Quo Vadis Sistem Legislasi Parlemen?
oleh:
Dr. W. Riawan Tjandra, S.H.,M.Hum.*)
willyriawan@yahoo.com
1. Latar Belakang
Eksistensi DPD dalam sistem parlemen seharusnya
tak dipisahkan dari komitmen UUD Negara RI 1945 yang salah satunya ingin membuka
ruang konstitusional yang lebih luas kepada daerah melalui area division of power dengan membagi kekuasaan negara secara verrtikal
sebagai komplemen capital division of
power yang membagi kekuasaan negara secara horizontal. DPD sebagai salah
satu lembaga perwakilan selain Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut
DPR) tidak dapat dilepaskan dan merupakan tuntutan dari terselenggaranya sistem
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih mengedepankan asas otonomi dan
tugas pembantuan. Hal ini dapat dilihat dalam Perubahan Kedua UUD 1945 pada
Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B yang memberikan penekanan penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan hubungan pusat dan daerah dilaksanakan dengan sistem
otonomi luas. Untuk menjaga dan menindaklanjuti kepentingan daerah dalam
pengambilan kebijakan di pusat, maka diperlukan lembaga yang memiliki
eksistensi dan kedudukan serta fungsi yang dapat menjembatani kepentingan
daerah. Namun, ruang lingkup kewenangan DPD dalam sistem konstitusi vide Pasal 22D
ayat (1) sampai dengan ayat (3) UUD Negara RI 1945 sebelum Putusan MK No. 92/PUU-X/2012,
dinilai tak sebangun dengan konstruksi kewenangan DPD RI dalam beberapa pasal dalam
UU NO 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD Provinsi, Kabupatrn dan Kota
(MD3) dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(P3).
Jika membaca
secara kritis UUD Negara RI 1945, terlihat adanya kesan pemberian kewenangan legislasi
setengah hati kepada DPD dalam sistem ketatanegaraan RI. Adapun kekuasaan DPD dalam
konstitusi adalah dapat mengajukan rancangan undang-undang (RUU) yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan kekuasaan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah (Pasal 22D Ayat (1) UUD 1945) kepada DPR. Namun, kata “dapat”
dalam Pasal 22D Ayat (1) UUD 1945 tersebut menjadikan DPD tidak mempunyai
kekuasaan legislatif yang efektif untuk menjadi salah satu institusi yang
mengajukan RUU. Hal itu terjadi karena Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 21
UUD 1945 menyebutkan Presiden dan anggota DPR “berhak”
mengajukan RUU.
DPD ikut membahas rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan,
pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta
memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama
(Pasal 22D Ayat 2) UUD 1945); DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan
undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
pelaksanaan anggaran pendapatan belanja negara, pajak pendidikan, dan agama
serta menyampaikan hasil pengawasan itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan
untuk ditindaklanjuti (Pasal 22D Ayat (3) UUD 1945). Dengan frasa “ikut membahas” dan “memberikan
pertimbangan” dalam Pasal
22D Ayat (2) UUD 1945 itu, posisi DPD menjadi tidak sebanding dengan wewenang
Presiden dan DPR yang ikut “pembahasan
dan persetujuan bersama” dalam
fungsi legislasi.
Berkaitan
dengan pelaksanaan fungsi DPD, maka yang menjadi persoalan adalah berkaitan
dengan zelfstandigheid yaitu wewenang
mandiri atau fungsi sepenuhnya dan/atau fungsi yang menentukan dari lembaga
perwakilan (DPD), baik dari segi perencanaan, penyusunan, pembahasan, sampai
pengambilan keputusan. Hal ini dengan sendirinya berkaitan pula dengan
kewenangan DPD dalam menjalankan fungsi legislasi, fungsi pertimbangan, dan
fungsi pengawasan.
2. Sistem Bikameral
Lunak (Soft Bicameralism)
Sistem perwakilan bikameral yang dianut dalam
komposisi lembaga perwakilan Indonesia dapat dikategorikan sebagai sistem
bikameral lunak (soft bicameralism).
Fungsi DPD yang seharusnya menjadi kekuatan kamar penyeimbang bagi DPR, tidak
lebih daripada aksesori sistem perwakilan di Indonesia yang masih kental dengan
unikameral. Terbukti, DPD hanya diberi kewenangan amat terbatas. Kewenangan
yang sangat terbatas itu dan dapat dikatakan menyebabkan DPD hanya sebagai
formalitas konstitusional belaka disebabkan oleh kompromi yang melatarbelakangi
pelaksanaan amandemen (Mahfud, 2010, 70).
Dalam pandangan MPR, pengaturan keberadaan DPD
dalam struktur ketatanegaraan Indonesia menurut UUD Tahun 1945, antara lain
dimaksudkan untuk: a. memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah; b. meningkatkan agregasi dan akomodasi
aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijaksanaan nasional
berkaitan dengan negara dan daerah; c. mendorong percepatan demokrasi,
pembangunan dan kemajuan daerah secara serasi dan seimbang.
Kedudukan
DPD RI tersebut terlihat jauh berbeda dengan sistem Bikameral Amerika Serikat
dan Inggris. Di Amerika Serikat kedua kamar dalam congress tersebut adalah House
dan Senate. Di Inggris, dua kamar
tersebut adalah house of lords (majelis
tinggi ) dan house of commons (
majelis rendah ). House dan senate dalam congress di AS mempunyai kewenangan yang sama dalam mengecek semua
peraturan perundang–undangan sebelum
diserahkan kepada presiden. Di Inggris, house
of lords sebagai kamar kedua memainkan peranan penting dalam proses
merevisi peraturan perundang–undangan
serta sama seperti house of commons,
juga mempunyai hak bertanya dan hak interpelasi.
Berdasarkan komparasi kewenangan sistem parlemen
di AS dan Inggris tersebut, dapat dilihat corak dan acuan dari sistem parlemen negara
yang menggunakan dua kamar di dalam parlemen yang dimilikinya, yang memperlihatkan
adanya perimbangan kewenangan legislasi antara kamar pertama dan kedua.
Sehingga terdapat suatu fungsi double
checks yang baik dalam rangka pembuatan peraturan perundang–undangan. Tidak ada
ketimpangan kewenangan antara kamar pertama dan kamar kedua, sehingga sistem checks and balances dalam sistem
parlemen di Negara tersebut berjalan secara baik dan optimal. Dalam konteks
penyelenggaran fungsi legislasi, ada beberapa keuntungan yang dimiliki oleh
suatu Negara yang menganut sistem parlemen dua kamar (bikameral). Adapun
keuntungan yang diperoleh antara lain: a. Secara resmi mewakili beragam pemilih
(negara bagian, wilayah, etnik atau golongan); b. Memfasilitasi pendekatan yang
bersifat musyawarah terhadap penyusunan perundang – undangan; c. Mencegah disahkan perundang–undangan yang cacat dan
ceroboh; dan d. pengawasan atau pengendalian yang lebih baik atas lembaga
eksekutif (Purnomowati, 2005: 31).
Dalam sistem bikameral, DPD dan DPR memiliki
kewenangan untuk mengusulkan dan membentuk produk perundang-undangan. Hanya
saja dalam realitas politik di Indonesia pasca pemilu 2004, peran DPD membahas
dan menetapkan RUU menjadi UU bersama DPR belum maksimal. Menurut perkembangannya,
bikameral cocok untuk model sistem federal, mencegah kemungkinan adanya excessive legislative yang dominan
dikuasai oleh kelompok oligarki tertentu serta menghasilkan prinsip checks and balances dalam proses
legislasi (Rodee, 1967: 214). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sistem
bikameral adalah demokrasi perwakilan yang membutuhkan kematangan dalam
berdemokrasi dan kestabilan sistem politik yang didukung demokrasi prosedural
yang melembaga. Masing-masing chamber yang
mewakili konstituen tertentu (nasional atau daerah/regional) harus didukung
oleh adanya konstitusi yang memberi kejelasan wilayah kerja masing-masing agar
tidak terjadi deadlock dalam
pengesahan suatu kebijakan.
3. Meluruskan Makna
Kewenangan Legislasi DPD
Sehubungan dengan kewenangan DPD, Jimly Asshidiqie
berpendapat bahwa dalam Konstitusi Amerika Serikat disebutkan bahwa All legislative power vested in Congress
which consist of the Senate and the House of Representatives. Segala
kekuasaan legislatif berada di Kongres yang terdiri atas House of Representative dan Senate.
Akan tetapi, dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 ketentuan mengenai MPR, dirumuskan
secara berbeda, yaitu MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih
melalui pemilu dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Dengan demikian,
MPR tidak dikatakan terdiri atas DPR dan DPD, melainkan terdiri atas anggota
DPR dan anggota DPD. Dengan demikian, MPR itu merupakan lembaga yang tidak
terpisah dari institusi DPR dan DPD.
Beberapa pasal UU MD3 dan UU P3 mengandung norma
hukum yang bermasalah mengingat bahwa DPD memiliki kewenangan konstitusional di
bidang legislasi, yang diberikan Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal
20 ayat (2) UUD 1945. Pasal-pasal tersebut adalah Pasal 102 ayat (1) huruf d
dan huruf e UU MD3, Pasal 48 ayat (2) dan ayat (4) UU P3 telah mereduksi
kewenangan legislasi DPD menjadi setara dengan kewenangan legislasi anggota,
komisi, dan gabungan komisi DPR , Pasal 150 ayat (3) UU MD3 dan Pasal 68 ayat
(3) UU P3 telah meniadakan kewenangan DPD dalam pengajuan dan pembahasan Daftar
Inventaris Masalah yang justru merupakan ”inti” dari pembahasan RUU, Maka DPD
kemudian mengajukan pengujian terhadap pasal-pasal bermasalah tersebut.
Pasca
MK mengabulkan permohonan uji materi atas UU MD3 dan UU P3 serta memulihkan kewenangan
DPD RI untuk bisa mengikuti pembahasan prolegnas, masalah keuangan dan fungsi
legislasi terbatas yang diberikan kepada DPD dalam arti hanya mengenai UU yang
berkaitan dengan otonomi daerah dan seterusnya, serta ikut membahas RUU
dimaksud, baik yang diajukan oleh DPD, DPR, atau Presiden, maka DPD seharusnya bisa
berperan sepenuhnya dalam pembahasan, baik dalam mengajukan maupun dalam ikut
membahas RUU tertentu yang diajukan oleh DPD, DPR, dan Presiden yang diatur
hanya dalam UU P3. Adapun untuk ikut
memutuskan atas suatu RUU tertentu dimaksud, nampaknya tergantung kepada
pembuat UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu bagaimana
untuk mengaturnya dan supaya hanya diatur dalam satu UU sebagaimana yang
diperintahkan dalam Pasal 22A UUD 1945.
Pada tahun 2012, ditinjau dari 169 perkara PUU
yang ditangani MK dan 97 perkara yang telah diputus saat itu, 30 perkara di
antaranya dikabulkan. Artinya, sebanyak 31 persen produk legislasi, terutama
Undang-Undang (UU) yang diuji MK telah dinyatakan dibatalkan atau bertentangan
dengan konstitusi. Beberapa faktor yang menjadi sebab dari banyaknya UU yang dibatalkan
MK adalah kurang profesionalnya pembentuk UU, terjadinya tukar-menukar
kepentingan politik, dan perubahan situasi yang memerlukan penafsiran ulang. Penguatan
fungsi legislasi DPD seharusnya tidak hanya sekadar bermakna prosedural, namun bisa
mendorong kualitas substantif produk UU yang dihasilkan legislator sesuai dengan
kewenangan DPD. Saldi Isra bahkan berpendapat bahwa untuk menata fungsi
legislasi, yang diperlukan tidak hanya terbatas pada penguatan fungsi legislasi
DPD, tetapi juga dengan membatasi peran atau keterlibatan presiden dalam fungsi
legislasi. Kalau memang punya political
will yang kuat untuk melakukan purifikasi sistem presidensial, presiden
tidak lagi dilibatkan dalam proses pembahasan rancangan undang-undang. Artinya,
di lembaga perwakilan rekyat, mekanisme checks
and balances dalam pembahasan rancangan undang-undang hanya terjadi antara
DPR dan DPD.
Presiden dan jajaran kabinetnya sebaiknya lebih
fokus pada penguatan kapasitas adminiistrasi pemerintahan melalui penyelennggaraan
pemerintahan umum maupun sektoral dengan dukungan (R)UU Administrasi Pemerintahan
daripada terlibat fungsi legislasi dalam rangka purifikasi sistem presidensial.
Putusan MK No. 92/PUU-X/2012 yang bisa menjadi pintu inisiasi penguatan fungsi legislasi
DPD dalam UU MD3 dan UU P 3 bisa menjadi langkah awal untuk menuju sistem bikameral
sambil menegaskan karakter presidensialisme sistem pemerintahan. Mekanisme checks and balances antara DPR dan DPD dapat
mendorong penguatan parlemen dalam melaksanakan fungsi-fungsinya termasuk dalam
fungsi legislasi.
Jika merujuk
pendapat Roman Tomasic, pembentukan UU akan berjalan dalam suatu rotasi atau perputaran
yang berangkat dari adanya konflik, baik berupa konflik nilai maupun kepentingan
yang diendapkan dalam suatu aturan hukum srbagai politik tersembunyi dan pada suatu
masa yang akan datang dapat melahirkan konflik baru yang memerlukan penyelesaian
lagi (Saifudin, 2009: 29). Dalam perpektif, legislative
drafting, Stefanau dan Xanthaki (2010: 16) berpendapat bahwa sebuah produk hukum
berupa UU harus memiliki "kemanjuran/kemujaraban" (efficacy) dalam menyelesaikan masalah sosial.
Dikatakan oleh Stefanau dan Xanthaki: "Efficacy is the heart of legiskative
efforts. It orders all actors in the policy process to achieve the desired result."
Perlu dihindarkan lahirnya produk UU simbolik, yaitu UU yang tak efektif karena
substansinya sejatinya tak mampu menyelesaikan masalah sosial secara manjur/mujarab.
Sehubungan dengan hal tersebut baik UU MD3 maupun UU P3 harus memberikan ruang kewenangan
yang lebih besar terhadap DPD untuk secara efektif menjadi bagian setara dalam sistem
tripartit fungsi legislasi. Sehubungan dengan hal tersebut, kedududukan organisasi
dari DPD dalam sistem tripatit fungsi legislasi bisa menggunakan model cross-functional organization. Model ini
menggambarkan suatu organisasi kerja yang dibentuk oleh anggota yang memiliki hirarki
setara, tetapi berasal dari area kerja yang berbeda yang bekerja bersama dalam penyelesaian
tugas-tugas tertentu. Mereka diikat oleh tujuan-tujuan bersama (common purposes) dengan organisasi kerja
yang efektif.
UU dikatakan hanya bermakna simbolik karena substansinya
justru menderogasi nilai dan prinsip yang seharusnya dilindunginya. Pembuatan UU
hanya menjadi arena transaksi kepentingan dan bermakna transaksional. Dalam batas
tafsir makna kewenangan DPD oleh Putusan MK No. 92/PUU-X/2012, DPD diharapkan mampu
memberi warna dan makna baru proses legislasi yang sungguh-sungguh berpihak dan
berpjak pada kepentingan rakyat. DPD sebagai senator dalam pelaksanaan fungsi kegislasinya
seharusnya bisa semakin mempekuat penyerapan aspirasi daerah yang diwakilinya dalam
membangun legitimasi dan penerimaan sosial atas suatu UU. Dalam tubuh DPD harus
tersedia mekanisme allocating roles and
diversity yang memungkinkan penyerapan aspirasi daerah secara efektif dengan
mempertimbangkan segmentasi konstituen. Dalam teori organisasi hal itu tentu dipengaruhi
faktor leadership and structure. Selanjutnya,
hal itu akan berpengaruh pula terhadap kualitas legitimasi dan responsivitas suatu
UU, sehingga UU yang dihasilkan tidak hanya bersandar pada teori kekuasaan, namun
semakin sempurna dalam mengimplementasikan teori penerimaan masyarakat. Vcrac Crabbe
berpendapat bahwa "an individual or a group of persons may be interested
in a particular measure. That measure may call for the exercise of the
legislative power of the state. That individual may or may not be a member of
Parliament. Who ever that individual is, behind the interest there lurks a
motive – either economic or personal
or political or social in character. Legislation becomes a means to an end for
the achievement of some, at least, of all of the purposes desired. " Van der
Vlies melanjutkan dengan menyatakan bahwa: "laws ought to reflect the ambitions
of a society and facilitate the transition between what is at present and what might
one day be" (Arnscheidt, 2008). Demikian juga, Morgan dan Yeung (2007: 28-29)
berpendapat bahwa: "some statutes should be understood as an embodiment not
of privately held preferences, but of what might be described as collective desires,
including aspirations, ‘‘preferences
about preferences’’, or considered
judgments on the part of significant segments of society. Laws of this sort are
a product of deliberative processes on the part of citizens and representatives.They
can not be understood as an attempt to aggregate or trade off private preferences.This
understanding of politics recalls Madison’s
belief in deliberative democracy." Di titik inilah, DPD bisa menjadi saluran
komunikasi timbal balik secara efektif antara daerah dengan parlemen, sehingga produk
UU yang dihasilkan bisa menyuarakan aspirasi rakyat dan tidak mendistorsinya sekadar
menjadi kepentingan elite birokrasi maupun parlemen. Amandemen UU MD3 dan UU P3
dalam kerangka tindak lanjut Putusan MK No. 92/PUU-X/2012, perlu diperkuat pula
dengan desain ulang peraturan tata tertib parlemen yang mengakomodasi beberapa usulan
di atas, agar penguatan DPD bisa mengusung demokrasi substantif, bukan justru menjadi
masalah baru dalam kontestasi dan transaksi kepentingan (elite) parlemen.
4. Penutup
a. Kesimpulan
1. Negara
yang menganut sistem parlemen dua kamar (bikameral) memiliki beberapa keuntungan
antara lain: a. Secara resmi mewakili beragam pemilih (negara bagian, wilayah,
etnik atau golongan); b. Memfasilitasi pendekatan yang bersifat musyawarah
terhadap penyusunan perundang –
undangan; c. Mencegah disahkan perundang–undangan
yang cacat dan ceroboh; dan d. pengawasan atau pengendalian yang lebih baik
atas lembaga eksekutif
2. Pasca MK mengabulkan permohonan uji materi
atas UU MD3 dan UU P3 serta memulihkan
kewenangan DPD RI untuk bisa mengikuti pembahasan prolegnas, masalah keuangan
dan fungsi legislasi terbatas yang diberikan kepada DPD dalam arti hanya
mengenai UU yang berkaitan dengan otonomi daerah dan seterusnya, serta ikut
membahas RUU dimaksud, baik yang diajukan oleh DPD, DPR, atau Presiden, maka
DPD seharusnya bisa berperan sepenuhnya dalam pembahasan, baik dalam mengajukan
maupun dalam ikut membahas RUU tertentu yang diajukan oleh DPD, DPR, dan
Presiden yang diatur hanya dalam UU P3. Adapun untuk ikut memutuskan atas suatu
RUU tertentu dimaksud, nampaknya tergantung kepada pembuat UU tentang Tata Cara
Pembuatan UU yaitu bagaimana untuk mengaturnya dan supaya hanya diatur dalam
satu UU sebagaimana yang diperintahkan dalam Pasal 22A U
3. Dalam
batas tafsir makna kewenangan DPD oleh Putusan MK No. 92/PUU-X/2012, DPD
diharapkan mampu memberi warna dan makna baru proses legislasi yang
sungguh-sungguh berpihak dan berpjak pada kepentingan rakyat. DPD sebagai
senator dalam pelaksanaan fungsi kegislasinya seharusnya bisa semakin mempekuat
penyerapan aspirasi daerah yang diwakilinya dalam membangun legitimasi dan
penerimaan sosial atas suatu UU. Hal itu akan berpengaruh terhadap kualitas
legitimasi dan responsivitas suaturesponsivitas suatu UU, sehingga UU yang
dihasilkan tidak hanya bersandar pada teori kekuasaan, namun semakin sempurna
dalam mengimplementasikan teori penerimaan masyarakat.
4. DPD
bisa menjadi saluran komunikasi timbal balik secara efektif antara daerah
dengan parlemen, sehingga produk UU yang dihasilkan bisa menyuarakan aspirasi
rakyat dan tidak mendistorsinya sekadar menjadi kepentingan elite birokrasi
maupun parlemen. Amandemen UU MD3 dan UU P3 dalam kerangka tindak lanjut
Putusan MK No. 92/PUU-X/2012, perlu diperkuat pula dengan desain ulang
peraturan tata tertib parlemen yang mengakomodasi beberapa usulan di atas, agar
penguatan DPD bisa mengusung demokrasi substantif, bukan justru menjadi masalah
baru dalam kontestasi dan transaksi kepentingan (elite) parlemen.
b. Saran-saran
1. Diperlukan penguatan kedudukan dan kewenangan
DPD RI dalam kelembagaan MPR sehingga checks
and balances dalam tubuh MPR RI antara DPD RI dan DPR RI dapat meningkatkan
kualitas demokrasi dalam sistem parlemen yang memiliki keseimbangan fungsi yang
dinamis dan harmonis diantara kedua chamber
parlemen.tersebut.
2. Putusan MK No. 92/PUU-X/2012 perlu segera ditindak
lanjuti dengan melakukan amandemen UU No. 27 Tahun 2009 dan UU No. 12 Tahun 2011
sesuai dengan amanat Pasal 22C dan D UUD Negara RI 1945 agar DPD RI dapat melaksanakan
fungsi-fungsi yang harus dilaksanakannya dalam kedudukannya sebagai local representation dalam sistem MPR. RI
sebagai penyeimbang DPR RI sebagai political
reprentation. Selain itu, dengan amandemen atas kedua undang-undang tersebut
sesuai dengan diktum Putusan MK No. 92/PUU-X/2012 dapat menjamin keabsahan produk
undang-undang yang dibentuk melalui sistem legislasi.
3. DPD perlu mengefektifkan badan kerjasama antar-institusi
parlemen (inter-parliementary cooperation)
yang memiliki sistem bikameral untuk mempelajari best practices fungsi dan peranan institusi sejenis di negara-negara
lain dalam rangja meningkatkan kualitas perwakilan daerah yang dilaksanakannya.
*) Penulis
adalah dosen Hukum Administrasi Negara pada FH Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, pernah menjadi konsultan dalam penyusunan peraturan
perundang-undangan untuk LOGICA-AIPRD, AUSAID di Nangroe Aceh Darussalam
2006-2007 dan konsultan peraturan perundang-undangan pada Centre for
Legislative Strengthening Local Governance Support Programme (LGSP)-USAID 2005-2010,
Tim manajemen dan konsultan bidang pemerintahan pada SCBD project Asian
Development Bank (ADB), sering menjadi saksi ahli dalam rangka mewujudkan good
governance di PTUN, DKPP, Tipikor dan Mahkamah Konstitusi RI serta menulis
lebih dari 300 artikel di berbagai media massa nasional maupun lokal.
Daftar Pustaka
Arnscheidt,
J., et.al., 2008, Lawmaking for
Development - Explorations in to the theory and practice of international legislative
projects, Leiden University Press, Netherlands.
Crabbe, Vcrac, 1993, Legislative
Drafting, Cavendish Publishing Limited, Great Britain.
Jimly Asshidiqie, Lembaga Perwakikan Dan
Permusyawaratan Tingkat Pusat, makalah,
tt.
Moh. Mahfud, MD. 2010, Perdebatan
Hukum Tata Negara Pascaamandemen Konstitusi, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Morgan, Brown, et.al., 2007, An Introduction to Law and Regulation - Text
and Materials, Cambridge University Press, UK.
Reni Dwi Purnomowati, 2005, Implementasi Sistem Parlemen Bikameral Dalam
Parlemen Di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada.
Rodee, Andetson, 1967, Introduction to Political Science, McGrraw
Hill, USA.
Saifudin, 2009, Partisipasi Publik Dalam Pembentukan Peraturan Petundang-undangan, FH
UII Press, Yogyakarta.
Saldi Isra, Fungsi Legislasi DPD dalam Penguatan Aspirasi Daerah, http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=84:fungsi-legislasi-dpd-dalam-penguatan-aspirasi-daerah&catid=23:makalah&Itemid=11#_ftn9)
Stefanaou, Constantin, et.al, 2010, Drafting Legislation - A Modetn Approach,
MPG Books Ltd, Great Britain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar