Minggu, 03 Mei 2020


Melacak Hulu dan Hilir Korupsi
Oleh: W. Riawan Tjandra
Pengajar Hukum Kenegaraan pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
            Banyaknya oknum pejabat publik baik di pemerintahan pusat maupun daerah yang tertangkap tangan melakukan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan tragedi sekaligus ironi. Dari berbagai kasus korupsi yang menjerat para oknum pejabat tersebut umumnya terjadi dalam bentuk jual-beli jabatan alias suap dalam proses seleksi, promosi dan mutasi; suap dalam pengadaan barang dan jasa; suap dalam perijinan/konsesi; suap dalam mekanisme penganggaran, pengawasan dan legislasi di ranah DPR/D dan alokasi anggaran pada program/kegiatan yang menimbulkan kerugian negara.  Padahal, kini sudah menjadi kelaziman di setiap tembok-tembok kantor pemerintah di pusat maupun daerah dipasang tulisan/slogan: “stop pungli”, “kawasan bebas korupsi”, dan sejenisnya.
            Sebenarnya, jika dilacak secara jeli, korupsi yang terjadi sebagai akibat alokasi anggaran pada program/kegiatan yang menimbulkan kerugian negara relatif semakin berkurang jumlahnya dibandingkan korupsi yang bermuara pada “perdagangan” kewenangan jabatan publik. Hal itu disebabkan semakin ketatnya sistem pengawasan internal, fungsional maupun eksternal terhadap penggunaan keuangan negara/daerah. Dengan demikian, dalam kondisi yang ada dalam sistem pengelolaan keuangan negara/daerah saat ini, sangat naïf korupsi dilakukan pada titik pengalokasian anggaran melalui sistem mark-up maupun mark-down, karena akan lebih cepat terungkap melalui sistem pengawasan keuangan negara/daerah. Dalam beberapa kasus, seperti dalam kasus korupsi KTP elektronik, praktik-praktik koruptif sudah dimulai sejak saat proses penyusunan anggaran di DPR sampai pada saat realisasi anggaran tersebut dalam tender pengadaan barang dan jasa. Dalam OTT KPK terhadap beberapa oknum pejabat di Pemkab Bekasi yang diduga melibatkan oknum pejabat/pegawai di salah satu perusahaan properti terbesar di Indonesia, praktik koruptif terlihat terjadi karena oknum pejabat daerah memperdagangkan kewenangan dalam berbagai skema perijinan yang diperlukan oleh pengembang properti tersebut.
            Berbagai kasus korupsi yang terjadi memperlihatkan bahwa modus-modus korupsi yang terjadi tersebut di ranah hilirnya terjadi dalam bentuk: penyuapan (bribery), embezzlement (penipuan/pencurian sumber dana publik), fraud (manipulasi penggunaan kewenangan), exortion (meminta uang melalui tekanan) dan favouritism (penyalahgunaan kewenangan yang berujung privatisasi sumber daya publik). Baik pemerintah maupun lembaga-lembaga penegak hukum (KPK, Kepolisian dan Kejaksaan) kini semakin memperkuat skema kebijakan pencegahan terhadap terjadinya kasus-kasus korupsi. Dibentuknya Tim Saber Pungli di lingkungan pemerintah misalnya, merupakan salah satu terobosan untuk mencegah terjadinya berbagai praktik pungli yang bisa meningkat secara kuantitatif maupun kualitatif menjadi suap sebagai salah satu jenis tindak pidana korupsi. Pemerintah melalui Kemendagri juga pernah melakukan pemetaan area-area rawan korupsi yang terdiri dari:hibah dan bansos, pajak dan retribusi daerah, pengadaan barang dan jasa, kemudian jual beli jabatan dan perjalanan dinas.
            Jika mencermati berbagai praktik-praktik korupsi yang terjadi tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang menjadi penyebab korupsi di ranah hulu-nya terletak pada moralitas profesi dan integritas dalam mengemban jabatan-jabatan publik. Pintu masuk terjadinya korupsi adalah penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) secara langsung maupun tak langsung. Penyalahgunaan wewenang secara langsung dilakukan dalam bentuk manipulasi penganggaran dan pengelolaan pengadaan barang dan jasa. Penyalahgunaan kewenangan secara tak langsung dilakukan dengan cara memperdagangkan kewenangan dalam perijinan/konsesi, pengawasan politik dan kebijakan penganggaran (DPR/D) maupun sistem promosi dalam jabatan. Pada penyalahgunaan kewenangan secara tak langsung tersebut jika tak terdeteksi, maka mekanisme penggunaan kewenangan yang dilakukan tampak luarnya seakan-akan sepertinya sudah dilakukan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal inilah yang sering disebut dengan administrative corruption. Ditinjau dari sudut pemerintah, upaya pencegahan yang efektif dapat dipikirkan dengan menggunakan sistem pencegahan yang tidak hanya bergerak semata-mata di ranah alur formal aliran kewenangan dari politik-administratif (dari parlemen ke eksekutif) maupun dari eksekutif-tekhnis birokrasi (dari pejabat politik di eksekutif ke birokrasi di lingkungannya), namun, juga menggunakan sistem pelacakan secara menyebar (spread control), yaitu melakukan deteksi terjadinya potensi fraud dari dalam kekuasaan publik kepada pihak-pihak non pemerintah maupun sebaliknya.

Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...