Tragedi Hukum dalam Kasus
Ruben dan Markus
Oleh:
Dr. W. Riawan Tjandra
Doktor Hukum Administrasi Negara, Pengajar pada FH
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Sungguh
sebuah ironi dan tragedi keadilan yang mahadahsyat ketika di negeri yang
konstitusinya mengklaim dirinya sebagai sebuah negara hukum ini, untuk kesekian
kalinya sistem peradilan pidana (criminal
justrice system) di negeri ini nyaris mengeksekusi mati orang yang sebenarnya
masih diragukan kualifikasi kesalahannya secara hakum sebagai pelaku intelektual
(intelectuele dader) dalam kasus
pembunuhan satu keluarga di Tana Toraja, Sulawesi. Ruben Pata Sambo (72) dan
anaknya, Markus Pata divonis hukuman mati karena didakwa menjadi aktor
intelektual dalam pembunuhan keluarga Andrias Pandin. Keempat pelaku pembunuhan
sebenarnya, yaitu Agustinus Sambo (22), Yulianus Maraya (24), Juni (19), dan
Petrus Ta'dan (17) yang berasal dari Jalan Ampera, Makale, Tana Toraja, telah
membuat pernyataan tertulis bahwa merekalah pelaku pembunuhan keluarga Andrias
Pandin yang sebenarnya. Mereka menuduh Ruben sebagai pelaku pembunuhan karena
ada sentimen keluarga dan menurut mereka dalam pengakuan tertulisnya,
pembunuhan yang mereka lakukan tidak ada sangkut pautnya dengan Ruben.
Bagaimana mungkin kasus hukum yang sudah diproses dan diputus dalam tingkatan
yang berlapis-lapis sejak dari penyidikan di kepolisian, penuntutan oleh
kejaksaan negeri sampai proses peradilan tingkat pertama hingga di tingkat
Mahkamah Agung (Kasasi) ternyata masih menyisakan celah ketidakpastian hukum
mengenai persoalan status pelaku intelektual dalam kasus tersebut?
Ruben
dan Markus divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Makale, Tana Toraja pada
tahun 2006. Upaya banding hingga kasasi yang pernah dilakukan tidak membuahkan
hasil. Pada tahun 2008, upaya Peninjauan
Kembali (PK) pernah diajukan ke Mahkamah Agung oleh Markus, namun PK tersebut
ditolak oleh Hakim Agung Hatta Ali, Dirwoto dan Djafri Djamal. Alasannya, bukti
yang diajukan bukanlah bukti baru (novum)
dan sudah pernah digunakan pada persidangan di tingkat yang lebih rendah (PN
dan PT). Namun anehnya, ada dua berkas kasus yang disidangkan dalam
perkara Agustinus, dkk dan berkas Ruben
serta Markus dalam persidangan secara terpisah, namun menyangkut kasus pembunuhan
terhadap korban yang sama.
Hingga
saat ini, meski banyak pihak meyakini bahwa kesalahan Ruben masih diragukan
sebagai pelaku intelektual, ia dan anaknya Markus masih mendekam di balik
jeruji besi di tempat yang berbeda. Ruben berada di Lembaga Pemasyarakatan
kelas I Lowokwaru, Malang, Jawa Timur, Sementara itu Markus, sang anak berada
di LP Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Keduanya menunggu pelaksanaan eksekusi mati
atas suatu dakwaan tindak pidana pembunuhan yang ternyata telah dimentahkan
oleh pengakuan tertulis Agustinus, dkk sebagai pelaku pembunuhan yang
sebenarnya. Ada apa lagi dengan sistem hukum di negeri ini, karena untuk
kesekian kalinya terjadi kesalahan fatal dalam proses pemidanaan terhadap
pelaku yang sebenarnya tak bersalah hingga telah divonis mati tanpa kesalahan
yang patut untuk dijatuhkan atas diri mereka? Hal ini mengingatkan publik
terhadap kasus Lingah, Pacah, dan Sumir beberapa tahun silam yang sudah
terlanjur divonis dan menjalani hukuman pidana, ternyata di kemudian hari
pelaku pembunuhan yang sebenarnya baru mengaku dan tidak ada sangkut pautnya sama
sekali dengan ketiga terpidana tersebut.
Mencermati kasus kriminalisasi Ruben dan Markus, kian
membuktikan bahwa sistem penegakan hukum di negeri ini masih jauh dari idealitas
yang dicanangkan dalam KUHAP, yaitu untuk menemukan kebenaran materiil.
Seseorang yang divonis bersalah secara hukum, apalagi dengan vonis pidana mati,
dalam standar peradilan pidana harus telah terbukti secara sah dan meyakinkan (beyond reasonable doubt) secara materiil
memang telah melakukan tindak pidana yang dituduhkan kepadanya. Apa jadinya
jika keempat pelaku pembunuhan yang sebenarnya tidak mengakui bahwa merekalah
yang sebenarnya telah melakukan pembunuhan yang didakwakan kepada Ruben dan
Markus?
Proses pemidanaan yang dilakukan hingga berujung pada
vonis bersalah kepada pelaku tindak pidana harus didasarkan atas bukti adanya
perbuatan (actus rea) dan kesengajaan
(mens rea) dalam validitas pembuktian
yang tinggi untuk mencapai kebenaran sejati (ultimate truth) mengenai relasi antara perbuatan dan kesengajaan
tersebut. Dalam membuktikan kesalahan seseorang, apalagi yang berujung pada
penjatuhan pidana mati, proses pembuktiannya tidak boleh hanya didasarkan atas
keterangan palsu/tidak berasosiasi satu sama lain (perjury) maupun bukti-bukti yang memiliki kelemahan hubungan antara
satu bukti dengan bukti lainnya (weak
association evidences). Kasus Ruben dan Markus sebenarnya telah berawal
dari proses penyidikan di Kepolisian yang telah dilakukan dengan menimbulkan
permasalahan hukum sebenarnya di kemudian hari karena adanya pengakuan dari
terpidana mati dalam kasus yang sama yang disidangkan secara terpisah, yaitu
Agustinus, dkk. Tentu hal ini seharusnya berujung pada penundaan eksekusi mati
atas keduanya, sampai berdasarkan pemeriksaan yang sama atas dasar bukti-bukti
baru berupa pengakuan dari Agustinus mengenai ketidakterlibatan Ruben dan
Markus selaku pelaku intelektual sungguh-sungguh dibuktikan dalam pemeriksaan
ulang kasus tersebut. Jika dimungkinkan dapat pula dilakukan eksaminasi publik
untuk digunakan sebagai pembanding sehingga kasus yang sudah terlanjut mencuat
di muka publik tersebut juga dapat diselesaikan dengan memberikan pemahaman
terhadap publik mengenai masalah hukum yang sesungguhnya terjadi delapan tahun
silam melalui eksaminasi publik.
Sungguh mengherankan jika tiga tingkat peradilan dari
proses peradilan tingkat pertama hingga kasasi dan PK dengan keharusan hakim
yang berperan aktif (dominus litis)
di setiap persidangan untuk menggali kebenaran materiil, ternyata gagal mencapai
kebenaran yang sejati. Dalam rangka mewujudkan keadilan restoratif dan
substantif, seharusnya MA tidak menutup pengajuan PK bagi terpidana mati Ruben dalam
kasus tersebut, sembari secara institusional melakukan evaluasi menyeluruh
terhadap sistem peradilan di negeri ini. Pemeriksaan di tingkat PK untuk Ruben
selanjutnya sekaligus juga bisa menjadi pintu masuk untuk meneliti kembali
kasus Markus anaknya yang juga divonis mati dalam perkara yanga sama dan
dimentahkan oleh pengakuan Agustinus, dkk. Jika vonisnya adalah hukuman mati
seharusnya tingkat penyelidikan kasus tersebut menggunakan standar yang sangat
tinggi akurasinya agar tidak mengeksekusi mati orang yang belum jelas secara
materiil kesalahannya. Jika ada ungkapan yang menyatakan bahwa justice delayed justice denied: keadilan
yang tertunda adalah ketidakadilan itu sendiri penting juga untuk diingatkan
bahwa ada pula ungkapan yang lebih serius, yaitu peradilan yang salah adalah
pertanda keroposnya sebuah negara hukum!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar