Jumat, 08 Mei 2020


Hukum Keuangan Negara Dalam Welfare State

Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.
Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
willyriawan@yahoo.com

Materi disampaikan pada
Pelatihan "Pengenalan Karakteristik Usaha Perbankan, Kewajiban Perpajakan Wajib Pajak Perbankan dan Perbuatan Koruptif Penghindaran Pajak "
yang diselenggarakan oleh Komisi Pemverantasan Korupsi Republik Indonesia
di Hotel Mercure Ancol, Jakarta, 27 Mei 2015

Pemaknaan Keuangan Negara dalam Welfare State

      Negara  merupakan  organisasi  tertinggi  di  antara  satu  kelompok  atau beberapa  kelompok  masyarakat  yang  mempunyai  cita-cita  untuk  bersatu  hidup  di dalam  daerah  tertentu,  dan  mempunyai  pemerintahan  yang  berdaulat. Mengenai tugas  negara  dibagi  menjadi  tiga  kelompok. Pertama,  negara  harus  memberikan perlindungan   kepada   penduduk   dalam   wilayah   tertentu.   Kedua,   negara mendukung   atau   langsung   menyediakan   berbagai   pelayanan   kehidupan masyarakat  di  bidang  sosial,  ekonomi,  dan  kebudayaan.  Ketiga,  negara  menjadi wasit  yang  tidak  memihak  antara  pihak-pihak  yang  berkonflik  dalam  masyarakat serta  menyediakan  suatu  sistem  yudisial  yang  menjamin  keadilan  dasar  dalam hubungan  kemasyarakatan.  Tugas  negara  menurut  faham  modern  sekarang  ini (dalam   suatu   Negara   Kesejahteraan   atau   Social   Service   State),   adalah menyelenggarakan   kepentingan   umum   untuk   memberikan   kemakmuran   dan kesejahteraan  yang  sebesar-besarnya  berdasarkan  keadilan  dalam  suatu  Negara Hukum. Dalam   mencapai   tujuan   dari   negara   dan   menjalankan   negara, dilaksanakan  oleh  pemerintah.
    Definisi  keuangan  negara  adalah  semua  hak  dan  kewajiban negara  yang  dapat  dinilai  dengan  uang,  serta  segala  sesuatu  baik berupa  uang  maupun  berupa  barang  yang  dapat  dijadikan  milik  negara berhubung  dengan  pelaksanaan  hak  dan  kewajiban  tersebut.  Dalam penjelasan  Undang-Undang  Nomor  17  Tahun  2003  tentang  Keuangan Negara  dinyatakan  bahwa  pendekatan  yang  digunakan  dalam merumuskan  Keuangan  Negara  adalah  dari  sisi  objek,  subjek,  proses, dan  tujuan.  Dari  sisi  objek,  yang  dimaksud  dengan  Keuangan  Negara meliputi  semua  hak  dan  kewajiban  negara  yang  dapat  dinilai  dengan uang,  termasuk  kebijakan  dan  kegiatan  dalam  bidang  fiskal,  moneter dan  pengelolaan  kekayaan  negara  yang  dipisahkan,  serta  segala sesuatu  baik  berupa  uang,  maupun  berupa  barang  yang  dapat dijadikan  milik  negara  berhubung  dengan  pelaksanaan  hak  dan kewajiban  tersebut.   Dari  sisi  subjek,  yang  dimaksud  dengan  Keuangan  Negara meliputi  seluruh  subjek  yang  memiliki/menguasai  objek  sebagaimana tersebut  di  atas,  yaitu:  pemerintah  pusat,  pemerintah  daerah, perusahaan  negara/daerah,  dan  badan  lain  yang  ada  kaitannya dengan  keuangan  negara.  Dari  sisi  proses,  Keuangan  Negara mencakup  seluruh  rangkaian  kegiatan  yang  berkaitan  dengan pengelolaan  objek  sebagaimana  tersebut  di  atas  mulai  dari  perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban.  Dari  sisi  tujuan,  Keuangan  Negara  meliputi seluruh  kebijakan,  kegiatan  dan  hubungan  hukum  yang  berkaitan dengan  pemilikan  dan/atau  penguasaan  objek  sebagaimana  tersebut di  atas  dalam   rangka  penyelenggaraan  pemerintahan  negara.     Berdasarkan pengertian keuangan  negara  dengan pendekatan  objek,  terlihat  bahwa  hak  dan  kewajiban  negara  yang dapat  dinilai  dengan  uang  diperluas  cakupannya,  yaitu  termasuk kebijakan  dan  kegiatan  dalam  bidang  fiskal,  moneter  dan  pengelolaan kekayaan  negara  yang  dipisahkan.  Dengan  demikian,  bidang pengelolaan  keuangan  negara  dapat  dikelompokkan  dalam:  subbidang pengelolaan  fiskal,    subbidang  pengelolaan  moneter,  dan  subbidang pengelolaan  kekayaan  negara  yang  dipisahkan.  
      Salah  satu  segi  positif  perkembangan  hukum  dalam  era  reformasi  dewasa ini  adalah  langkah  progresif  yang  diwujudkan  dalam  penataan perangkat hukum yang  melandasi  kebijakan  keuangan  negara  adalah  diundangkannya  UU  No. 17  Tahun  2003  tentang  Keuangan  Negara  (UUKN)  pada  tanggal  5  April  2003. Eksistensi  UUKN  mencabut  keberlakuan  beberapa  undang-undang  sebelumnya sepanjang  telah  diatur  dalam  UUKN,  yaitu  Indische  Comptabiliteitswet  (ICW) Stbl.  1925  No.  448  sebagaimana  telah  beberapa  kali  diubah,  terakhir  dengan UU  No.  9  Tahun  1968  tentang  Perbendaharaan  Negara  (UUPN),  Indische Bedrijvenswet (IBW) Stb. 1927 No. 419 jo. Stbl.  1936  No.  445,  dan  Reglement voor het  Administratief  Beheer  (RAB)  Stbl.  1933  No.  381.  Ditinjau  dari  sudut  legislasi, kehadiran  UUKN  merupakan  prestasi  monumental,  karena  pasca  kemerdekaan belum  pernah  ada  produk  hukum  keuangan  negara  yang  memang  merupakan produk  dari  lembaga  legislatif  kita,  yang  sungguh-sungguh  mencerminkan kedaulatan  negara.  UU  PN  yang  pernah  ada  sebagai  landasan  hukum  negara kita  sebelumnya,  tidak  lain  merupakan  metamorfosa  dari  ICW  sebagai  warisan kolonial,  yang  jauh  dari  semangat  kemerdekaan  RI  sebagai  bangsa  yang berdaulat.  UUKN  merupakan  pelaksanaan  dari  Pasal  23C  Bab  VIII  UUD  1945, yang  secara  substantif  cukup  banyak  mengandung  perubahan  paradigma  dalam pengelolaan keuangan negara. Ditinjau  dari  definisi  yang  diberikan  oleh  UUKN  mengenai  keuangan negara,  tampaknya  dianut  definisi  yang  luas,  yaitu  semua  hak  dan  kewajiban negara  yang  dapat  dinilai  dengan  uang,  serta  segala  sesuatu  baik  berupa  uang maupun  berupa  barang  yang  dapat  dijadikan  milik  negara  berhubung  dengan pelaksanaan kewajiban tersebut. Hal ini  tentunya  dapat  menjadi landasan untuk mengamankan  uang-uang  negara  yang  diperoleh  dari  pungutan-pungutan  dari masyarakat,  baik  dari  pajak  maupun  bukan  pajak  yang  diatur  dengan  UU  No. 20  Tahun  1997  tentang  Penerimaan  Negara  Bukan  Pajak  (PNBP). Suatu  hal  yang  patut  digarisbawahi dalam UUKN adalah adanya perubahan tahun  anggaran,  yaitu  yang  semula  dalam  Pasal  7  ayat  (2)  UUPN  “tahun  dinas anggaran”  berlaku  dari  tanggal  satu  April  sampai  dengan  tanggal  tiga  puluh  satu Maret  tahun  berikutnya,  berdasarkan  Pasal  4  UUKN  tahun  anggaran  diubah menjadi  dari  tanggal  1  Januari  sampai  dengan  tanggal  31  Desember.  Disini terdapat  perbedaan  penggunaan  istilah,  yaitu  pada  UUPN  digunakan  istilah “tahun  dinas ”  (dienstjaar)  dan  pada  UUKN  digunakan  istilah  “tahun  anggaran” (begrootingsjaar).  Perubahan  istilah  tersebut  menghilangkan  dualisme  yang terdapat  pada  UUPN,  karena  istilah  “tahun  anggaran”  menunjuk  pada  jangka waktu  tepat  dua  belas  bulan  yakni  dari  tanggal  1  April  sampai  dengan  tanggal 31  Maret  tahun  berikutnya,  sedangkan  “tahun  dinas”  berjalan  lebih  dari  satu tahun  sebagaimana  diatur  dalam  Pasal  11  ICW  1925  yang  sudah  dicabut  oleh UU  No.  12  Tahun  1955  yang  menyatakan  bahwa  tahun  anggaran  tetap  terbuka sampai  1  April  tahun  berikutnya.  Dengan  demikian,  UUKN  telah  melakukan pilihan  yang  benar  dengan  menggunakan  istilah  “tahun  anggaran”,  sekaligus menghilangkan  kerancuan  makna  istilah  “tahun  dinas”  (dientsjaar)  dan  “tahun anggaran”  (begrootingsjaar). Ditinjau  dari  segi  prinsip  penyusunan  anggaran,  UUKN  juga  dinilai memberikan  landasan  hukum  bagi  kebijakan  penyusunan  keuangan  negara yang  lebih  realistis  dan  transparan.  Hal  itu  dapat  dilihat  dari  Pasal  12  UUKN yang  memberikan  landasan  bagi  penyusunan  “anggaran  surplus  dan  defisit”, yang  mengubah  prinsip  penyusunan  “anggaran  berimbang”  yang  dinilai oleh  banyak  pihak  sebagai  kurang  transparan  dan  tidak  realistis.  Dalam  hal diperkirakan  terjadi  defisit  anggaran,  ditetapkan  sumber-sumber  pembiayaan untuk menutupi defisit tersebut dalam UU tentang APBN. Hal ini mencerminkan prinsip  keterbukaan  dalam  penyusunan  anggaran,  sekaligus  menstimulasi akuntabilitas  publik  dari  Pemerintah  untuk  menyusun  program-program pembangunan  dalam  APBN  secara  cermat  untuk  menghindari  terjadinya  defisit anggaran,  atau  menggunakan istilah  dari  Pasal  12  ayat  (1)  UUKN  “sesuai  dengan kebutuhan  penyelenggaraan  pemerintahan  negara  dan  kemampuan  dalam menghimpun pendapatan negara”. UUKN  juga  memberikan  kerangka  hukum  dalam  hal  mekanisme kebijakan  penyusunan  anggaran,  yaitu  dengan  adanya  keharusan  Pemerintah Pusat  untuk  menyampaikan  pokok-pokok  kebijakan  fiskal  dan  kerangka ekonomi  makro  yang  selanjutnya  dibahas  bersama-sama  dengan  Dewan Perwakilan  Rakyat  sebagai  dasar  untuk  membahas  kebijakan  umum  dan prioritas  anggaran,  yang  merupakan  acuan  bagi  setiap  kementerian  negara/ lembaga  dalam  penyusunan  usulan  anggaran.  Hal  tersebut  sebenarnya  untuk mendorong  peran  dari  Bappenas  yang  memiliki  Deputi  Bidang  Ekonomi  Makro dalam  perumusan  kebijakan  dan  penyusunan  rencana  pembangunan  nasional di  bidang  ekonomi  makro,  sebagaimana  telah  diatur  dalam  Susunan  Organisasi dan  Tugas  Lembaga  Pemerintah  Non  Departemen.  Hanya  saja,  UUKN  dalam penggunaan  istilah  “kerangka  ekonomi  makro”  mengandaikan  bahwa  istilah tersebut  yang  dari  sudut  ekonomi  memiliki  berbagai  pilihan  variabel,  telah jelas  dipahami  secara  hukum.  Tentunya  hal  ini  dapat  mengundang  perdebatan lebih  lanjut  dari  segi  hukum,  karena  istilah  “kerangka  ekonomi  makro”  tidak terdapat  definisi  stipulatif  maupun  penjelasannya  dalam  UUKN.  Terlebih  Pasal 27  ayat  (3)  UUKN  menyebutkan  indikator  “perkembangan  ekonomi  makro” sebagai  salah  satu  landasan  yuridis  untuk  melakukan  penyesuaian  APBN. Hal  ini  memerlukan  adanya  pengaturan  lebih  lanjut  dalam  Perpres  mengenai pelaksanaan APBN untuk memperjelas penggunaan istilah tersebut, yang dalam ilmu  ekonomi  saja  banyak  alternatif  analisisnya.  Perlunya  pengaturan  lebih lanjut  mengenai  penggunaan  istilah  “kerangka  ekonomi  makro”  ini,  diperlukan untuk  menyesuaikan  dengan  konsep  yuridis  yang  memerlukan  indikator  secara jelas  yang  dapat  menjadi  tolok  ukur  untuk  pelaksanaan  aturan  tersebut.  Hal  ini akan  menjadi  dasar  penilaian  bagi  urgensi  dan  validitas  kebijakan  penyesuaian anggaran  oleh  Pemerintah,  yang  terkait  dengan  pertanggungjawaban  dari  segi hukum pelaksanaan APBN. Menarik  pula  untuk  dicermati  UUKN  dalam  Penjelasan  Umum  angka-4 memperkenalkan  konsep  Asas-asas  Umum  Pengelolaan  Keuangan  Negara (AAUPKN) yaitu  meliputi:  akuntabilitas  berorientasi  pada  hasil,  profesionalitas, proporsionalitas, keterbukaan  dalam  pengelolaan  keuangan  negara, pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri. AAUPKN tersebut  sebenarnya  merupakan  penjelasan  atas  prinsip-prinsip  pengelolaan keuangan  negara  yang  telah  diatur  dalam  batang  tubuh  UUKN.  Namun, dari  sisi  yuridis  akan  lebih  memiliki  kekuatan  normatif  apabila  pengaturan AAUPKN  ditempatkan  dalam  bagian  awal  batang  tubuh  UUKN,  agar  lebih jelas  untuk  merumuskan  indikator-indikator  penilaian  penerapannya  secara yuridis  dikaitkan  dengan  sanksi-saksi  terhadap  penyimpangan  pelaksanaan pengelolaan  keuangan  negara.  Segi  positif  yang  terlihat  dari  AAUPKN  itu  adalah (meskipun  tidak  cukup  kuat  menjadi  landasan  normatif  karena  penempatannya hanya  dalam  Penjelasan),  dimungkinkannya  adanya  badan  pemeriksa  keuangan yang  bebas  dan  mandiri  yang  menimbulkan  wacana  lembaga  audit  keuangan negara  independen  di  luar  struktur  pemerintahan,  termasuk  LSM  maupun auditor  swasta  lain.  Tetapi,  tentunya  akan  timbul  persoalan  mengenai  kekuatan dari  hasil  penilaian  lembaga  audit  keuangan  independen  tersebut,  karena  UUKN tidak  mengatur  secara  normatif  eksistensi,  mekanisme,  dan  prosedur  tindak lanjut  hasil  penilaian  lembaga  aaudit  keuangan  independen  di  luar  penilaian politis dari DPR yang memang terdapat pengaturannya dalam UUKN. Terlepas  dari  masih  adanya  loopholes  dalam  UUKN,  tetap  perlu  adanya apresiasi  positif  terhadap  lahirnya  UUKN  sebagai  prestasi  monumental legislatif yang  sejak  Indonesia  merdeka  belum  pernah  berhasil  menyusun  UU  Keuangan Negara  “asli”  Indonesia,  yang  sungguh-sungguh  mencerminkan  kedaulatan Negara  RI  sebagai  suatu  bangsa  yang  merdeka.  Kelemahan  yang  masih  ada  pada UUKN  kiranya  dapat  menjadi  catatan  untuk  penyempurnaan  UUKN  tersebut pada  masa  mendatang,  dan  sebagai  dasar  untuk  mengambil  sikap  antisipatif dalam penerapan UUKN dalam pengelolaan keuangan negara.

Pembaruan Visi Pengelolaan Keuangan Negara
       Pengelolaan  keuangan  negara  secara  tertib,  cermat,  efektif  dan  efisien memerlukan  disain  legal  framework  yang  secara  jelas  dapat  dijadikan  acuan dalam  kebijakan  pengelolaan  keuangan  negara.  Pembaruan  terhadap  legal basis  pengelolaan  keuangan  negara,  telah  menghasilkan  4  (empat)  regulasi pokok  yaitu  UU  No.  17  Tahun  2003  tentang  Keuangan  Negara  (UUKN),  UU No.  1  Tahun  2004  tentang  Perbendaharaan  Negara  (UUPN),  UU  No.  15  Tahun 2004  tentang  Pemeriksaan  Pengelolaan  dan  Pertanggungjawaban  Keuangan Negara  dan  Keppres  No.  42  Tahun  2002  tentang  Pedoman  Pelaksanaan  APBN. Pemisahan  pengaturan  mengenai  bidang  “keuangan  negara”  dengan  bidang “perbendaharaan  negara”,  merupakan  reformasi  terhadap  sistem  pengaturan berdasarkan  Indische  comptabiliteits  Wet  (ICW),  yang  telah  beberapa  kali  direvisi terakhir  melalui  UU  No.  9  Tahun  1968  diubah  menjadi  UU  Perbendaharaan Indonesia (UPI). Meskipun  ICW  diubah  menjadi  UPI,  tetapi  sebenarnya  di  dalamnya mengatur baik bidang keuangan negara maupun bidang perbendaharaan negara. Hal  itu  membuat  rancu  segi  pengelolaan  dan  pertanggungjawaban  keuangan negara,  selain  disebabkan  karena  kewenangan  administratif  (ordonnateur)  dan pemegang  fungsi  pembayaran  (comptable)  tidak  dipisahkan  secara  tegas,  juga terutama  karena  UPI  belum  memiliki  disain  visi  pengelolaan  keuangan  negara yang  jelas.  Segi  historis  UPI  yang  bernuansa  kolonialistis,  juga  turut  menjadi latar  belakang  yang  menyebabkan  kerancuan  visi  dalam  perspektif  pengelolaan keuangan negara RI sebagai negara merdeka dan berdaulat. Pengelolaan  keuangan  negara  yang  semula  hanya  dipandang  bersifat komplementer  terhadap  kebijakan  birokrasi  publik,  sekarang  dibangun  sebagai suatu  sistem  birokrasi  spesifik  yang  perlu  secara  jelas  diatur  dalam  regulasi khusus.  Logika  yang  mendasari  kebijakan  regulasi  tersebut  adalah  bahwa persoalan  keuangan  dan  perbendaharaan  negara  tidak  boleh  lagi  dilihat  hanya sebagai  pendukung  kebijakan  publik,  melainkan  harus  diletakkan  sebagai penentu kebijakan publik. Kekacauan dalam pengelolaan keuangan negara sebagai dampak biasnya  regulasi,  memiliki  implikasi  yang  serius  terhadap  kesejahteraan rakyat dan memiliki  mulitiplier effect  terhadap stabilitas makro ekonomi.

Kekuasaan  atas  Pengelolaan  Keuangan  Negara
      Penyelenggaraan  fungsi  pemerintahan  dalam  berbagai  bidang,  akan  menimbulkan  hak  dan kewajiban  negara    yang  dapat  dinilai  dengan  uang.  Hal  ini  perlu  dikelola  dalam  suatu  sistem pengelolaan  keuangan  negara.  Kekuasaan  atas  pengelolaan  keuangan  negara  diatur  dalam  bab  II Undang-Undang  Nomor  17  Tahun  2003  tentang  Keuangan  Negara.  Pada  pasal  6  ayat  (1)  diatur bahwa  Presiden  selaku  Kepala  Pemerintahan  memegang  kekuasaan  pengelolaan  keuangan negara  sebagai  bagian  dari  kekuasaan  pemerintahan.  Dalam  penjelasan  pasal  tersebut  diatur bahwa  kekuasaan  tersebut  meliputi  kewenangan  yang  bersifat  umum  dan  kewenangan  yang bersifat  khusus. Kewenangan  yang  bersifat  umum  meliputi  penetapan  arah,  kebijakan  umum,  strategi,  dan  prioritas dalam  pengelolaan  APBN,  antara  lain  penetapan  pedoman  pelaksanaan  dan  pertanggungjawaban APBN,  penetapan  pedoman  penyusunan  rencana  kerja  Kementerian  Negara/Lembaga  (K/L), penetapan  gaji  dan  tunjangan,  serta  pedoman  pengelolaan  penerimaan  negara. Kewenangan  yang  bersifat  khusus  meliputi  keputusan/  kebijakan  teknis  yang  berkaitan  dengan pengelolaan  APBN,  antara  lain  keputusan  sidang  kabinet  di  bidang  pengelolaan  APBN,  keputusan rincian APBN, keputusan dana perimbangan, dan penghapusan aset dan piutang negara.

Pembagian Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara
      Untuk  membantu  Presiden  dalam  penyelenggaraan  kekuasaan  pengelolaan  keuangan  negara, sebagian  dari  kekuasaan  tersebut  dikuasakan  kepada  : 1)  Menteri  Keuangan  selaku  Pengelola  Fiskal  dan  Wakil  Pemerintah  dalam  kepemilikan kekayaan  negara  yang  dipisahkan.  Menteri  Keuangan  sebagai  pembantu  Presiden  dalam bidang  keuangan  pada  hakekatnya  berperan  sebagai  Chief  Financial  of  Officer  (CFO) Pemerintah  Republik  Indonesia.   Dalam  rangka  pelaksanaan  kekuasaan  atas  pengelolaan  fiskal,  Menteri  Keuangan mempunyai  tugas  sebagai  berikut  (a)  menyusun  kebijakan  fiskal  dan  kerangka  ekonomi makro,  (b)  menyusun  rancangan  APBN  dan  rancangan  Perubahan  APBN,  (c)  mengesahkan dokumen  pelaksanaan  anggaran,  (d)  melakukan  perjanjian  internasional  di  bidang  keuangan, (e)  melaksanakan  pemungutan  pendapatan  negara  yang  telah  ditetapkan  dengan  undang-undang,  (f)  melaksanakan  fungsi  bendahara  umum  negara,  (g)  menyusun  laporan  keuangan yang  merupakan  pertanggungjawaban  pelaksanaan  APBN,  (f)  melaksanakan  tugas-tugas  lain di  bidang  pengelolaan  fiskal  berdasarkan  ketentuan  undang-undang. Sub  bidang  pengelolaan  fiskal  meliputi  fungsi-fungsi  pengelolaan  kebijakan  fiskal  dan kerangka  ekonomi  makro,  penganggaran,  administrasi  perpajakan,  administrasi  kepabeanan, perbendaharaan,  dan  pengawasan  keuangan. 2)  Menteri/Pimpinan  Lembaga  selaku  Pengguna  Anggaran/Pengguna  Barang  kementerian negara/lembaga  yang  dipimpinnya.  Setiap  menteri/pimpinan  lembaga  pada  hakekatnya adalah  Chief  of  Operational  Officer  (COO)  untuk  suatu  bidang  tertentu  pemerintahan,  yang mempunyai  tugas  sebagai  berikut  (a)  menyusun  rancangan  anggaran  kementerian negara/lembaga  yang  dipimpinnya,  (b)  menyusun  dokumen  pelaksanaan  anggaran,  (c) melaksanakan  anggaran  kementerian  negara  /lembaga  yang  dipimpinnya,  (d)  melaksanakan pemungutan  penerimaan  negara  bukan  pajak  dan  menyetorkannya  ke  kas  negara,  (e) mengelola  piutang  dan  utang  negara  yang  menjadi  tanggung  jawab  kementerian  negara /lembaga  yang  dipimpinnya,  (f)  mengelola  barang  milik/kekayaan  negara  yang  menjadi tanggung  jawab  kementerian  negara  /lembaga  yang  dipimpinnya,  (g)  menyusun  dan menyampaikan  laporan  keuangan  kementerian  negara  /lembaga  yang  dipimpinnya,  (h) melaksanakan  tugas-tugas  lain  yang  menjadi  tanggung  jawabnya  berdasarkan  ketentuan undang-undang. 3).  Gubernur/bupati/walikota  selaku  kepala  pemerintahan  daerah  untuk  mengelola  keuangan daerah  dan  mewakili  pemerintah  daerah  dalam  kepemilikan  kekayaan  daerah  yang dipisahkan. Sesuai  dengan  asas  desentralisasi  dalam  penyelenggaraan  pemerintahan  negara,  kekuasaan pengelolaan  keuangan  daerah  diatur  sebagai  berikut:
a.  dilaksanakan  oleh  kepala  satuan  kerja  pengelola  keuangan  daerah  selaku  pejabat pengelola  APBD  dengan  tugas  sebagai  berikut:
-  menyusun  dan  melaksanakan  kebijakan  pengelolaan  APBD;
-  menyusun  rancangan  APBD  dan  rancangan  Perubahan  APBD;
-  melaksanakan  pemungutan  pendapatan  daerah  yang  telah  ditetapkan  dengan Peraturan  Daerah;
-  melaksanakan  fungsi  bendahara  umum  daerah;
-  menyusun  laporan  keuangan  yang  merupakan  per-tanggungjawaban  pelaksanaan APBD.
b.  dilaksanakan  oleh  kepala  satuan  kerja  perangkat  daerah  selaku  pejabat  pengguna anggaran/barang  daerah,  dengan  tugas  sebagai  berikut:
-  menyusun  anggaran  satuan  kerja  perangkat  daerah  yang  dipimpinnya; -  menyusun  dokumen  pelaksanaan  anggaran;
- melaksanakan  anggaran  satuan  kerja  perangkat  daerah  yang    dipimpinnya;
-  melaksanakan  pemungutan  penerimaan  bukan  pajak; -  mengelola  utang  piutang  daerah  yang  menjadi  tanggung  jawab  satuan  kerja  perangkat daerah  yang  dipimpinnya;
-  mengelola  barang  milik/kekayaan  daerah  yang  menjadi  tanggung  jawab  satuan  kerja   perangkat  daerah  yang  dipimpinnya;
-  menyusun  dan  menyampaikan  laporan  keuangan  satuan  kerja  perangkat  daerah  yang dipimpinnya.
Sebagai  catatan,  pembagian  kekuasaan  pengelolaan  keuangan  negara  seperti  tersebut  di  atas tidak mencakup  kewenangan  di  bidang  moneter,  yang  antara  lain  meliputi  kewenangan  untuk mengeluarkan  dan  mengedarkan  uang,  yang  diatur  dengan  undang-undang.  Hal  ini  sesuai  dengan Undang-Undang  Dasar  1945  pasal  23  D  bahwa  negara  memiliki  suatu  bank  sentral  yang  susunan, kedudukan,  kewenangan,  tanggung  jawab  dan  independensinya  diatur  dengan  undang-undang. Menurut  Pasal 21 Undang-Undang  Nomor  17  Tahun  2003  tentang  Keuangan  Negara. Pemerintah Pusat  dan  bank  sentral  berkoordinasi  dalam  penetapan  dan  pelaksanaan  kebijakan  fiskal  dan moneter. Prinsip  pembagian  kekuasaan  perlu  dilaksanakan  secara  konsisten  agar  terdapat  kejelasan  dalam pembagian  wewenang  dan  tanggung  jawab,  terlaksananya  mekanisme  koordinasi  (checks  and balances)  serta  untuk  mendorong  upaya  peningkatan  profesionalisme  dalam  penyelenggaraan tugas  pemerintahan.

Peran  APBN bagi  Pembangunan  dan  Pertumbuhan  Ekonomi
       Anggaran  Pendapatan  dan  Belanja  Negara  (APBN)  merupakan  alat  utama pemerintah  untuk  mensejahterakan  rakyatnya  dan  sekaligus  alat  pemerintah untuk  mengelola  perekonomian  negara.  Sebagai  alat  pemerintah,  APBN  bukan hanya  menyangkut  keputusan  ekonomi,  namun  juga  menyangkut  keputusan politik.  Dalam  konteks  ini,  DPR  dengan  hak  legislasi,  penganggaran,  dan pengawasan  yang  dimilikinya  perlu  lebih  berperan  dalam  mengawal  APBN sehingga  APBN  benar-benar  dapat  secara  efektif  menjadi  instrumen  untuk mensejahterakan  rakyat  dan  mengelola  perekonomian  negara  dengan  baik.   
      Kebijakan  fiskal  adalah  salah  satu  perangkat  kebijakan  ekonomi  makro  dan  merupakan    kebijakan utama  pemerintah  yang  diimplementasikan  melalui  APBN.    Kebijakan  ini  memiliki  peran  yang penting  dan  sangat  strategis  dalam  mempengaruhi  perekonomian,  terutama  dalam  upaya mencapai  target-target  pembangunan  nasional.  Peran  tersebut  terkait  dengan  tiga  fungsi  utama pemerintah,  yaitu  fungsi  alokasi,  fungsi  distribusi,  dan  fungsi  stabilisasi.  APBN  harus  didesain sesuai  dengan  fungsi  tersebut,  dalam  upaya  mendukung  penciptaan  akselerasi  pertumbuhan ekonomi  yang  tinggi  dan  berkualitas.   Dalam  penjelasan  Undang-Undang  Nomor  17  Tahun  2003  tentang  Keuangan  Negara,  dijelaskan: fungsi  alokasi  mengandung  arti  bahwa  anggaran  negara  harus  diarahkan  untuk  mengurangi pengangguran  dan  pemborosan  sumber  daya,  serta  meningkatkan  efisiensi  dan  efektivitas perekonomian;  fungsi  distribusi  mengandung  arti  bahwa  kebijakan  anggaran  negara  harus memperhatikan  rasa  keadilan  dan  kepatutan;  fungsi  stabilisasi  mengandung  arti  bahwa  anggaran pemerintah  menjadi  alat  untuk  memelihara  dan  mengupayakan  keseimbangan  fundamental ekonomi. Fungsi  alokasi  berkaitan  dengan  intervensi  Pemerintah  terhadap  perekonomian  dalam mengalokasikan  sumber  daya  ekonominya,  sedangkan  fungsi  distribusi  berkaitan  dengan pendistribusian  barang-barang  yang  diproduksi  oleh  masyarakat.  Peran  penting  kebijakan  fiskal dalam  redistribusi  dan  alokasi  anggaran  pemerintah  antara  lain  adalah  penanggulangan kemiskinan,  dan  peningkatan  kesejahteraan  rakyat.  Dalam  konteks  ini,  kebijakan  fiskal  dapat dipergunakan  untuk  mempengaruhi  sektor-sektor  ekonomi  atau  kegiatan  tertentu,  untuk menyeimbangkan  pertumbuhan  pendapatan  antarsektor  ekonomi,  antardaerah,  atau antargolongan  pendapatan.  Peran  kebijakan  fiskal  juga  penting  dalam  menanggulangi  dampak yang ditimbulkan oleh bencana alam, wabah penyakit, dan konflik sosial. Fungsi  stabilisasi  berkaitan  dengan  upaya  menjaga  stabilitas  dan  akselerasi  kinerja  ekonomi, sehingga  perekonomian  tetap  pada  kesempatan  kerja  penuh  (full  employment)  dengan  harga  yang stabil.  Fungsi  stabilisasi  yang  ditujukan  untuk  meminimalisir  volatilitas  atau  fluktuasi  dalam perekonomian,  merupakan  esensi  utama  kebijakan  APBN.  Dengan  peran  stabilisasinya,  kebijakan fiskal  dipandang  sebagai  salah  satu  alat  yang  efektif  untuk  memperkecil  siklus  bisnis.  Sejarah kebijakan  fiskal  Indonesia  menunjukkan  bukti  tersebut  selama  periode  krisis  ekonomi  1997/1998, dan  krisis  2009.  Kebijakan  ekspansif  fiskal  melalui  pengalokasian  stimulus  fiskal  pada  tahun  2009 mampu  menahan  ekonomi  Indonesia  dari  dampak  krisis,  bahkan  mampu  membuat  ekonomi tumbuh  positif  di  tengah  kondisi  melambatnya  pertumbuhan  ekonomi  dunia.  Stabilitas  ekonomi terjaga,  dan  kesehatan  fiskal  dapat  diwujudkan.  Tentu  saja,  hal  tersebut  dapat  diwujudkan  tidak semata  melalui  kebijakan  fiskal  yang  tepat,  tetapi  didukung  oleh  kebijakan  moneter  dan  kebijakan lain  yang  saling  bersinergi.

Performance Budgeting
      Istilah  penganggaran  berbasis  kinerja  (performance  budgetting)  dalam keuangan  negara  RI,  disebutkan  dalam  pasal  14  ayat  (2)  UU  No.  17  Tahun  2003. Fungsi-fungsi  suatu  sistem  penganggaran  secara  umum  meliputi:;Financial  control  of  inputs,  yaitu  pengendalian  terhadap  masukan-masukan berupa belanja pegawai dan belanja barang. 2.  Management  of  ongoing  activities,  yaitu  menggunakan  informasi  biaya, aktivitas dan hasil-hasil guna mengevaluasi keberhasilan program. 3.  Planning, yaitu sistem penganggaran dipergunakan untuk perencanaan masa yang  akan  datang  dalam  dua  cara.  Pertama,  sistem  anggaran  mewajibkan setiap  instansi  menghitung,  berapa  jumlah  biaya  yang  dibutuhkan  untuk program  yang  diusulkan,  dan  jika  mungkin  mengaitkan  biaya-biaya tersebut  dengan  tingkat  aktivitas  untuk  selama  beberapa  tahun  di  masa mendatang.  Kedua,  sistem  anggaran  mewajibkan  kementerian  negara/ lembaga  pengguna  anggaran  beserta  unit-unitnya  untuk  menerapkan perencanaan  strategis.  Selanjutnya,  usulan  anggaran,  penetapan  anggaran dan pelaksanaannya harus selalu mengacu pada rencana-rencana tersebut. 4.  Setting  Priorities,  yaitu  sistem  penganggaran  membantu  dalam  penentuan prioritas program dari instansi-instansi yang mengusulkan anggaran. 5.  Accountability,  yaitu  sistem  penganggaran  dipergunakan  untuk menginformasikan  kualitas  pencapaian  sasaran  strategis  berdasarkan outcomes  yang dicapai.
      Anggaran  kinerja  adalah  suatu  pendekatan  sistematis  untuk  membantu Pemerintah  menjadi  lebih  tanggap  kepada  masyarakat  pembayar  pajak, dengan  mengaitkan  pendanaan  program  pada  kinerja  dan  produksi.  Menurut Government  of  Alberta,  Canada,  "Performance  budgetting  is  a  system  of  planning, budgetting, and evaluation that emphasizes the relationship between money budgeted and results expected." Syarat anggaran berbasis kinerja adalah: 1.  Kejelasan sasaran strategis 2. Pengembangan dan ketersediaan indikator kinerja (Specific,  Measurable,  Attainable  or  achievable,  Result  oriented,  and  Timebound: SMART) 3.  Keterkaitan yang jelas : sasaran strategis dengan indikator kinerja 4. Kejelasan akuntabilitas  kinerja  dan  laporan  akuntabilitas  kinerja  yang  lebih menekankan pada outcome 5.  Perlu perencanaan lebih awal guna mencapai konsensus 6.  Leadership  untuk mempromosikan perubahan 7.  Kehati-hatian dalam implementasi . Selanjutnya,  kondisi-kondisi  yang  diperlukan  dalam  penganggaran berbasis kinerja adalah: 1. Orientasi yang sama pada hasil (Similar orientation on results) 2. Penerapan rencana kinerja tahunan (Annual performance plan) 3.  Pengembangan indikator kinerja (Performance indicators) 4.  Sistem pengumpulan data kinerja (Performance data collection system)
      Konsekuensi penerapan penganggaran berbasis kinerja adalah meliputi: 1.  Perubahan  klasifikasi  anggaran  dan  integrasinya  dengan  sistem  akuntansi Pemerintah. 2.  Aturan  tentang  fleksibilitas  anggaran  perlu  diseimbangkan  dengan akuntabilitas 3.  Restruktrurisasi program-program pemerintah Anggaran  berbasis  kinerja  saat  ini  dinilai  sebagai  suatu  pilihan  sistem penganggaran  yang  mampu  menstimulasi  manajemen  birokrasi  yang  mengacu pada  prinsip  efektivitas,  mengefisienkan  alokasi  anggaran  dalam  pelaksanaan program/proyek dan pendanaan infrastruktur publik, menstimulasi keterbukaan dan  akuntabilitas  pemerintahan,  dan  melakukan  penghematan  uang  negara tanpa  melalaikan  prinsip-prinsip  profesionalitas.  Perwujudan  good  governance perlu didukung oleh prinsip-prinsip manajemen berbasis kinerja. Prinsip-prinsip manajemen berbasis kinerja tersebut meliputi: 1. Menyediakan  suatu  pendekatan  terstruktur  dalam  memfokuskan  pada strategic performance objectives; 2. Menyediakan  mekanisme  yang  secara  akurat  mampu  melaporkan  kinerja kepada manajemen yang lebih tinggi atau kepada para stakeholder.; 3. Melibatkan  semua  pihak  yang  berkepentingan  dalam  perencanaan  dan evaluasi kinerja; 4. Menyediakan  mekanisme  menghubungkan  kinerja  dengan  pengeluaran anggaran,; 5. Mewakili suatu cara yang ‘fair’ untuk melakukan kegiatan; 6. Menyediakan kerangka akuntabilitas kinerja yang sempurna (lengkap); dan 7. Membagi tanggung jawab untuk meningkatkan kinerja.
      Dalam buku "Public Expenditure Management Handbook" yang diterbitkan oleh The Worldbank (1998) dinyatakan bahwa:

This  type of  budgeting drew  on a long-term  concern with the efficiency  of  government  and attempted to integrate information about government activities  into the budget process  so  that budget decisions  could be based to a greater  degree  on  the  relationship  between  what  government did  and  how  much  it  cost.  The specific  reform,  known as  "performance budgeting,"  was  designed to allow  managers  to develop measures  of  workload and unit cost. A performance budget usually  divides  proposed expenditures  into activities  within  each organization and a set of  workload measures  that relate the  activity  performed  to  cost.  Performance budgeting allows  the budget to be built, not incrementally  (as  in  traditional  line  item  budgeting),  but on the basis  of  anticipated workload.  Managers  could arrive  at a budget by  simply  multiplying  the cost  of  a unit of  output by  the number  of  units  needed in  the next year. Performance  budgeting  indicated a shift from  budgeting based on expenditure  control,  to budgeting  based  increasingly  on  management concerns.  The emphasis  was  not on making government-wide budgetary  trade-offs, but on measuring the workload of  an  agency.    The  focus was  on the work  to be done, not on the usefulness  of  the  objectives  themselves.    Performance budgeting was  rarely  adopted as  a government-wide budgetary  process,  but is  significant  because it  emphasized the integration of  activity  information and budgeting.  This  emphasis  was  to  be continued in  future  reform  efforts.

      Pelaksanaan  anggaran  di  suatu  negara  perlu  secara  konsisten  mengacu pada  asas-asas  anggaran.  Asas-asas  anggaran  yang  menjadi  ciri  anggaran  dalam negara modern terdiri dari : 1. Asas kelengkapan (volledigheid, universalitas) Asas  ini  mempertahankan  hak  budget  parlemen  secara  lengkap.  Semua pengeluaran  dan  penerimaan  secara  tegas  dimuat  dalam  anggaran.  Tidak boleh  ada  penerimaan  atau  pengeluaran  yang  tidak  dimasukkan  ke  dalam kas  negara.  Dengan  demikian  tidak  ada  kegiatan  penguasa  publik  yang terlepas  dari  pengawasan DPR. Asas kelengkapan ini mencegah penyediaan/ penggunaan  fonds  khusus,  serta  tidak  memberi  kesempatan  kepada kompensasi  administratif  dari  pengeluaran  tertentu  dengan  pendapatan tertentu. 2. Asas spesialisasi/spesifikasi.Dapat diklasifikasi atas dua macam, yaitu: a. Spesialisasi  kualitatif,  yakni  jumlah  yang  tertentu  yang  ditetapkan untuk  pasal  tertentu,  harus  semata-mata  digunakan  untuk  tujuan  yang disebutkan dalam pasal itu; b.  Spesialisasi  kuantitatif,  yakni  tidak  diperbolehkan  melampaui  jumlah yang telah ditetapkan; c. Spesialisasi  menurut  urutan  sementara,  yakni  pengeluaran  itu  hanya dapat  dibebankan  kepada  pasal  tertentu  bagi  anggaran  tertentu  selama dinas yang bersangkutan masih dibuka. 3. Asas berkala (periodisitas) Pemberian  otorisasi  dan  pengawasan  rakyat  dengan  perantaraan  wakil wakilnya  secara  berkala  dalam  kebijaksanaan  pemerintah  guna  memenuhi fungsinya.  Dengan  periodisitas  ini  memungkinkan  pemberian  otorisasi dan  pengawasan  rakyat  berjalan  secara  teratur.  Periodisitas  ini  tidak menghilangkan  pengawasan  rakyat,  tetapi  juga  harus  diperhatikan  agar kesempatan  pemerintah  untuk  menjalankan  rencananya  tetap  berlaku. Kedua  hal  ini  merupakan  persyaratan  pencapaian  tujuan  demokrasi  dalam hukum tata negara. 4. Asas formil (bentuk tertentu) Setiap  rencana  atau  bentuk  kegiatan  pemerintah  memerlukan suatu bentuk tertentu  yang  dapat  mengikat  semua  pihak,  dalam  hal  ini  bentuk  undangundang.  Bagi  rakyat,  dapat  mengetahui  dan  memegangnya  secara  pasti, yang  merupakan  dasar  untuk  pelaksanaan  pengawasan  rakyat  melalui wakil-wakilnya.  Bagi  pemerintah,  dapat  menjadi  dasar  pegangan  yang  pasti dalam  menjalankan  fungsinya  berdasarkan  otoritas  yang  telah  diberikan DPR. Asas formil ini dipengaruhi oleh prinsip negara hukum. 5. Asas publisitas (keterbukaan) Merupakan  asas  dalam  demokrasi  bahwa  tidak  ada  urusan  publik  yang bersifat  rahasia.  Dasar  keterbukaan  adalah  penting  bagi  negara  demokrasi mengenai penerimaan dan pengeluaran negara.

Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Korupsi Pada Pengelolaan Anggaran Pendapatan Negara/Daerah
      Penyimpangan  dalam  pengelolaan APBN/D  pada  umumnya mencakup kebocoran  baik  pada sisi penerimaan  maupun  sisi  pengeluaran.  Kebocoran  yang terjadi  pada sisi  penerimaan terutama karena tidak seluruh  penerimaan anggaran masuk ke Rekening Kas Negara/Daerah, sedangkan pada  sisi pengeluaran  terjadi karena  adanya pengeluaran anggaran yang lebih besar dari jumlah seharusnya.  Sistem  pengendalian manajemen  harus terus menerus ditingkatkan  keandalannya  berdasarkan umpan  balik  (feed back) dari hasil upaya detektif dan represif. Upaya  detektif  merupakan  rangkaian  kegiatan  yang ditujukan untuk  mengidentifikasi terjadinya penyimpangan dalam pengelolaan APBN/D. Upaya detektif  dimaksudkan untuk memperoleh alat bukti yang relevan, cukup dan  kompeten  untuk mendukung simpulan hasil pemeriksaan  sebagai  dasar pengambilan tindak  lanjut  (upaya represif), dengan tetap berpegang pada asas praduga tak bersalah (presumption of innosence). Upaya detektif mencakup upaya yang dianggap  penting dilakukan  untuk mendeteksi  penyimpangan yang terjadi sehingga  perlu  dikembangkan sesuai  kondisi  yang dihadapi  di  lapangan,  yang  secara  rinci  dituangkan dalam program pemeriksaan (auditprogram). Pengembangan upaya preventif dan detektif sangat  perlu  dilakukan  karena penyimpangan-penyimpangan  yang terjadi  pada perusahaan pada  umumnya disebabkan adanya  kolusi baik antar  petugas di  dalam  perusahaan,  maupun  dengan pihak luar yang terkait dengan perusahaan.
       KPK RI pernah mencatat terdapat 6 (enam) modus celah korupsi APBN (http://nasional.tempo.co/read/news/2014/12/03/063626022/Enam-Modus-Korupsi-Penyusunan-APBN-Versi-KPK). Celah korupsi pertama, pengalokasian dana optimalisasi tak sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. Celah kedua, regulasi yang mengontrol defisit tidak digubris. Pada APBN 2014, terjadi peningkatan defisit sebanyak Rp 21,15 triliun. Pada RAPBN 2014 jumlahnya masih Rp 154,2 triliun, tapi ketika disahkan menjadi Rp 175,35 triliun. Padahal perubahan RUU APBN dapat diusulkan Dewan Perwakilan Rakyat sepanjang tidak mengakibatkan peningkatan defisit. Celah korupsi ketiga ada pada rencana kerja pemerintah yang terus berubah dan tak terevaluasi dengan benar.Rencana kerja yang sudah dibahas dengan DPR tidak ditetapkan kembali. Ini memberikan hasil yang bias untuk perencanaan tahun-tahun berikutnya. Celah korupsi keempat, proses penelahaan dana optimalisasi belum maksimal dalam menyaring program yang tak sesuai dengan rencana kerja kementerian. Akibatnya, banyak program ditetapkan padahal tak sesuai. Celah korupsi kelima adalah mekanisme dan kriteria pembagian alokasi besaran dana optimalisasi pada masing-masing kementerian/lembaga yang tidak transparan. Pembagian alokasi tersebut diserahkan ke Badan Anggaran dan Komisi di DPR yang ditetapkan dalam rapat internal dan tidak melibatkan pemerintah. Dampaknya, kementerian/lembaga tidak mengetahui alasan mendapatkan besaran tertentu dalam alokasi tambahan belanja dan tidak siap dalam menjalankan program atau kegiatan. Celah korupsi keenam, tak ada peraturan tentang kriteria pemanfaatan dana optimalisasi. Ini dapat membuka peluang bagi oknum untuk menambah, mengubah, sekaligus menghilangkan poin-poin kriteria agar mengakomodasi kepentingan pihak tertentu serta membuat kementerian/lembaga dan komisi-komisi tidak mematuhi kriteria yang telah disepakati. Sehubungan dengan hal tersebut, mekanisme pembahasan anggaran kementerian/lembaga dengan DPR perlu disempurnakan. Juga perlu dilakukan penguatan regulasi terkait kriteria pengalokasian dan penggunaan dana optimalisasi dan memformalkan perubahan rencana kerja pemerintah agar tidak berubah-ubah. Kemudian, besaran defisit atas usulan perubahan APBN oleh DPR harus sudah dikontrol ketika masih proses pembahasan.
       Dalam pembahasan, pengusulan dan implementasi APBN, Satker menjadi ujung tombak yang sangat menentukan. Satker memainkan  peran  yang  penting  dalam  mengusulkan  dan  menyusun  rincian  kegiatan  dan  anggaran  bagi DIPA  untuk  tahun  fiskal  berikutnya.  Beberapa  Satker  juga  terlibat  dalam  penyusunan  Petunjuk  Operasional Kegiatan  (POK).  Survei  menunjukkan  bahwa  80  persen  Satker terlibat  di  dalam  proses perencanaan  dan  penganggaran.  Ini  berarti  bahwa  pejabat  Satker  melaksanakan  fungsi  pelaksanaan  dan pemantauan,  di  samping  mengusulkan  kegiatan-kegiatan  untuk  tahun  fiskal  berikutnya.  Kuasa  Pengguna Anggaran  (KPA)  dan  Pejabat  Pembuat  Komitmen  (PPK)  adalah  dua  pejabat  yang  menyusun  dan  merumuskan usulan  kegiatan  dan  berperan  penting  dalam  menentukan  pelaksanaan  DIPA. Di titik inilah upaya detektif perlu dilakukan untuk mengayasi titik rawan korupsi APBN.
       Dalam hukum administrasi negara, pemerintah diberikan kewenangan diskresi yang melekat pada kewenangan jabatan tata usaha negara. Asas diskresi (freis ermessen) yaitu kebebasan dari seorang pejabat administrasi negara untuk mengambil keputusan berdasarkan pendapatnya sendiri. Dengan demikian, setiap pejabat administrasi negara tidak boleh menolak mengambil keputusan bila ada seorang warga masyarakat mengajukan permohonan dengan alasan tidak ada peraturan yang mengaturnya. Diskresi terdiri dari dua macam, pertama, diskresi terikat yaitu kebebasan dari seorang pejabat administrasi negara untuk mengambil keputusan, yaitu dengan menentukan pilihan yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Kedua, diskresi bebas yaitu kebebasan dari seorang pejabat administrasi negara untuk mengambil keputusn yaitu dengan membentuk keputusan baru, karena tidak ditentukan (diatur) dalam peraturan perundang-undangan. Dalam mekanisme penggunaan anggaran, diskresi meskipun diperlukan dalam beberapa kondisi tertentu. Namun, perlu ada pengaturan mengenai pembatasan penggunaan diskresi oleh pejabat pemerintah. Hal ini disebabkan potensi terjadinya tindakan sewenang-wenang dalam penggunaan diskresi yang bisa membuka celah terjadinya kerugian negara. Penggunaan kewenangan diskresioner dapat menimbulkan efek negatif jika digunakan terlampau berlebihan. Efek negatif kewenangan diskresioner, yaitu: Abuse of power (pelampauan kewenangan), Detournament de pouvoir (penyalahgunaan wewenang), Ultravires (penyalahgunaan wewenang). Sehubungan dengan hal tersebut, kini pada Padal 22 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan terdapat pembatasan penggunaan wewenang diskresi, yaitu bahwa setiap penggunaan Diskresi Pejabat Pemerintahan harus bertujuan untuk: a. melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;  b. mengisi kekosongan hukum; c. memberikan kepastian hukum; dan d. mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Diskresi Pejabat Pemerintahan meliputi: a. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan Keputusan dan/atau Tindakan; b. pengambilan  Keputusan  dan/atau  Tindakan karena  peraturan  perundang-undangan  tidak mengatur; c, pengambilan  Keputusan  dan/atau  Tindakan karena  peraturan  perundang-undangan  tidak lengkap atau  tidak jelas; dan d. pengambilan  Keputusan  dan/atau  Tindakan karena  adanya  stagnasi  pemerintahan  guna kepentingan yang lebih luas. Pejabat  Pemerintahan  yang  menggunakan  Diskresi harus  memenuhi syarat: a. sesuai  dengan  tujuan  Diskresi  sebagaimana dimaksud  dalam  Pasal  22  ayat (2); b. tidak  bertentangan  dengan  ketentuan  peraturan perundang-undangan; c. sesuai dengan  AUPB; c. berdasarkan alasan-alasan yang objektif;  d. tidak menimbulkan  Konflik Kepentingan; dan d. dilakukan dengan iktikad baik.  Penggunaan  Diskresi  yang  berpotensi   mengubah alokasi  anggaran  wajib  memperoleh  persetujuan dari  Atasan  Pejabat  sesuai  dengan  ketentuan peraturan perundang-undangan.  Persetujuan  tersebut dilakukan apabila penggunaan Diskresi berdasarkan  ketentuan  Pasal  23  huruf  a,  huruf  b, dan  huruf  c  serta  menimbulkan  akibat  hukum yang berpotensi  membebani  keuangan negara. Dalam  hal  penggunaan  Diskresi  menimbulkan keresahan masyarakat, keadaan darurat, mendesak  dan/atau  terjadi  bencana  alam,  Pejabat Pemerintahan  wajib  memberitahukan  kepada Atasan  Pejabat  sebelum  penggunaan  Diskresi  dan melaporkan  kepada  Atasan  Pejabat  setelah penggunaan  Diskresi. Pemberitahuan  sebelum  penggunaan  Diskresi  dilakukan apabila penggunaan Diskresi berdasarkan ketentuan  dalam  Pasal  23  huruf  d UU Adpem yang  berpotensi menimbulkan keresahan masyarakat. Pelaporan setelah penggunaan Diskresi  dilakukan apabila penggunaan Diskresi berdasarkan ketentuan  tersebut terjadi dalam  keadaan  darurat,  keadaan  mendesak, dan/atau terjadi bencana alam. Pejabat  yang  menggunakan  Diskresi  sebagaimana dimaksud  dalam  Pasal  25  ayat  (1)  dan  ayat  (2) UU Adpem wajib  menguraikan  maksud,  tujuan,  substansi, serta dampak administrasi dan keuangan. Pejabat  yang  menggunakan Diskresi wajib  menyampaikan permohonan  persetujuan  secara  tertulis  kepada Atasan Pejabat. Dalam  waktu  5  (lima)  hari  kerja  setelah  berkas permohonan  diterima,  Atasan  Pejabat  menetapkan persetujuan,  petunjuk perbaikan,  atau penolakan.  Apabila  Atasan  Pejabat  melakukan  penolakan,  Atasan  Pejabat tersebut  harus  memberikan  alasan  penolakan secara tertulis.  Pejabat  yang  menggunakan  Diskresi  sebagaimana dimaksud  dalam  Pasal  25  ayat  (3)  dan  ayat  (4) UU Adpem wajib  menguraikan  maksud,  tujuan,  substansi,  dan dampak  administrasi  yang  berpotensi  mengubah pembebanan keuangan negara. Pejabat  yang  menggunakan  Diskresi  wajib  menyampaikan pemberitahuan  secara  lisan  atau  tertulis  kepada Atasan Pejabat. Pemberitahuan  sebagaimana  dimaksud disampaikan  paling  lama  5  (lima)  hari  kerja sebelum penggunaan Diskresi.  Pejabat  yang  menggunakan  Diskresi  sebagaimana dimaksud  dalam  Pasal  25  ayat  (3)  dan  ayat  (5) UU Adpem wajib  menguraikan  maksud,  tujuan,  substansi,  dan dampak yang ditimbulkan. Pejabat  yang  menggunakan  Diskresi  sebagaimana dimaksud  wajib  menyampaikan laporan  secara  tertulis  kepada  Atasan  Pejabat setelah  penggunaan  Diskresi. Pelaporan  sebagaimana  dimaksud  disampaikan  paling  lama  5  (lima)  hari  kerja terhitung sejak penggunaan Diskresi. Penggunaan  Diskresi  dikategorikan  melampaui Wewenang apabila: a.  bertindak  melampaui  batas  waktu  berlakunya Wewenang  yang  diberikan  oleh  ketentuan peraturan perundang-undangan; b.  bertindak  melampaui  batas  wilayah  berlakunya Wewenang  yang  diberikan  oleh  ketentuan peraturan perundang-undangan;  dan/atau c. tidak  sesuai  dengan  ketentuan  Pasal  26,      Pasal 27, dan  Pasal 28. Akibat hukum  dari  penggunaan  Diskresi sebagaimana  dimaksud menjadi  tidak sah. Penggunaan Diskresi dikategorikan mencampuradukkan Wewenang apabila: a. menggunakan Diskresi tidak sesuai dengan tujuan Wewenang yang diberikan; b. tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28; dan/atau c. bertentangan dengan AAUPB. (2) Akibat hukum dari penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud dapat dibatalkan. Penggunaan Diskresi dikategorikan sebagai tindakan sewenang-wenang apabila dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berwenang. Akibat hukum dari penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud menjadi tidak sah. 
      Dalam buku "Understanding the Budget Process A Handbook for Parliament" yang diterbitkan oleh Improving Parliamentary Performance in Pakistan untuk mencegah korupsi pada APBN/D diperlukan penerapan PRINCIPLES  OF  A  GOOD  BUDGETING  SYSTEM  yang meliputi:

Government  should  maintain  a  sustainable  fiscal  discipline
Fiscal  discipline  means  that  government  expenditure  remains  within  the  limit  of  its  revenues.  If government  expenditure  exceeds  its  resources  than  it  either  raises  debt  or  prints  more  money resulting  in  a  budget  deficit. If  continued  unabated, both  of  these  options  are  unsustainable. Governments  normally  have  fiscal  responsibility  laws  to  check  on  the  level  of  borrowings.  In Pakistan,  the  Fiscal  Responsibility  and  Debt  Limitations  Act  of  2005  provides  borrowing  limits.  

Effective  allocation  of  resources  to  departments,  sectors,  and  services Public  money  should  be  allocated  on  the  basis  of  evidence  of  effectiveness  and  in  furtherance  of the  priorities  of  government.  This  requires  moving  away  from  incremental  budgeting  (a  method under  which  a  percentage  is  added  to  the  previous  year’s  budget  to  arrive  at  the  next  year’s budget).  The  Government  should  have  the  capacity  to  evaluate  activities,  which  are  not contributing  to  the  achievement  of  its  goals,  based  on  which  resources  can  be  shifted  to  more efficient  use.

Efficient  provision  of  public  services
The  Government  should  achieve  value  for  money  in  delivering  public  services  and  should  be attentive  to  the  quality  and  accessibility  of  services. Value  for  money  means  that  the  Government  should  have  the  capacity  to  spend  resources  in  such a  manner  that  results  in  achievement  of  objectives  with  minimum  resources  (e.g.  cost,  materials, people,  etc.)

Alignment  of  policy  planning,  budgeting  and  monitoring  systems
Budgets  should  reflect  plans  and  policies  of  departments.  Budgets  and  plans  should  be  monitored on  a  periodic  basis  and  lessons  learnt  from  monitoring  should  be  used  to  improve  the  next  round of  policy  planning.

Policy  / performance  based  budgeting
Traditionally  budgets  are  made  by  ‘inputs’  (i.e.  financial,  material  and  human  resources).  While  it is  important  to  present  resources  required,  it  is  even  more  important  to  present  a  budget  by ‘outputs’  (i.e.  public  services)  to  understand  government  priorities  and  plans. The  ‘Output-based  budget’  introduces  results-orientation  to  budget.  This  means  not  only  resource requirements,  but  the  government  budget  also,  presents  the  expected  results  that  will  affect  the beneficiaries.

Medium-Term  budgeting  and  predictability  of  resources
The  budget  needs  to  have  a  medium  term,  e.g.  3  years,  perspective.  Each  year  the  budget  should be  made  on  a  rolling-basis  (i.e.  each  year  the  budget  should  be  presented  for  the  next  3  years) Economic  circumstances  may  change  and  so  can  plans  of  the  Government.  It  is  therefore, necessary  to  understand  medium  term  implications  of  those  decisions. Since  government  policies  are  normally  of  a  longer  duration  (e.g.  5  years),  it  is  also  important  to have  a  medium  term  perspective  in  budgeting. Each  year  departments  must  be  communicated  with  medium  term  ‘ceilings’  (budget  limits)  so  as to  allow  them  predictability  of  resources  for  better  policy  planning.
Harmonised  Recurrent  and  Development  Budgets  to  focus  on  delivery  of services

Effective  integration  of  current  and  development  budgets  is  one  of  the  hallmarks  of  a  good budgetary  system. 
Moving  to  a  unified  budget,  however,  can  be  difficult  as  it  involves  legislative, institutional, budget presentation  and  expenditure  management issues. From  the  legislative  perspective,  presenting  a  single  vote  (Demand)  for  each  Principal Accounting  Officer,  instead  of  two  votes  (Demands);  one  for  recurrent  and  one  for  development may  require  legal  changes  and  significant  consultants  within  the  Parliament.  There  may  also  be  a revision  of  roles  of  the  Finance  Division,  and  Planning,  Development  and  Reforms  Division. Similarly,  the  line  Ministries  may  undergo  restructuring  to  focus  on  a  policy-based  budget  as  a unified  activity.   Therefore,  countries  have  adopted  stepwise  progress.  Initially  both  the  recurrent  and  development budgets  are  presented  through  a  unified  system  of  budget  classification.   Presenting  the  budget  by  ‘Functional  classification’  (as  developed  by  the  IMF  to  provide  a  list  of standard  government  functions  -  e.g.  defence,  health,  education,  etc.)  can  unify  the  presentation of  the  two  sides  of  the  budget.   In  addition,  presenting  the  budget  by  services  (also  known  as  ‘outputs’)  can  also  act  as  a  means  to unify  the  presentation  of  the  two  sides  of  the  budget.   In  this  regard,  ‘output-based  budgeting’  is  also  seen  as  an  important  step  to  enhance  unified budget  preparation,  review,  reporting  and  approval.

Delegation  of  financial  authorities  and  straightening  of  internal  control systems
Budget  owners  (e.g.  Secretaries)  should  have  the  authority  to  allocate  resources  to  the  areas  of priority.  In  parallel,  Ministries  /  Divisions  should  strengthen  their  internal  control  systems  -  to ensure  that: §   Laws and regulations  are  adhered  to §   Financial information  is  analysed  and  reported  on  a  regular  basis   §   Organisation’s  objectives  are  addressed  including  performance  and  value  for  money goals,  and   §   Organisational  assets  are  safe  guarded. Ministries  /  Divisions  should  have  a  dedicated  finance  function  (e.g.  office  of  the  Finance Director)  with  formalised  responsibilities  and  an  internal  audit  function.

Budget  Laws
Organic  budget  laws  are  common  in  Parliamentary  democracies.  Through  budget  laws,  roles  and responsibilities  of  different  institutions  are  prescribed.  In  addition,  budget  laws  contain  provisions of  how  the  budget  should  be  prepared,  presented,  executed,  monitored  and  reported.  Also important  are  legal  provisions  related  to  changes  in  limits  (also  known  as  virement    a  process through  which  the  budget  is  shifted  from  one  Demand  to  another,  or  an  additional  budget  is agreed)  and  purpose  of  the  budget  during  the  year.     The  following  diagram  presents  examples  of  countries  with  written  and  unwritten  constitutions. In  most  of  the  situations,  the  Executive  rules  and  regulations  are  subservient  to  either  one  or many  budget  laws.  

Control  over  Supplementaries
It  is  of  course  impossible  to  fully  predict  the  future  needs  of  the  Government,  and  for  Parliament to  provide  for  them.  However,  budgeting  requires  that  the  system  of  supplementary  funding  be controlled. This is done in two ways: Provision  of  contingency  funds.  In  this  way,  Parliament  provides  additional  funds  in  the budget  based  on  its  expectation  of  the  minimal  amount  of  additional  supplemental  funds  that may  be  provided.  Parliament  may,  if  it  wishes  place  constraints  on  the  use  of  this  contingency fund.  However  even  when  this  is  done,  the  system  should  require  an  immediate  report  to Parliament when the funds are accessed to inform it of how they are to be used. Transfer  authority.  Parliament  may  provide  limited  transfer  authority  to  government,  also possibly  with  constraints,  permitting  the  Government  to  use  funds  provided  for  one  purpose or  another.  For  example,  many  U.S.  appropriations  permit  one  percent  of  funds  to  be transferred  to  other  purposes.  Any  such  transfers  should,  of  course,  also  generate  a  report  to Parliament. Mid-session  review  of  the  budget.  A  system  of  a  mid-session  review  of  the  budget  can  be established.  This  review  is  an  updated  Government  report  to  the  Parliament  both  on  the economic  situation  and  the  budget  execution.  Most  provision  of  supplementary  funding should  be  provided  pursuant  to  a  request  made  with  the  mid-session  review,  with  provision for  “emergency”  supplementals  to  be  requested  outside  this  structure.

Transparency  and  public  participation
Governments  should  be  transparent  on  how  budget  numbers  relate  to  issues  that  affect  people’s daily  lives.  Participation  of  public  and  civil  society  organisations  in  the  Government’s  budgeting processes  is  increasing  globally.

Role  of  Parliamentary  Standing  Committees
A  vibrant  committee  structure  creates  a  reservoir  of  legislative  expertise  that  can  inform Parliament’s  budget  process.  Most  national  budget  processes  contain  a  formal  system  of committee  review  and  comment  on  budget  proposals.  This  committee  role  would  be  facilitated  by the  support  of  the  legislative  staff  agency  described  above,  but  would  also  require  adequate training  of  key  members  and  staff.  It  may  also  suggest  to  the  Assembly  and  Senate  the  value  of consolidating  committee  comments,  and  perhaps  committees. In  most  Parliamentary  democracies  considerable  time  is  allocated  to  the  Parliament  for  review and  oversight  of  budgetary  proposals  of  the  Executive.  In  this  case,  the  Speaker  of  the  House refers  the  Demands  for  Grants  to  the  sectoral  standing  committees  that  review  the  budget  and provide  a  comprehensive  report  to  the  House  for  general  debate.  

Kaki Merapi, 22 Mei 2015

Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...