Pandangan
Aspek Kebijakan Peraturan dan Regulasi
Terkait
Penerimaan dan Pendapatan Daerah
Oleh:
Dr.
W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.
Ketua
Bagian Hukum Administrasi Negara
Fakultas
Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Pengantar
Kebijakan
yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan terkait penerimaan
dan pendapatan daerah bisa menjadi pendorong bagi pendapatan daerah namun jika
tak didesain dengan baik bisa juga justru menjadi faktor penghambat bagi
pendapatan daaerah. Dalam konteks tersebut terdapat 2(dua) variabel yang
penting diperhatikan. Pertama, aspek kebijakan yang dituangkan dalam bentuk
peraturan perundang-undangan. Dan kedua, penerimaan dan pendapatan daerah.
Variabel
pertama aspek kebijakan yang dituangkan dalam bentuk peraturan
perundang-undangan akan berkaitan dengan pemahaman dan perspektif kebijakan
publik yang salah satu manifestasinya dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
James E. Anderson memberikan pengertian
kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang
diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna
memecahkan suatu masalah tertentu.[1] James E. Anderson secara lebih
jelas menyatakan bahwa yang dimaksud kebijakan adalah kebijakan yang
dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah. Pengertian ini
menurutnya berimplikasi [2]:
1.
Kebijakan selalu mempunyai tujuan tertentu
atau merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan,
2.
Kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau
pola-pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah,
3.
Kebijakan merupakan apa yang benar-benar
dilakukan oleh pemerintah,
4.
Kebijakan bisa bersifat positif dalam arti
merupakan beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu
atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk
tidak melakukan sesuatu,
5.
Kebijakan, dalam arti positif, didasarkan pada
peraturan perundang-undangan dan bersifat memaksa (otoritatif).
Dalam
klasifikasi James Anderson, peraturan perundang-undangan sebagai salah satu
wujud kebijakan publik dikategorikan sebagai kebijakan dalam arti positif yang
bersifat memaksa (otoritatif). Peraturan perundang-undangan dalam pemikiran James
Anderson ditujukan untuk menyelesaikan masalah-masalah tertentu yang dihadapi
oleh masyarakat yang membutuhkan respons pemerintah.
Variabel kedua, penerimaan dan
pendapatan Daerah berkaitan dengan pengaturan pada peraturan perundang-undangan
dalam skala nasional mengenai hak daerah dan siklus pengelolaan keuangan daerah
serta desain peraturan perundang-undangan pada skala lokal. Penerimaan dan
pendapatan Daerah menentukan kapasitas daerah dalam mengelola urusan-urusan
publik dan menjadi indikator untuk mengukur tingkat kemandirian daerah.
Sehubungan dengan hal tersebut, selalu dicari berbagai strategi untuk
meningkatkan kemampuan daerah dalam mengelola penerimaan dan pendapatan daerah
serta meningkatkan kemandirian daerah.
Aspek
Kebijakan
Salah
satu definisi dari kebijakan publik oleh Thomas Dye memberikan perspektif yang
lebih luas untuk memahami pengertian kebijakan publik. Pengertian
kebijakan publik menurut Thomas Dye adalah segala sesuatu yang dikerjakan atau
tidak dikerjakan oleh pemerintah, mengapa suatu kebijakan harus dilakukan dan
apakah manfaat bagi kehidupan bersama harus menjadi pertimbangan yang holistik
agar kebijakan tersebut mengandung manfaat yang besar bagi warganya dan
berdampak kecil dan sebaliknya tidak menimbulkan persoalan yang merugin,
walaupun demikian pasti ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, disinilah
letakanya pemerintah harus bijaksana dalam menetapkan suatu kebijakan[3].
Berkaca pada pengertian tersebut, guna menganalisis kualitas dari produk hukum
dan implikasinya secara sosial perlu dicermati beberapa hal, yaitu:
konsiderasi; korelasi antara konsiderasi, Naskah Akademik (sebagai landasan
kebijakan) dan materi muatan yang diatur, dan dampak dari pengaturan
terhadap perilaku subyek, obyek,
kelembagaan, dan prosedur. Dalam
perspektif peraturan perundang-undangan guna mengukur manfaat dari sebuah
kebijakan sudah dikembangkan model Regulatory
Impact Assesment (RIA). Pada
dasarnya, RIA menyediakan ruang lingkup untuk mengeksplorasi alternatif
peraturan berbasis kinerja dan pasar serta alternatif non-peraturan. Selain
itu, RIA juga digunakan untuk memeriksa dan mengukur kemungkinan manfaat, biaya
dan dampak dari kebijakan.
Metode
RIA mencakup beberapa langkah sebagai berikut[4]:
1.
Identifikasi
dan analisis masalah terkait kebijakan. Langkah ini dilakukan agar semua pihak,
khususnya pengambil kebijakan, dapat melihat dengan jelas masalah apa
sebenarnya yang dihadapi dan hendak dipecahkan dengan kebijakan tersebut. Pada tahap ini, sangat penting untuk
membedakan antara masalah (problem) dengan gejala (symptom), karena yang hendak
dipecahkan adalah masalah, bukan gejalanya.
2.
Penetapan
tujuan. Setelah masalah teridentifikasi,
selanjutnya perlu ditetapkan apa sebenarnya tujuan kebijakan yang hendak
diambil. Tujuan ini menjadi satu
komponen yang sangat penting, karena ketika suatu saat dilakukan penilaian
terhadap efektivitas sebuah kebijakan, maka yang dimaksud dengan “efektivitas”
adalah apakah tujuan kebijakan tersebut tercapai ataukah tidak.
3.
Pengembangan
berbagai pilihan/alternatif kebijakan untuk mencapai tujuan. Setelah masalah yang hendak dipecahkan dan
tujuan kebijakan sudah jelas, langkah berikutnya adalah melihat pilihan apa
saja yang ada atau bisa diambil untuk memecahkan masalah tersebut. Dalam metode RIA, pilihan atau alternatif
pertama adalah “do nothing” atau tidak melakukan apa-apa, yang pada tahap
berikutnya akan dianggap sebagai kondisi awal (baseline) untuk dibandingkan
dengan berbagai opsi/pilihan yang ada. Pada tahap ini, penting
untuk melibatkan stakeholders dari berbagai latar belakang dan kepentingan guna
mendapatkan gambaran seluas-luasnya tentang opsi/pilihan apa saja yang
tersedia.
4.
Penilaian terhadap pilihan alternatif
kebijakan, baik dari sisi legalitas maupun biaya (cost) dan manfaat
(benefit)-nya. Setelah berbagai opsi/pilihan untuk memecahkan masalah
teridentifikasi, langkah berikutnya adalah melakukan seleksi terhadap berbagai
pilihan tersebut. Proses seleksi diawali dengan penilaian dari aspek legalitas,
karena setiap opsi/pilihan tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundangundangan yang berlaku. Untuk pilihan-pilihan yang tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dilakukan analisis terhadap
biaya (cost) dan manfaat (benefit) pada masing-masing pilihan.
Secara sederhana, “biaya” adalah hal-hal negatif atau merugikan suatu pihak
jika pilihan tersebut diambil, sedangkan “manfaat” adalah hal-hal positif atau
menguntungkan suatu pihak. Biaya atau manfaat dalam hal ini tidak selalu
diartikan “uang”. Oleh karena itu, dalam konteks identifikasi biaya dan manfaat
sebuah kebijakan, perlu dilakukan identifikasi tentang siapa saja yang terkena
dampak dan siapa saja yang mendapatkan manfaat akibat adanya suatu pilihan
kebijakan (termasuk kalau kebijakan yang diambil adalah tidak melakukan apa-apa
atau do nothing
5.
Pemilihan kebijakan terbaik. Analisis
Biaya-Manfaat kemudian dijadikan dasar untuk mengambil keputusan tentang
opsi/pilihan apa yang akan diambil. Opsi/pilihan yang diambil adalah yang
mempunyai manfaat bersih (net benefit),
yaitu jumlah semua manfaat dikurangi dengan jumlah semua biaya, terbesar.
6.
Penyusunan strategi implementasi.
Langkah ini diambil berdasarkan kesadaran bahwa sebuah kebijakan tidak bisa
berjalan secara otomatis setelah kebijakan tersebut ditetapkan atau diambil.
Dengan demikian, pemerintah dan pihak lain yang terkait tidak hanya tahu
mengenai apa yang akan dilakukan, tetapi juga bagaimana akan melakukannya.
7.
Partisipasi masyarakat di semua
proses. Semua tahapan tersebut di atas harus dilakukan dengan melibatkan
berbagai komponen yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung,
dengan kebijakan yang disusun. Komponen masyarakat yang mutlak harus didengar
suaranya adalah mereka yang akan menerima dampak adanya kebijakan tersebut (key stakeholder).
Cara
lain untuk menganalisis kualitas dari suatu produk hukum dapat pula
dipergunakan metode ROCCIPI yang
diperkenalkan oleh Robert R. Seidmann dan Nalin Abeyserkere. Teori ini
merupakan identifikasi tujuh faktor yang seringkali menimbulkan masalah yang
berkaitan dengan berlakunya suatu peraturan perundang-undangan. Ketujuh
kategori ini dapat digunakan untuk mendapatkan masukan tentang proposisi
penjelasan yang dapat diuji dan saling berkaitan, yang terdiri dari Rule (Peraturan), Opportunity (Kesempatan), Capacity
(Kemampuan), Communication (Komunikasi),
Interest (kepentingan), Process
(proses) dan Ideology (ideologi).
Kategori-kategori ROCCIPI ini dibagi kembali menjadi dua kelompok faktor
penyebab, yaitu Faktor Subjektif dan Faktor Objektif. Faktor subjektif
berkaitan dengan factor apa yang ada dalam benak para pelaku peran, yaitu
berupa kepentingan-kepentingan mereka (Interest) dan ideologi-ideologi yang
terdiri dari nilai-nilai dan sikap mereka (Ideology). Hal-hal ini merupakan apa
yang awalnya diidentifikasikan kebanyakan orang berdasarkan naluri sebagai
alasan dari perilaku masyarakat. Kemudian untuk kategori faktor objektif
terdiri dari Rule, Opportunity, Capacity,
Communication dan Process. Faktor objektif ini lebih
memusatkan perhatian pada faktor penyebab perilaku kelembagaan yang menghambat
fungsi pemerintahan.
Beberapa
indikator ROCCIPI itu dapat diuraikan sebagai berikut[5]:
1. Faktor Interest (kepentingan)
mengacu pada manfaat bagi pelaku peran. Kepentingan ini bisa terdiri atas
kepentingan ekonomi, kepentingan politik, dan kepentingan sosial budaya. 2. Faktor ideologi secara umum diartikan
sebagai kumpulan nilai yang dianut oleh suatu masyarakat untuk merasa,
berpikir, dam bertindak. Termasuk di dalamnya antara lain sikap mental,
pandangan tentang dunia, dan pemahaman keagamaan. Kadang-kadang ideologi juga
disamakan dengan budaya yang sangat luas cakupannya. 3. Faktor Rule (peraturan) adalah menyangkut
pemahaman hubungan antara patuh atau tidak patuhnya seseorang terhadap suatu
peraturan. Dalam hal ini harus dipertimbangkan bahwa seseorang itu tidak hanya
berhadapan dengan satu peraturan, namun oleh banyak peraturan yang ada
kemungkinan tidak jelas atau bisa ditafsirkan sesuka hati masing-masing orang.
4. Faktor Opportunity (kesempatan) menunjuk pada suatu kemungkinan sebuah
peraturan secara tegas melarang perilaku tertentu, namun jika terbuka
kesempatan untuk tidak mematuhinya maka orang dengan mudah melakukan perilaku
bermasalah. 5. Faktor Capacity
(kemampuan) adalah mempertimbangkan kondisi-kondisi yang berada dalam diri
orang yang menjadi subjek peraturan. Faktor ini menjadi pertimbangan untuk
menentukan bahwa sebuah peraturan tidak dapat memerintahkan seseorang untuk
melakukan sesuatu yang dia tidak mampu. 6. Faktor Communication (komunikasi) ini menyangkut langkah-langkah yang
memadai bagi para pihak yang berwenang untuk mengkomunikasikan
peraturan-peraturan yang ada kepada pihak yang dituju. 7.
Sedangkan Process (proses) menyangkut
kriteria dan prosedur apa saja yang menjadi pertimbangan para pelaku peran
memutuskan untuk mematuhi atau tidak mematuhi hukum. Dengan menggunakan metode analisis peraturan
perundang-undangan yang tepat dapat dikenali permasalahan yang dihadapi dan
solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan yang terjadi.
Aspek
Penerimaan dan Pendapatan Daerah
Penerimaan
dan pendapatan Daerah merupakan elemen dari pengelolaan keuangan daerah. Pasal 285
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur bahwa: (1) Sumber
pendapatan Daerah terdiri atas: a. pendapatan asli Daerah meliputi: 1. pajak
daerah; 2. retribusi daerah; 3. hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang
dipisahkan; dan 4. lain-lain pendapatan asli Daerah yang sah; b. pendapatan
transfer; dan c. lain-lain pendapatan Daerah yang sah; (2) Pendapatan transfer sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b meliputi: a. transfer Pemerintah Pusat terdiri atas: 1.
dana perimbangan; 2. dana otonomi khusus; 3. dana keistimewaan; dan 4. dana
Desa. b. transfer antar-Daerah terdiri atas: 1. pendapatan bagi hasil; dan 2.
bantuan keuangan. Berdasarkan pengaturan tersebut dapat disimpulkan bahwa
pertama, daerah diberikan kewenangan untuk mengelola pendapatan Daerah yang
terdiri dari a. pendapatan asli Daerah meliputi: 1. pajak daerah; 2. retribusi
daerah; 3. hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan 4. lain-lain
pendapatan asli Daerah yang sah. Namun, pendapatan daerah tidak hanya bersumber
dari keempat hal tersebut, tetapi juga berasal dari pendapatan transfer dan
lain-lain pendapatan Daerah yang sah. Kedua, jika mengacu pada ketentuan
sebelumnya, terdapat relasi yang bersifat vertikal antara Daerah dengan
Pemerintah Pusat sehubungan dengan keuangan daerah sebagaimana diatur pada
Pasal 279 ayat (1) dan (2) UU No. 23 Tahun 2014 , yang mengatur bahwa: (1) Pemerintah Pusat memiliki hubungan keuangan dengan
Daerah untuk membiayai penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang diserahkan
dan/atau ditugaskan kepada Daerah; Dan (2) Hubungan keuangan dalam
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pemberian sumber penerimaan Daerah berupa
pajak daerah dan retribusi daerah; b. pemberian dana bersumber dari perimbangan
keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah; c. pemberian dana penyelenggaraan
otonomi khusus untuk Pemerintahan Daerah tertentu yang ditetapkan dalam
undang-undang; dan d. pemberian pinjaman dan/atau hibah, dana darurat, dan
insentif (fiskal).
Di samping terdapat hubungan
vertikal antara Daerah dengan Pusat, juga terdapat hubungan horisontal antar
Daerah terkait dengan aspek keuangan daerah sebagaimana diatur pada Pasal 281
UU No. 23 Tahun 2014, yaitu: (1) Daerah
dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat
memiliki hubungan keuangan dengan Daerah yang lain; Dan (2) Hubungan keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. bagi hasil pajak dan nonpajak
antar-Daerah; b. pendanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah
yang menjadi tanggung jawab bersama sebagai konsekuensi dari kerja sama
antarDaerah; c. pinjaman dan/atau hibah antar-Daerah; d. bantuan keuangan
antar-Daerah; dan e. pelaksanaan dana otonomi khusus yang ditetapkan dalam
Undang-Undang.
Berkaitan
dengan keuangan daerah yang menjadi obyek dalam pengelolaan keuangan oleh
daerah, PP No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah mengatur
pengertian keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban Daerah dalam rangka
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang serta segala
bentuk kekayaan yang dapat dijadikan milik Daerah berhubung dengan hak dan
kewajiban Daerah tersebut (Pasal 1 angka 1). Selanjutnya, disebutkan pada Pasal
1 angka 2 PP No. 12 Tahun 2019 bahwa pengelolaan Keuangan Daerah meliputi
keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, penganggaran, pelaksanaan,
penatausahaan, pelaporan, pertanggungiawaban, dan pengawasan Keuangan Daerah.
Maka, jika dikaitkan dengan analisis sebelumya, upaya untuk mengevaluasi
kualitas peraturan perundang-undangan dalam mendukung penerimaan dan pendapatan
daerah harus dicermati dari siklus pengelolaan keuangan daerah tersebut yang
perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan,
pertanggungiawaban, dan pengawasan Keuangan Daerah.
Gambar
Sistem Perencanaan Pembangunan
Gambar
Siklus Rencana Kerja dan Anggaran
Sampai
dengan tahun 2016, rata-rata PAD berdasarkan provinsi hanya mampu mencapai
37,8% dari total pendapatan daerah masing-masing. Belum ada daerah yang
persentase PAD terhadap pendapatan daerahnya mencapai 70%. Daerah yang mencapai
persentase PAD-nya di atas 50% hanya sebanyak 8 daerah, sementara daerah yang
PAD-nya berada di bawah 30% tercatat 11 daerah. Bahkan terdapat 2 daerah yang
penerimaan PAD-nya di bawah 10%. Ini mengindikasikan bahwa sebagian besar
daerah belum memperlihatkan kemandiriannya dan masih sangat tergantung pada
bantuan dari pusat untuk membiayai segala kewajiban terkait dengan pembangunan
dan pemerintahan daerahnya masing-masing[6].
Tentu banyak faktor yang menjadi
penyebab rendahnya PAD. Nafsi Hartoyo (2017), misalnya, mencatat 7 penyebabnya
sebagai berikut. Pertama, kurangnya
kepekaan daerah dalam menemukan keunggulan budaya dan potensi asli daerah. Kedua, kepatuhan dan kesadaran wajib
pajak/retribusi yang relatif rendah. Ketiga,
lemahnya sistem hukum dan administrasi pendapatan daerah. Keempat, kelemahan kualitas SDM aparatur. Kelima, kekhawatiran birokrasi akan kegagalan dalam menjalankan
programnya. Keenam, ketidakoptimisan
akan hasil yang mungkin dicapai. Ketujuh,
sering kali pengeluaran biaya yang digunakan untuk menjalankan program
dinaikkan (mark up) sejak awal pada
setiap anggarannya. Padahal jika sejak awal penganggaran biaya program
diefektifkan sehemat mungkin, maka sisa yang ada dapat digunakan untuk
menjalankan program lainnya dalam peningkatan kualitas pelayanan publik.
Berbeda dengan uraian di atas, Jaya (1996) mengungkapkan penyebab utama
rendahnya PAD adalah sebagai berikut. Pertama,
kurang berperannya Perusahaan Daerah sebagai sumber pendapatan daerah. Kedua, tingginya derajat sentralisasi
dalam bidang perpajakan, karena semua jenis pajak utama yang paling produktif
baik pajak langsung maupun tidak langsung ditarik oleh pusat. Ketiga, kendati pajak daerah cukup
beragam, ternyata hanya sedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber penerimaan.
Keempat, alasan politis di mana
banyak orang khawatir apabila daerah mempunyai sumber keuangan yang tinggi akan
mendorong terjadinya disintegrasi dan separatisme. Kelima, kelemahan dalam pemberian subsidi pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah yang memberikan kewenangan yang lebih kecil kepada pemerintah
daerah untuk merencanakan pembangunan di daerahnya. Faktor-faktor penyebab rendahnya
PAD juga dikemukakan oleh Widayat Wahyu (1994). Menurut Widayat Wahyu (1994),
paling tidak terdapat 7 penyebabnya. Pertama,
banyak sumber pendapatan di kabupaten/kota yang besar, tetapi digali oleh
instansi yang lebih tinggi, misalnya, pajak kendaraan bermotor (PKB), dan pajak
bumi dan bangunan (PBB). Kedua,
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) belum banyak memberikan keuntungan kepada
Pemerintah Daerah. Ketiga, kurangnya
kesadaran masyarakat dalam membayar pajak, retribusi dan pungutan lainnya. Keempat, adanya kebocorankebocoran. Kelima, biaya pungut yang masih tinggi.
Keenam, banyak Peraturan Daerah yang
perlu disesuaikan dan disempurnakan.
Ketujuh, kemampuan masyarakat untuk membayar pajak yang masih rendah[7].
Analisis
terhadap produk peraturan perundang-undangan baik di skala nasional maupun
lokal dapat diarahkan untuk mengevaluasi apakah sungguh ada dampak dari
eksistensi peraturan perundang-undangan tersebut yang menjadi faktor penyebab
atau setidak-tidaknya turut menyumbang terhadap terjadinya pelemahan kemampuan
daerah untuk meningkatkan penerimaan daerah maupun pendapatan daerah?
