Minggu, 03 Mei 2020


Pengaturan Kepegawaian  dalam Konteks Perubahan UU KPK[1]
Oleh: Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.[2]

1.      Bentuk ideal regulasi/pengaturan mengenai kepegawaian KPK pasca  perubahan UU KPK
Disahkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan  Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan  Tindak Pidana Korupsi berimplikasi   tidak hanya pada berubahnya kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi  (KPK) dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi, melainkan juga terhadap status kepegawaian yang selama ini telah diatur tersendiri  dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen  Sumber Daya Manusia Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana telah diubah  beberapa kali terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2017 tentang  Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem  Manajemen Sumber Daya Manusia Komisi Pemberantasan Korupsi. Dengan UU 19 Tahun 2019 status pegawai KPK berubah  menjadi pegawai aparatur sipil negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang  Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
                Guna menganalisis bentuk ideal regulasi/pengaturan mengenai kepegawaian KPK pasca perubahan UU KPK tersebut, perlu dicermati beberapa pengaturan dalam UU No. 19 Tahun 2019 tesrsebut terlebih dahulu.

Tabel 1
Impact Analysis terhadap Pengaturan Kepegawaian KPK dalam UU No. 19 Tahun 2019


Pasal
Pengaturan Dalam UU No. 19 Tahun 2019
Impact Analysis
Keterangan

Pasal 1 angka 6
Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi adalah aparatur sipil negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai aparatur sipil negara
Norma hukum tersebur merupakan norma pemberlakukan UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN terhadap kepegawaian di KPK.


Pasal 24 ayat (1)
Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c merupakan warga negara Indonesia yang karena keahliannya diangkat sebagai pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Bisa dimaknai 2 (dua) hal, pertama, pengangkatan pegawai KPK didasarkan atas prinsip keahlian sesuai dengan kebutuhan KPK. Kedua, pengisian kepegawaian KPK oleh ASN (pengangkatan ulang melalui seleksi baru). Ketiga, alih status pegawai KPK yang telah ada menjadi ASN
Norma hukum tersebut merupakan norma hukum yang kabur (vague norm) yang multiinterpretatif

Pasal 24 ayat (2)
Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan anggota korps profesi pegawai aparatur sipil negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Menempatkan para pegawai KPK di bawah korps prefesi aparatur sipil negara RI
Dibentuk cabang korps profesi ASN di lingkungan KPK yang merupakan kesatuan integral dengan korps profesi ASN Pusat

Pasal 24 ayat (3)
Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Jika konsisten dengan Pasal 24 ayat (1) bisa dimaknai 2 (dua) hal, Pertama, diberlakukan untuk pengangkatan calon pegawai baru. Kedua, pegawai KPK (yang belum ASN) diangkat menjadi ASN sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku


Pasal 69B ayat (1)
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, penyelidik atau penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi yang belum berstatus sebagai pegawai aparatur sipil negara dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku dapat diangkat sebagai pegawai aparatur sipil negara sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.  (
Ketentuan tersebut membuka ruang tafsir yang bersifat bersyarat karena digunakannya kata “dapat” dalam pengangkatan sebagai ASN dikaitkan syarat “sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Norma ini berpotensi untuk dilakukannya “seleksi” ulang terhadap para pegawai KPK yang akan diangkat sebagai ASN yang ditugaskan di KPK.

Pasal 69 B ayat (2)
Pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi penyelidik atau penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi yang telah mengikuti dan lulus pendidikan di bidang penyelidikan dan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Norma hukum tersebut menempatkan kriteria “telah mengikuti dan lulus pendidikan di bidang penyelidikan dan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” dalam pengangkatan penyelidik atau penyidik KPK
Norma hukum tersebut harus diperjelas dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kriteria pendidikan di bidang penyelidikan dan penyidikan yang diberlakukan sebagai syarat pengangkatan penyelidik dan penyidik KPK

Pasal 69C
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang belum berstatus sebagai pegawai aparatur sipil negara dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku dapat diangkat menjadi pegawai aparatur sipil negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Norma hukum ini dimaksudkan untuk tidak memberlakukan otomatis pengangkatan pegawai KPK karena digantungkan 2 (dua) syarat. Pertama, time limit-nya 2 (dua) tahun sejak berlakunya UU No. 19 Tahun 2019. Kedua, penggunaan kata “dapat” sebelum kata diangkat menimbulkan penafsiran yang bersifat multiintepretatif terhadap makna “sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Ketentuan ini bermakna adanya pengangkatan bersyarat (bukan otomatis) terhadap pegawai KPK.
Pasal 70A
Pengangkatan, pembinaan, dan pemberhentian Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Ketentuan ini mengintegrasikan sistem pengangkatan, pembinaan dan pemberhentian pegawai KPK terhadap rezim peraturan perundang-undangan ASN
Norma hukum ini mensubordinasikan sistem pengangkatan, pembinaan dan pemberhentian pegawai KPK terhadap UU ASN dan pelaksanaannya.


Setelah menganalisis impact dari pemberlakuan norma-norma hukum dalam UU No. 19 Tahun 2019, dapat diketahui bahwa terdapat sejumlah dampak terhadap keberadaan pengaturan kepegawaian dalam UU No. 19 Tahun 2019. Pertama, terdapat transformasi secara siginifikan terhadap karakter, sistem manajemen dan kedudukan dari pegawai KPK pasca UU No. 19 Tahun 2019. Kedua, meskipun UU No. 19 Tahun 2019 menghendaki subordinasi penuh sistem kepegawaian KPK terhadap UU ASN dan pelaksanaannya dalam PP No. 11 Tahun 2017 tentang ASN, namun, penggunaan frase “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” pada beberapa pasal dalam UU No. 19 Tahun 2019 masih memungkinkan interpretasi adanya pengaturan khusus untuk kepegawaian di KPK dengan tetap mengacu pada UU ASN dan PP No. 11 Tahun 2017. Pengaturan itu bisa diletakkan pada kewenangan pimpinan KPK jika mengacu pada karakter kelembagaan KPK dalam UU No. 30 Tahun 2002. Namun, sebaiknya tidak diserahkan kepada Peraturan Presiden apalagi Peraturan Menteri PAN. Jika yang terjadi hal yang terakhir, maka, hal itu semakin menyempurnakan reduksi sistematis terhadap kewenangan KPK yang sudah dilakukan melalui UU No. 19 Tahun 2019.

2.       Kepentingan masing-masing unit Kerja terkait dengan perubahan PP 63 Tahun  2005 yang perlu dipertimbangkan dan mungkin dimasukkan dalam perubahan PP  dan Nilai-nilai, kewajiban serta hak-hak kepegawaian yang harus dimasukkan dalam  rangka perubahan PP 63 Tahun 2005


Tabel 2
Prinsip-prinsip yang Terkandung dalam PP No. 63 Tahun 2005 dan UU ASN
Pasal
Pengaturan Nilai
Karakterisasi
Keterangan
Pasal 1 angka 6
Kompetensi jabatan adalah karakteristik dasar yang disyaratkan untuk mampu melaksanakan jabatan tertentu yang terdiri dari keahlian, pengetahuan dan perilaku guna mencapai kinerja yang terbaik.
Landasan prinsip kompetensi jabatan merupakan nilai ideal yang sejalan dengan UU ASN.
Pasal 3 huruf d UU ASN juga mengatur adanya kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas.
Pasal 1 angka 7
Kompetensi pegawai adalah karakteristik dasar dan kemampuan-kemampuan yang unggul dari individu yang terdiri dari keahlian, pengetahuan dan perilaku yang digunakan untuk mencapai kinerja yang terbaik dalam melakukan tugasnya.
Landasan prinsip kompetensi jabatan merupakan nilai ideal yang sejalan dengan UU ASN
Pasal 16 UU ASN mengatur bahwa Setiap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ditetapkan sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan.
Pasal 1 angka 8
Kinerja adalah hasil kerja yang dicapai maupun perilaku nyata yang ditampilkan oleh individu, kelompok kerja, unit kerja dan Komisi sebagai prestasi kerja dalam upaya mencapai tujuan Komisi.
Landasan prinsip kinerja merupakan nilai ideal yang sejalan dengan UU ASN. Hal itu sejalan dengan pengaturan yang terdapat pada Pasal 75 UU ASN yang mengatur bahwa Penilaian kinerja PNS bertujuan untuk menjamin objektivitas pembinaan PNS yang didasarkan sistem prestasi dan sistem karier.
Pasal 76 UU ASN mengatur bahwa: (1) Penilaian kinerja PNS dilakukan berdasarkan perencanaan kinerja pada tingkat individu dan tingkat unit atau organisasi, dengan memperhatikan target, capaian, hasil, dan manfaat yang dicapai, serta perilaku PNS; (2) Penilaian kinerja PNS dilakukan secara objektif, terukur, akuntabel, partisipatif, dan transparan.
Pasal 68 ayat (2) UU ASN mengatur bahwa Pengangkatan PNS dalam jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan perbandingan objektif antara kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dibutuhkan oleh jabatan dengan kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dimiliki oleh pegawai.
Pasal 1 angka 9
Manajemen kinerja adalah suatu proses pengelolaan kinerja yang terukur untuk menciptakan pemahaman bersama mengenai apa yang harus dicapai dan bagaimana mencapainya dalam usaha untuk meningkatkan kinerja pegawai Komisi.
Model manajemen kinerja sejalan dengan pengaturan yang terdapat pada Pasal 77 UU ASN yang mengatur bahwa:  (1) Penilaian kinerja PNS berada di bawah kewenangan Pejabat yang Berwenang pada Instansi Pemerintah masing-masing; (2) Penilaian kinerja PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didelegasikan secara berjenjang kepada atasan langsung dari PNS; (3) Penilaian kinerja PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mempertimbangkan pendapat rekan kerja setingkat dan bawahannya; (4) Hasil penilaian kinerja PNS disampaikan kepada tim penilai kinerja PNS; (5) Hasil penilaian kinerja PNS digunakan untuk menjamin objektivitas dalam pengembangan PNS, dan dijadikan sebagai persyaratan dalam pengangkatan jabatan dan kenaikan pangkat, pemberian tunjangan dan sanksi, mutasi, dan promosi, serta untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan; dan  (6) PNS yang penilaian kinerjanya tidak mencapai target kinerja dikenakan sanksi administrasi  sampai dengan pemberhentian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
PP No. 63 Tahun 2005 sudah terlebih dahulu menyiapkan desain mengenai manajemen kinerja bagi pegawai di lingkungan KPK. UU ASN memberikan derajat pengaturan yang lebih tinggi terhadap sistem manajemen kinerja bagi ASN
Pasal 2
Pegawai Komisi adalah Warga Negara Indonesia yang karena kompetensinya diangkat sebagai pegawai pada Komisi.

Prinsip kompetensi juga diatur pada UU ASN diantaranya pada Pasal 3 huruf d UU ASN
PP No. 63 Tahun 2005 sudah lebih awal menerapkan prinsip kompetensi
Pasal 9
Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia Komisi, meliputi fungsi-fungsi sebagai berikut: a. perencanaan sumber daya manusia; b. rekrutmen dan seleksi; c. pendidikan dan pelatihan; d. pengembangan sumber daya manusia; e. manajemen kinerja; f. kompensasi; g. hubungan kepegawaian; h. pemberhentian dan pemutusan hubungan kerja; dan i. audit sumber daya manusia.
Pasal 55 UU ASN mengatur bahwa Manajemen PNS meliputi: a. penyusunan dan penetapan kebutuhan; b. pengadaan; c. pangkat dan jabatan; d. pengembangan karier; e. pola karier; f. promosi; g. mutasi; h. penilaian kinerja; i. penggajian dan tunjangan; j. penghargaan; k. disiplin; l. pemberhentian; m. jaminan pensiun dan jaminan hari tua; dan n. perlindungan.
Terdapat pararelitas sejumlah prinsip yang diatur pada PP No. 63 Tahun 2005 dan UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN

Pasal 10 UU ASN mengatur bahwa: (1) Pimpinan Komisi menetapkan perencanaan sumber daya manusia berdasarkan kebutuhan Komisi, arah kebijakan dan strategi Komisi serta rencana kerja dan anggaran Komisi. (2) Perencanaan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk menghasilkan formasi pegawai dan persyaratan kompetensi yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan kegiatan rekrutmen dan seleksi, pendidikan dan pelatihan, pengembangan sumber daya manusia, manajemen kinerja serta kompensasi. (3) Perencanaan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disusun berdasarkan analisis pekerjaan dan evaluasi pekerjaan.

Pasal 56 UU ASN mengatur bahwa: (1) Setiap Instansi Pemerintah wajib menyusun kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PNS berdasarkan analisis jabatan dan analisis beban kerja; (2) Penyusunan kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun yang diperinci per 1 (satu) tahun berdasarkan prioritas kebutuhan;  (3) Berdasarkan penyusunan kebutuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menetapkan kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PNS secara nasional; (3) Berdasarkan penyusunan kebutuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menetapkan kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PNS secara nasional.

Prinsip human resources planning dan need analysis yang menjadi salah satu fondasi dari manajemen sumber daya manusia terkandung dalam kedua regulasi tersebut.


Perlu dibandingkan dengan apa yang pernah dituliskan oleh John E Pynes dalam “ Human Resources Management For Public and Nonprofit Organizations “ (2013) yang mengatakan bahwa:
A report by the Society for Human Resource Management (2010a), What Senior HR Leaders Need to Know: Perspectives from the United States, Canada, India, the Middle East and North Africa, identified eighteen core senior HR leadership competencies:  Business knowledge: An understanding of the operations and processes of how business is conducted Coaching/developing others: Helping others to reach their potential Credibility: Being perceived by others as having the knowledge and experience to back up one’s authority Critical/analytical thinking: Seeking information and using that information to inform decisions and resolve problems Cross-cultural intelligence: Knowledge of and sensitivity to differences among cultures Effective communication: Being able to verbally or in writing convey messages in terms that make sense and also to listen closely to what others are saying Ethical behavior: Perception of the moral appropriateness of individual or group conduct or behavior Flexibility/adaptability: The ability to adjust the approach as required by shifts within the organization and in the external business environment Global intelligence/global mind-set: An overarching way of thinking about the nature of doing business that includes an understanding of and sensitivity to cultural differences among workers in other countries and legal issues inherent in operating a multinational business HR knowledge: Understanding of tactical and strategic HR functions and processes Integrity: Honesty and doing the right thing Leading change: Charting the course for the organization’s stakeholders to navigate a shift in business processes, priorities, roles, and expectations Organizational knowledge: Understanding the business issues that are specific to the organization and having empathy for and an awareness of the impact of human capital issues on the organization as a system Persuasiveness/influencing others: The art of using interpersonal skills to convince others to share one’s perspective or way of thinking Results orientation/drive for performance: The ability to link processes and practices to positive outcomes and demonstrate the value that human resources brings to the organizations Shaping organizational culture: Creating values by which an organization operates Strategic thinking: Seeing the big picture, having a long-term line of sight, and understanding the interconnectedness of decisions and activities within the various lines of business Technological savvy: Knowledge of the unique solutions and challenges that new technology will bring to the organization and understanding how talent management will be affected by a technologically enhanced business environment
Mengacu pada prinsip-prinsip etis dalam manajemen sumber daya manusia di atas, pengaturan yang terdapat baik pada PP No. 63 Tahun 2005 maupun UU ASN secara esensial memiliki kesamaan. Hal ini sesungguhnya juga mengandaikan bahwa integrasi sistem manajemen ASN dalam sistem kepegawaian KPK pada dimensi nilai dan etis tidak bermakna ahistoris. Dengan kata lain, PP No. 63 Tahuin 2005 memiliki pararelitas dimensi nilai dan etis dengan sistem manajemen ASN. Masih ada sejumlah faktor penting lain yang juga harus diadopsi dengan mengacu pada dimensi etis dan manajemen kinerja yaitu sebagaimana diatur pada UU ASN seperti: pengembangan karier (Pasal 69),  pengembangan kompetensi (Pasal 70), pola karier (Pasal 71), promosi (Pasal 72), Mutasi (Pasal 73), Penilaian kinerja (Pasal 75-78), penghargaan, penggajian, disiplin, dan lain-lain yang menghendaki kajian dan riset mendalam dikaitkan dengan karakter kelembagaan KPK dan kebutuhan manajemen bagi ASN (PNS dan PPPK) di lingkungan KPK.
Bernar Marr (2008) mengajukan 2 (dua) acara dalam mengukur manajemen kinerja dalam organisasi publik, yaitu strategy map dan value creation map seperti digambarkan di bawah:



 Leadership merupakan satu elemen kunci yang efektif dalam manajemen strategik. Pemimpin memfokuskan organisasi mereka pada arah strategik. Mereka menciptakan suatu agenda untuk perubahan strategik. Pemimpin organisasi menjaga kemajuan organisasi menuju visi strategik. Terlebih di sektor publik, dimana pemimpin  sangat mengambil peran penting. Pemimpin memperoleh kepercayaan dari konstituen dari visi dan misi yang ia usung, lalu kemudian visi misi tersebut diolah di seluruh kementrian untuk dijadikan acuan program yang akan dilaksanakan. Pemimpin-pemimpin strategik dalam sektor publik memberdayakan para atasan dan para pegawainya untuk membuat keputusan yang berkaitan dengan peningkatan kinerja pelayanan publik. Berkaitan dengan hal ini, para pemimpin dalam sektor publik membutuhkan desain sistem perencanaan strategik yang tepat. Agar mencapai hasil-hasil yang diharapkan, maka pemimpin dan pegawai harus memiliki komitmen terhadap perencanaan strategik yang telah dibuat dan memberikan perhatian penuh pada implementasi dari sasaran-sasaran dan tujuan-tujuan. Selain itu, dalam pelaksanaannya, dibutuhkan komunikasi yang baik antara pemimpin dan pegawainya agar terjadi harmonisasi dan menghidari miskomunikasi dalam bekerja.
Maka, sebagai respons positif terhadap transformasi manajemen kepegawaian dalam tubuh KPK pasca UU No. 19 Tahun 2019, kiranya pemikiran-pemikiran yang mencoba menggabungkan organizational capital dan standar etis yang tinggi sebagaimana dimiliki oleh KPK selama ini berdasarkan PP No. 63 Tahun 2005 dan perubahannya masih ada harapan untuk diimplementasikan pasca pemberlakukan UU ASN. Hal itu disebabkan dalam cara pandang positif masih bisa diharapkan dilakukannya transformasi dalam tubuh KPK yang memadukan leadership, dimensi nilai yang telah dimiliki di lingkungan internal KPK, partisipasi publik yang memiliki nilai-nilai sejalan dengan KPK dan dukungan kebijakan serta regulasi dari otoritas.



[1] Materi yang disampaikan dalam Focus Group Discussion tentang Pengaturan Kepegawaian  dalam Konteks Perubahan UU KPK yang diselenggarakan oleh Biro Hukum Sekretariat Jenderal KPK RI, di Hotel Sari Pacific Jl MH Thamrin No. 6 Jakarta, tanggal 28 November 2019.

[2] Penulis adalah Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta


Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...