Minggu, 10 Mei 2020


(Mengapa) Pemilihan Kepala Daerah Di Era Pandemi Covid-19?

Oleh:

W. Riawan Tjandra
Pengajar Hukum Administrasi Negara FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta

            Mempertanyakan mengenai Pemilihan Kepala Daerah di saat pandemi covid-19 saja sudah menjadi problematik tersendiri, apalagi memikirkan jawabannya? Jika memulai dari perspektif konstitusi, lebih tepat jika dimulai dengan membaca paradigma bahwa sesungguhnya konstitusi merupakan resultante (hasil kesepakatan) sesuai dengan kebutuhan ideologi, politik, ekonomi,  sosial, budaya, pertahanan dan keamanan (KC. Wheare, 1975). Dengan demikian, materi muatan konstitusi bukanlah masalah salah dan benar,  karena merupakan hasil dari proses pilihan politik (Mahfud MD, 2010).
UUD Negara RI 1945 sesungguhnya terdiri dari 2 (dua) karakter bangunan norma konstitusional. Pertama, bangunan norma yang menjadi landasan konstitusional kehidupan bernegara dan sistem hukum yang bersifat normal/reguler. Kewenangan pembentukan undang-undang oleh Presiden dan DPR sebagaimana diatur pada Pasal 5 dan 20 UUD Negara RI 1945 mengandaikan sistem landasan konstitusional bagi kehidupan bernegara yang bersifat normal. Kedua, bangunan norma yang menjadi landasan konstitusional kehidupan bernegara dan sistem hukum yang bersifat darurat (extraordinary). Dasar kewenangan pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang diatur pada Pasal 22 ayat (1) UUD Negara RI 1945 menjadi dasar konstitusional penyelenggaraan kekuasaan negara dalam situasi/kondisi darurat (extraordinary). Meskipun Pasal 22 ayat (2) dan (3) UUD Negara RI 1945 juga mengharuskan persetujuan DPR terhadap Perppu yang dihasilkan oleh Presiden sebagai perwujudan azas demokrasi ketatanegaraan dan azas pemerintahan bersifat terbatas (limited government).
Lahirnya Perppu No. 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang di masa pandemi covid-19 saat ini telah menegaskan berlakunya kondisi ketatanegaraan yang bersifat darurat. Kondisi darurat seperti yang dihadapi saat ini telah membatasi berlakunya kehidupan konstitusional yang bersifat normal. Kebijakan untuk mengatasi kondisi covid-19 yang mengharuskan dilakukannya pembatasan jarak sosial dan fisik antarindividu (social and physical distancing), PSBB dan Bekerja dari Rumah (Work From Home) menjadi halangan yang serius untuk berjalannya kehidupan demokrasi yang bersifat normal yang mengharuskan partisipasi pemilih dalam memberikan suaranya.
Perppu No. 2 Tahun 2020 tersebut merupakan bangunan norma yang lahir dari landasan konstitusional kehidupan bernegara dan sistem hukum yang bersifat darurat (extraordinary) yang merupakan implementasi Pasal 22 ayat (1) UUD Negara RI 1945. Terdapat paling tidak 3 (tiga) hal prinsip yang diatur oleh Perppu No. 2 Tahun 2020 tersebut. Pertama, dalam hal pada sebagian wilayah Pemilihan, seluruh wilayah Pemilihan, sebagian besar daerah, atau seluruh daerah terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, bencana nonalam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan Pemilihan atau Pemilihan serentak tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilihan lanjutan atau Pemilihan serentak lanjutan. Pelaksanaan Pemilihan lanjutan atau Pemilihan serentak lanjutan tersebut) dimulai dari tahapan penyelenggaraan Pemilihan atau Pemilihan serentak yang terhenti.           
Kedua, otoritas penundaan pelaksanaan pemilihan serentak bagi kepala daerah tersebut diletakkan di tangan KPU yang mengharuskan adanya persetujuan tripihak, yaitu KPU, Pemerintah dan DPR. Tata cara dan mekanisme penundaan dan persetujuan tersebut oleh Perppu No. 2 Tahun 2020 diserahkan kepada kewenangan regulatif KPU melalui Peraturan KPU. Ketentuan tersebut terlihat ingin memadukan perspektif demokrasi konstitusional yang memberikan kewenangan mandiri kepada KPU di ranah pemilu, namun tanpa melepaskan dari situasi dan kondisi darurat yang ditetapkan oleh Presiden berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UUD Negara RI 1945. Satu dan lain hal, dengan tetap membuka ruang bagi KPU untuk menyesuaikan dengan perkembangan pengaturan kondisi darurat. Namun, tentu saja disini harus tetap dicermati pengaruh keberadaan Perppu No. 1 Tahun 2020 yang mengatur mengenai kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan dalam hal pembiayaan demokrasi di tingkat lokal. Lahirnya Perppu No. 1 Tahun 2020 tentu saja berimplikasi terhadap refocusing dan realokasi sejumlah mata anggaran di Pusat maupun Daerah. Padahal, cukup banyak biaya pendukung pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak lanjutan yang tentunya mengharapkan pembiayaan dari APBN/D. Meskipun tentu saja, Perppu No. 1 Tahun 2020 tersebut tidak akan berdampak langsung terhadap anggaran negara yang dikelola oleh KPU maupun KPUD.
Ketiga, pemungutan suara serentak yang sebelumnya diatur pada Pasal 201 Perppu No. 1 Tahun 2014 yang ditetapkan melalui UU No. 1 Tahun 2015 ditunda oleh Pasal 201A Perppu No. 2 Tahun 2020 untuk dilaksanakan pada bulan Desember 2020 sebagai akibat terjadinya bencana nonalam. Jika tetap tidak dapat diselenggarakan pada bulan Desember 2020, kembali diserahkan kepada KPU untuk membuat keputusan penundaaan dengan melibatkan persetujuan tripihak seperti disebutkan di atas (diatur pada Pasal 122A Perppu No. 2 Tahun 2020). Dengan adanya ketentuan penundaan pelaksanaan pemilu berdasarkan Pasal 122A maupun Pasal 201A tersebut tentu harus dipikirkan lebih lanjut beberapa konsekuensi kebijakan. Pertama, perilaku politik dari pihak-pihak petahana untuk memanfaatkan momentum kondisi darurat tersebut dengan membuat kebijakan-kebijakan yang memberikan efek elektoral secara unfairness bagi kepentingan politiknya dengan memanfaatkan berbagai sumber daya kebijakan sebagai akibat penundaan pelaksanaan pemilihan kepala daerah tersebut. Kedua, ketidakpastian alokasi pendanaan sistem pemilihan kepala daerah yang memungkinkan terjadinya pergeseran waktu pencairan anggaran pada waktu yang sangt sempit dan berhimpitan dengan batas waktu pertanggungjawabannya pada akhir tahun fiskal, yaitu akhir bulan Desember yang lazimnya mekanisme penyusunan laporan anggarannya oleh setiap entitas publik sudah dimulai sejak pertengahan bulan Desember. Dan, ketiga, kemungkinan ketidakpastian kerangka kerja (framework) KPU/D yang bersimbiosis dengan Rencana Kerja dan Anggaran untuk tahun 2021 yang tentunya secara normatif seharusnya sudah dimulai proses penyusunannya pada tahun 2020 ini, sebagai dampak ketidakpastian berakhirnya kondisi darurat pandemi covid-19 yang dihadapi. Perlu ada pengkajian dan kebijakan antisipatif terhadap berbagai potensi permasalahan terkait pemilihan kepala daerah tersebut.
           




Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...