Melacak Hulu dan Hilir Korupsi
Oleh: W. Riawan Tjandra
Pengajar Hukum Kenegaraan pada FH
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Banyaknya oknum pejabat publik baik
di pemerintahan pusat maupun daerah yang tertangkap tangan melakukan korupsi
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan tragedi sekaligus ironi. Dari
berbagai kasus korupsi yang menjerat para oknum pejabat tersebut umumnya
terjadi dalam bentuk jual-beli jabatan alias suap dalam proses seleksi, promosi
dan mutasi; suap dalam pengadaan barang dan jasa; suap dalam perijinan/konsesi;
suap dalam mekanisme penganggaran, pengawasan dan legislasi di ranah DPR/D dan
alokasi anggaran pada program/kegiatan yang menimbulkan kerugian negara. Padahal, kini sudah menjadi kelaziman di
setiap tembok-tembok kantor pemerintah di pusat maupun daerah dipasang
tulisan/slogan: “stop pungli”, “kawasan bebas korupsi”, dan sejenisnya.
Sebenarnya, jika dilacak secara
jeli, korupsi yang terjadi sebagai akibat alokasi anggaran pada
program/kegiatan yang menimbulkan kerugian negara relatif semakin berkurang
jumlahnya dibandingkan korupsi yang bermuara pada “perdagangan” kewenangan
jabatan publik. Hal itu disebabkan semakin ketatnya sistem pengawasan internal,
fungsional maupun eksternal terhadap penggunaan keuangan negara/daerah. Dengan
demikian, dalam kondisi yang ada dalam sistem pengelolaan keuangan negara/daerah
saat ini, sangat naïf korupsi dilakukan pada titik pengalokasian anggaran
melalui sistem mark-up maupun mark-down, karena akan lebih cepat
terungkap melalui sistem pengawasan keuangan negara/daerah. Dalam beberapa
kasus, seperti dalam kasus korupsi KTP elektronik, praktik-praktik koruptif
sudah dimulai sejak saat proses penyusunan anggaran di DPR sampai pada saat
realisasi anggaran tersebut dalam tender pengadaan barang dan jasa. Dalam OTT
KPK terhadap beberapa oknum pejabat di Pemkab Bekasi yang diduga melibatkan
oknum pejabat/pegawai di salah satu perusahaan properti terbesar di Indonesia, praktik
koruptif terlihat terjadi karena oknum pejabat daerah memperdagangkan
kewenangan dalam berbagai skema perijinan yang diperlukan oleh pengembang
properti tersebut.
Berbagai kasus korupsi yang terjadi
memperlihatkan bahwa modus-modus korupsi yang terjadi tersebut di ranah
hilirnya terjadi dalam bentuk: penyuapan (bribery),
embezzlement (penipuan/pencurian
sumber dana publik), fraud
(manipulasi penggunaan kewenangan), exortion
(meminta uang melalui tekanan) dan favouritism
(penyalahgunaan kewenangan yang berujung privatisasi sumber daya publik). Baik
pemerintah maupun lembaga-lembaga penegak hukum (KPK, Kepolisian dan Kejaksaan)
kini semakin memperkuat skema kebijakan pencegahan terhadap terjadinya
kasus-kasus korupsi. Dibentuknya Tim Saber Pungli di lingkungan pemerintah misalnya,
merupakan salah satu terobosan untuk mencegah terjadinya berbagai praktik
pungli yang bisa meningkat secara kuantitatif maupun kualitatif menjadi suap
sebagai salah satu jenis tindak pidana korupsi. Pemerintah melalui Kemendagri
juga pernah melakukan pemetaan area-area rawan korupsi yang terdiri dari:hibah
dan bansos, pajak dan retribusi daerah, pengadaan barang dan jasa, kemudian
jual beli jabatan dan perjalanan dinas.
Jika mencermati berbagai
praktik-praktik korupsi yang terjadi tersebut dapat disimpulkan bahwa
faktor-faktor yang menjadi penyebab korupsi di ranah hulu-nya terletak pada
moralitas profesi dan integritas dalam mengemban jabatan-jabatan publik. Pintu
masuk terjadinya korupsi adalah penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) secara langsung maupun tak langsung. Penyalahgunaan
wewenang secara langsung dilakukan dalam bentuk manipulasi penganggaran dan
pengelolaan pengadaan barang dan jasa. Penyalahgunaan kewenangan secara tak
langsung dilakukan dengan cara memperdagangkan kewenangan dalam
perijinan/konsesi, pengawasan politik dan kebijakan penganggaran (DPR/D) maupun
sistem promosi dalam jabatan. Pada penyalahgunaan kewenangan secara tak langsung
tersebut jika tak terdeteksi, maka mekanisme penggunaan kewenangan yang
dilakukan tampak luarnya seakan-akan sepertinya sudah dilakukan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal inilah yang sering disebut
dengan administrative corruption.
Ditinjau dari sudut pemerintah, upaya pencegahan yang efektif dapat dipikirkan
dengan menggunakan sistem pencegahan yang tidak hanya bergerak semata-mata di
ranah alur formal aliran kewenangan dari politik-administratif (dari parlemen
ke eksekutif) maupun dari eksekutif-tekhnis birokrasi (dari pejabat politik di
eksekutif ke birokrasi di lingkungannya), namun, juga menggunakan sistem
pelacakan secara menyebar (spread control),
yaitu melakukan deteksi terjadinya potensi fraud dari dalam kekuasaan publik
kepada pihak-pihak non pemerintah maupun sebaliknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar