Pengaturan
Kepegawaian dalam Konteks Perubahan UU
KPK[1]
Oleh: Dr. W. Riawan
Tjandra, S.H., M.Hum.[2]
1. Bentuk ideal
regulasi/pengaturan mengenai kepegawaian KPK pasca perubahan UU KPK
Disahkannya Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berimplikasi tidak hanya pada berubahnya kewenangan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam
penanganan perkara tindak pidana korupsi, melainkan juga terhadap status
kepegawaian yang selama ini telah diatur tersendiri dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun
2005 tentang Sistem Manajemen Sumber
Daya Manusia Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 14 Tahun 2017 tentang Perubahan
Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia Komisi
Pemberantasan Korupsi. Dengan UU 19 Tahun 2019 status pegawai KPK berubah menjadi pegawai aparatur sipil negara
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Guna menganalisis bentuk ideal
regulasi/pengaturan mengenai kepegawaian KPK pasca perubahan UU KPK tersebut,
perlu dicermati beberapa pengaturan dalam UU No. 19 Tahun 2019 tesrsebut
terlebih dahulu.
Tabel 1
Impact
Analysis terhadap Pengaturan
Kepegawaian KPK dalam UU No. 19 Tahun 2019
Pasal
|
Pengaturan Dalam UU No. 19 Tahun 2019
|
Impact Analysis
|
Keterangan
|
|
Pasal 1 angka 6
|
Pegawai Komisi
Pemberantasan Korupsi adalah aparatur sipil negara sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan mengenai aparatur sipil negara
|
Norma hukum
tersebur merupakan norma pemberlakukan UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN
terhadap kepegawaian di KPK.
|
|
|
Pasal 24 ayat (1)
|
Pegawai Komisi
Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c
merupakan warga negara Indonesia yang karena keahliannya diangkat sebagai
pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
|
Bisa dimaknai 2
(dua) hal, pertama, pengangkatan pegawai KPK didasarkan atas prinsip keahlian
sesuai dengan kebutuhan KPK. Kedua, pengisian kepegawaian KPK oleh ASN
(pengangkatan ulang melalui seleksi baru). Ketiga, alih status pegawai KPK
yang telah ada menjadi ASN
|
Norma hukum
tersebut merupakan norma hukum yang kabur (vague norm) yang multiinterpretatif
|
|
Pasal 24 ayat (2)
|
Pegawai Komisi
Pemberantasan Korupsi merupakan anggota korps profesi pegawai aparatur sipil
negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
|
Menempatkan para
pegawai KPK di bawah korps prefesi aparatur sipil negara RI
|
Dibentuk cabang
korps profesi ASN di lingkungan KPK yang merupakan kesatuan integral dengan
korps profesi ASN Pusat
|
|
Pasal 24 ayat (3)
|
Ketentuan mengenai
tata cara pengangkatan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
Jika konsisten
dengan Pasal 24 ayat (1) bisa dimaknai 2 (dua) hal, Pertama, diberlakukan
untuk pengangkatan calon pegawai baru. Kedua, pegawai KPK (yang belum ASN)
diangkat menjadi ASN sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
|
|
|
Pasal 69B ayat (1)
|
Pada saat
Undang-Undang ini mulai berlaku, penyelidik atau penyidik Komisi
Pemberantasan Korupsi yang belum berstatus sebagai pegawai aparatur sipil
negara dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini
berlaku dapat diangkat sebagai pegawai aparatur sipil negara sepanjang
memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. (
|
Ketentuan tersebut
membuka ruang tafsir yang bersifat bersyarat karena digunakannya kata “dapat”
dalam pengangkatan sebagai ASN dikaitkan syarat “sepanjang memenuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan”.
|
Norma ini
berpotensi untuk dilakukannya “seleksi” ulang terhadap para pegawai KPK yang
akan diangkat sebagai ASN yang ditugaskan di KPK.
|
|
Pasal 69 B ayat (2)
|
Pengangkatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi penyelidik atau penyidik
Komisi Pemberantasan Korupsi yang telah mengikuti dan lulus pendidikan di
bidang penyelidikan dan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
|
Norma hukum
tersebut menempatkan kriteria “telah mengikuti dan lulus pendidikan di bidang
penyelidikan dan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan” dalam pengangkatan penyelidik atau penyidik KPK
|
Norma hukum
tersebut harus diperjelas dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai kriteria pendidikan di bidang penyelidikan dan penyidikan yang
diberlakukan sebagai syarat pengangkatan penyelidik dan penyidik KPK
|
|
Pasal 69C
|
Pada saat Undang-Undang
ini mulai berlaku, Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang belum berstatus
sebagai pegawai aparatur sipil negara dalam jangka waktu paling lama 2 (dua)
tahun terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku dapat diangkat menjadi
pegawai aparatur sipil negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
|
Norma hukum ini
dimaksudkan untuk tidak memberlakukan otomatis pengangkatan pegawai KPK
karena digantungkan 2 (dua) syarat. Pertama, time limit-nya 2 (dua) tahun
sejak berlakunya UU No. 19 Tahun 2019. Kedua, penggunaan kata “dapat” sebelum
kata diangkat menimbulkan penafsiran yang bersifat multiintepretatif terhadap
makna “sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
|
Ketentuan ini
bermakna adanya pengangkatan bersyarat (bukan otomatis) terhadap pegawai KPK.
|
|
Pasal 70A
|
Pengangkatan, pembinaan, dan pemberhentian Pegawai Komisi
Pemberantasan Korupsi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
|
Ketentuan ini
mengintegrasikan sistem pengangkatan, pembinaan dan pemberhentian pegawai KPK
terhadap rezim peraturan perundang-undangan ASN
|
Norma hukum ini
mensubordinasikan sistem pengangkatan, pembinaan dan pemberhentian pegawai
KPK terhadap UU ASN dan pelaksanaannya.
|
|
Setelah
menganalisis impact dari pemberlakuan
norma-norma hukum dalam UU No. 19 Tahun 2019, dapat diketahui bahwa terdapat
sejumlah dampak terhadap keberadaan pengaturan kepegawaian dalam UU No. 19
Tahun 2019. Pertama, terdapat transformasi secara siginifikan terhadap
karakter, sistem manajemen dan kedudukan dari pegawai KPK pasca UU No. 19 Tahun
2019. Kedua, meskipun UU No. 19 Tahun 2019 menghendaki subordinasi penuh sistem
kepegawaian KPK terhadap UU ASN dan pelaksanaannya dalam PP No. 11 Tahun 2017
tentang ASN, namun, penggunaan frase “sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan” pada beberapa pasal dalam UU No. 19 Tahun 2019 masih
memungkinkan interpretasi adanya pengaturan khusus untuk kepegawaian di KPK
dengan tetap mengacu pada UU ASN dan PP No. 11 Tahun 2017. Pengaturan itu bisa
diletakkan pada kewenangan pimpinan KPK jika mengacu pada karakter kelembagaan
KPK dalam UU No. 30 Tahun 2002. Namun, sebaiknya tidak diserahkan kepada
Peraturan Presiden apalagi Peraturan Menteri PAN. Jika yang terjadi hal yang
terakhir, maka, hal itu semakin menyempurnakan reduksi sistematis terhadap
kewenangan KPK yang sudah dilakukan melalui UU No. 19 Tahun 2019.
2.
Kepentingan
masing-masing unit Kerja terkait dengan perubahan PP 63 Tahun 2005 yang perlu dipertimbangkan dan mungkin
dimasukkan dalam perubahan PP dan Nilai-nilai,
kewajiban serta hak-hak kepegawaian yang harus dimasukkan dalam rangka perubahan PP 63 Tahun 2005
Tabel 2
Prinsip-prinsip yang Terkandung dalam PP No. 63 Tahun 2005 dan UU ASN
Pasal
|
Pengaturan Nilai
|
Karakterisasi
|
Keterangan
|
Pasal 1 angka 6
|
Kompetensi jabatan
adalah karakteristik dasar yang disyaratkan untuk mampu melaksanakan jabatan
tertentu yang terdiri dari keahlian, pengetahuan dan perilaku guna mencapai
kinerja yang terbaik.
|
Landasan prinsip
kompetensi jabatan merupakan nilai ideal yang sejalan dengan UU ASN.
|
Pasal 3 huruf d UU
ASN juga mengatur adanya kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang
tugas.
|
Pasal 1 angka 7
|
Kompetensi pegawai
adalah karakteristik dasar dan kemampuan-kemampuan yang unggul dari individu
yang terdiri dari keahlian, pengetahuan dan perilaku yang digunakan untuk
mencapai kinerja yang terbaik dalam melakukan tugasnya.
|
Landasan prinsip
kompetensi jabatan merupakan nilai ideal yang sejalan dengan UU ASN
|
Pasal 16 UU ASN
mengatur bahwa Setiap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ditetapkan
sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan.
|
Pasal 1 angka 8
|
Kinerja adalah
hasil kerja yang dicapai maupun perilaku nyata yang ditampilkan oleh
individu, kelompok kerja, unit kerja dan Komisi sebagai prestasi kerja dalam
upaya mencapai tujuan Komisi.
|
Landasan prinsip
kinerja merupakan nilai ideal yang sejalan dengan UU ASN. Hal itu sejalan
dengan pengaturan yang terdapat pada Pasal 75 UU ASN yang mengatur bahwa Penilaian
kinerja PNS bertujuan untuk menjamin objektivitas pembinaan PNS yang
didasarkan sistem prestasi dan sistem karier.
Pasal 76 UU ASN
mengatur bahwa: (1) Penilaian kinerja PNS dilakukan berdasarkan perencanaan
kinerja pada tingkat individu dan tingkat unit atau organisasi, dengan memperhatikan
target, capaian, hasil, dan manfaat yang dicapai, serta perilaku PNS; (2)
Penilaian kinerja PNS dilakukan secara objektif, terukur, akuntabel,
partisipatif, dan transparan.
|
Pasal 68 ayat (2)
UU ASN mengatur bahwa Pengangkatan PNS dalam jabatan tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan perbandingan objektif antara
kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dibutuhkan oleh jabatan dengan
kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dimiliki oleh pegawai.
|
Pasal 1 angka 9
|
Manajemen kinerja
adalah suatu proses pengelolaan kinerja yang terukur untuk menciptakan
pemahaman bersama mengenai apa yang harus dicapai dan bagaimana mencapainya
dalam usaha untuk meningkatkan kinerja pegawai Komisi.
|
Model manajemen
kinerja sejalan dengan pengaturan yang terdapat pada Pasal 77 UU ASN yang
mengatur bahwa: (1) Penilaian kinerja
PNS berada di bawah kewenangan Pejabat yang Berwenang pada Instansi
Pemerintah masing-masing; (2) Penilaian kinerja PNS sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) didelegasikan secara berjenjang kepada atasan langsung dari PNS; (3)
Penilaian kinerja PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
mempertimbangkan pendapat rekan kerja setingkat dan bawahannya; (4) Hasil
penilaian kinerja PNS disampaikan kepada tim penilai kinerja PNS; (5) Hasil
penilaian kinerja PNS digunakan untuk menjamin objektivitas dalam
pengembangan PNS, dan dijadikan sebagai persyaratan dalam pengangkatan
jabatan dan kenaikan pangkat, pemberian tunjangan dan sanksi, mutasi, dan
promosi, serta untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan; dan (6) PNS yang penilaian kinerjanya tidak
mencapai target kinerja dikenakan sanksi administrasi sampai dengan pemberhentian sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
PP No. 63 Tahun
2005 sudah terlebih dahulu menyiapkan desain mengenai manajemen kinerja bagi
pegawai di lingkungan KPK. UU ASN memberikan derajat pengaturan yang lebih
tinggi terhadap sistem manajemen kinerja bagi ASN
|
Pasal 2
|
Pegawai Komisi adalah Warga Negara Indonesia yang
karena kompetensinya diangkat sebagai pegawai pada Komisi.
|
Prinsip kompetensi
juga diatur pada UU ASN diantaranya pada Pasal 3 huruf d UU ASN
|
PP No. 63 Tahun
2005 sudah lebih awal menerapkan prinsip kompetensi
|
Pasal 9
|
Sistem Manajemen
Sumber Daya Manusia Komisi, meliputi fungsi-fungsi sebagai berikut: a.
perencanaan sumber daya manusia; b. rekrutmen dan seleksi; c. pendidikan dan
pelatihan; d. pengembangan sumber daya manusia; e. manajemen kinerja; f.
kompensasi; g. hubungan kepegawaian; h. pemberhentian dan pemutusan hubungan
kerja; dan i. audit sumber daya manusia.
|
Pasal 55 UU ASN
mengatur bahwa Manajemen PNS meliputi: a. penyusunan dan penetapan kebutuhan;
b. pengadaan; c. pangkat dan jabatan; d. pengembangan karier; e. pola karier;
f. promosi; g. mutasi; h. penilaian kinerja; i. penggajian dan tunjangan; j.
penghargaan; k. disiplin; l. pemberhentian; m. jaminan pensiun dan jaminan
hari tua; dan n. perlindungan.
|
Terdapat
pararelitas sejumlah prinsip yang diatur pada PP No. 63 Tahun 2005 dan UU No.
5 Tahun 2014 tentang ASN
|
|
Pasal 10 UU ASN mengatur bahwa: (1) Pimpinan
Komisi menetapkan perencanaan sumber daya manusia berdasarkan kebutuhan
Komisi, arah kebijakan dan strategi Komisi serta rencana kerja dan anggaran
Komisi. (2) Perencanaan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) bertujuan untuk menghasilkan formasi pegawai dan persyaratan kompetensi
yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan kegiatan rekrutmen dan seleksi,
pendidikan dan pelatihan, pengembangan sumber daya manusia, manajemen kinerja
serta kompensasi. (3) Perencanaan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) disusun berdasarkan analisis pekerjaan dan
evaluasi pekerjaan.
|
Pasal 56 UU ASN mengatur bahwa: (1) Setiap
Instansi Pemerintah wajib menyusun kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PNS
berdasarkan analisis jabatan dan analisis beban kerja; (2) Penyusunan
kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun yang diperinci per 1 (satu) tahun
berdasarkan prioritas kebutuhan; (3)
Berdasarkan penyusunan kebutuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri
menetapkan kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PNS secara nasional; (3)
Berdasarkan penyusunan kebutuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri
menetapkan kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PNS secara nasional.
|
Prinsip human resources planning dan need
analysis yang menjadi salah satu fondasi dari manajemen sumber daya manusia
terkandung dalam kedua regulasi tersebut.
|
Perlu
dibandingkan dengan apa yang pernah dituliskan oleh John E Pynes dalam “ Human
Resources Management For Public and Nonprofit Organizations “ (2013) yang
mengatakan bahwa:
“A report by the Society for Human Resource
Management (2010a), What Senior HR Leaders Need to Know: Perspectives from the
United States, Canada, India, the Middle East and North Africa, identified
eighteen core senior HR leadership competencies: Business knowledge: An understanding of the
operations and processes of how business is conducted Coaching/developing
others: Helping others to reach their potential Credibility: Being perceived by
others as having the knowledge and experience to back up one’s authority
Critical/analytical thinking: Seeking information and using that information to
inform decisions and resolve problems Cross-cultural intelligence: Knowledge of
and sensitivity to differences among cultures Effective communication: Being
able to verbally or in writing convey messages in terms that make sense and
also to listen closely to what others are saying Ethical behavior: Perception
of the moral appropriateness of individual or group conduct or behavior
Flexibility/adaptability: The ability to adjust the approach as required by
shifts within the organization and in the external business environment Global
intelligence/global mind-set: An overarching way of thinking about the nature
of doing business that includes an understanding of and sensitivity to cultural
differences among workers in other countries and legal issues inherent in
operating a multinational business HR knowledge: Understanding of tactical and
strategic HR functions and processes Integrity: Honesty and doing the right
thing Leading change: Charting the course for the organization’s stakeholders
to navigate a shift in business processes, priorities, roles, and expectations
Organizational knowledge: Understanding the business issues that are specific
to the organization and having empathy for and an awareness of the impact of
human capital issues on the organization as a system Persuasiveness/influencing
others: The art of using interpersonal skills to convince others to share one’s
perspective or way of thinking Results orientation/drive for performance: The
ability to link processes and practices to positive outcomes and demonstrate
the value that human resources brings to the organizations Shaping
organizational culture: Creating values by which an organization operates
Strategic thinking: Seeing the big picture, having a long-term line of sight,
and understanding the interconnectedness of decisions and activities within the
various lines of business Technological savvy: Knowledge of the unique
solutions and challenges that new technology will bring to the organization and
understanding how talent management will be affected by a technologically
enhanced business environment”
Mengacu
pada prinsip-prinsip etis dalam manajemen sumber daya manusia di atas,
pengaturan yang terdapat baik pada PP No. 63 Tahun 2005 maupun UU ASN secara
esensial memiliki kesamaan. Hal ini sesungguhnya juga mengandaikan bahwa
integrasi sistem manajemen ASN dalam sistem kepegawaian KPK pada dimensi nilai
dan etis tidak bermakna ahistoris. Dengan kata lain, PP No. 63 Tahuin 2005
memiliki pararelitas dimensi nilai dan etis dengan sistem manajemen ASN. Masih
ada sejumlah faktor penting lain yang juga harus diadopsi dengan mengacu pada
dimensi etis dan manajemen kinerja yaitu sebagaimana diatur pada UU ASN
seperti: pengembangan karier (Pasal 69),
pengembangan kompetensi (Pasal 70), pola karier (Pasal 71), promosi
(Pasal 72), Mutasi (Pasal 73), Penilaian kinerja (Pasal 75-78), penghargaan,
penggajian, disiplin, dan lain-lain yang menghendaki kajian dan riset mendalam
dikaitkan dengan karakter kelembagaan KPK dan kebutuhan manajemen bagi ASN (PNS
dan PPPK) di lingkungan KPK.
Bernar
Marr (2008) mengajukan 2 (dua) acara dalam mengukur manajemen kinerja dalam
organisasi publik, yaitu strategy map
dan value creation map seperti
digambarkan di bawah:
Leadership merupakan satu elemen kunci yang efektif dalam
manajemen strategik. Pemimpin memfokuskan organisasi mereka pada arah
strategik. Mereka menciptakan suatu agenda untuk perubahan strategik. Pemimpin
organisasi menjaga kemajuan organisasi menuju visi strategik. Terlebih di
sektor publik, dimana pemimpin sangat
mengambil peran penting. Pemimpin memperoleh kepercayaan dari konstituen dari
visi dan misi yang ia usung, lalu kemudian visi misi tersebut diolah di seluruh
kementrian untuk dijadikan acuan program yang akan dilaksanakan.
Pemimpin-pemimpin strategik dalam sektor publik memberdayakan para atasan dan
para pegawainya untuk membuat keputusan yang berkaitan dengan peningkatan
kinerja pelayanan publik. Berkaitan dengan hal ini, para pemimpin dalam sektor
publik membutuhkan desain sistem perencanaan strategik yang tepat. Agar
mencapai hasil-hasil yang diharapkan, maka pemimpin dan pegawai harus memiliki
komitmen terhadap perencanaan strategik yang telah dibuat dan memberikan
perhatian penuh pada implementasi dari sasaran-sasaran dan tujuan-tujuan.
Selain itu, dalam pelaksanaannya, dibutuhkan komunikasi yang baik antara
pemimpin dan pegawainya agar terjadi harmonisasi dan menghidari miskomunikasi
dalam bekerja.
Maka, sebagai respons positif terhadap transformasi manajemen
kepegawaian dalam tubuh KPK pasca UU No. 19 Tahun 2019, kiranya
pemikiran-pemikiran yang mencoba menggabungkan organizational capital dan standar etis yang tinggi sebagaimana
dimiliki oleh KPK selama ini berdasarkan PP No. 63 Tahun 2005 dan perubahannya
masih ada harapan untuk diimplementasikan pasca pemberlakukan UU ASN. Hal itu
disebabkan dalam cara pandang positif masih bisa diharapkan dilakukannya
transformasi dalam tubuh KPK yang memadukan leadership, dimensi nilai yang
telah dimiliki di lingkungan internal KPK, partisipasi publik yang memiliki
nilai-nilai sejalan dengan KPK dan dukungan kebijakan serta regulasi dari
otoritas.
[1]
Materi yang disampaikan dalam Focus Group Discussion tentang Pengaturan
Kepegawaian dalam Konteks Perubahan UU
KPK yang diselenggarakan oleh Biro Hukum Sekretariat Jenderal KPK RI, di Hotel
Sari Pacific Jl MH Thamrin No. 6 Jakarta, tanggal 28 November 2019.
[2]
Penulis adalah Ketua Bagian
Hukum Administrasi Negara pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar