Minggu, 03 Mei 2020


DPD RI :
Perspektif Penguatan Kelembagaan Melalui Rekonstruksi Legislasi
Oleh: Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.
Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
1.                  Dasar Pemikiran
            Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 92/PUU/2012 berupaya mengembalikan karakter konstitusional DPD RI dalam perspektif tripartit sistem legislasi berdasarkan UUD Negara RI 1945. Pengerdilan kedudukan dan kewenangan DPD RI dalam UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3) yang notabene para anggotanya memiliki legitimasi politik dan wilayah yang lebih kuat dibandingkan anggota DPR RI, melalui putusan MK No. 92/PUU/2012 telah disesuaikan dengan filosofi dan norma konstitusionalnya dalam UUD Negara RI 1945.
            Salah satu bagian dari putusan MK No. 92/PUU/2012 juga mempertimbangkan pendapat bahawa pemberian wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 22D Ayat (1) dan Ayat (2)  UUD Negara RI 1945 menunjukkan bahwa core competence DPD erat kaitannya dengan daerah. Hal ini berarti para pembentuk perubahan UUD 1945 benar-benar menghendaki agar kepentingan daerah harus menjadi referensi dalam setiap pengambilan kebijakan nasional. Para pembentuk perubahan menghendaki DPD tidak hanya sekedar “simbol” kepentingan daerah, melainkan harus berperan secara nyata dalam melaksanakan konsep demokrasi-desentralistik dengan cara menjalankan kewenangan konstitusional yang telah digariskan. Konsep berpikir para pembentuk perubahan UUD 1945 ini juga menggambarkan adanya paradigma checks and balances kepentingan pusat dan daerah dalam kebijakan politik nasional yang dijalankan oleh DPD.
2.      Mencari Format Bikameral
Legitimasi konstitusional keberadaan DPD tertuang pada pasal 2 ayat 1 UUD 1945, yang menyatakan MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui  pemilihan umum dan diatur lebih lanjut melalui undang-undang. Dengan demikian legitimasi atas keberadaan DPD sangat kuat, sebab keanggotaannya dipilih melalui pemilihan umum. Selanjutnya, dalam pasal 22 D dinyatakan, DPD memiliki hak untuk mengajukan RUU kepada DPR yang berkaitan dengan implementasi otonomi daerah, pemekaran daerah, penggabungan daerah, sumber alam daerah dan keuangan daerah. Dengan demikian, legitimasi konstitusional DPD sebagai lembaga politik yang mewakili kepentingan daerah berada dalam posisi yang setara dengan DPR dalam proses-proses legislasi perundang-undangan dalam sistem ketatanegaraan RI. Dengan demikian, dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia berlaku dua sistem lembaga perwakilan sekaligus, yaitu DPR yang mewakili konstituensi secara nasional dan DPD yang mewakili kepentingan daerah dan lokal. Dua sistem perwakilan kepentingan demikian dinamakan bicameralism (Rodee, 1967:214). Dalam perkembangannya,  bicameralism berbeda-beda antara satu negara dengan negara lain; di Inggris terdapat Majelis Tinggi (House of Lords) dan Majelis Rendah (House of Commons), Prancis dikenal Upper Chambers dan Popular Chamber.
Berkaca pada praktik beberapa negara, dalam sistem bikameral, ketimpangan fungsi legislasi dapat saja terjadi. Menurut Kevin Evans (2002), kalau majelis tinggi tidak mempunyai fungsi legislasi secara utuh, maka majelis tinggi berhak mengubah, mempertimbangkan atau menolak rancangan undang-undang dari majelis rendah. Sekiranya hak itu juga tidak ada, majelis tinggi diberi hak menunda pengesahan rancangan undang-undang yang disetujui majelis rendah. Hak menunda pengesahan itu, tambah Evans, sering menjadi satu-satunya kekuatan jika majelis tinggi tidak mempunyai hak mengubah dan menolak rancangan undang-undang. Pengalaman sistem Bikameral Inggris, misalnya, sekalipun House Of Commons ( sebagai majelis rendah) jauh lebih dominan dalam fungsi legislasi dibanding House Of Lords ( sebagai majelis tinggi), semua rancangan undang-undang harus melewati kedua kamar yang ada sebelum ditandatangani menjadi undang-undang oleh Ratu Inggris.Jika contoh tersebut diletakkan dalam hasil amandemen UUD 1945, terbatasnya kewenangan yang dimiliki DPD memberikan gambaran bahwa sistem bikmeral Indonesia tidak dibangun dalam kerangka checks and balances. Keterbatasan itu memberi makna, gagasan menciptakan sistem dua kamar untuk mengakomodasi kepentingan daerah dalam menciptakan keadilan distribusi kekuasaan menjadi sesuatu yang utopis. Karena itu, dapat dimengerti jika DPD kehilangan kekuatan untuk mengartikulasikan kepentingan politik daerah pada setiap proses pembuatan keputusan di tingkat nasional. Uniknya lagi, DPD tidak jelas disebut sebagai lembaga apa. DPD bukan lembaga yudikatif, legislatif, apalagi eksekutif. DPD lebih mirip sebagai perluasan dari Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah ( DPOD), karena hanya mengajukan dan membahas RUU, pertimbangan atas RUU ( termasuk APBN, pajak, pendidikan dan agama) dan pengawasan pelaksanaan UU itu, tanpa ikut memutuskan RUU menjadi UU, juga memberikan kontrol rutin atas kinerja pemerintahan daerah. Sistem ini dikenal sebagai weak bicameralism, seperti diterapkan di Inggris, Botswana dan Burkina Faso.
Dalam ranah legislasi UU MD3 dan UU P3, DPD dikondisikan tidak sebanding dengan besarnya kewenangan politik yang dimiliki DPR. Hal ini semakin menguatkan posisi DPD justru sebagai sebagai lembaga kuasi perwakilan politik yang hanya berperan sebagai dewan konsultatif dalam setiap proses legislasi. Karena itu, DPD kalah pamor dibandingkan dengan DPR yang memiliki kewenangan lebih luas, jelas dan powerfull. Putusan MK No. 92/PUU/2012 berupaya merekonstruksi tafsir konstitusional kedudukan dan kewenangan DPD khususnya dalam perspektif sistem legiislasi dalam UU MD3 dan UU P3. Hadirnya UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) sebagai pengganti UU No. 27 Tahun 2009 juga belum berbuat banyak untuk menyeleraskan kedudukan dan peranan DPD RI sebagaimana diamanatkan oleh Putusan MK No. 92/PUU/2012.
3.                  Ruang Lingkup dan Implikasi Pengujian UU MD3 dan UU P3
Permohonan Pengujian Undang-Undang (PUU) terhadap UUD 1945 yang dilakukan oleh DPD RI ke Mahkamah Konstitusi adalah menyangkut lima isu hukum, yaitu:
a.         kewenangan DPD dalam mengusulkan RUU tertentu;
b.        kewenangan DPD dalam ikut membahas RUU;
c.         kewenangan DPD memberikan persetujuan atas RUU;
d.        keterlibatan DPD dalam penyusunan Prolegnas; dan
e.         kewenangan DPD memberikan pertimbangan terhadap RUU tertentu.
Lima isu hukum adalah kewenangan DPD yang bersumber dari UUD 1945 tetapi ternyata terjabarkan secara bias dalam UU MPR, DPR, dan DPD (UU MD3) dan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Jika dibaca secara keseluruhan, Putusan MK No. 92/PUU/2012 atas permohonan uji materi UU MD3 dan UU P3 merespons secara positif beberapa hal penting berikut:
a.                   DPD mengajukan 21 norma dalam UU MD3 dan 14 norma dalam UU P3 ke Mahkamah Konstitusi.  Dari 21 norma dalam UU MD3 yang dimohonkan pengujian, terdapat:
-              11 (sebelas) norma yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 (termasuk konstitusional bersyarat;
-              10 (sepuluh) norma yang dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Sementara itu,  dari 14 (empat belas) norma dalam UU P3 yang diajukan pengujian, terdapat:
-              10 (sepuluh) norma dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, dan
-              4 (empat) norma dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945
b.                  Di samping menyatakan inkonstitusional beberapa ayat, pasal, bagian dari ayat dan penjelasan, Mahkamah Konstitusi juga membatalkan dan/atau memberikan penafsiran konstiusional atas pasal-pasal dalam UUD 1945 dan menyatakan bertentangan dengan UUD 1945 pasal-pasal yang tidak dimintakan pengujian oleh DPD (ultra petita).
Secara prinsipiil, Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 mengabulkan permohonan DPD untuk 3 (tiga) aspek penting, yaitu:
a.    kewenangan DPD dalam mengajukan RUU diposisikan sama dengan DPR dan Pemerintah;
b.    kewenangan DPD ikut membahas RUU meliputi semua tahapan dan proses pembahasan RUU sampai dengan pembahasan tingkat II. Oleh karena itu DPD mempunyai wewenang menyampaikan pengantar musyawarah, mengajukan, dan membahas DIM serta menyampaikan pendapat mini dalam pembahasan Tingkat I. DPD juga memiliki wewenang menyampaikan pendapat pada pembahasan Tingkat II dalam rapat Paripurna DPR sampai dengan sebelum tahap persetujuan.
c.    DPD memiliki wewenang ikut menyusun Prolegnas. Kewenangan ini merupakan konsekuensi dari kewenangan mengajukan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pegelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Ketiga aspek krusial tersebut harus menjadi pintu masuk untuk merekonstruksi sistem tripartit legislasi guna menata hubungan kelembagaan antara DPD, DPR dan Pemerintah dalam sistem legislasi sebagai amanah putusan MK No. 92/PUU/2012.
Salah satu bagian dari putusan MK No. 92/PUU/2012 juga mempertimbangkan bahwa di tengah kompleksitas permasalahan yang dihadapi daerah dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah, kehadiran DPD yang seharusnya secara konstitusional ikut mengurai permasalahan dan memberikan jalan keluar serta mendorong kemajuan daerah melalui keikutsertaan dalam penentuan kebijakan politik nasional menjadi tidak bermakna, karena kewenangan yang diberikan oleh konstitusi–kendati terbatas–justru semakin dibatasi atau dikebiri oleh keberadaan UU MD3 dan UU P3. Tampak jelas adanya upaya inkonstitusional untuk “memangkas” kewenangan DPD di bidang legislasi yang dijamin oleh Konstitusi, karena dalam UU MD3 dan UU P3, DPD hanya ditempatkan sebagai ‘co-legislator’di samping DPR. Sifat tugasnya hanya sebagai penunjang (auxiliary agency) terhadap tugas-tugas konstitusional DPR. Dalam proses pembentukan suatu undang-undang atau legislasi, DPD tidak mempunyai kekuasaan untuk mengusulkan, membahas, dan berperan dalam proses pengambilan keputusan. Padahal, sebagai lembaga perwakilan politik, anggota DPD memiliki mandat elektoral dan bahkan persyaratan dukungan untuk menjadi anggota DPD jauh lebih berat daripada persyaratan dukungan untuk menjadi anggota DPR. Artinya, kualitas legitimasi anggota DPD itu sama sekali tidak diimbangi secara sepadan oleh kualitas kewenangannya sebagai wakil rakyat daerah.
Penguatan kedudukan dan kewenangan DPD diperlukan pasca putusan MK No. 92/PUU/2012 paling sedikit atas 2 (dua) alasan pokok. Pertama, untuk  mengartikulasikan kebutuhan dan kepentingan daerah (local and interest need) dalam tingkat nasional. DPR sendirian masih belum cukup untuk dapat melakukan peran ini. Misalnya, masih banyak undang-undang yang belum dapat secara maksimal mengakomodasi kepentingan daerah, yang paling terlihat undang-undang yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi untuk uji materi yang tidak mengakomodasi kepentingan daerah. Di masa lalu, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diajukan ke Mahkamah Konstitusi oleh berbagai pihak karena muatannya tidak memperhatikan realitas daerah. Kedua, untuk mendorong adanya kekuatan politik penyeimbang di dalam parlemen. Persoalannya bukan pada tubuh DPR itu sendiri, tapi memang keberadaan suatu kamar lain di dalam legislatif sebagai kekuatan penyeimbang yang penting. Dengan adanya DPD yang berkedudukan setara, walau mungkin akan fokus pada wewenang yang berbeda, akan ada mitra DPR untuk membahas segala keputusan yang diambilnya. Dengan keputusan yang diambil oleh legislatif telah melalui pertimbangan yang lebih baik. Apalagi sifat kelembagaan disebabkan oleh asal muasal anggotanya akan menyebabkan adanya perbedaan pandangan, yang pada gilirannya keputusan lebih seksama dipertimbangkan.
Ditinjau dari teori hukum administrasi negara terkait dengan upaya untuk melakukan transformasi peranan DPD sebagai sebuah organisasi publik, perlu didasarkan atas paling sedikit 3 (tiga) konsiderasi penting, yaitu: (1) Role identity (certain attitudes and behaviors consistent with a role); (2) Role perception (one's view of how the organization is supposed to act in a given situation); (3) Role Expectation (How people believe the organization should act in a given situation). Putusan MK No. 92/PUU/2012 dapat diletakkan sebagai sebagai sebuah forces for change di tengah arena competitive forces yang dihadapi oleh DPD RI sebagai lembaga tinggi negara sekaligus sebagai suatu organisasi publik. Putusan MK No. 92/PUU/2012 tak hanya memiliki karakter sebagai suatu dorongan untuk melakukan sebuah evolutionary change terhadap kedudukan dan peranan DPD RI melalui transformasi peranan kelembagaan DPD RI (organizational role), namun jelas putusan MK No. 92/PUU/2012 tersebut berkarakter revolutionary change (change that is sudden, drastic, and organization's wide).
Putusan MK No. 92/PUU/2012  tersebut menimbulkan implikasi atas kedudukan dan peranan DPD, diantaranya: Pertama, RUU dari DPD setara dengan RUU dari  Presiden dan RUU dari DPR. Terkait dengan pengajuan usul RUU, MK memutuskan beberapa hal yaitu: (a). kedudukan DPD sama dengan DPR dan Presiden dalam hal mengajukan RUU; (b). DPD mengusulkan sesuai dengan bidang tugas; (c). DPD dapat mengajukan RUU diluar Prolegnas, dan (d). Usul RUU DPD tidak menjadi usul RUU DPR. Kedua, pembahasan RUU dilakukan dengan tiga pihak yang setara (tripartit), yaitu Presiden, DPD, dan DPR (bukan fraksi-fraksi DPR). Ketiga, dalam hal pembahasan RUU, MK berpendapat sebagai berikut : (a). Pembahasan dari DPD harus diberlakukan sama dengan RUU dari Presiden dan DPR; (b). Terhadap RUU dari Presiden, Presiden diberikan kesempatan memberikan penjelasan sedangkan DPR dan DPD memberikan pandangan; (c). Terhadap RUU dari DPR, DPR diberikan ksempatan memberikan penjelasan sedangkan Presiden dan DPD memberikan pandangan; (d). Hal yang sama juga diperlakukan terhadap RUU dari DPD yaitu DPD diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan sedangkan DPR dan Presiden memberikan pandangan.(e). Pembahasan RUU dari DPD harus diperlakukan sama dengan RUU dari Presiden dan DPR; (f). Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) diajukan oleh masing-masing lembaga Negara (DPR, DPD, Pemerintah).


Kaki Merapi, 17 Juni 2015
(30 Pahing 29)










Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...