Minggu, 03 Mei 2020


Di Balik Konsensus dan Disensus Politik UU Pilpres

Oleh: Dr W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.
            Bukan sesuatu yang mengejutkan di ruang publik politis ketika Senayan memutuskan pembahasan perubahan UU Pilpres (UU No. 42 Tahun 2008) dihentikan dan akan dilanjutkan dalam masa sidang selanjutnya pasca lebaran. Pembahasan rencana perubahan RUU Pilpres tersebut sebelumnya sempat diwarnai penolakan oleh 5 fraksi yang menolak perubahan UU Pilpres, yakni Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Golkar, Fraksi PDIP, Fraksi PAN, dan Fraksi PKB.
            Salah satu isu krusial dalam rencana perubahan UU Pilpres yang berujung pada penolakan kelima fraksi tersebut adalah persoalan presidential threshold. Pada pasal 9 UU Pilpres disebutkan, pasangan capres dan cawapres hanya bisa diajukan parpol dan gabungan parpol yang memiliki 20 persen kursi di parlemen dan 25 persen suara nasional. Disensus dalam pembahasan persoalan presidential threshold telah menutup konsensus di awal penyusunan prolegnas yang mengagendakan perubahan UU Pilpres.
            Politik disensus terkait presidential treshold konon menyelubungi kegelisahan partai-partai di senayan, khususnya beberapa partai besar terkait beberapa hasil survey yang mengindikasikan menurunnya citra politik partai sebagai dampak dari banyaknya para elite politiknya terjerat kasus-kasus korupsi politik yang selama ini ditangani oleh KPK. Seharusnya, konsensus di awal penyusunan prolegnas yang mengagendakan dilakukannya amandemen UU Pilpres bisa dilanjutkan dengan konsensus terhadap pembahasan beberapa hal-hal krusial lain dalam UU Pilpres yang tak kalah penting dari persoalan presidential treshold, seperti persoalan pembenahan mekanisme pilpres, pengaturan rangkap jabatan presiden di wilayah publik (sebagai kepala pemerintahan) dan di wilayah privat (sebagai elite parpol), masalah pembatasan dan transparansi dana kampanye, persoalan capres alternatif dan sejenisnya.
            Tak mungkin dielakkan faktisitas sosiopolitik di negeri ini yang senantiasa mengandaikan perbedaan dan keragaman yang pada akhirnya mengerucut pada persoalan pilihan penerapan sistem multipartai. Faktisitas konstitutif politik di negeri inilah yang di masa lalu telah menginspirasi para founding fathers and mothers menerima Bhinneka Tunggal Ika sebagai sebuah semboyan konstitusional Indonesia.
Regulasi partai, pemilu legislatif dan pilpres dalam semangat konstitusi pascareformasi telah mengusung sistem multipartai yang kini mewarnai senayan. Namun, hasrat dan relasi kuasa di bawah dominasi struktur yang dilestarikan oleh sistem kuasa telah mendistorsi kesadaran para elite parpol untuk tak lagi bersedia berkaca pada akseptibilitas publik yang semestinya bisa dicerminkan dari semakin tingginya angka yang diraih dalam presidential thresold. Yang terjadi justru sebaliknya, hitungan representativitas yang seharusnya tercermin dalam presidential thresold justru telah digeser menjadi sebuah disensus sebagai agenda tersembunyi untuk tetap mempertahankan politik transaksional. Akibatnya, rencana perubahan UU Pilpres kini hanya menjadi isu politik pinggiran di tengah munculnya sejumlah nama yang diunggulkan sebagai capres oleh beberapa lembaga survey.
            Perubahan UU Pilpres harus diletakkan dalam agenda besar untuk memperbaiki kualitas sistem pilpres secara komprehensif sembari mengintegrasikan pengaturan mengenai jabatan presiden pascaterpilih. Pengaturan mengenai kepresidenan seharusnya tak boleh hanya direduksi hanya pada persoalan pilpresnya saja. Banyak amanat UUD Negara RI 1945 terkait dengan kedudukan dan kewenangan jabatan presiden yang seharusnya ditindaklanjuti pengaturannya dalam UU yang mengatur seputar kepresidenan. Saat ini, penting untuk memulai memikirkan bahwa pengaturan mengenai pilpres hanya merupakan sebagian dari kebutuhan untuk mengatur jabatan kepresidenan secara menyeluruh mengingat karakter constitutionally importance jabatan RI -1 tersebut sebagai pucuk pimpinan eksekutif sekaligus kepala negara. Hal ini untuk menegaskan bahwa Pilpres bukanlah untuk memilih kucing politik dalam karung politik
*) Penulis adalah Pengajar Hukum Administrasi Negara pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...