DPD
RI :
Perspektif
Penguatan Kelembagaan Melalui Rekonstruksi Legislasi
Oleh:
Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.
Pengajar
pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
1.
Dasar
Pemikiran
Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 92/PUU/2012 berupaya
mengembalikan karakter konstitusional DPD RI dalam perspektif tripartit sistem
legislasi berdasarkan UUD Negara RI 1945. Pengerdilan kedudukan dan kewenangan
DPD RI dalam UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) dan UU
No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3) yang notabene para anggotanya memiliki
legitimasi politik dan wilayah yang lebih kuat dibandingkan anggota DPR RI, melalui
putusan MK No. 92/PUU/2012 telah disesuaikan dengan filosofi dan norma
konstitusionalnya dalam UUD Negara RI 1945.
Salah satu bagian dari putusan MK No. 92/PUU/2012 juga
mempertimbangkan pendapat bahawa pemberian wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 22D Ayat
(1) dan Ayat (2) UUD Negara RI 1945 menunjukkan
bahwa core competence DPD erat kaitannya
dengan daerah. Hal ini berarti para pembentuk perubahan UUD 1945 benar-benar menghendaki
agar kepentingan daerah harus menjadi referensi dalam setiap pengambilan
kebijakan nasional. Para pembentuk perubahan menghendaki DPD tidak hanya
sekedar simbol kepentingan daerah, melainkan harus berperan secara nyata
dalam melaksanakan konsep demokrasi-desentralistik dengan cara menjalankan
kewenangan konstitusional yang telah digariskan. Konsep berpikir para pembentuk
perubahan UUD 1945 ini juga menggambarkan adanya paradigma checks and balances kepentingan pusat dan daerah dalam kebijakan
politik nasional yang dijalankan oleh DPD.
2. Mencari
Format Bikameral
Legitimasi
konstitusional keberadaan DPD tertuang pada pasal 2 ayat 1 UUD 1945, yang menyatakan
MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut melalui
undang-undang. Dengan demikian legitimasi atas keberadaan DPD sangat kuat,
sebab keanggotaannya dipilih melalui pemilihan umum. Selanjutnya, dalam pasal
22 D dinyatakan, DPD memiliki hak untuk mengajukan RUU kepada DPR yang
berkaitan dengan implementasi otonomi daerah, pemekaran daerah, penggabungan daerah,
sumber alam daerah dan keuangan daerah. Dengan demikian, legitimasi
konstitusional DPD sebagai lembaga politik yang mewakili kepentingan daerah
berada dalam posisi yang setara dengan DPR dalam proses-proses legislasi
perundang-undangan dalam sistem ketatanegaraan RI. Dengan demikian, dalam
sistem ketatanegaraan di Indonesia berlaku dua sistem lembaga perwakilan
sekaligus, yaitu DPR yang mewakili konstituensi secara nasional dan DPD yang mewakili
kepentingan daerah dan lokal. Dua sistem perwakilan kepentingan demikian
dinamakan bicameralism (Rodee, 1967:214). Dalam perkembangannya, bicameralism berbeda-beda antara satu negara
dengan negara lain; di Inggris terdapat Majelis Tinggi (House of Lords) dan Majelis Rendah (House of Commons), Prancis dikenal Upper Chambers dan Popular
Chamber.
Berkaca pada praktik beberapa
negara, dalam sistem bikameral, ketimpangan fungsi legislasi dapat saja
terjadi. Menurut Kevin Evans (2002), kalau majelis tinggi tidak mempunyai
fungsi legislasi secara utuh, maka majelis tinggi berhak mengubah,
mempertimbangkan atau menolak rancangan undang-undang dari majelis rendah. Sekiranya
hak itu juga tidak ada, majelis tinggi diberi hak menunda pengesahan rancangan
undang-undang yang disetujui majelis rendah. Hak menunda pengesahan itu, tambah
Evans, sering menjadi satu-satunya kekuatan jika majelis tinggi tidak mempunyai
hak mengubah dan menolak rancangan undang-undang. Pengalaman sistem Bikameral
Inggris, misalnya, sekalipun House
Of Commons ( sebagai majelis rendah) jauh lebih dominan dalam
fungsi legislasi dibanding House
Of Lords ( sebagai majelis tinggi), semua rancangan undang-undang
harus melewati kedua kamar yang ada sebelum ditandatangani menjadi
undang-undang oleh Ratu Inggris.Jika contoh tersebut diletakkan dalam hasil
amandemen UUD 1945, terbatasnya kewenangan yang dimiliki DPD memberikan
gambaran bahwa sistem bikmeral Indonesia tidak dibangun dalam kerangka checks and balances.
Keterbatasan itu memberi makna, gagasan menciptakan sistem dua kamar untuk
mengakomodasi kepentingan daerah dalam menciptakan keadilan distribusi
kekuasaan menjadi sesuatu yang utopis. Karena itu, dapat dimengerti jika DPD
kehilangan kekuatan untuk mengartikulasikan kepentingan politik daerah pada
setiap proses pembuatan keputusan di tingkat nasional. Uniknya lagi, DPD tidak
jelas disebut sebagai lembaga apa. DPD bukan lembaga yudikatif, legislatif,
apalagi eksekutif. DPD lebih mirip sebagai perluasan dari Dewan Pertimbangan
Otonomi Daerah ( DPOD), karena hanya mengajukan dan membahas RUU, pertimbangan
atas RUU ( termasuk APBN, pajak, pendidikan dan agama) dan pengawasan
pelaksanaan UU itu, tanpa ikut memutuskan RUU menjadi UU, juga memberikan
kontrol rutin atas kinerja pemerintahan daerah. Sistem ini dikenal sebagai weak bicameralism,
seperti diterapkan di Inggris, Botswana dan Burkina Faso.
Dalam ranah legislasi UU MD3
dan UU P3, DPD dikondisikan tidak sebanding dengan besarnya kewenangan politik
yang dimiliki DPR. Hal ini semakin menguatkan posisi DPD justru sebagai sebagai
lembaga kuasi perwakilan politik yang hanya berperan sebagai dewan konsultatif
dalam setiap proses legislasi. Karena itu, DPD kalah pamor dibandingkan dengan
DPR yang memiliki kewenangan lebih luas, jelas dan powerfull. Putusan MK No. 92/PUU/2012 berupaya merekonstruksi
tafsir konstitusional kedudukan dan kewenangan DPD khususnya dalam perspektif
sistem legiislasi dalam UU MD3 dan UU P3. Hadirnya UU No. 17 Tahun 2014 tentang
MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) sebagai pengganti UU No. 27 Tahun 2009 juga belum
berbuat banyak untuk menyeleraskan kedudukan dan peranan DPD RI sebagaimana
diamanatkan oleh Putusan MK No. 92/PUU/2012.
3.
Ruang Lingkup
dan Implikasi Pengujian UU MD3 dan UU P3
Permohonan
Pengujian Undang-Undang (PUU) terhadap UUD 1945 yang dilakukan oleh DPD RI ke
Mahkamah Konstitusi adalah menyangkut lima isu hukum, yaitu:
a.
kewenangan DPD dalam mengusulkan RUU tertentu;
b.
kewenangan DPD dalam ikut
membahas RUU;
c.
kewenangan DPD memberikan persetujuan atas RUU;
d.
keterlibatan DPD dalam penyusunan
Prolegnas; dan
e.
kewenangan DPD memberikan pertimbangan terhadap RUU tertentu.
Lima isu hukum adalah kewenangan DPD yang bersumber dari
UUD 1945 tetapi ternyata terjabarkan secara bias dalam UU MPR, DPR, dan DPD (UU
MD3) dan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Jika dibaca
secara keseluruhan, Putusan MK No. 92/PUU/2012 atas permohonan uji materi UU
MD3 dan UU P3 merespons secara positif beberapa hal penting berikut:
a.
DPD mengajukan 21 norma dalam UU
MD3 dan 14 norma dalam UU P3 ke Mahkamah Konstitusi. Dari 21 norma dalam UU MD3 yang dimohonkan
pengujian, terdapat:
-
11 (sebelas) norma yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945
(termasuk konstitusional bersyarat;
-
10 (sepuluh) norma yang
dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Sementara itu, dari 14 (empat belas) norma dalam UU P3 yang
diajukan pengujian, terdapat:
-
10 (sepuluh) norma dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945, dan
-
4 (empat) norma dinyatakan tidak
bertentangan dengan UUD 1945
b.
Di samping menyatakan
inkonstitusional beberapa ayat, pasal, bagian dari ayat dan penjelasan,
Mahkamah Konstitusi juga membatalkan dan/atau memberikan penafsiran
konstiusional atas pasal-pasal dalam UUD 1945 dan menyatakan bertentangan
dengan UUD 1945 pasal-pasal yang tidak dimintakan pengujian oleh DPD (ultra
petita).
Secara prinsipiil, Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012
mengabulkan permohonan DPD untuk 3 (tiga) aspek penting, yaitu:
a.
kewenangan
DPD dalam mengajukan RUU diposisikan sama dengan DPR dan Pemerintah;
b.
kewenangan
DPD ikut membahas RUU meliputi semua tahapan dan proses pembahasan RUU sampai
dengan pembahasan tingkat II. Oleh karena itu DPD mempunyai wewenang
menyampaikan pengantar musyawarah, mengajukan, dan membahas DIM serta menyampaikan
pendapat mini dalam pembahasan Tingkat I. DPD juga memiliki wewenang
menyampaikan pendapat pada pembahasan Tingkat II dalam rapat Paripurna DPR
sampai dengan sebelum tahap persetujuan.
c.
DPD
memiliki wewenang ikut menyusun Prolegnas. Kewenangan ini merupakan konsekuensi
dari kewenangan mengajukan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pegelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Ketiga aspek krusial tersebut harus menjadi pintu masuk
untuk merekonstruksi sistem tripartit legislasi guna menata hubungan
kelembagaan antara DPD, DPR dan Pemerintah dalam sistem legislasi sebagai
amanah putusan MK No. 92/PUU/2012.
Salah satu bagian dari putusan MK No. 92/PUU/2012 juga
mempertimbangkan bahwa di tengah kompleksitas permasalahan
yang dihadapi daerah dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah, kehadiran DPD yang
seharusnya secara konstitusional ikut mengurai permasalahan dan
memberikan jalan keluar serta mendorong kemajuan daerah melalui keikutsertaan
dalam penentuan
kebijakan politik nasional menjadi tidak bermakna, karena kewenangan yang diberikan oleh konstitusikendati
terbatasjustru semakin dibatasi atau dikebiri oleh keberadaan UU MD3 dan UU
P3. Tampak jelas adanya upaya inkonstitusional untuk memangkas kewenangan DPD
di bidang legislasi yang dijamin oleh Konstitusi, karena dalam UU MD3 dan UU
P3, DPD hanya ditempatkan sebagai co-legislatordi samping DPR. Sifat tugasnya
hanya sebagai penunjang (auxiliary agency) terhadap tugas-tugas konstitusional
DPR. Dalam proses pembentukan suatu undang-undang atau legislasi, DPD tidak
mempunyai kekuasaan untuk mengusulkan, membahas, dan berperan dalam proses
pengambilan keputusan. Padahal, sebagai lembaga perwakilan politik, anggota DPD
memiliki mandat elektoral dan bahkan persyaratan dukungan untuk menjadi anggota
DPD jauh lebih berat daripada persyaratan dukungan untuk menjadi anggota DPR.
Artinya, kualitas legitimasi anggota DPD itu sama sekali tidak diimbangi secara
sepadan oleh kualitas kewenangannya sebagai wakil rakyat daerah.
Penguatan kedudukan dan kewenangan DPD diperlukan pasca
putusan MK No. 92/PUU/2012 paling sedikit atas 2 (dua) alasan pokok. Pertama,
untuk mengartikulasikan kebutuhan dan kepentingan daerah (local and interest need) dalam tingkat
nasional. DPR sendirian masih belum cukup untuk dapat melakukan peran ini.
Misalnya, masih banyak undang-undang yang belum dapat secara maksimal
mengakomodasi kepentingan daerah, yang paling terlihat undang-undang yang
diajukan kepada Mahkamah Konstitusi untuk uji materi yang tidak mengakomodasi
kepentingan daerah. Di masa lalu, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah diajukan ke Mahkamah Konstitusi oleh berbagai pihak karena
muatannya tidak memperhatikan realitas daerah. Kedua, untuk mendorong adanya kekuatan politik penyeimbang di dalam
parlemen. Persoalannya bukan pada tubuh DPR itu sendiri, tapi memang keberadaan
suatu kamar lain di dalam legislatif sebagai kekuatan penyeimbang yang penting.
Dengan adanya DPD yang berkedudukan setara, walau mungkin akan fokus pada wewenang
yang berbeda, akan ada mitra DPR untuk membahas segala keputusan yang
diambilnya. Dengan keputusan yang diambil oleh legislatif telah melalui
pertimbangan yang lebih baik. Apalagi sifat kelembagaan disebabkan oleh asal
muasal anggotanya akan menyebabkan adanya perbedaan pandangan, yang pada
gilirannya keputusan lebih seksama dipertimbangkan.
Ditinjau dari teori hukum
administrasi negara terkait dengan upaya untuk melakukan transformasi peranan
DPD sebagai sebuah organisasi publik, perlu didasarkan atas paling sedikit 3
(tiga) konsiderasi penting, yaitu: (1) Role
identity (certain attitudes and behaviors consistent with a role); (2) Role perception (one's view of how the
organization is supposed to act in a given situation); (3) Role Expectation (How people believe the
organization should act in a given situation). Putusan MK No. 92/PUU/2012
dapat diletakkan sebagai sebagai sebuah forces
for change di tengah arena competitive
forces yang dihadapi oleh DPD RI sebagai lembaga tinggi negara sekaligus
sebagai suatu organisasi publik. Putusan MK No. 92/PUU/2012 tak hanya memiliki
karakter sebagai suatu dorongan untuk melakukan sebuah evolutionary change terhadap kedudukan dan peranan DPD RI melalui
transformasi peranan kelembagaan DPD RI (organizational
role), namun jelas putusan MK No. 92/PUU/2012 tersebut berkarakter revolutionary change (change that is sudden, drastic, and
organization's wide).
Putusan
MK No.
92/PUU/2012 tersebut menimbulkan implikasi atas kedudukan
dan peranan DPD, diantaranya: Pertama,
RUU dari DPD setara dengan RUU dari
Presiden dan RUU dari DPR. Terkait dengan pengajuan usul RUU, MK
memutuskan beberapa hal yaitu: (a). kedudukan DPD sama dengan DPR dan Presiden
dalam hal mengajukan RUU; (b). DPD mengusulkan sesuai dengan bidang tugas; (c).
DPD dapat mengajukan RUU diluar Prolegnas, dan (d). Usul RUU DPD tidak menjadi
usul RUU DPR. Kedua, pembahasan RUU
dilakukan dengan tiga pihak yang setara (tripartit), yaitu Presiden, DPD, dan
DPR (bukan fraksi-fraksi DPR). Ketiga,
dalam hal pembahasan RUU, MK berpendapat sebagai berikut : (a). Pembahasan dari
DPD harus diberlakukan sama dengan RUU dari Presiden dan DPR; (b). Terhadap RUU
dari Presiden, Presiden diberikan kesempatan memberikan penjelasan sedangkan
DPR dan DPD memberikan pandangan; (c). Terhadap RUU dari DPR, DPR diberikan
ksempatan memberikan penjelasan sedangkan Presiden dan DPD memberikan
pandangan; (d). Hal yang sama juga diperlakukan terhadap RUU dari DPD yaitu DPD
diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan sedangkan DPR dan Presiden
memberikan pandangan.(e). Pembahasan RUU dari DPD harus diperlakukan sama
dengan RUU dari Presiden dan DPR; (f). Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
diajukan oleh masing-masing lembaga Negara (DPR, DPD, Pemerintah).
Kaki
Merapi, 17 Juni 2015
(30
Pahing 29)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar