Di Balik Konsensus dan Disensus Politik UU Pilpres
Oleh:
Dr W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.
Bukan sesuatu yang mengejutkan di
ruang publik politis ketika Senayan memutuskan pembahasan perubahan UU Pilpres (UU
No. 42 Tahun 2008) dihentikan dan akan dilanjutkan dalam masa sidang
selanjutnya pasca lebaran. Pembahasan rencana perubahan RUU Pilpres tersebut
sebelumnya sempat diwarnai penolakan oleh 5 fraksi yang
menolak perubahan UU Pilpres, yakni Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai
Golkar, Fraksi PDIP, Fraksi PAN, dan Fraksi PKB.
Salah satu isu krusial
dalam rencana perubahan UU Pilpres yang berujung pada penolakan kelima fraksi
tersebut adalah persoalan presidential
threshold. Pada pasal 9 UU Pilpres disebutkan, pasangan capres dan cawapres
hanya bisa diajukan parpol dan gabungan parpol yang memiliki 20 persen kursi di
parlemen dan 25 persen suara nasional. Disensus dalam pembahasan persoalan presidential threshold telah menutup
konsensus di awal penyusunan prolegnas yang mengagendakan perubahan UU Pilpres.
Politik disensus terkait presidential treshold konon menyelubungi
kegelisahan partai-partai di senayan, khususnya beberapa partai besar terkait
beberapa hasil survey yang mengindikasikan menurunnya citra politik partai sebagai
dampak dari banyaknya para elite politiknya terjerat kasus-kasus korupsi
politik yang selama ini ditangani oleh KPK. Seharusnya, konsensus di awal
penyusunan prolegnas yang mengagendakan dilakukannya amandemen UU Pilpres bisa
dilanjutkan dengan konsensus terhadap pembahasan beberapa hal-hal krusial lain
dalam UU Pilpres yang tak kalah penting dari persoalan presidential treshold, seperti persoalan pembenahan mekanisme
pilpres, pengaturan rangkap jabatan presiden di wilayah publik (sebagai kepala
pemerintahan) dan di wilayah privat (sebagai elite parpol), masalah pembatasan
dan transparansi dana kampanye, persoalan capres alternatif dan sejenisnya.
Tak mungkin dielakkan
faktisitas sosiopolitik di negeri ini yang senantiasa mengandaikan perbedaan
dan keragaman yang pada akhirnya mengerucut pada persoalan pilihan penerapan
sistem multipartai. Faktisitas konstitutif politik di negeri inilah yang di
masa lalu telah menginspirasi para founding
fathers and mothers menerima Bhinneka Tunggal Ika sebagai sebuah semboyan
konstitusional Indonesia.
Regulasi partai, pemilu legislatif dan pilpres dalam
semangat konstitusi pascareformasi telah mengusung sistem multipartai yang kini
mewarnai senayan. Namun, hasrat dan relasi kuasa di bawah dominasi struktur
yang dilestarikan oleh sistem kuasa telah mendistorsi kesadaran para elite
parpol untuk tak lagi bersedia berkaca pada akseptibilitas publik yang
semestinya bisa dicerminkan dari semakin tingginya angka yang diraih dalam presidential thresold. Yang terjadi
justru sebaliknya, hitungan representativitas yang seharusnya tercermin dalam presidential thresold justru telah
digeser menjadi sebuah disensus sebagai agenda tersembunyi untuk tetap
mempertahankan politik transaksional. Akibatnya, rencana perubahan UU Pilpres
kini hanya menjadi isu politik pinggiran di tengah munculnya sejumlah nama yang
diunggulkan sebagai capres oleh beberapa lembaga survey.
Perubahan
UU Pilpres harus diletakkan dalam agenda besar untuk memperbaiki kualitas
sistem pilpres secara komprehensif sembari mengintegrasikan pengaturan mengenai
jabatan presiden pascaterpilih. Pengaturan mengenai kepresidenan seharusnya tak
boleh hanya direduksi hanya pada persoalan pilpresnya saja. Banyak amanat UUD
Negara RI 1945 terkait dengan kedudukan dan kewenangan jabatan presiden yang
seharusnya ditindaklanjuti pengaturannya dalam UU yang mengatur seputar
kepresidenan. Saat ini, penting untuk memulai memikirkan bahwa pengaturan
mengenai pilpres hanya merupakan sebagian dari kebutuhan untuk mengatur jabatan
kepresidenan secara menyeluruh mengingat karakter constitutionally importance jabatan RI -1 tersebut sebagai pucuk
pimpinan eksekutif sekaligus kepala negara. Hal ini untuk menegaskan bahwa Pilpres
bukanlah untuk memilih kucing politik dalam karung politik
*) Penulis adalah Pengajar Hukum Administrasi Negara
pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar