Jumat, 08 Mei 2020


Quo Vadis Sistem Legislasi Parlemen?

oleh:
Dr. W. Riawan Tjandra, S.H.,M.Hum.*)
willyriawan@yahoo.com
1. Latar Belakang

        Eksistensi DPD dalam sistem parlemen seharusnya tak dipisahkan dari komitmen UUD Negara RI 1945 yang salah satunya ingin membuka ruang konstitusional yang lebih luas kepada daerah melalui area division of power dengan membagi kekuasaan negara secara verrtikal sebagai komplemen capital division of power yang membagi kekuasaan negara secara horizontal. DPD sebagai salah satu lembaga perwakilan selain Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut DPR) tidak dapat dilepaskan dan merupakan tuntutan dari terselenggaranya sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih mengedepankan asas otonomi dan tugas pembantuan. Hal ini dapat dilihat dalam Perubahan Kedua UUD 1945 pada Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B yang memberikan penekanan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan hubungan pusat dan daerah dilaksanakan dengan sistem otonomi luas. Untuk menjaga dan menindaklanjuti kepentingan daerah dalam pengambilan kebijakan di pusat, maka diperlukan lembaga yang memiliki eksistensi dan kedudukan serta fungsi yang dapat menjembatani kepentingan daerah. Namun, ruang lingkup kewenangan DPD dalam sistem konstitusi vide Pasal 22D ayat (1) sampai dengan ayat (3) UUD Negara RI 1945 sebelum Putusan MK No. 92/PUU-X/2012, dinilai tak sebangun dengan konstruksi kewenangan DPD RI dalam beberapa pasal dalam UU NO 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD Provinsi, Kabupatrn dan Kota (MD3) dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3).
     Jika membaca secara kritis UUD Negara RI 1945, terlihat adanya kesan pemberian kewenangan legislasi setengah hati kepada DPD dalam sistem ketatanegaraan RI. Adapun kekuasaan DPD dalam konstitusi adalah dapat mengajukan rancangan undang-undang (RUU) yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan kekuasaan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah (Pasal 22D Ayat (1) UUD 1945) kepada DPR.  Namun, kata dapat dalam Pasal 22D Ayat (1) UUD 1945 tersebut menjadikan DPD tidak mempunyai kekuasaan legislatif yang efektif untuk menjadi salah satu institusi yang mengajukan RUU. Hal itu terjadi karena Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 21 UUD 1945 menyebutkan Presiden dan anggota DPR berhak mengajukan RUU.
      DPD ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama (Pasal 22D Ayat 2) UUD 1945); DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan belanja negara, pajak pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasan itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti (Pasal 22D Ayat (3) UUD 1945). Dengan frasa ikut membahas dan memberikan pertimbangan dalam Pasal 22D Ayat (2) UUD 1945 itu, posisi DPD menjadi tidak sebanding dengan wewenang Presiden dan DPR yang ikut pembahasan dan persetujuan bersama dalam fungsi legislasi.
       Berkaitan dengan pelaksanaan fungsi DPD, maka yang menjadi persoalan adalah berkaitan dengan zelfstandigheid yaitu wewenang mandiri atau fungsi sepenuhnya dan/atau fungsi yang menentukan dari lembaga perwakilan (DPD), baik dari segi perencanaan, penyusunan, pembahasan, sampai pengambilan keputusan. Hal ini dengan sendirinya berkaitan pula dengan kewenangan DPD dalam menjalankan fungsi legislasi, fungsi pertimbangan, dan fungsi pengawasan.

2. Sistem Bikameral Lunak (Soft Bicameralism)
      Sistem perwakilan bikameral yang dianut dalam komposisi lembaga perwakilan Indonesia dapat dikategorikan sebagai sistem bikameral lunak (soft bicameralism). Fungsi DPD yang seharusnya menjadi kekuatan kamar penyeimbang bagi DPR, tidak lebih daripada aksesori sistem perwakilan di Indonesia yang masih kental dengan unikameral. Terbukti, DPD hanya diberi kewenangan amat terbatas. Kewenangan yang sangat terbatas itu dan dapat dikatakan menyebabkan DPD hanya sebagai formalitas konstitusional belaka disebabkan oleh kompromi yang melatarbelakangi pelaksanaan amandemen (Mahfud, 2010, 70).
        Dalam pandangan MPR, pengaturan keberadaan DPD dalam struktur ketatanegaraan Indonesia menurut UUD Tahun 1945, antara lain dimaksudkan untuk: a. memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah;  b. meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijaksanaan nasional berkaitan dengan negara dan daerah; c. mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan kemajuan daerah secara serasi dan seimbang.
       Kedudukan DPD RI tersebut terlihat jauh berbeda dengan sistem Bikameral Amerika Serikat dan Inggris. Di Amerika Serikat kedua kamar dalam congress tersebut adalah House dan Senate. Di Inggris, dua kamar tersebut adalah house of lords (majelis tinggi ) dan house of commons ( majelis rendah ). House dan senate dalam congress di AS mempunyai kewenangan yang sama dalam mengecek semua peraturan perundangundangan sebelum diserahkan kepada presiden. Di Inggris, house of lords sebagai kamar kedua memainkan peranan penting dalam proses merevisi peraturan perundangundangan serta sama seperti house of commons, juga mempunyai hak bertanya dan hak interpelasi.
        Berdasarkan komparasi kewenangan sistem parlemen di AS dan Inggris tersebut, dapat dilihat corak dan acuan dari sistem parlemen negara yang menggunakan dua kamar di dalam parlemen yang dimilikinya, yang memperlihatkan adanya perimbangan kewenangan legislasi antara kamar pertama dan kedua. Sehingga terdapat suatu fungsi double checks yang baik dalam rangka pembuatan peraturan perundangundangan. Tidak ada ketimpangan kewenangan antara kamar pertama dan kamar kedua, sehingga sistem checks and balances dalam sistem parlemen di Negara tersebut berjalan secara baik dan optimal. Dalam konteks penyelenggaran fungsi legislasi, ada beberapa keuntungan yang dimiliki oleh suatu Negara yang menganut sistem parlemen dua kamar (bikameral). Adapun keuntungan yang diperoleh antara lain: a. Secara resmi mewakili beragam pemilih (negara bagian, wilayah, etnik atau golongan); b. Memfasilitasi pendekatan yang bersifat musyawarah terhadap penyusunan perundang undangan; c. Mencegah disahkan perundangundangan yang cacat dan ceroboh; dan d. pengawasan atau pengendalian yang lebih baik atas lembaga eksekutif (Purnomowati, 2005: 31).
        Dalam sistem bikameral, DPD dan DPR memiliki kewenangan untuk mengusulkan dan membentuk produk perundang-undangan. Hanya saja dalam realitas politik di Indonesia pasca pemilu 2004, peran DPD membahas dan menetapkan RUU menjadi UU bersama DPR belum maksimal. Menurut perkembangannya, bikameral cocok untuk model sistem federal, mencegah kemungkinan adanya excessive legislative yang dominan dikuasai oleh kelompok oligarki tertentu serta menghasilkan prinsip checks and balances dalam proses legislasi (Rodee, 1967: 214). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sistem bikameral adalah demokrasi perwakilan yang membutuhkan kematangan dalam berdemokrasi dan kestabilan sistem politik yang didukung demokrasi prosedural yang melembaga. Masing-masing chamber yang mewakili konstituen tertentu (nasional atau daerah/regional) harus didukung oleh adanya konstitusi yang memberi kejelasan wilayah kerja masing-masing agar tidak terjadi deadlock dalam pengesahan suatu kebijakan.

3. Meluruskan Makna Kewenangan Legislasi DPD
      Sehubungan dengan kewenangan DPD, Jimly Asshidiqie berpendapat bahwa dalam Konstitusi Amerika Serikat disebutkan bahwa All legislative power vested in Congress which consist of the Senate and the House of Representatives. Segala kekuasaan legislatif berada di Kongres yang terdiri atas House of Representative dan Senate. Akan tetapi, dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 ketentuan mengenai MPR, dirumuskan secara berbeda, yaitu MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilu dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Dengan demikian, MPR tidak dikatakan terdiri atas DPR dan DPD, melainkan terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Dengan demikian, MPR itu merupakan lembaga yang tidak terpisah dari institusi DPR dan DPD.
      Beberapa pasal UU MD3 dan UU P3 mengandung norma hukum yang bermasalah mengingat bahwa DPD memiliki kewenangan konstitusional di bidang legislasi, yang diberikan Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 20 ayat (2) UUD 1945. Pasal-pasal tersebut adalah Pasal 102 ayat (1) huruf d dan huruf e UU MD3, Pasal 48 ayat (2) dan ayat (4) UU P3 telah mereduksi kewenangan legislasi DPD menjadi setara dengan kewenangan legislasi anggota, komisi, dan gabungan komisi DPR , Pasal 150 ayat (3) UU MD3 dan Pasal 68 ayat (3) UU P3 telah meniadakan kewenangan DPD dalam pengajuan dan pembahasan Daftar Inventaris Masalah yang justru merupakan inti dari pembahasan RUU, Maka DPD kemudian mengajukan pengujian terhadap pasal-pasal bermasalah tersebut.
       Pasca MK mengabulkan permohonan uji materi atas UU MD3 dan UU P3 serta memulihkan kewenangan DPD RI untuk bisa mengikuti pembahasan prolegnas, masalah keuangan dan fungsi legislasi terbatas yang diberikan kepada DPD dalam arti hanya mengenai UU yang berkaitan dengan otonomi daerah dan seterusnya, serta ikut membahas RUU dimaksud, baik yang diajukan oleh DPD, DPR, atau Presiden, maka DPD seharusnya bisa berperan sepenuhnya dalam pembahasan, baik dalam mengajukan maupun dalam ikut membahas RUU tertentu yang diajukan oleh DPD, DPR, dan Presiden yang diatur hanya dalam UU P3.  Adapun untuk ikut memutuskan atas suatu RUU tertentu dimaksud, nampaknya tergantung kepada pembuat UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu bagaimana untuk mengaturnya dan supaya hanya diatur dalam satu UU sebagaimana yang diperintahkan dalam Pasal 22A UUD 1945. 
      Pada tahun 2012, ditinjau dari 169 perkara PUU yang ditangani MK dan 97 perkara yang telah diputus saat itu, 30 perkara di antaranya dikabulkan. Artinya, sebanyak 31 persen produk legislasi, terutama Undang-Undang (UU) yang diuji MK telah dinyatakan dibatalkan atau bertentangan dengan konstitusi. Beberapa faktor yang menjadi sebab dari banyaknya UU yang dibatalkan MK adalah kurang profesionalnya pembentuk UU, terjadinya tukar-menukar kepentingan politik, dan perubahan situasi yang memerlukan penafsiran ulang. Penguatan fungsi legislasi DPD seharusnya tidak hanya sekadar bermakna prosedural, namun bisa mendorong kualitas substantif produk UU yang dihasilkan legislator sesuai dengan kewenangan DPD. Saldi Isra bahkan berpendapat bahwa untuk menata fungsi legislasi, yang diperlukan tidak hanya terbatas pada penguatan fungsi legislasi DPD, tetapi juga dengan membatasi peran atau keterlibatan presiden dalam fungsi legislasi. Kalau memang punya political will yang kuat untuk melakukan purifikasi sistem presidensial, presiden tidak lagi dilibatkan dalam proses pembahasan rancangan undang-undang. Artinya, di lembaga perwakilan rekyat, mekanisme checks and balances dalam pembahasan rancangan undang-undang hanya terjadi antara DPR dan DPD.
        Presiden dan jajaran kabinetnya sebaiknya lebih fokus pada penguatan kapasitas adminiistrasi pemerintahan melalui penyelennggaraan pemerintahan umum maupun sektoral dengan dukungan (R)UU Administrasi Pemerintahan daripada terlibat fungsi legislasi dalam rangka purifikasi sistem presidensial. Putusan MK No. 92/PUU-X/2012 yang bisa menjadi pintu inisiasi penguatan fungsi legislasi DPD dalam UU MD3 dan UU P 3 bisa menjadi langkah awal untuk menuju sistem bikameral sambil menegaskan karakter presidensialisme sistem pemerintahan. Mekanisme checks and balances antara DPR dan DPD dapat mendorong penguatan parlemen dalam melaksanakan fungsi-fungsinya termasuk dalam fungsi legislasi.
       Jika merujuk pendapat Roman Tomasic, pembentukan UU akan berjalan dalam suatu rotasi atau perputaran yang berangkat dari adanya konflik, baik berupa konflik nilai maupun kepentingan yang diendapkan dalam suatu aturan hukum srbagai politik tersembunyi dan pada suatu masa yang akan datang dapat melahirkan konflik baru yang memerlukan penyelesaian lagi (Saifudin, 2009: 29). Dalam perpektif, legislative drafting, Stefanau dan Xanthaki (2010: 16) berpendapat bahwa sebuah produk hukum berupa UU harus memiliki "kemanjuran/kemujaraban" (efficacy) dalam menyelesaikan masalah sosial. Dikatakan oleh Stefanau dan Xanthaki: "Efficacy is the heart of legiskative efforts. It orders all actors in the policy process to achieve the desired result." Perlu dihindarkan lahirnya produk UU simbolik, yaitu UU yang tak efektif karena substansinya sejatinya tak mampu menyelesaikan masalah sosial secara manjur/mujarab. Sehubungan dengan hal tersebut baik UU MD3 maupun UU P3 harus memberikan ruang kewenangan yang lebih besar terhadap DPD untuk secara efektif menjadi bagian setara dalam sistem tripartit fungsi legislasi. Sehubungan dengan hal tersebut, kedududukan organisasi dari DPD dalam sistem tripatit fungsi legislasi bisa menggunakan model cross-functional organization. Model ini menggambarkan suatu organisasi kerja yang dibentuk oleh anggota yang memiliki hirarki setara, tetapi berasal dari area kerja yang berbeda yang bekerja bersama dalam penyelesaian tugas-tugas tertentu. Mereka diikat oleh tujuan-tujuan bersama (common purposes) dengan organisasi kerja yang efektif.
        UU dikatakan hanya bermakna simbolik karena substansinya justru menderogasi nilai dan prinsip yang seharusnya dilindunginya. Pembuatan UU hanya menjadi arena transaksi kepentingan dan bermakna transaksional. Dalam batas tafsir makna kewenangan DPD oleh Putusan MK No. 92/PUU-X/2012, DPD diharapkan mampu memberi warna dan makna baru proses legislasi yang sungguh-sungguh berpihak dan berpjak pada kepentingan rakyat. DPD sebagai senator dalam pelaksanaan fungsi kegislasinya seharusnya bisa semakin mempekuat penyerapan aspirasi daerah yang diwakilinya dalam membangun legitimasi dan penerimaan sosial atas suatu UU. Dalam tubuh DPD harus tersedia mekanisme allocating roles and diversity yang memungkinkan penyerapan aspirasi daerah secara efektif dengan mempertimbangkan segmentasi konstituen. Dalam teori organisasi hal itu tentu dipengaruhi faktor leadership and structure. Selanjutnya, hal itu akan berpengaruh pula terhadap kualitas legitimasi dan responsivitas suatu UU, sehingga UU yang dihasilkan tidak hanya bersandar pada teori kekuasaan, namun semakin sempurna dalam mengimplementasikan teori penerimaan masyarakat. Vcrac Crabbe berpendapat bahwa "an individual or a group of persons may be interested in a particular measure. That measure may call for the exercise of the legislative power of the state. That individual may or may not be a member of Parliament. Who ever that individual is, behind the interest there lurks a motive either economic or personal or political or social in character. Legislation becomes a means to an end for the achievement of some, at least, of all of the purposes desired. " Van der Vlies melanjutkan dengan menyatakan bahwa: "laws ought to reflect the ambitions of a society and facilitate the transition between what is at present and what might one day be" (Arnscheidt, 2008). Demikian juga, Morgan dan Yeung (2007: 28-29) berpendapat bahwa: "some statutes should be understood as an embodiment not of privately held preferences, but of what might be described as collective desires, including aspirations, ‘‘preferences about preferences’’, or considered judgments on the part of significant segments of society. Laws of this sort are a product of deliberative processes on the part of citizens and representatives.They can not be understood as an attempt to aggregate or trade off private preferences.This understanding of politics recalls Madisons belief in deliberative democracy." Di titik inilah, DPD bisa menjadi saluran komunikasi timbal balik secara efektif antara daerah dengan parlemen, sehingga produk UU yang dihasilkan bisa menyuarakan aspirasi rakyat dan tidak mendistorsinya sekadar menjadi kepentingan elite birokrasi maupun parlemen. Amandemen UU MD3 dan UU P3 dalam kerangka tindak lanjut Putusan MK No. 92/PUU-X/2012, perlu diperkuat pula dengan desain ulang peraturan tata tertib parlemen yang mengakomodasi beberapa usulan di atas, agar penguatan DPD bisa mengusung demokrasi substantif, bukan justru menjadi masalah baru dalam kontestasi dan transaksi kepentingan (elite) parlemen.


4. Penutup
a. Kesimpulan
1.   Negara yang menganut sistem parlemen dua kamar (bikameral) memiliki beberapa keuntungan antara lain: a. Secara resmi mewakili beragam pemilih (negara bagian, wilayah, etnik atau golongan); b. Memfasilitasi pendekatan yang bersifat musyawarah terhadap penyusunan perundang undangan; c. Mencegah disahkan perundangundangan yang cacat dan ceroboh; dan d. pengawasan atau pengendalian yang lebih baik atas lembaga eksekutif
2.    Pasca MK mengabulkan permohonan uji materi atas  UU MD3 dan UU P3 serta memulihkan kewenangan DPD RI untuk bisa mengikuti pembahasan prolegnas, masalah keuangan dan fungsi legislasi terbatas yang diberikan kepada DPD dalam arti hanya mengenai UU yang berkaitan dengan otonomi daerah dan seterusnya, serta ikut membahas RUU dimaksud, baik yang diajukan oleh DPD, DPR, atau Presiden, maka DPD seharusnya bisa berperan sepenuhnya dalam pembahasan, baik dalam mengajukan maupun dalam ikut membahas RUU tertentu yang diajukan oleh DPD, DPR, dan Presiden yang diatur hanya dalam UU P3. Adapun untuk ikut memutuskan atas suatu RUU tertentu dimaksud, nampaknya tergantung kepada pembuat UU tentang Tata Cara Pembuatan UU yaitu bagaimana untuk mengaturnya dan supaya hanya diatur dalam satu UU sebagaimana yang diperintahkan dalam Pasal 22A U
3.   Dalam batas tafsir makna kewenangan DPD oleh Putusan MK No. 92/PUU-X/2012, DPD diharapkan mampu memberi warna dan makna baru proses legislasi yang sungguh-sungguh berpihak dan berpjak pada kepentingan rakyat. DPD sebagai senator dalam pelaksanaan fungsi kegislasinya seharusnya bisa semakin mempekuat penyerapan aspirasi daerah yang diwakilinya dalam membangun legitimasi dan penerimaan sosial atas suatu UU. Hal itu akan berpengaruh terhadap kualitas legitimasi dan responsivitas suaturesponsivitas suatu UU, sehingga UU yang dihasilkan tidak hanya bersandar pada teori kekuasaan, namun semakin sempurna dalam mengimplementasikan teori penerimaan masyarakat.
4.   DPD bisa menjadi saluran komunikasi timbal balik secara efektif antara daerah dengan parlemen, sehingga produk UU yang dihasilkan bisa menyuarakan aspirasi rakyat dan tidak mendistorsinya sekadar menjadi kepentingan elite birokrasi maupun parlemen. Amandemen UU MD3 dan UU P3 dalam kerangka tindak lanjut Putusan MK No. 92/PUU-X/2012, perlu diperkuat pula dengan desain ulang peraturan tata tertib parlemen yang mengakomodasi beberapa usulan di atas, agar penguatan DPD bisa mengusung demokrasi substantif, bukan justru menjadi masalah baru dalam kontestasi dan transaksi kepentingan (elite) parlemen.

b. Saran-saran
1.   Diperlukan penguatan kedudukan dan kewenangan DPD RI dalam kelembagaan MPR sehingga checks and balances dalam tubuh MPR RI antara DPD RI dan DPR RI dapat meningkatkan kualitas demokrasi dalam sistem parlemen yang memiliki keseimbangan fungsi yang dinamis dan harmonis diantara kedua chamber parlemen.tersebut.
2.    Putusan MK No. 92/PUU-X/2012 perlu segera ditindak lanjuti dengan melakukan amandemen UU No. 27 Tahun 2009 dan UU No. 12 Tahun 2011 sesuai dengan amanat Pasal 22C dan D UUD Negara RI 1945 agar DPD RI dapat melaksanakan fungsi-fungsi yang harus dilaksanakannya dalam kedudukannya sebagai local representation dalam sistem MPR. RI sebagai penyeimbang DPR RI sebagai political reprentation. Selain itu, dengan amandemen atas kedua undang-undang tersebut sesuai dengan diktum Putusan MK No. 92/PUU-X/2012 dapat menjamin keabsahan produk undang-undang yang dibentuk melalui sistem legislasi.
3.  DPD perlu mengefektifkan badan kerjasama antar-institusi parlemen (inter-parliementary cooperation) yang memiliki sistem bikameral untuk mempelajari best practices fungsi dan peranan institusi sejenis di negara-negara lain dalam rangja meningkatkan kualitas perwakilan daerah yang dilaksanakannya.

*)  Penulis adalah dosen Hukum Administrasi Negara pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta, pernah menjadi konsultan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan untuk LOGICA-AIPRD, AUSAID di Nangroe Aceh Darussalam 2006-2007 dan konsultan peraturan perundang-undangan pada Centre for Legislative Strengthening Local Governance Support Programme (LGSP)-USAID 2005-2010, Tim manajemen dan konsultan bidang pemerintahan pada SCBD project Asian Development Bank (ADB), sering menjadi saksi ahli dalam rangka mewujudkan good governance di PTUN, DKPP, Tipikor dan Mahkamah Konstitusi RI serta menulis lebih dari 300 artikel di berbagai media massa nasional maupun lokal.

Daftar Pustaka

Arnscheidt, J., et.al., 2008, Lawmaking for Development - Explorations in to the theory and practice of international legislative projects, Leiden University Press, Netherlands.

Crabbe, Vcrac, 1993, Legislative Drafting, Cavendish Publishing Limited, Great Britain.

Jimly Asshidiqie, Lembaga Perwakikan Dan Permusyawaratan Tingkat Pusat, makalah, tt.
Moh. Mahfud, MD. 2010, Perdebatan Hukum Tata Negara Pascaamandemen Konstitusi, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Morgan, Brown, et.al., 2007, An Introduction to Law and Regulation - Text and Materials, Cambridge University Press, UK.
Reni Dwi Purnomowati, 2005, Implementasi Sistem Parlemen Bikameral Dalam Parlemen Di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada.
Rodee, Andetson, 1967, Introduction to Political Science, McGrraw Hill, USA.
Saifudin, 2009, Partisipasi Publik Dalam Pembentukan Peraturan Petundang-undangan, FH UII Press, Yogyakarta.
Saldi Isra, Fungsi Legislasi DPD dalam Penguatan Aspirasi Daerah, http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=84:fungsi-legislasi-dpd-dalam-penguatan-aspirasi-daerah&catid=23:makalah&Itemid=11#_ftn9)
Stefanaou, Constantin, et.al, 2010, Drafting Legislation - A Modetn Approach, MPG Books Ltd, Great Britain.

Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...