Minggu, 03 Mei 2020


Pandangan Aspek Kebijakan Peraturan dan Regulasi
Terkait Penerimaan dan Pendapatan Daerah
Oleh:
Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.
Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara
Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Pengantar
            Kebijakan yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan terkait penerimaan dan pendapatan daerah bisa menjadi pendorong bagi pendapatan daerah namun jika tak didesain dengan baik bisa juga justru menjadi faktor penghambat bagi pendapatan daaerah. Dalam konteks tersebut terdapat 2(dua) variabel yang penting diperhatikan. Pertama, aspek kebijakan yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Dan kedua, penerimaan dan pendapatan daerah.
            Variabel pertama aspek kebijakan yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan akan berkaitan dengan pemahaman dan perspektif kebijakan publik yang salah satu manifestasinya dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. James E. Anderson memberikan pengertian kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu.[1]  James E. Anderson secara lebih jelas menyatakan bahwa yang dimaksud kebijakan adalah kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah. Pengertian ini menurutnya  berimplikasi [2]:
1.                  Kebijakan selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan,
2.                  Kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah, 
3.                  Kebijakan merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah,   
4.                  Kebijakan bisa bersifat positif dalam arti merupakan beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu, 
5.                  Kebijakan, dalam arti positif, didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan bersifat memaksa (otoritatif).
Dalam klasifikasi James Anderson, peraturan perundang-undangan sebagai salah satu wujud kebijakan publik dikategorikan sebagai kebijakan dalam arti positif yang bersifat memaksa (otoritatif). Peraturan perundang-undangan dalam pemikiran James Anderson ditujukan untuk menyelesaikan masalah-masalah tertentu yang dihadapi oleh masyarakat yang membutuhkan respons pemerintah.
            Variabel kedua, penerimaan dan pendapatan Daerah berkaitan dengan pengaturan pada peraturan perundang-undangan dalam skala nasional mengenai hak daerah dan siklus pengelolaan keuangan daerah serta desain peraturan perundang-undangan pada skala lokal. Penerimaan dan pendapatan Daerah menentukan kapasitas daerah dalam mengelola urusan-urusan publik dan menjadi indikator untuk mengukur tingkat kemandirian daerah. Sehubungan dengan hal tersebut, selalu dicari berbagai strategi untuk meningkatkan kemampuan daerah dalam mengelola penerimaan dan pendapatan daerah serta meningkatkan kemandirian daerah.

Aspek Kebijakan 
            Salah satu definisi dari kebijakan publik oleh Thomas Dye memberikan perspektif yang lebih luas untuk memahami pengertian kebijakan publik. Pengertian kebijakan publik menurut Thomas Dye adalah segala sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah, mengapa suatu kebijakan harus dilakukan dan apakah manfaat bagi kehidupan bersama harus menjadi pertimbangan yang holistik agar kebijakan tersebut mengandung manfaat yang besar bagi warganya dan berdampak kecil dan sebaliknya tidak menimbulkan persoalan yang merugin, walaupun demikian pasti ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, disinilah letakanya pemerintah harus bijaksana dalam menetapkan suatu kebijakan[3]. Berkaca pada pengertian tersebut, guna menganalisis kualitas dari produk hukum dan implikasinya secara sosial perlu dicermati beberapa hal, yaitu: konsiderasi; korelasi antara konsiderasi, Naskah Akademik (sebagai landasan kebijakan) dan materi muatan yang diatur, dan dampak dari pengaturan terhadap  perilaku subyek, obyek, kelembagaan,  dan prosedur. Dalam perspektif peraturan perundang-undangan guna mengukur manfaat dari sebuah kebijakan sudah dikembangkan model Regulatory Impact Assesment (RIA). Pada dasarnya, RIA menyediakan ruang lingkup untuk mengeksplorasi alternatif peraturan berbasis kinerja dan pasar serta alternatif non-peraturan. Selain itu, RIA juga digunakan untuk memeriksa dan mengukur kemungkinan manfaat, biaya dan dampak dari kebijakan.
            Metode RIA mencakup beberapa langkah sebagai berikut[4]:
1.      Identifikasi dan analisis masalah terkait kebijakan. Langkah ini dilakukan agar semua pihak, khususnya pengambil kebijakan, dapat melihat dengan jelas masalah apa sebenarnya yang dihadapi dan hendak dipecahkan dengan kebijakan tersebut.  Pada tahap ini, sangat penting untuk membedakan antara masalah (problem) dengan gejala (symptom), karena yang hendak dipecahkan adalah masalah, bukan gejalanya.
2.      Penetapan tujuan.  Setelah masalah teridentifikasi, selanjutnya perlu ditetapkan apa sebenarnya tujuan kebijakan yang hendak diambil.  Tujuan ini menjadi satu komponen yang sangat penting, karena ketika suatu saat dilakukan penilaian terhadap efektivitas sebuah kebijakan, maka yang dimaksud dengan “efektivitas” adalah apakah tujuan kebijakan tersebut tercapai ataukah tidak.
3.      Pengembangan berbagai pilihan/alternatif kebijakan untuk mencapai tujuan.  Setelah masalah yang hendak dipecahkan dan tujuan kebijakan sudah jelas, langkah berikutnya adalah melihat pilihan apa saja yang ada atau bisa diambil untuk memecahkan masalah tersebut.  Dalam metode RIA, pilihan atau alternatif pertama adalah “do nothing” atau tidak melakukan apa-apa, yang pada tahap berikutnya akan dianggap sebagai kondisi awal (baseline) untuk dibandingkan dengan berbagai opsi/pilihan yang ada. Pada tahap ini, penting untuk melibatkan stakeholders dari berbagai latar belakang dan kepentingan guna mendapatkan gambaran seluas-luasnya tentang opsi/pilihan apa saja yang tersedia.
4.      Penilaian terhadap pilihan alternatif kebijakan, baik dari sisi legalitas maupun biaya (cost) dan manfaat (benefit)-nya. Setelah berbagai opsi/pilihan untuk memecahkan masalah teridentifikasi, langkah berikutnya adalah melakukan seleksi terhadap berbagai pilihan tersebut. Proses seleksi diawali dengan penilaian dari aspek legalitas, karena setiap opsi/pilihan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Untuk pilihan-pilihan yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dilakukan analisis terhadap biaya (cost) dan manfaat (benefit) pada masing-masing pilihan. Secara sederhana, “biaya” adalah hal-hal negatif atau merugikan suatu pihak jika pilihan tersebut diambil, sedangkan “manfaat” adalah hal-hal positif atau menguntungkan suatu pihak. Biaya atau manfaat dalam hal ini tidak selalu diartikan “uang”. Oleh karena itu, dalam konteks identifikasi biaya dan manfaat sebuah kebijakan, perlu dilakukan identifikasi tentang siapa saja yang terkena dampak dan siapa saja yang mendapatkan manfaat akibat adanya suatu pilihan kebijakan (termasuk kalau kebijakan yang diambil adalah tidak melakukan apa-apa atau do nothing
5.      Pemilihan kebijakan terbaik. Analisis Biaya-Manfaat kemudian dijadikan dasar untuk mengambil keputusan tentang opsi/pilihan apa yang akan diambil. Opsi/pilihan yang diambil adalah yang mempunyai manfaat bersih (net benefit), yaitu jumlah semua manfaat dikurangi dengan jumlah semua biaya, terbesar.
6.      Penyusunan strategi implementasi. Langkah ini diambil berdasarkan kesadaran bahwa sebuah kebijakan tidak bisa berjalan secara otomatis setelah kebijakan tersebut ditetapkan atau diambil. Dengan demikian, pemerintah dan pihak lain yang terkait tidak hanya tahu mengenai apa yang akan dilakukan, tetapi juga bagaimana akan melakukannya.
7.      Partisipasi masyarakat di semua proses. Semua tahapan tersebut di atas harus dilakukan dengan melibatkan berbagai komponen yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan kebijakan yang disusun. Komponen masyarakat yang mutlak harus didengar suaranya adalah mereka yang akan menerima dampak adanya kebijakan tersebut (key stakeholder).

            Cara lain untuk menganalisis kualitas dari suatu produk hukum dapat pula dipergunakan metode ROCCIPI  yang diperkenalkan oleh Robert R. Seidmann dan Nalin Abeyserkere. Teori ini merupakan identifikasi tujuh faktor yang seringkali menimbulkan masalah yang berkaitan dengan berlakunya suatu peraturan perundang-undangan. Ketujuh kategori ini dapat digunakan untuk mendapatkan masukan tentang proposisi penjelasan yang dapat diuji dan saling berkaitan, yang terdiri dari Rule (Peraturan), Opportunity (Kesempatan), Capacity (Kemampuan), Communication (Komunikasi), Interest (kepentingan), Process (proses) dan Ideology (ideologi). Kategori-kategori ROCCIPI ini dibagi kembali menjadi dua kelompok faktor penyebab, yaitu Faktor Subjektif dan Faktor Objektif. Faktor subjektif berkaitan dengan factor apa yang ada dalam benak para pelaku peran, yaitu berupa kepentingan-kepentingan mereka (Interest) dan ideologi-ideologi yang terdiri dari nilai-nilai dan sikap mereka (Ideology). Hal-hal ini merupakan apa yang awalnya diidentifikasikan kebanyakan orang berdasarkan naluri sebagai alasan dari perilaku masyarakat. Kemudian untuk kategori faktor objektif terdiri dari Rule, Opportunity, Capacity, Communication dan Process. Faktor objektif ini lebih memusatkan perhatian pada faktor penyebab perilaku kelembagaan yang menghambat fungsi pemerintahan.
            Beberapa indikator ROCCIPI itu dapat diuraikan sebagai berikut[5]: 1. Faktor Interest (kepentingan) mengacu pada manfaat bagi pelaku peran. Kepentingan ini bisa terdiri atas kepentingan ekonomi, kepentingan politik, dan kepentingan sosial budaya.  2. Faktor ideologi secara umum diartikan sebagai kumpulan nilai yang dianut oleh suatu masyarakat untuk merasa, berpikir, dam bertindak. Termasuk di dalamnya antara lain sikap mental, pandangan tentang dunia, dan pemahaman keagamaan. Kadang-kadang ideologi juga disamakan dengan budaya yang sangat luas cakupannya. 3. Faktor Rule (peraturan) adalah menyangkut pemahaman hubungan antara patuh atau tidak patuhnya seseorang terhadap suatu peraturan. Dalam hal ini harus dipertimbangkan bahwa seseorang itu tidak hanya berhadapan dengan satu peraturan, namun oleh banyak peraturan yang ada kemungkinan tidak jelas atau bisa ditafsirkan sesuka hati masing-masing orang. 4.  Faktor Opportunity (kesempatan) menunjuk pada suatu kemungkinan sebuah peraturan secara tegas melarang perilaku tertentu, namun jika terbuka kesempatan untuk tidak mematuhinya maka orang dengan mudah melakukan perilaku bermasalah.  5. Faktor Capacity (kemampuan) adalah mempertimbangkan kondisi-kondisi yang berada dalam diri orang yang menjadi subjek peraturan. Faktor ini menjadi pertimbangan untuk menentukan bahwa sebuah peraturan tidak dapat memerintahkan seseorang untuk melakukan sesuatu yang dia tidak mampu. 6. Faktor Communication (komunikasi) ini menyangkut langkah-langkah yang memadai bagi para pihak yang berwenang untuk mengkomunikasikan peraturan-peraturan yang ada kepada pihak yang dituju. 7. Sedangkan Process (proses) menyangkut kriteria dan prosedur apa saja yang menjadi pertimbangan para pelaku peran memutuskan untuk mematuhi atau tidak mematuhi hukum.  Dengan menggunakan metode analisis peraturan perundang-undangan yang tepat dapat dikenali permasalahan yang dihadapi dan solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan yang terjadi.

Aspek Penerimaan dan Pendapatan Daerah
            Penerimaan dan pendapatan Daerah merupakan elemen dari pengelolaan keuangan daerah. Pasal 285 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur bahwa:  (1) Sumber pendapatan Daerah terdiri atas: a. pendapatan asli Daerah meliputi: 1. pajak daerah; 2. retribusi daerah; 3. hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan 4. lain-lain pendapatan asli Daerah yang sah; b. pendapatan transfer; dan c. lain-lain pendapatan Daerah yang sah;  (2) Pendapatan transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. transfer Pemerintah Pusat terdiri atas: 1. dana perimbangan; 2. dana otonomi khusus; 3. dana keistimewaan; dan 4. dana Desa. b. transfer antar-Daerah terdiri atas: 1. pendapatan bagi hasil; dan 2. bantuan keuangan. Berdasarkan pengaturan tersebut dapat disimpulkan bahwa pertama, daerah diberikan kewenangan untuk mengelola pendapatan Daerah yang terdiri dari a. pendapatan asli Daerah meliputi: 1. pajak daerah; 2. retribusi daerah; 3. hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan 4. lain-lain pendapatan asli Daerah yang sah. Namun, pendapatan daerah tidak hanya bersumber dari keempat hal tersebut, tetapi juga berasal dari pendapatan transfer dan lain-lain pendapatan Daerah yang sah. Kedua, jika mengacu pada ketentuan sebelumnya, terdapat relasi yang bersifat vertikal antara Daerah dengan Pemerintah Pusat sehubungan dengan keuangan daerah sebagaimana diatur pada Pasal 279 ayat (1) dan (2) UU No. 23 Tahun 2014 , yang mengatur bahwa: (1) Pemerintah Pusat memiliki hubungan keuangan dengan Daerah untuk membiayai penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang diserahkan dan/atau ditugaskan kepada Daerah; Dan (2) Hubungan keuangan dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pemberian sumber penerimaan Daerah berupa pajak daerah dan retribusi daerah; b. pemberian dana bersumber dari perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah; c. pemberian dana penyelenggaraan otonomi khusus untuk Pemerintahan Daerah tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang; dan d. pemberian pinjaman dan/atau hibah, dana darurat, dan insentif (fiskal).
            Di samping terdapat hubungan vertikal antara Daerah dengan Pusat, juga terdapat hubungan horisontal antar Daerah terkait dengan aspek keuangan daerah sebagaimana diatur pada Pasal 281 UU No. 23 Tahun 2014, yaitu: (1) Daerah dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat memiliki hubungan keuangan dengan Daerah yang lain; Dan (2) Hubungan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. bagi hasil pajak dan nonpajak antar-Daerah; b. pendanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah yang menjadi tanggung jawab bersama sebagai konsekuensi dari kerja sama antarDaerah; c. pinjaman dan/atau hibah antar-Daerah; d. bantuan keuangan antar-Daerah; dan e. pelaksanaan dana otonomi khusus yang ditetapkan dalam Undang-Undang.
            Berkaitan dengan keuangan daerah yang menjadi obyek dalam pengelolaan keuangan oleh daerah, PP No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah mengatur pengertian keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban Daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang serta segala bentuk kekayaan yang dapat dijadikan milik Daerah berhubung dengan hak dan kewajiban Daerah tersebut (Pasal 1 angka 1). Selanjutnya, disebutkan pada Pasal 1 angka 2 PP No. 12 Tahun 2019 bahwa pengelolaan Keuangan Daerah meliputi keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungiawaban, dan pengawasan Keuangan Daerah. Maka, jika dikaitkan dengan analisis sebelumya, upaya untuk mengevaluasi kualitas peraturan perundang-undangan dalam mendukung penerimaan dan pendapatan daerah harus dicermati dari siklus pengelolaan keuangan daerah tersebut yang perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungiawaban, dan pengawasan Keuangan Daerah. 
Gambar Sistem Perencanaan Pembangunan








Gambar Siklus Rencana Kerja dan Anggaran



            Sampai dengan tahun 2016, rata-rata PAD berdasarkan provinsi hanya mampu mencapai 37,8% dari total pendapatan daerah masing-masing. Belum ada daerah yang persentase PAD terhadap pendapatan daerahnya mencapai 70%. Daerah yang mencapai persentase PAD-nya di atas 50% hanya sebanyak 8 daerah, sementara daerah yang PAD-nya berada di bawah 30% tercatat 11 daerah. Bahkan terdapat 2 daerah yang penerimaan PAD-nya di bawah 10%. Ini mengindikasikan bahwa sebagian besar daerah belum memperlihatkan kemandiriannya dan masih sangat tergantung pada bantuan dari pusat untuk membiayai segala kewajiban terkait dengan pembangunan dan pemerintahan daerahnya masing-masing[6].
Tentu banyak faktor yang menjadi penyebab rendahnya PAD. Nafsi Hartoyo (2017), misalnya, mencatat 7 penyebabnya sebagai berikut. Pertama, kurangnya kepekaan daerah dalam menemukan keunggulan budaya dan potensi asli daerah. Kedua, kepatuhan dan kesadaran wajib pajak/retribusi yang relatif rendah. Ketiga, lemahnya sistem hukum dan administrasi pendapatan daerah. Keempat, kelemahan kualitas SDM aparatur. Kelima, kekhawatiran birokrasi akan kegagalan dalam menjalankan programnya. Keenam, ketidakoptimisan akan hasil yang mungkin dicapai. Ketujuh, sering kali pengeluaran biaya yang digunakan untuk menjalankan program dinaikkan (mark up) sejak awal pada setiap anggarannya. Padahal jika sejak awal penganggaran biaya program diefektifkan sehemat mungkin, maka sisa yang ada dapat digunakan untuk menjalankan program lainnya dalam peningkatan kualitas pelayanan publik. Berbeda dengan uraian di atas, Jaya (1996) mengungkapkan penyebab utama rendahnya PAD adalah sebagai berikut. Pertama, kurang berperannya Perusahaan Daerah sebagai sumber pendapatan daerah. Kedua, tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan, karena semua jenis pajak utama yang paling produktif baik pajak langsung maupun tidak langsung ditarik oleh pusat. Ketiga, kendati pajak daerah cukup beragam, ternyata hanya sedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber penerimaan. Keempat, alasan politis di mana banyak orang khawatir apabila daerah mempunyai sumber keuangan yang tinggi akan mendorong terjadinya disintegrasi dan separatisme. Kelima, kelemahan dalam pemberian subsidi pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang memberikan kewenangan yang lebih kecil kepada pemerintah daerah untuk merencanakan pembangunan di daerahnya. Faktor-faktor penyebab rendahnya PAD juga dikemukakan oleh Widayat Wahyu (1994). Menurut Widayat Wahyu (1994), paling tidak terdapat 7 penyebabnya. Pertama, banyak sumber pendapatan di kabupaten/kota yang besar, tetapi digali oleh instansi yang lebih tinggi, misalnya, pajak kendaraan bermotor (PKB), dan pajak bumi dan bangunan (PBB). Kedua, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) belum banyak memberikan keuntungan kepada Pemerintah Daerah. Ketiga, kurangnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak, retribusi dan pungutan lainnya. Keempat, adanya kebocorankebocoran. Kelima, biaya pungut yang masih tinggi. Keenam, banyak Peraturan Daerah yang perlu disesuaikan dan disempurnakan. Ketujuh, kemampuan masyarakat untuk membayar pajak yang masih rendah[7].
            Analisis terhadap produk peraturan perundang-undangan baik di skala nasional maupun lokal dapat diarahkan untuk mengevaluasi apakah sungguh ada dampak dari eksistensi peraturan perundang-undangan tersebut yang menjadi faktor penyebab atau setidak-tidaknya turut menyumbang terhadap terjadinya pelemahan kemampuan daerah untuk meningkatkan penerimaan daerah maupun pendapatan daerah?
            Studi Rajali di Kabupaten Aceh Tenggara[8] menengarai bahwa PAD yang memberikan kontribusi paling besar dari tahun ke tahun dibandingkan dengan komponen PAD lainnya adalah sektor retribusi daerah. Sedangkan sektor yang paling kecil kontribusinya terhadap PAD adalah laba BUMD. Namun demikian tingginya pendapatan sektor retribusi daerah dikarenakan sektor ini mempunyai cakupan yang luas (misalnya retribusi sampah). Kondisi ini sedikit berbeda pada sektor pajak, dimana ada standar atau kriteria dalam menentukan wajib pajak. Maka, menurutnya upaya untuk meningkatkan PAD tetap harus bertumpu pada sektor pajak daerah dengan melakukan perbaikan pada pengelolaan dan sistem pemungutan pajak daerah.
 Daerah harus dapat membuat kebijakan sekaligus strategi yang tepat sesuai dengan kondisi daerahnya masing-masing untuk dapat mengoptimalkan instrumen PAD yang telah diatur oleh undang-undang. Selain pentingnya perencanaan dan pelaksanaan dan Penatausahaan, diperlukan pula pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan. Untuk itu diperlukan komitmen yang kuat dari semua pihak untuk menjalankan tahapan strategi pengelolaan PAD mulai dari intensifikasi dan ekstensifikasi pada tahap perencanaan, koordinasi dan konsolidasi di pelaksanaan serta optimalisasi pengawasan. Hal ini sejalan dengan anggaran berbasis kinerja, pemerintah daerah perlu didorong untuk bekerja lebih efektif dan efisien dalam mengelola penerimaan daerahnya melalui peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik. Selain pentingnya perencanaan, pelaksanaan dan Penatausahaan, diperlukan pula pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan. Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan komitmen yang kuat dari semua pihak untuk menjalankan tahapan strategi pengelolaan PAD mulai dari intensifikasi dan ekstensifikasi pada tahap perencanaan, koordinasi dan konsolidasi di pelaksanaan serta optimalisasi pengawasan. Hal ini sejalan dengan anggaran berbasis kinerja, pemerintah daerah perlu didorong untuk bekerja lebih efektif dan efisien dalam mengelola penerimaan daerahnya melalui peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik[9].

Kaki Merapi, Minggu Pon, 11 Agustus 2019

Dr. W, Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.



[1] James E. Anderson, Public Policy Making, (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1984), cet. ke-3, h. 12.
[2] Ibid., hal 12-13
[4]  Emmy Suparmiatun, SH, MPM , dkk, Kajian Ringkas Mengenai “Pengembangan dan Implementasi  Metode Regulatory Impact Analysis (RIA) Untuk Menilai Kebijakan (Peraturan dan Non Peraturan) Di Kementerian PPN/BAPPENAS”, Biro Hukum KementerianPPN/BAPPENAS,  Jakarta, 2011.
[5] Seidman, Ann, Seidman, Robert B. and Abeyserkeve, Nalin. 2001. Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan Masyarakat Yang Demokratis, Sebuah Panduan Untuk Pembuat Rancangan UndangUndang. Terjemahan oleh Usfunan, Johanes et.al. Proyek ELIPS, Jakarta, hal. 117-121.
[6] Carunia Mulya Firdausy (Ed),  Kebijakan dan Strategi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah dalam Pembangunan Nasional, Yayasan Pustaka Obor Indonesia Jakarta, 2017, hal. 122 -123.

[7] Ibid.
[8] Rajali, Strategi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah  (PAD) Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah, Jurnal Administrasi Publik  ISSN: 2088-527x, hal. 237.
[9] Op. Cit., hal. 128-129.

Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...