Studi
Rajali di Kabupaten Aceh Tenggara[8]
menengarai bahwa PAD yang memberikan kontribusi paling besar dari tahun ke
tahun dibandingkan dengan komponen PAD lainnya adalah sektor retribusi daerah.
Sedangkan sektor yang paling kecil kontribusinya terhadap PAD adalah laba BUMD.
Namun demikian tingginya pendapatan sektor retribusi daerah dikarenakan sektor
ini mempunyai cakupan yang luas (misalnya retribusi sampah). Kondisi ini
sedikit berbeda pada sektor pajak, dimana ada standar atau kriteria dalam
menentukan wajib pajak. Maka, menurutnya upaya untuk meningkatkan PAD tetap
harus bertumpu pada sektor pajak daerah dengan melakukan perbaikan pada
pengelolaan dan sistem pemungutan pajak daerah.
Daerah
harus dapat membuat kebijakan sekaligus strategi yang tepat sesuai dengan
kondisi daerahnya masing-masing untuk dapat mengoptimalkan instrumen PAD yang
telah diatur oleh undang-undang. Selain pentingnya perencanaan dan pelaksanaan
dan Penatausahaan, diperlukan pula pelaporan, pertanggungjawaban dan
pengawasan. Untuk itu diperlukan komitmen yang kuat dari semua pihak untuk
menjalankan tahapan strategi pengelolaan PAD mulai dari intensifikasi dan
ekstensifikasi pada tahap perencanaan, koordinasi dan konsolidasi di
pelaksanaan serta optimalisasi pengawasan. Hal ini sejalan dengan anggaran
berbasis kinerja, pemerintah daerah perlu didorong untuk bekerja lebih efektif
dan efisien dalam mengelola penerimaan daerahnya melalui peningkatan pelayanan
dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik. Selain pentingnya perencanaan, pelaksanaan
dan Penatausahaan, diperlukan pula pelaporan, pertanggungjawaban dan
pengawasan. Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan komitmen yang kuat dari
semua pihak untuk menjalankan tahapan strategi pengelolaan PAD mulai dari
intensifikasi dan ekstensifikasi pada tahap perencanaan, koordinasi dan
konsolidasi di pelaksanaan serta optimalisasi pengawasan. Hal ini sejalan
dengan anggaran berbasis kinerja, pemerintah daerah perlu didorong untuk
bekerja lebih efektif dan efisien dalam mengelola penerimaan daerahnya melalui
peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik[9].
Kaki Merapi, Minggu Pon, 11 Agustus 2019
Dr. W, Riawan
Tjandra, S.H., M.Hum.
[1] James E. Anderson, Public Policy Making, (New York: Holt, Rinehart
and Winston, 1984), cet. ke-3, h. 12.
[2] Ibid.,
hal 12-13
[3]
Beberapa definisi yang lebih banyak bisa diakses di https://www.seputarpengetahuan.co.id/2017/12/pengertian-kebijakan-publik-menurut-para-ahli.html
[4] Emmy Suparmiatun, SH, MPM , dkk, Kajian
Ringkas Mengenai “Pengembangan dan Implementasi
Metode Regulatory Impact Analysis (RIA) Untuk Menilai Kebijakan
(Peraturan dan Non Peraturan) Di Kementerian PPN/BAPPENAS”, Biro Hukum
KementerianPPN/BAPPENAS, Jakarta, 2011.
[5]
Seidman, Ann, Seidman, Robert B. and Abeyserkeve, Nalin. 2001. Penyusunan
Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan Masyarakat Yang Demokratis, Sebuah
Panduan Untuk Pembuat Rancangan UndangUndang. Terjemahan oleh Usfunan, Johanes
et.al. Proyek ELIPS, Jakarta, hal. 117-121.
[6]
Carunia Mulya Firdausy (Ed), Kebijakan dan Strategi Peningkatan Pendapatan
Asli Daerah dalam Pembangunan Nasional, Yayasan Pustaka Obor Indonesia Jakarta,
2017, hal. 122 -123.
[7] Ibid.
[8]
Rajali, Strategi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi
Daerah, Jurnal Administrasi Publik ISSN:
2088-527x, hal. 237.
[9]
Op. Cit., hal. 128-129.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar