Minggu, 03 Mei 2020


Pemidanaan Diskresi
Oleh: W. RIAWAN TJANDRA
            Perintah Presiden Jokowi kepada Kejaksaan dan Polri agar tidak memidanakan tindakan diskresi administrasi pemerintah dalam rangka kebijakan dan terobosan yang didasarkan atas niat yang baik (Tajuk Rencana Kompas, 21/7/2016) perlu dilihat sebagai sebuah refleksi kritis terhadap dinamika penegakan hukum yang selama ini dilaksanakan. Dalam berbagai sidang di Pengadilan Tipikor cukup sering muncul isu hukum seputar batas antara diskresi dalam perspektif Hukum Administrasi Negara dan tindakan melawan hukum berbentuk penyalahgunaan wewenang (abuse of power) yang dilakukan oleh pejabat administrasi pemerintah.
            Perdebatan yang sejatinya dalam Hukum Administrasi Negara cukup klasik tersebut seharusnya telah terselesaikan melalui klausul khusus mengenai diskresi yang diuraikan panjang lebar pada Pasal 22 s/d 32 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Dalam ketentuan-ketentuan tersebut pada intinya telah diatur konsiderasi, cakupan, persyaratan, prosedur dan akibat hukum (legal effect) penggunaan wewenang diskresi oleh pejabat administrasi pemerintah. Dengan kata lain, UU Administrasi Pemerintahan berupaya untuk menjadi norma hukum yang menjembatani kesenjangan hukum antara kebutuhan  faktual-administratif penyelenggaraan pemerintahan dan batas-batas normatif penggunaan wewenang administrasi pemerintahan yang diikat dengan ketat oleh serangkaian norma hukum yang tersebar dengan berbagai karakter baik perdata, administratif maupun pidana dalam berbagai undang-undang sektoral yang mengikat tindakan hukum administrasi negara bagi setiap pejabat administrasi pemerintah. Dari mekanisme pengadaan barang/jasa sampai dengan penanganan bencana alam, terdapat berbagai norma hukum yang harus diperhatikan sebelum pejabat pemerintah melakukan tindakan faktual dalam rangka pelayanan publik maupun menetapkan Keputusan Administrasi Pemerintah. Kelalaian maupun kesengajaan yang melanggar batas-batas penggunaan wewenang baik mencakup substansi maupun prosedur yang diatur secara ketat dalam berbagai undang-undang sektoral bisa menjadikan pejabat administrasi pemerintahan pesakitan di meja pengadilan.
            Filosofi diskresi sejatinya tak lain dari esensi negara hukum itu sendiri. Diskresi merupakan konsekuensi dari atribusi wewenang yang diberikan kepada pejabat administrasi pemerintah karena dalam realitas penyelenggaraan fungsi pemerintah terdapat keterbatasan dari undang-undang yang berimplikasi terjadinya norma hukum yang tak jelas maknanya, kekosongan norma hukum, maupun terjadinya kesenjangan antara kaidah norma hukum dan kebutuhan praktik pemerintahan. Disinilah prinsip negara hukum modern yang menjadi pilar pemerintahan di berbagai negara hukum di Eropa (kontinental) maupun negara-negara common law pada umumnya memberikan toleransi untuk dilakukannya penemuan hukum oleh pejabat administrasi pemerintah yang dikenal dengan sebutan diskresi. Diskresi dimaksudkan untuk mengatasi terjadinya stagnasi pemerintahan dan mengefektifkan pelaksanaan tanggung jawab pemerintah dalam melaksanakan pelayanan publik.  Pada logika inilah sejatinya perintah Presiden Jokowi di atas perlu diletakkan secara proporsional. Penggunaan diskresi oleh pemerintah yang menjadi batas bagi jangkauan pemidanaan oleh pengadilan sejatinya merupakan tolok ukur kualitas penerapan prinsip-prinsip pembagian/pemisahan kekuasan negara (separation/distribution of power) yang menjadi buah Revolusi Perancis sebagai tonggak sejarah dimulainya era demokrasi konstitusional dan negara hukum.
            Memang harus diakui pula bahwa karena diskresi bisa berarti “menyimpang” dari rumusan norma tekstual suatu undang-undang yang dinilai oleh pejabat administrasi pemerintahan tak sesuai dengan kebutuhan praktik pemerintahan, potensi terjadinya tindakan sewenang-wenang maupun penyalahgunaan wewenang oleh pejabat administrasi pemerintah yang memiliki niat koruptif bisa saja terjadi. Oleh karena itulah, terhadap motif penggunaan diskresi maupun perilaku penggunaan wewenang jabatan bagi setiap pejabat administrasi pemerintah yang menggunakan diskresi bisa dikontrol melalui asas-asas umum pemerintahan yang baik (the principles of good administration), sebuah prinsip-prinsip administrasi pemerintahan tak tertulis yang digunakan untuk mengukur sah/tidaknya maupun bijaksana/tidaknya tindakan administrasi pemerintahan.
            Dengan demikian, pernyataan Presiden Jokowi mengenai perlunya kecermatan penegak hukum dalam menilai diskresi pejabat pemerintah harus dijadikan sebagai momentum untuk menjadikan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik sebagai ruh dari pelaksanaan fungsi pemerintahan. Para pejabat administrasi pemerintah tak perlu cemas jika diskresi yang dilakukan sudah didasarkan atas filosofi diskresi dan memperhatikan prosedur dalam UU Administrasi Pemerintahan. Sebaliknya, penegak hukum juga sungguh-sungguh mengukur seluruh rangkaian tindakan administrasi pemerintah dengan memperhatikan filosofi, latar belakang, tujuan dan prosedur penggunaan diskresi tersebut untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat yang dilayani berdasarkan parameter prinsip-prinsip pemerintahan yang baik.
W. RIAWAN TJANDRA
Pengajar Hukum Administasi Negara
Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta




Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...