
Parameter keabsahan penggunaan wewenang tata usaha negara dalam mekanisme PBJ
terdapat dalam Peraturan PBJ.
Tanggung jawab
pribadi berkaitan dengan maladministrasi dalam penggunaan wewenang maupun public service melekat pada pejabat
administrasi negara. Seorang pejabat yang melaksanakan tugas dan kewenangan
jabatan atau membuat kebijakan akan dibebani tanggung jawab pribadi jika ia
melakukan tindakan maladministrasi. F.R.Bothlingk mengatakan bahwa pejabat atau
wakil itu bertanggung jawab sepenuhnya, ketika ia menyalahgunakan situasi
dengan melakukan tindakan amoralnya sendiri terhadap kepentingan pihak ketiga
(F.R.Bothlingk, 1954:142). Seseorang bertanggung jawab secara pribadi terhadap
pihak ketiga bilamana ia telah bertindak secara moril sangat tercela atau
dengan itikad buruk atau dengan sangat ceroboh, yakni melakukan tindakan
maladministrasi. Maladministrasi berasal dari bahasa Latin malum (jahat, buruk, jelek) dan administrare (to manage, mengurus, atau melayani), Maladministrasi berarti pelayanan
atau pengurusan yang buruk atau jelek. Hal inilah yangperlu diantisipasi dalam
mencegah terjadinya tindak pidana korupsi di lingkungan BUMN.
Jika ditinjau
dari segi pertanggungjawaban, dalam praktiknya pertanggungjawaban atas
penyimpangan terhadap suatu proses pengadaan barang dan jasa Pemerintah
dilimpahkan kepada para pejabat dalam struktur pengadaan barang/jasa khususnya
terhadap Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)/PIMPRO. Hal ini tidak terlepas dari
kedudukan dan jabatan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)/PIMPRO dalam struktur
pengadaan barang dan jasa di Pemerintah yang memiliki tugas, fungsi dan
kewenangan dan tanggungjawab yang sangat besar. Hal tersebut dipertegas
Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010, dan Peraturan Presiden No.
35 tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan
Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang
menyatakan bahwa “Pengguna barang/jasa bertanggungjawab dari segi administrasi,
fisik, keuangan dan fungsional atas pengadaan barang/jasa yang dilaksanakannya”.
Hal tersebut juga diperkuat dengan hadirnya Perpres No. 70 Tahun 2012.
Daftar Pustaka
Balin, Hirsch, 1991, Rechtstaat
& Beleid, WEJ Tjeenk Willink, Zwolle, Nederland.
Riawan Tjandra, W., 2014, Hukum Keuangan Negara, Grasindo, Jakarta.
Haan, P. de, et.al., 1986, Bestuursrecht in de Sociale Rechtstaat, Kluwer-Deventer. Nederland.
Thai, Khi V (editor), 2009, International Handbook of Public Procurement, CRC Press Taylor and
Francis, LLC, USA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar