(Mengapa) Pemilihan Kepala Daerah
Di Era Pandemi Covid-19?
Oleh:
W. Riawan Tjandra
Pengajar Hukum Administrasi
Negara FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Mempertanyakan mengenai Pemilihan
Kepala Daerah di saat pandemi covid-19 saja sudah menjadi problematik
tersendiri, apalagi memikirkan jawabannya? Jika memulai dari perspektif
konstitusi, lebih tepat jika dimulai dengan membaca paradigma bahwa sesungguhnya
konstitusi merupakan resultante (hasil kesepakatan) sesuai dengan kebutuhan
ideologi, politik, ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan dan keamanan (KC. Wheare, 1975). Dengan demikian, materi
muatan konstitusi bukanlah masalah salah dan benar, karena merupakan hasil dari proses pilihan
politik (Mahfud MD, 2010).
UUD
Negara RI 1945 sesungguhnya terdiri dari 2 (dua) karakter bangunan norma konstitusional.
Pertama, bangunan norma yang menjadi landasan konstitusional kehidupan
bernegara dan sistem hukum yang bersifat normal/reguler. Kewenangan pembentukan
undang-undang oleh Presiden dan DPR sebagaimana diatur pada Pasal 5 dan 20 UUD
Negara RI 1945 mengandaikan sistem landasan konstitusional bagi kehidupan
bernegara yang bersifat normal. Kedua, bangunan norma yang menjadi landasan
konstitusional kehidupan bernegara dan sistem hukum yang bersifat darurat (extraordinary). Dasar kewenangan
pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang diatur
pada Pasal 22 ayat (1) UUD Negara RI 1945 menjadi dasar konstitusional
penyelenggaraan kekuasaan negara dalam situasi/kondisi darurat (extraordinary). Meskipun Pasal 22 ayat
(2) dan (3) UUD Negara RI 1945 juga mengharuskan persetujuan DPR terhadap
Perppu yang dihasilkan oleh Presiden sebagai perwujudan azas demokrasi
ketatanegaraan dan azas pemerintahan bersifat terbatas (limited government).
Lahirnya
Perppu No. 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
Dan Walikota Menjadi Undang-Undang di masa pandemi covid-19 saat ini telah
menegaskan berlakunya kondisi ketatanegaraan yang bersifat darurat. Kondisi
darurat seperti yang dihadapi saat ini telah membatasi berlakunya kehidupan
konstitusional yang bersifat normal. Kebijakan untuk mengatasi kondisi covid-19
yang mengharuskan dilakukannya pembatasan jarak sosial dan fisik antarindividu
(social and physical distancing),
PSBB dan Bekerja dari Rumah (Work From
Home) menjadi halangan yang serius untuk berjalannya kehidupan demokrasi
yang bersifat normal yang mengharuskan partisipasi pemilih dalam memberikan
suaranya.
Perppu
No. 2 Tahun 2020 tersebut merupakan bangunan norma yang lahir dari landasan
konstitusional kehidupan bernegara dan sistem hukum yang bersifat darurat (extraordinary) yang merupakan
implementasi Pasal 22 ayat (1) UUD Negara RI 1945. Terdapat paling tidak 3
(tiga) hal prinsip yang diatur oleh Perppu No. 2 Tahun 2020 tersebut. Pertama, dalam
hal pada sebagian wilayah Pemilihan, seluruh wilayah Pemilihan, sebagian besar
daerah, atau seluruh daerah terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam,
bencana nonalam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan
penyelenggaraan Pemilihan atau Pemilihan serentak tidak dapat dilaksanakan,
dilakukan Pemilihan lanjutan atau Pemilihan serentak lanjutan. Pelaksanaan
Pemilihan lanjutan atau Pemilihan serentak lanjutan tersebut) dimulai dari
tahapan penyelenggaraan Pemilihan atau Pemilihan serentak yang terhenti.
Kedua,
otoritas penundaan pelaksanaan pemilihan serentak bagi kepala daerah tersebut
diletakkan di tangan KPU yang mengharuskan adanya persetujuan tripihak, yaitu
KPU, Pemerintah dan DPR. Tata cara dan mekanisme penundaan dan persetujuan
tersebut oleh Perppu No. 2 Tahun 2020 diserahkan kepada kewenangan regulatif
KPU melalui Peraturan KPU. Ketentuan tersebut terlihat ingin memadukan
perspektif demokrasi konstitusional yang memberikan kewenangan mandiri kepada
KPU di ranah pemilu, namun tanpa melepaskan dari situasi dan kondisi darurat
yang ditetapkan oleh Presiden berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UUD Negara RI 1945.
Satu dan lain hal, dengan tetap membuka ruang bagi KPU untuk menyesuaikan
dengan perkembangan pengaturan kondisi darurat. Namun, tentu saja disini harus
tetap dicermati pengaruh keberadaan Perppu No. 1 Tahun 2020 yang mengatur
mengenai kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk
penanganan pandemi covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang
membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan dalam
hal pembiayaan demokrasi di tingkat lokal. Lahirnya Perppu No. 1 Tahun 2020
tentu saja berimplikasi terhadap refocusing dan realokasi sejumlah mata
anggaran di Pusat maupun Daerah. Padahal, cukup banyak biaya pendukung
pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak lanjutan yang tentunya mengharapkan
pembiayaan dari APBN/D. Meskipun tentu saja, Perppu No. 1 Tahun 2020 tersebut
tidak akan berdampak langsung terhadap anggaran negara yang dikelola oleh KPU
maupun KPUD.
Ketiga,
pemungutan suara serentak yang sebelumnya diatur pada Pasal 201 Perppu No. 1
Tahun 2014 yang ditetapkan melalui UU No. 1 Tahun 2015 ditunda oleh Pasal 201A
Perppu No. 2 Tahun 2020 untuk dilaksanakan pada bulan Desember 2020 sebagai
akibat terjadinya bencana nonalam. Jika tetap tidak dapat diselenggarakan pada
bulan Desember 2020, kembali diserahkan kepada KPU untuk membuat keputusan
penundaaan dengan melibatkan persetujuan tripihak seperti disebutkan di atas
(diatur pada Pasal 122A Perppu No. 2 Tahun 2020). Dengan adanya ketentuan
penundaan pelaksanaan pemilu berdasarkan Pasal 122A maupun Pasal 201A tersebut
tentu harus dipikirkan lebih lanjut beberapa konsekuensi kebijakan. Pertama,
perilaku politik dari pihak-pihak petahana untuk memanfaatkan momentum kondisi
darurat tersebut dengan membuat kebijakan-kebijakan yang memberikan efek
elektoral secara unfairness bagi
kepentingan politiknya dengan memanfaatkan berbagai sumber daya kebijakan
sebagai akibat penundaan pelaksanaan pemilihan kepala daerah tersebut. Kedua,
ketidakpastian alokasi pendanaan sistem pemilihan kepala daerah yang
memungkinkan terjadinya pergeseran waktu pencairan anggaran pada waktu yang sangt
sempit dan berhimpitan dengan batas waktu pertanggungjawabannya pada akhir
tahun fiskal, yaitu akhir bulan Desember yang lazimnya mekanisme penyusunan
laporan anggarannya oleh setiap entitas publik sudah dimulai sejak pertengahan
bulan Desember. Dan, ketiga, kemungkinan ketidakpastian kerangka kerja (framework) KPU/D yang bersimbiosis
dengan Rencana Kerja dan Anggaran untuk tahun 2021 yang tentunya secara
normatif seharusnya sudah dimulai proses penyusunannya pada tahun 2020 ini, sebagai
dampak ketidakpastian berakhirnya kondisi darurat pandemi covid-19 yang
dihadapi. Perlu ada pengkajian dan kebijakan antisipatif terhadap berbagai
potensi permasalahan terkait pemilihan kepala daerah tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar