Minggu, 03 Mei 2020


Mencegah Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa pada BUMN

Disampaikan dalam FGD Pakar "Mencegah Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa pada BUMN - Lesson Learnt dari Putusan Pengadilan Tipikor Medan 1 Oktober 2014 tentang Tindak Pidana Korupsi terkait Pengadaan Pekerjaan Life Time Extension pada PLTGU Belawan" yang diselenggarakan oleh Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum (PKBH) Fakultas Hukum UGM tanggal 18 November 2014

oleh: Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.

1. Status Pemisahan Kekayaan Negara di BUMN (Sub bab ini diperluas dari opini penulis yang pernah dimuat di harian KOMPAS tanggal 1 Oktober 2014)

                Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK No. 48 dan 62/PUU-XI/2013 yang dibacakan tanggal 18 September 2014 telah mengukuhkan status kekayaan negara yang bersumber dari keuangan negara yang dipisahkan dari APBN untuk disertakan menjadi penyertaan modal di BUMN tetap menjadi bagian dari rezim keuangan negara. Hal itu telah mengakhiri perdebatan mengenai frasa kekayaan yang  dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah dalam Pasal 2 huruf g UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang merupakan salah satu unsur dari keuangan negara.
                Meskipun UU No. 17 Tahun 2003 dengan tegas telah menempatkan kekayaan yang dipisahkan pada BUMN merupakan bagian dari keuangan negara, namun ketentuan tersebut sering dibenturkan dengan pandangan yang menganut prinsip otonomi badan hukum privat dan teori transformasi keuangan negara. Pandangan yang pertama tersebut menyatakan bahwa dengan perubahan bentuk hukum suatu BUMN menjadi PT persero, maka, status kekayaan negara yang bersumber dari pemisahan keuangan negara di BUMN yang dalam UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN dikatakan tak lagi tunduk pada prinsip-prinsip pengelolaan APBN, seakan-akan tak lagi terjamah oleh sistem pengawasan BPK terhadap penggunaan uang yang bersumber dari APBN tersebut. Pandangan ini melupakan bahwa pengawasan terhadap penggunaan keuangan negara dari APBN yang disertakan sebagai modal/saham dalam BUMN hanya dilakukan khusus terhadap aliran keuangan negara tersebut. Negara berkepentingan untuk mengamankan uang negara yang masuk dalam kas BUMN melalui mekanisme subsidi maupun penyertaan modal. Dalam teori hukum keuangan negara, eksistensi asas kelengkapan (volledigheid beginsel) telah menjamin bahwa tak boleh ada celah abu-abu yang memungkinkan adanya aliran keuangan negara yang lepas dari sistem pengawasan parlemen melalui audit BPK, yang dalam konstitusi ditegaskan memiliki atribusi wewenang sebagai organ tinggi negara dengan fungsi auditif. Selain itu, dengan prinsip hak preferensi negara, negara tak boleh kehilangan wewenang pengawasan terhadap penggunaan keuangan negara yang harus selalu dipertanggungjawabkan melalui siklus pengelolaan APBN. Hal itu juga sekaligus mengafirmasi kesahihan teori sumber sebagai salah satu teori klasik dalam pengelolaan keuangan negara  yang menegaskan prinsip bahwa setiap aliran uang negara yang bersumber dari APBN harus dipertanggungjawabkan berdasarkan mekanisme pertanggungjawaban APBN.
                Paaradigma pengelolaan BUMN tak boleh berlari meninggalkan prinsip dasar yang terkandung dalam Pasal 33 UUD Negara RI 1945. Oleh karena itu, seharusnya ruh dalam pengelolaan BUMN tetap diarahkan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan negara tak boleh kehilangan kendali pengawasan atas tata kelola BUMN. Hal ini sekaligus juga meruntuhkan konsep sumir bahwa melalui privatisasi BUMN telah terjadi transformasi keuangan negara menjadi uang privat dalam wadah BUMN persero yang seakan-akan tak terjamah lagi oleh sistem pengawasan negara. Privatisasi tak boleh menjadi wilayah abu-abu untuk melakukan berbagai praktik-praktik koruptif dengan membingkainya menjadi resiko bisnis. Cara pandang yang terakhir ini bisa mengancam penyalahgunaan aset negara di berbagai BUMN yang jumlahnya kini tak kurang dari Rp 3.500 triliun. BUMN didirikan oleh negara tak boleh sekadar hanya berorientasi profit karena Pasal 33 harus selalu menjadi paradigma dalam pengelolaan BUMN. BUMN dalam perspektif konstitusi harus tetap menjadi agent of development untuk memberikan kemanfaatan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
                Putusan Mahkamah Agung No. 1863/K/Pid.Sus/2010 juga sebelumnya telah menjadi yurisprudensi yang menjadi rujukan bagi KPK untuk menyelamatkan triliunan rupiah uang negara yang disalahgunakan pengelolaannya oleh beberapa BUMN. Dengan adanya putusan MK dan putusan MA, tersebut seharusnya tak perlu lagi keuangan negara di BUMN diperdebatkan status hukum publiknya, apalagi dengan motif tersembunyi untuk mengambil keuntungan dari wilayah abu-abu dalam pengelolaannya.
     Jika membaca putusan MK No. 48/PUU-XI/2013 sangat jelas terlihat pendirian MK yang menempatkan BUMN sebagai kepanjangan tangan negara dari negara untuk menjalankan sebagian fungsi negara untuk mencapai tujuan negara, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa atau memajukan kesejahteraan umum. Pengertian keuangan negara dalam UU No. 17/2003 adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut (Pasal 1 angka 1). Pengertian tersebut secara historis konseptual sebenarnya mengikuti rumusan pengertian keuangan negara yang pernah dihasilkan dalam seminar ICW tanggal 30 Agustus-5 September 1970 di Jakarta yang sebelumnya dalam teori hukum keuangan negara pernah pula dikemukakan oleh van der Kemp. Definisi keuangan negara yang diatur dalam UU No. 17/2003 diderivasi dari teori negara kesejahteraan (welfare state) yang secara eksplisit dianut dalam UUD Negara RI 1945, sejak dari pembukaan hingga pasal-pasalnya. Pembentuk UUD 1945 yang diwarnai pemikiran negara kesejahteraan (welfare state) mencita-citakan pembentukan suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan mampu memajukan kesejahteraan umum dan seterusnya.Sehubungan dengan definisi keuangan negara vide Pasal 1 angka 1 UU No. 17 Tahun 2003, Definisi keuangan negara dalam Pasal 1 butir 1 UU No. 17/2003 tersebut menggunakan definisi yang luas untuk mengamankan kekayaan negara yang bersumber dari uang rakyat yang diperoleh melalui pajak, retribusi maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak. Komitmen tersebut terlihat dari definisi keuangan negara dalam UU No. 17/2003 yang menggunakan sistem definisi yang bersifat luas/komprehensif.
     Definisi dan ruang lingkup keuangan negara yang dirumuskan secara luas/ komprehensif tersebut dimaksudkan untuk mencegah adanya loopholes dalam regulasi yang bisa berimplikasi terhadap terjadinya kerugian negara dalam hal pengelolaan keuangan negara. Jika dikaitkan dengan ialah pemberantasan korupsi, Penjelasan UU No. 31/1999 juga terlihat menganut sistem definisi yang luas/komprehensif terhadap pemaknaan keuangan negara dengan menyatakan bahwa: Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: (a) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah; (b)  berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.
       Putusan MK No. 62/PUU-XI/2013 menegaskan pendirian MK bahwa pemisahan kekayaan negara di BUMN dilihat dari perspektif transaksi bukanlah transaksi yang mengalihkan suatu hak, sehingga akibat hukumnya tidak terjadi peralihan hak dari negara kepada BUMN, BUMD, atau nama lain yang sejenisnya. Dengan demikian kekayaan negara yang dipisahkan itu masih tetap menjadi kekayaan negara.

2. Perspektif Pengadaan Barang dan Jasa di Lingkungan BUMN
      Kepastian hukum mengenai kedudukan BUMN sebagai kepanjangan tangan negara dalam pelaksanaan fungsi perwujudan kesejahteraan umum, telah mengembalikan prinsip hukum administrasi negara bahwa BUMN merupakan salah salah satu dari 8 (delapan) cara pelaksanaan tindakan negara dalam melaksanakan tugas negara kesejahteraan (bestuurszorg). Meskipun negara bisa bertindak melalui badan hukum privat, namun, terdapat limitasi tethadap tindakan-tindakan yang dapat dilakukan oleh badan hukum privat tersebut melalui seperangkat norma hukum publik yang terletak di ranah hukum publik.
      Dalam Pengadaan barang/Jasa ada dua subjek hukum yang mempunyai kesetaraan/kedudukan yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Pertama dari sisi Pengguna barang/Jasa yaitu pemerintah/instansi yang membutuhkan barang/jasa. Kedua dari sisi Penyedia Barang/Jasa yaitu badan usaha atau orang perorangan yang menyediakan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Konsultansi/ atau Jasa Lainnya. atau Penyedianya melalui swakelola. Swakelola adalah Pengadaan Barang/Jasa dimana pekerjaannya direncanakan, dikerjakan dan/atau diawasi sendiri oleh Kementerian/Lembaga/Daerah/Institusi sebagai penanggung jawab anggaran, instansi pemerintah lain dan/atau kelompok masyarakat. Ditinjau dari sisi Pengguna Pengadaan barang/Jasa pada hakikatnya adalah upaya pengguna barang/jasa untuk mendapatkan barang/jasa yang dibutuhkan dengan menggunakan metode dan proses tertentu agar dicapai kesepakatan tepat harga, kualitas (spesifikasi), kuantitas (volume), waktu, tempat, dan kesepakatan lainnya. Sedangkan Penyedia   Barang/Jasa adalah badan usaha atau orang perorangan yang menyediakan Barang/Pekerjaan Kontruksi, Jasa Konsultansi dan Jasa Lainnya. Hakikat pengadaan tersebut dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya apabila pihak pengguna maupun penyedia harus berpedoman pada etika dan norma pengadaan yang berlaku, mengikuti prinsip-prinsip, metode, dan prosedur pengadaan yang baik (sound practices). Dalam pengadaan barang/jasa fakta menunjukan telah banyak terjadi baik dari sisi pengguna maupun sisi penyedia tersangkut kasus korupsi, mulai dari tersangka, terdakwa maupun terpidana. Para pejabat tersebut ada dari pelaksana/staf, pejabat struktural, bahkan pejabat negara. 
      Hubungan hukum yang merupakan hubungan hukum administrasi negara (HAN) atau tata usaha negara. adalah hubungan hukum antara pengguna dengan penyedia barang/jasa pada proses persiapan sampai proses penerbitan surat penetapan penyedia barang/jasa instansi pemerintah. Bertindak sebagai subjek hukum publik pada instansi adalah kepala kantor secara ex-officio menjadi Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA). PA/KPA bertindak sebagai pejabat negara/daerah dan mewakili negara/daerah dalam melakukan tindakan/perbuatan hukum, bukan berkedudukan sebagai individu/pribadi.
      Pengadaan barang dan jasa publik (PBJ) di lingkungan BUMN perlu memperhatikan dan mengacu prinsip-prinsip fundamental yang terdapat dalam mekanisme PBJ yang berlaku di lingkungan Pemerintah (Kementerian/Lembaga/SKPD) yang saat ini diatur dalam Perpres No. 54 Tahun 2010 jis Perpres No. 35 Tahun 2011 dan Perpres No. 70 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (selanjutnya disebut Peraturan PBJ). Memang, terdapat banyak masukan yang sudah mulai direspons pemerintah untuk meningkatkan level produk hukum tersebut menjadi UU.
     Dalam Peraturan PBJ Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut dengan Pengadaan Barang/Jasa dimaknai sebagai kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/ Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa. Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa dilakukan melalui: a. Swakelola; dan/atau b. pemilihan Penyedia Barang/Jasa. Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam Peraturan PBJ meliputi: a. Barang; b. Pekerjaan Konstruksi; c. Jasa Konsultansi; dan d. Jasa Lainnya.
      Pengadaan barang dan jasa (procurement) pada hakekatnya merupakan upaya untuk mendapatkan atau mewujudkan barang dan jasa yang diinginkan dengan menggunakan metode dan proses tertentu untuk mencapai kesepakatan harga, waktu, dan kesepakatan lainnya. Pengadaan dilakukan atas dasar pemikiran yang logis dan sistimatis, mengikuti norma dan etika yang berlaku, berdasarkan metoda dan proses pengadaan yang baku. Kegiatan pengadaan barang dan jasa ini dituangkan dalam suatu perjanjian atau kontrak pengadaan barang dan jasa.
      Kegiatan pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah memiliki dimensi yang sedikit berbeda dan lebih rumit dibandingkan sektor swasta, karena adanya dimensi publik dan privat dalam kegiatan kontraktualisasi yang dilakukan pemerintah. Ada 3 (tiga) karakteristik pembelanjaan oleh Negara (government spending) yang membedakannya dengan pembelanjaan oleh swasta (private spending). Pertama, kontrak-kontrak pemerintah pada umumnya diatur atau diregulasi secara sedemikian rupa untuk mencegah penyalahgunaan dana dan untuk memastikan adanya keseragaman prosedur dan praktek antar lembaga Negara/pemerintah. Kedua, ketentuan-ketentuan dalam kontrak adalah produk yang disusun dengan penuh kehatihatian oleh para ahli hukum pemerintah. Ketiga, karena status sengketa yang terjadi berkaitan dengan kontrak pemerintah berbeda dengan kontrak-kontrak swasta pada umumnya.
      Tindakan pemerintahan (bestuurshandeling) oleh badan atau pejabat tata usaha negara dapat dilakukan dalam peranan sebagai pelaku hukum publik (public actor) dan pelaku hukum keperdataan (civil actor). Kontrak yang dibuat oleh pemerintah sebagai pelaku hukum keperdataan merupakan kontrak dengan karakter hibrida. Meskipun hubungan hukum yang tercipta di antara para pihak adalah hubungan kontraktual, namun kontrak tersebut mengandung unsur hukum publik, karena salah satu pihak (pemerintah) berkedudukan sebagai penguasa. Kedudukan pemerintah sebagai penguasa mendatangkan kemungkinan penyalahgunaan keadaan yang dapat merugikan mitra (pihak privat).  
      Dalam pengadaan barang/jasa pemerintah terdapat 15 (lima belas) tahapan penting, yaitu: 1. Perencanaan Pengadaan 2. Pembentukan Panitia 3. Prakualifikasi Perusahaan 4. Penyusunan Dokumen Pemilihan 5. Pengumuman Lelang 6. Pengambilan Dokumen Pemilihan 7. Penyusunan HPS 8. Rapat Penjelasan (aanwijzing) 9. Penyerahan dan Pembukaan Penawaran 10. Evaluasi Penawaran 11.Pengumuman Calon Pemenang 12. Sanggahan Peserta Lelang 13. Penunjukan Pemenang Lelang 14. Penandatangan Kontrak 15. Penyerahan Barang.
      Perencanaan sebagai dasar dalam melakukan kegiatan pengadaan barang/jasa adalah suatu tindakan terpadu dari suatu kementerian atau instansi Pemerintah atau pemerintah daerah dengan tujuan agar tercipta suatu keadaan yang tertib bilamana tindakan tersebut selesai direalisasikan. Suatu rencana menunjukkan kebijakan yang akan dijalankan oleh administrasi Negara pada kegiatan pengadaan barang/jasa. Perencanaan dalam kegiiatran pengadaan barang/jasa ini secara hukum administrasi negara dilakukan oleh (Pejabat Pembuat Komitmen) sebagai piminnan Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya. Hal ini disebabkan terdapat suatu surat keputusan dari pejabat administrasi negara yang memberikan kewenangan kepada PPK yang bersangkutan. 
      Jika di lingkungan BUMN dibuat peraturan internal PBJ, beberapa nilai dasar dalam Peraturan PBJ harus dijadikan pedoman dalam PBJ tersebut, yaitu bahwa Pengadaan Barang/Jasa menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut:  a. efisien;  b. efektif;  c. transparan; d. terbuka;  e. bersaing;  f. adil/tidak diskriminatif; dan  g. akuntabel. Pihak-pihak yang terlibat dalam mekanisme PBJ meliputi: (1). Organisasi Pengadaan Barang/Jasa untuk Pengadaan melalui Penyedia Barang/Jasa terdiri atas: a. PA/KPA; b. PPK; c. ULP/Pejabat Pengadaan; dan d. Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan; dan (2) Organisasi Pengadaan Barang/Jasa untuk Pengadaan melalui Swakelola terdiri atas: a. PA/KPA; b. PPK; b1. ULP/Pejabat Pengadaan/Tim Pengadaan; dan c. Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan. Pengaturan kewenangan dari masing-masing pejabat PBJ di lingkungan BUMN perlu menderivasi norma-norma hukum dari Pasal 8 s/d Pasal 18 Peraturan PBJ. Hal ini dimaksudkan agar terdapat kejelasan dan kepastian hukum menyangkut wewenang dan pelaksanaan wewenang dalam mekanisme PBJ di lingkungan BUMN. PBJ harus dilaksanakan berdasarkan Rencana Umum PBJ yang di lingkungan BUMN perlu mengacu pada standar penggunaan anggaran, persetujuan Menteri-menteri terkait atau pejabat yang ditunjuk dan sangat baik jika ada konsultasi dengan BPK terkait dengan adanya Standar Peneriksaan Keuangan Negara dalam Peraturan BPK No. 1 Tahun 2007. Keberadaan Deputi Pencegahan KPK RI bisa diletakkan sebagai mitra konsultatif untuk dilibatkan dalam mekanisme preventif mencegah terjadinya kesalahan dalam proses PBJ sekaligus meminta input dari LKPBJ terkait pengaturan secara internal mekanisme PBJ di lingkungan BUMN.
       Mekanisme PBJ berdasarkan prinsip swakelola tak boleh meninggalkan prinsip-prinsip pokok (primary norm) yang terkandung dalam Bab V Pasal 26 s/d 32 Peraturan PBJ. Sedangkan, untuk mekanisme PBJ melalui penyedia barang/jasa harus mengikuti prinsip-prinsip yang terkandung dalam Bab VI Pasal 33 s/d Pasal 95 Peraturan PBJ.
       Pengadaan barang/jasa pemerintah dengan dukungan pembiayaan APBN/D memiliki fungsi ekonomi, politik dan sosial yang sangat penting dalam penyelnggaraan fungsi pemerintah. Benon Basheka dalam tulisannya dalam Khi V. Thai dalam “International Handbook of Public Procurement” (2009: 135) mengatakan: “In any country, there will always be goods and services that citizens expect from their governments. Such goods and services include national security or defense, medical and health provision, protection of their rights and their property, sanitation and provision of water, electricity provision, education, and transport services. Such services can be provided if there are effective public procurement systems. Poor public procurement management has serious impacts on the functioning of the public sector. Poor systems may, for example, lead to delays in the implementation of government programs and this could have adverse eff ects on society. A discussion of the contribution of public procurement to the functioning of the public sector has to be made in the context of the objectives of public procurement. During the 1980s and 1990s, many countries were performing badly in achieving their public service objectives. The public procurement systems were not working properly. It was therefore held that effective public procurement systems could be created through public procurement reforms. A well-functioning procurement system is built on certain benchmarks, which revolves around four pillars—legislative and regulatory framework, institutional framework and management capacity, procurement operations and market practices, and integrity of procurement practices (Agaba and Shipman, 2006). Each of these pillars has certain indicators. Public procurement was conducted within the public sector, which had essentially broader social and economic goals to fulfill through offering efficient and effective services like health, education, transport, sanitation, etc. Efficient and effective service delivery would in turn contribute to good governance.”
       Terjadinya korupsi dalam penyelenggaraan fungsi pemerintah dalam perspektif Hukum Administrasi Negara prinsipnya selalu diawali dengan adanya tindakan penyalahgunaan wewenang atau tindakan sewenang-wenang. Dengan demikian perlu dipahami dengan baik karakter dari wewenang dalam hukum administrasi negara. Sebagai suatu konsep hukum publik, wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga komponen, yaitu : pengaruh, dasar hukum dan konformitas hukum. Komponen pengaruh bermakna bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subjek hukum. Komponen dasar hukum mengandung makna bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya. Komponen konformitas hukum mengandung makna adanya standar wewenang, yaitu standar umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu).
      Ada tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang diuji dengan asas spesialitas (specialiteitsbeginsel) yakni asas yang menentukan bahwa wewenang itu diberikan kepada organ pemerintahan dengan tujuan tertentu (L.J.A.Damen, 2005:57). Jika menyimpang dari tujuan diberikannya wewenang ini dianggap penyalahgunaan wewenang. Unsur sewenang-wenang diuji dengan asas rasionalitas atau kepantasan (redelijk). Suatu kebijakan dikategorikan mengandung unsur willekeur jika kebijakan itu nyata-nyata tidak masuk akal atau tidak beralasan (kennelijk onredelijk). Parameter keabsahan penggunaan wewenang tata usaha negara dalam mekanisme PBJ terdapat dalam Peraturan PBJ.
       Tanggung jawab pribadi berkaitan dengan maladministrasi dalam penggunaan wewenang maupun public service melekat pada pejabat administrasi negara. Seorang pejabat yang melaksanakan tugas dan kewenangan jabatan atau membuat kebijakan akan dibebani tanggung jawab pribadi jika ia melakukan tindakan maladministrasi. F.R.Bothlingk mengatakan bahwa pejabat atau wakil itu bertanggung jawab sepenuhnya, ketika ia menyalahgunakan situasi dengan melakukan tindakan amoralnya sendiri terhadap kepentingan pihak ketiga (F.R.Bothlingk, 1954:142). Seseorang bertanggung jawab secara pribadi terhadap pihak ketiga bilamana ia telah bertindak secara moril sangat tercela atau dengan itikad buruk atau dengan sangat ceroboh, yakni melakukan tindakan maladministrasi. Maladministrasi berasal dari bahasa Latin malum (jahat, buruk, jelek) dan administrare (to manage, mengurus, atau melayani), Maladministrasi berarti pelayanan atau pengurusan yang buruk atau jelek. Hal inilah yangperlu diantisipasi dalam mencegah terjadinya tindak pidana korupsi di lingkungan BUMN.
      Jika ditinjau dari segi pertanggungjawaban, dalam praktiknya pertanggungjawaban atas penyimpangan terhadap suatu proses pengadaan barang dan jasa Pemerintah dilimpahkan kepada para pejabat dalam struktur pengadaan barang/jasa khususnya terhadap Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)/PIMPRO. Hal ini tidak terlepas dari kedudukan dan jabatan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)/PIMPRO dalam struktur pengadaan barang dan jasa di Pemerintah yang memiliki tugas, fungsi dan kewenangan dan tanggungjawab yang sangat besar. Hal tersebut dipertegas Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010, dan Peraturan Presiden  No.  35  tahun  2011 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang menyatakan bahwa “Pengguna barang/jasa bertanggungjawab dari segi administrasi, fisik, keuangan dan fungsional atas pengadaan barang/jasa yang dilaksanakannya”. Hal tersebut juga diperkuat dengan hadirnya Perpres No. 70 Tahun 2012.

Daftar Pustaka

Balin, Hirsch, 1991, Rechtstaat & Beleid, WEJ Tjeenk Willink, Zwolle, Nederland.

Riawan Tjandra, W., 2014, Hukum Keuangan Negara, Grasindo, Jakarta.

Haan, P. de, et.al., 1986, Bestuursrecht in de Sociale Rechtstaat, Kluwer-Deventer. Nederland.

Thai, Khi V (editor), 2009, International Handbook of Public Procurement, CRC Press Taylor and Francis, LLC, USA.



Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...