Pemidanaan Diskresi
Oleh: W. RIAWAN TJANDRA
Perintah Presiden Jokowi kepada
Kejaksaan dan Polri agar tidak memidanakan tindakan diskresi administrasi
pemerintah dalam rangka kebijakan dan terobosan yang didasarkan atas niat yang
baik (Tajuk Rencana Kompas, 21/7/2016) perlu dilihat sebagai sebuah refleksi
kritis terhadap dinamika penegakan hukum yang selama ini dilaksanakan. Dalam
berbagai sidang di Pengadilan Tipikor cukup sering muncul isu hukum seputar
batas antara diskresi dalam perspektif Hukum Administrasi Negara dan tindakan
melawan hukum berbentuk penyalahgunaan wewenang (abuse of power) yang dilakukan oleh pejabat administrasi
pemerintah.
Perdebatan yang sejatinya dalam
Hukum Administrasi Negara cukup klasik tersebut seharusnya telah terselesaikan
melalui klausul khusus mengenai diskresi yang diuraikan panjang lebar pada
Pasal 22 s/d 32 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Dalam
ketentuan-ketentuan tersebut pada intinya telah diatur konsiderasi, cakupan,
persyaratan, prosedur dan akibat hukum (legal
effect) penggunaan wewenang diskresi oleh pejabat administrasi pemerintah.
Dengan kata lain, UU Administrasi Pemerintahan berupaya untuk menjadi norma
hukum yang menjembatani kesenjangan hukum antara kebutuhan faktual-administratif penyelenggaraan
pemerintahan dan batas-batas normatif penggunaan wewenang administrasi
pemerintahan yang diikat dengan ketat oleh serangkaian norma hukum yang
tersebar dengan berbagai karakter baik perdata, administratif maupun pidana
dalam berbagai undang-undang sektoral yang mengikat tindakan hukum administrasi
negara bagi setiap pejabat administrasi pemerintah. Dari mekanisme pengadaan
barang/jasa sampai dengan penanganan bencana alam, terdapat berbagai norma
hukum yang harus diperhatikan sebelum pejabat pemerintah melakukan tindakan
faktual dalam rangka pelayanan publik maupun menetapkan Keputusan Administrasi
Pemerintah. Kelalaian maupun kesengajaan yang melanggar batas-batas penggunaan
wewenang baik mencakup substansi maupun prosedur yang diatur secara ketat dalam
berbagai undang-undang sektoral bisa menjadikan pejabat administrasi
pemerintahan pesakitan di meja pengadilan.
Filosofi diskresi sejatinya tak lain
dari esensi negara hukum itu sendiri. Diskresi merupakan konsekuensi dari
atribusi wewenang yang diberikan kepada pejabat administrasi pemerintah karena
dalam realitas penyelenggaraan fungsi pemerintah terdapat keterbatasan dari
undang-undang yang berimplikasi terjadinya norma hukum yang tak jelas maknanya,
kekosongan norma hukum, maupun terjadinya kesenjangan antara kaidah norma hukum
dan kebutuhan praktik pemerintahan. Disinilah prinsip negara hukum modern yang
menjadi pilar pemerintahan di berbagai negara hukum di Eropa (kontinental)
maupun negara-negara common law pada
umumnya memberikan toleransi untuk dilakukannya penemuan hukum oleh pejabat
administrasi pemerintah yang dikenal dengan sebutan diskresi. Diskresi
dimaksudkan untuk mengatasi terjadinya stagnasi pemerintahan dan mengefektifkan
pelaksanaan tanggung jawab pemerintah dalam melaksanakan pelayanan publik. Pada logika inilah sejatinya perintah
Presiden Jokowi di atas perlu diletakkan secara proporsional. Penggunaan
diskresi oleh pemerintah yang menjadi batas bagi jangkauan pemidanaan oleh
pengadilan sejatinya merupakan tolok ukur kualitas penerapan prinsip-prinsip
pembagian/pemisahan kekuasan negara (separation/distribution
of power) yang menjadi buah Revolusi Perancis sebagai tonggak sejarah
dimulainya era demokrasi konstitusional dan negara hukum.
Memang harus diakui pula bahwa karena
diskresi bisa berarti “menyimpang” dari rumusan norma tekstual suatu
undang-undang yang dinilai oleh pejabat administrasi pemerintahan tak sesuai
dengan kebutuhan praktik pemerintahan, potensi terjadinya tindakan
sewenang-wenang maupun penyalahgunaan wewenang oleh pejabat administrasi
pemerintah yang memiliki niat koruptif bisa saja terjadi. Oleh karena itulah,
terhadap motif penggunaan diskresi maupun perilaku penggunaan wewenang jabatan
bagi setiap pejabat administrasi pemerintah yang menggunakan diskresi bisa
dikontrol melalui asas-asas umum pemerintahan yang baik (the principles of good administration), sebuah prinsip-prinsip
administrasi pemerintahan tak tertulis yang digunakan untuk mengukur
sah/tidaknya maupun bijaksana/tidaknya tindakan administrasi pemerintahan.
Dengan demikian, pernyataan Presiden
Jokowi mengenai perlunya kecermatan penegak hukum dalam menilai diskresi
pejabat pemerintah harus dijadikan sebagai momentum untuk menjadikan
prinsip-prinsip pemerintahan yang baik sebagai ruh dari pelaksanaan fungsi
pemerintahan. Para pejabat administrasi pemerintah tak perlu cemas jika
diskresi yang dilakukan sudah didasarkan atas filosofi diskresi dan
memperhatikan prosedur dalam UU Administrasi Pemerintahan. Sebaliknya, penegak
hukum juga sungguh-sungguh mengukur seluruh rangkaian tindakan administrasi
pemerintah dengan memperhatikan filosofi, latar belakang, tujuan dan prosedur
penggunaan diskresi tersebut untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat yang dilayani
berdasarkan parameter prinsip-prinsip pemerintahan yang baik.
W. RIAWAN TJANDRA
Pengajar Hukum Administasi Negara
Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar