Minggu, 03 Mei 2020



Tragedi Hukum dalam Kasus Ruben dan Markus
Oleh:
Dr. W. Riawan Tjandra
Doktor Hukum Administrasi Negara, Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
            Sungguh sebuah ironi dan tragedi keadilan yang mahadahsyat ketika di negeri yang konstitusinya mengklaim dirinya sebagai sebuah negara hukum ini, untuk kesekian kalinya sistem peradilan pidana (criminal justrice system) di negeri ini nyaris mengeksekusi mati orang yang sebenarnya masih diragukan kualifikasi kesalahannya secara hakum sebagai pelaku intelektual (intelectuele dader) dalam kasus pembunuhan satu keluarga di Tana Toraja, Sulawesi. Ruben Pata Sambo (72) dan anaknya, Markus Pata divonis hukuman mati karena didakwa menjadi aktor intelektual dalam pembunuhan keluarga Andrias Pandin. Keempat pelaku pembunuhan sebenarnya, yaitu Agustinus Sambo (22), Yulianus Maraya (24), Juni (19), dan Petrus Ta'dan (17) yang berasal dari Jalan Ampera, Makale, Tana Toraja, telah membuat pernyataan tertulis bahwa merekalah pelaku pembunuhan keluarga Andrias Pandin yang sebenarnya. Mereka menuduh Ruben sebagai pelaku pembunuhan karena ada sentimen keluarga dan menurut mereka dalam pengakuan tertulisnya, pembunuhan yang mereka lakukan tidak ada sangkut pautnya dengan Ruben. Bagaimana mungkin kasus hukum yang sudah diproses dan diputus dalam tingkatan yang berlapis-lapis sejak dari penyidikan di kepolisian, penuntutan oleh kejaksaan negeri sampai proses peradilan tingkat pertama hingga di tingkat Mahkamah Agung (Kasasi) ternyata masih menyisakan celah ketidakpastian hukum mengenai persoalan status pelaku intelektual dalam kasus tersebut?
Ruben dan Markus divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Makale, Tana Toraja pada tahun 2006. Upaya banding hingga kasasi yang pernah dilakukan tidak membuahkan hasil. Pada tahun 2008,  upaya Peninjauan Kembali (PK) pernah diajukan ke Mahkamah Agung oleh Markus, namun PK tersebut ditolak oleh Hakim Agung Hatta Ali, Dirwoto dan Djafri Djamal. Alasannya, bukti yang diajukan bukanlah bukti baru (novum) dan sudah pernah digunakan pada persidangan di tingkat yang lebih rendah (PN dan PT). Namun anehnya, ada dua berkas kasus yang disidangkan dalam perkara  Agustinus, dkk dan berkas Ruben serta Markus dalam persidangan secara terpisah, namun menyangkut kasus pembunuhan terhadap korban yang sama.
Hingga saat ini, meski banyak pihak meyakini bahwa kesalahan Ruben masih diragukan sebagai pelaku intelektual, ia dan anaknya Markus masih mendekam di balik jeruji besi di tempat yang berbeda. Ruben berada di Lembaga Pemasyarakatan kelas I Lowokwaru, Malang, Jawa Timur, Sementara itu Markus, sang anak berada di LP Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Keduanya menunggu pelaksanaan eksekusi mati atas suatu dakwaan tindak pidana pembunuhan yang ternyata telah dimentahkan oleh pengakuan tertulis Agustinus, dkk sebagai pelaku pembunuhan yang sebenarnya. Ada apa lagi dengan sistem hukum di negeri ini, karena untuk kesekian kalinya terjadi kesalahan fatal dalam proses pemidanaan terhadap pelaku yang sebenarnya tak bersalah hingga telah divonis mati tanpa kesalahan yang patut untuk dijatuhkan atas diri mereka? Hal ini mengingatkan publik terhadap kasus Lingah, Pacah, dan Sumir beberapa tahun silam yang sudah terlanjur divonis dan menjalani hukuman pidana, ternyata di kemudian hari pelaku pembunuhan yang sebenarnya baru mengaku dan tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan ketiga terpidana tersebut.
            Mencermati kasus kriminalisasi Ruben dan Markus, kian membuktikan bahwa sistem penegakan hukum di negeri ini masih jauh dari idealitas yang dicanangkan dalam KUHAP, yaitu untuk menemukan kebenaran materiil. Seseorang yang divonis bersalah secara hukum, apalagi dengan vonis pidana mati, dalam standar peradilan pidana harus telah terbukti secara sah dan meyakinkan (beyond reasonable doubt) secara materiil memang telah melakukan tindak pidana yang dituduhkan kepadanya. Apa jadinya jika keempat pelaku pembunuhan yang sebenarnya tidak mengakui bahwa merekalah yang sebenarnya telah melakukan pembunuhan yang didakwakan kepada Ruben dan Markus?
            Proses pemidanaan yang dilakukan hingga berujung pada vonis bersalah kepada pelaku tindak pidana harus didasarkan atas bukti adanya perbuatan (actus rea) dan kesengajaan (mens rea) dalam validitas pembuktian yang tinggi untuk mencapai kebenaran sejati (ultimate truth) mengenai relasi antara perbuatan dan kesengajaan tersebut. Dalam membuktikan kesalahan seseorang, apalagi yang berujung pada penjatuhan pidana mati, proses pembuktiannya tidak boleh hanya didasarkan atas keterangan palsu/tidak berasosiasi satu sama lain (perjury) maupun bukti-bukti yang memiliki kelemahan hubungan antara satu bukti dengan bukti lainnya (weak association evidences). Kasus Ruben dan Markus sebenarnya telah berawal dari proses penyidikan di Kepolisian yang telah dilakukan dengan menimbulkan permasalahan hukum sebenarnya di kemudian hari karena adanya pengakuan dari terpidana mati dalam kasus yang sama yang disidangkan secara terpisah, yaitu Agustinus, dkk. Tentu hal ini seharusnya berujung pada penundaan eksekusi mati atas keduanya, sampai berdasarkan pemeriksaan yang sama atas dasar bukti-bukti baru berupa pengakuan dari Agustinus mengenai ketidakterlibatan Ruben dan Markus selaku pelaku intelektual sungguh-sungguh dibuktikan dalam pemeriksaan ulang kasus tersebut. Jika dimungkinkan dapat pula dilakukan eksaminasi publik untuk digunakan sebagai pembanding sehingga kasus yang sudah terlanjut mencuat di muka publik tersebut juga dapat diselesaikan dengan memberikan pemahaman terhadap publik mengenai masalah hukum yang sesungguhnya terjadi delapan tahun silam melalui eksaminasi publik.
            Sungguh mengherankan jika tiga tingkat peradilan dari proses peradilan tingkat pertama hingga kasasi dan PK dengan keharusan hakim yang berperan aktif (dominus litis) di setiap persidangan untuk menggali kebenaran materiil, ternyata gagal mencapai kebenaran yang sejati. Dalam rangka mewujudkan keadilan restoratif dan substantif, seharusnya MA tidak menutup pengajuan PK bagi terpidana mati Ruben dalam kasus tersebut, sembari secara institusional melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem peradilan di negeri ini. Pemeriksaan di tingkat PK untuk Ruben selanjutnya sekaligus juga bisa menjadi pintu masuk untuk meneliti kembali kasus Markus anaknya yang juga divonis mati dalam perkara yanga sama dan dimentahkan oleh pengakuan Agustinus, dkk. Jika vonisnya adalah hukuman mati seharusnya tingkat penyelidikan kasus tersebut menggunakan standar yang sangat tinggi akurasinya agar tidak mengeksekusi mati orang yang belum jelas secara materiil kesalahannya. Jika ada ungkapan yang menyatakan bahwa justice delayed justice denied: keadilan yang tertunda adalah ketidakadilan itu sendiri penting juga untuk diingatkan bahwa ada pula ungkapan yang lebih serius, yaitu peradilan yang salah adalah pertanda keroposnya sebuah negara hukum!

Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...