Jumat, 08 Mei 2020


Kebijakan Tax Amnesty
Oleh: Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum
Pengajar Hukum Administrasi Negara FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta

1.                  Perspektif UU Tax Amnesty

Pada tanggal 1 Juli 2016 telah  disahkan da mulai diberlakukan Undang-Undang  No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak atau yang lebih dikenal sebagai  UU Tax Amnesty  oleh DPR RI melalui Rapat Paripurna pada hari Selasa (28/6).  

Pengampunan Pajak secara umum bertujuan untuk: a. Meningkatkan penerimaan pajak dalam jangka pendek; b. Meningkatkan kepatuhan pajak di masa yang akan datang; c. Meningkatkan basis pemajakan (subjek dan objek); d. Transisi ke sistem perpajakan yang baru yang lebih kuat dan adil; e. Mewujudkan Rekonsiliasi perpajakan nasional. Atas pengampunan tersebut terjadi pertentangan pendapat antara kelompok yang mendukung maupun yang menentang metode alternatif peningkatan penerimaan pajak ini, yaitu sebagai berikut: Kelompok yang mendukung berargumen antara lain karena Pengampunan Pajak dapat memberikan dampak sebagai berikut: a. Peningkatan penerimaan pajak yang signifikan; b. Mendorongkepatuhan Wajib Pajak; c. Menambah informasi mengenai daftar kekayaan Wajib Pajak. Sedangkan kelompok yang menentang mengajukan argumen bahwa sisi lain dari pemberian Pengampunan Pajak adalah timbulnya: a. Ketidakadilan (inequity) bagi Wajib Pajak patuh (honest taxpayers); b. Risiko moral hazard Wajib Pajak untuk memanfaatkan Pengampunan; c. Potensi pajak yang hilang.
Pengampunan Pajak dilaksanakan berdasarkan asas: a. kepastian hukum; b. keadilan; c. kemanfaatan; dan d. kepentingan nasional. UU menegaskan bahwa Pengampunan Pajak bertujuan untuk: a. mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan Harta, yang antara lain akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar Rupiah, penurunan suku bunga, dan peningkatan investasi; b. mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan serta perluasan basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi; dan c. meningkatkan penerimaan pajak, yang antara lain akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan.
Pengampunan Pajak bukanlah suatu kebijakan yang tidak memiliki justifikasi. Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pajak pernah melaksanakan kebijakan Pengampunan Pajak yaitu pada tahun 1964, 1984, serta 2008 (bernama Sunset Policy). Adapun sejarah pelaksanaan kebijakan Pengampunan Pajak dan sunset policy di Indonesia adalah sebagaimana terlihat pada tabel 1 di bawah ini.


Pengampunan Pajak diberikan berdasarkan Harta yang dilaporkan oleh subjek Pengampunan Pajak, baik yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Harta yang berada di dalam wilayah NKRI adalah harta yang dikenai pajak yang diadministrasikan oleh pemerintah pusat yaitu: a. Pajak Penghasilan; b. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; c. Bea Meterai; dan d. Pajak Bumi dan Bangunan di sektor perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Pengkhususan jenis pajak pusat sebagaimana dimaksud diatas bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bahwa penerimaan dari hasil program pengampunan pajak masuk dalam penerimaan negara dari sektor pajak dan untuk menegaskan bahwa yang dimaksud dengan penerimaan negara sektor pajak adalah penerimaan pemerintah pusat sehingga penerimaan tersebut bukan merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) maupun penerimaan pemerintah daerah. Harta yang dilaporkan dalam Surat Permohonan Pengampunan Pajak meliputi: 1) seluruh Harta yang telah dilaporkan di Surat Pemberitahuan Tahunan 2) seluruh Harta tambahan yang dimohonkan pengampunan pajak Jadi harta yang dilaporkan dalam Surat Permohonan Pengampunan Pajak merupakan akumulasi dari harta-harta sebelumnya yang telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan, termasuk harta yang belum dilaporkan (harta tambahan) dan akan dimohonkan untuk mendapatkan pengampunan pajak.
Pengampunan pajak dapat diberikan untuk kurun waktu kurang lebih 12 (dua belas) bulan. Hal ini dipandang cukup untuk memberikan waktu kepada Wajib Pajak dalam mempertimbangkan secara matang ap[akah mereka akan ikut program pengampunan pajak atau tidak. Selain itu penting pula untuk diperhatikan bahwa tidak boleh ada isu tentang program Pengampunan Pajak jilid berikutnya. Pengampunan Pajak yang diberikan berkali-kali menyebabkan Wajib Pajak akan selalu menunggu program Pengampunan Pajak berikutnya dan ini akan mendorong Wajib Pajak untuk tidak menjalankan kewajiban pajaknya dengan benar.
UU Tax Amnesty itu menegaskan bahwa, Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Menurut UU Tax Amnesty, Wajib Pajak (WP) berhak mendapatkan Pengampunan Pajak yang diberikan melalui pengungkapan Harta yang dimilikinya dalam Surat Pernyataan (SP).  Dikecualikan dari ketentuan dimaksud, yaitu Wajib Pajak yang sedang: a. dilakukan penyidikan dan berkas penyidikannya telah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan; b. dalam proses peradilan; atau c. menjalani hukuman pidana, atas Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. Pasal 3 ayat (4) UU TA mengatur bahwa Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud meliputi pengampunan atas kewajiban perpajakan sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir, yang belum atau belum sepenuhnya diselesaikan oleh Wajib Pajak. Kewajiban perpajakan yang dikenakan fasilitas Pengampunan Pajak terdiri atas kewajiban: a. Pajak Penghasilan; dan b. Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) atau Harta yang berada di luar wilayah NKRI yang dialihkan ke dalam wilayah NKRI dan diinvestasikan di dalam wilayah NKRI dalam jangka waktu paling singkat 3 tahun terhitung sejak dialihkan, adalah sebesar: 2% (dua persen) untuk periode penyampaian SP pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku;- 3% (tiga persen) untuk periode penyampaian SP pada bulan keempat terhitung sejak UU ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2016; dan 5% (lima persen) untuk periode penyampaian SP terhitung sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan tanggal 31 Maret 2017. Adapun tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada di luar wilayah NKRI dan tidak dialihkan ke dalam wilayah NKRI adalah sebesar: a. 4% untuk periode penyampaian SP pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak UU ini mulai berlaku; b. 6% untuk periode penyampaian SP pada bulan keempat terhitung sejak UU ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2016; c. 10% untuk periode penyampaian SP terhitung sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.
Tarif Uang Tebusan bagi WP yang peredaran usahanya sampai dengan Rp 4.8 miliar pada Tahun Pajak Terakhir, menurut UU Nomor 11 Tahun 2016 ini, adalah sebesar: a. 0,5% bagi WP yang mengungkapkan nilai Harta sampai dengan Rp10 miliar dalam SP; atau b. 2% (dua persen) bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai Harta lebih dari Rp10 miliar dalam SP untuk periode penyampaian SP pada bulan pertama sejak UU ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Maret 2017. Guna memperoleh Pengampunan Pajak, menurut UU ini, WP harus menyampaikan SP kepada Menteri. SP ini harus ditandatangani oleh: a. WP orang pribadi; b. pemimpin tertinggi berdasarkan akta pendirian badan atau dokumen lain yang dipersamakan, bagi WP badan; atau c. penerima kuasa, dalam hal pemimpin tertinggi sebagaimana dimaksud pada huruf b berhalangan. Dalam hal WP bermaksud mengalihkan Harta ke dalam wilayah NKRI, selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud, menurut UU ini, WP harus mengalihkan Harta ke dalam wilayah NKRI dan menginvestasikan Harta dimaksud di dalam wilayah NKRI paling singkat selama jangka waktu 3 tahun. WP yang menyatakan mengalihkan dan menginvestasikan Harta sebagaimana dimaksud harus mengalihkan Harta dimaksud melalui Bank Persepsi yang ditunjuk secara khusus untuk itu paling lambat tanggal 31 Desember 2016 bagi WP yang menyatakan mengalihkan dan menginvestasikan Harta; dan/atau tanggal 31 Maret 2017 bagi WP yang menyatakan mengalihkan dan menginvestasikan Harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6) huruf b.
Pasal 12 ayat (2) UU TA juga mengatur bahwa Jangka waktu investasi paling singkat 3 tahun sebagaimana dimaksud terhitung sejak tanggal dialihkannya Harta ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Investasi tersebut dilakukan dalam bentuk: a. surat berharga Negara Republik Indonesia; b. obligasi Badan Usaha Milik Negara; c. obligasi lembaga pembiayaan yang dimiliki oleh Pemerintah; d. investasi keuangan pada Bank Persepsi; e. obligasi perusahaan swasta yang perdagangannya diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan; f. investasi infrastruktur melalui kerja sama Pemerintah dengan badan usaha; g. investasi sektor riil berdasarkan prioritas yang ditentukan oleh Pemerintah; dan/atau h. bentuk investasi lainnya yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal WP telah memperoleh Surat Keterangan kemudian ditemukan adanya data dan/atau informasi mengenai Harta yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan, menurut UU ini, atas Harta dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh WP pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud. Sementara dalam hal: a. WP tidak menyampaikan Surat Pernyataan sampai dengan periode Pengampunan Pajak berakhir; dan b. Direktur Jenderal Pajak menemukan data dan/atau informasi mengenai Harta WP yang diperoleh sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan 31 Desember 2015 dan belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, atas Harta dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh WP pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud, paling lama 3 tahun terhitung sejak UU ini mulai berlaku.
Pasal 18 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2016 mengatur bahwa atas tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan dan ditambah dengan sanksi administrasi perpajakan berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar. UU ini juga menegaskan, bahwa Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Namun, hingga saat ini masih cukup banyak isu yang berkembang mengenai Pengampunan Pajak dan masih banyak masyarakat yang bingung, mengenai perlu atau tidaknya untuk mengikuti Pengampunan Pajak. Pada hakikatnya, Pengampunan pajak itu sendiri bukan merupakan kewajiban setiap Wajib Pajak. Pengampunan pajak merupakan hak yang bisa diperoleh oleh Wajib Pajak yang lupa melaporkan hartanya. Pengampunan Pajak berhak diajukan oleh perorangan ataupun badan usaha seperti PT. Perorangan baik pebisnis, wiraswasta maupun karyawan berhak ikut pengampunan pajak. Lalu apa bedanya jika kita ikut Pengampunan Pajak dengan tidak ikut Pengampunan Pajak? Lalu apa bedanya jika kita ikut Pengampunan Pajak dengan tidak ikut Pengampunan Pajak?

Jika Ikut Pengampunan Pajak :

1.                  Setiap Warga Negara Indonesia berhak mengikuti program Pengampunan Pajak dan jika memutuskan mengikuti program Pengampunan Pajak maka si wajib pajak tidak boleh melakukan pembetulan SPT lagi terhitung dari SPT tahun 2015.
2.                  Untuk mengikuti Pengampunan Pajak, Wajib Pajak dapat mengungkapkan harta yang selama ini belum dilaporkan kemudian membayar uang tebusan atas harta tersebut. Tarif uang tebusan sendiri berbeda-beda tergantung periode dan jenis Pengampunan Pajak yang dilakukan Wajib Pajak, mulai dari 2% sampai dengan 10%. Khusus untuk UMKM, tarifnya adalah 0,5% dan 2%.
3.                  Pengampunan Pajak yang ada berupa penghapusan pajak yang seharusnya terutang serta pembebasan sanksi administrasi dan sanksi pidana perpajakan.
4.                  Jika sudah ikut Pengampunan Pajak, atas harta yang dilaporkan tidak akan diperiksa lagi di masa depan.
5.                  Jika ikut Pengampunan Pajak, maka akan dilakukan penghentian pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, dalam hal Wajib Pajak sedang dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
6.                  PPh Final atas pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan serta saham akan dihapuskan jika Wajib Pajak ikut Pengampunan Pajak.
7.                  Jika ikut Pengampunan Pajak dan dikemudian hari ditemukan harta yang tidak dilaporkan di dalam periode pengampunan pajak yakni harta per 31 Desember 2015 , maka temuan harta tersebut akan dikenakan tarif pajak sebesar 30 persen ( tarif PPh pribadi yang berlaku ) dan sanksi denda sebesar 200 persen.

Jika Tidak Ikut Pengampunan Pajak :
Wajib pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dengan menyampaikan pernyataan tertulis. Syaratnya, Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.

1.      Jika pembetulan yang dilakukan mengakibatkan adanya penambahan utang pajak, maka Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar. Ini terhitung sejak saat penyampaian SPT berakhir sampai dengan tanggal pembayaran dan bagian dari bulan dihitung penuh satu bulan.
2.      Jika Wajib Pajak telah memiliki NPWP sebelum tahun 2015 atau sebelumnya, dan belum melaporkan SPT Tahunan PPh 2015, maka Wajib Pajak dapat melaporkan hartanya tanpa ikut Pengampunan Pajak dan hanya dikenai Sanksi telat lapor sebesar Rp 100.000 (bagi WP Orang Pribadi) asalkan atas penambahan harta tersebut tidak menyebabkan timbulnya tambahan utang pajak.
3.      Aset yang dilaporkan dalam pembetulan SPT tersebut masih bisa diperiksa di masa depan.
4.      Jika tidak ikut Pengampunan Pajak dan dikemudian hari ditemukan harta yang tidak dilaporkan di dalam periode pengampunan pajak yakni harta per 31 Desember 2015 , maka temuan harta tersebut akan dikenakan sanksi sebesar 30 persen ( tarif PPh pribadi yang berlaku ) dan sanksi bunga sebesar 2 persen perbulan maksimal 24 bulan atau maksimal 48 persen.

Implementasi program Amnesti Pajak dapat segera dilaksanakan setelah Menteri Keuangan menetapkan paket peraturan pelaksanaan Undang-Undang Pengampunan Pajak yang dimulai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016 tanggal 15 Juli 2016 tentang Pelaksanaan UU No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Pada prinsipnya PMK 118/PMK.03/2016 mengatur hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak, antara lain: Pertama, Bentuk dokumen yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan amnesti pajak, misalnya Surat Pernyataan dan Surat Keterangan. Kedua, Identitas Wajib Pajak yang harus dilengkapi dalam Surat Pernyataan. Ketiga, tempat Wajib Pajak dapat menyampaikan Surat Pernyataan, yakni di KPP di mana Wajib Pajak terdaftar. Selain itu, pemerintah menentukan tempat tertentu untuk menerima Surat Pernyataan, yakni: a. KJRI di Hongkong; b. KBRI di Singapura; dan c. KBRI di London. Dalam hal diperlukan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan UU Pengampunan Pajak, Menteri dapat menentukan tempat selain Konsulat dan Kedutaan di atas. Keempat, Wajib Pajak dengan peredaran usaha sampai dengan Rp4,8 miliar yang dapat memanfaatkan tarif uang tebusan 0,5% apabila mengungkapkan nilai harta sampai dengan Rp 10 miliar dan tarif uang tebusan 2% apabila mengungkapkan nilai harta lebih dari Rp 10 miliar, adalah Wajib Pajak yang: a. memiliki peredaran usaha hanya bersumber dari penghasilan atas kegiatan usaha; dan b. tidak menerima penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan/atau pekerjaan bebas. Pekerjaan bebas antara lain dokter, notaris, akuntan, arsitek, atau pengacara. Kelima, Wajib Pajak yang memiliki SP harus mengungkapkan kepemilikan harta beserta utang yang berkaitan secara langsung dengan harta dimaksud dalam daftar rincian harta dan utang.Keenam, tunggakan pajak yang harus dilunasi sebelum penyampaian Surat Pernyataan meliputi pokok pajak dan biaya penagihan pajak. Dalam hal tunggakan pajak telah dibayar sebagian, penghitungan pokok pajak yang harus dilunasi dilakukan secara proporsional antara besarnya pokok pajak dengan sanksi administrasi. Ketujuh, bagi Wajib Pajak yang sedang dalam proses pemeriksaan bukti permulaan (bukper) meminta informasi tertulis kepada Dirjen Pajak untuk mengetahui penghitungan pajak yang harus dibayar. Delapan, bagi WP yang memiliki NPWP sebelum 2016 dan belum lapor SPT PPh Terakhir, wajib lapor SPT PPh Terakhir.Sembilan, bagi Wajib Pajak yang baru memiliki NPWP setelah tahun 2015, tidak wajib menyampaikan SPT PPh Terakhir, tambahan Harta bersih yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan seluruhnya diperhitungkan sebagai dasar pengenaan uang tebusan. Sepuluh, Wajib Pajak yang sedang dalam pengajuan upaya hukum, melampirkan Surat pernyataan mencabut permohonan atau pengajuan: a. Restitusi; b. Pengurangan/penghapusan sanksi; c. Pengurangan/pembatalan ketetapan pajak; d. Pembetulan ketetapan pajak; e. Keberatan; f. Banding; g. Gugatan; dan/atau h. Peninjauan Kembali. Surat pernyataan dimaksud dianggap sebagai dasar mencabut permohonan/pengajuan. Pokok pajak terutang yang harus dilunasi WP kembali pada produk hukum sebelumnya. Sebelas, sanksi administrasi yang dihapus berupa bunga, denda, kenaikan. Jika sanksi belum diterbitkan produk hukum, tidak dilakukan penerbitan produk hukum. Tata cara penghapusan sanksi dilakukan berdasarkan UU dan PMK ini. Duabelas, atas Harta yang direpatriasi dan diinvestasikan, Wajib Pajak harus menyampaikan Laporan secara berkala 6 bulan sekali selama 3 tahun sejak direpatriasi dengan ketentuan: a. tanggal 20 Januari untuk periode laporan realisasi investasi Juli sampai dengan Desember; dan b. tanggal 20 Juli untuk periode laporan realisasi investasi Januari sampai dengan Juni. Jika laporan tidak disampaikan sesuai ketentuan, Dirjen Pajak menerbitkan surat peringatan. Tigabelas, Terhadap WP yang tidak memenuhi kewajiban repatriasi, investasi, pelaporan, berlaku ketentuan, harta bersih tambahan yang diungkap menjadi penghasilan 2016, ditagih dengan SKPKB dengan tarif UU PPh dan sanksi 2% per bulan maksimal 24 bulan dihitung sejak 1 Januari 2017 sampai SKPKB terbit, Uang tebusan menjadi kredit pajak, dan Fasilitas pengampunan pajak tetap berlaku. Empatbelas, Harta yang belum atau kurang diungkap dalam Surat Pernyataan yang
kemudian hari diketemukan oleh DJP, berlaku ketentuan: a. Harta tersebut menjadi penghasilan saat ditemukan data; b. Ditagih dengan SKPKB dengan tarif UU PPh dan sanksi 200%; c. Fasilitas amnesti pajak tetap berlaku. Limabelas, Wajib Pajak yang tidak mengikuti progam amnesti pajak sampai periode berakhir, berlaku ketentuan: a. Harta yang diperoleh Wajib Pajak sejak 1 Jan 1985 s/d 31 Desember 2015 yang belum dilaporkan dalam SPT dan ditemukan DJP dalam periode 3 tahun sejak UU berlaku menjadi penghasilan saat ditemukan data; b. Ditagih dengan SKPKB dengan tarif UU PPh dan sanksi 2% per bulan maksimal 24 bulan sejak saat ditemukan sampai SKPKB terbit; c. WP tidak berhak mendapatkan fasilitas amnesti pajak (dapat dilakukan pemeriksaan, bukper, penyidikan).

1.         Pokok-pokok Peraturan Dirjen Pajak Terbaru Terkait Tax Amnesty (Peraturan Dirjen Pajak No. 11/PJ/2016)
Guna merespons kebutuhan faktual terhadap urgensi terhadap eksistensi pedoman bagi aparat pajak dalam pelaksanaan UU Pengampunan Pajak dan untuk meredam keresahan sebagian masyarakat dalam menyikapi kebijakan Tax Amnesty, Dirjen Pajak  mengeluarkan Peraturan Dirjen Pajak Np. 11/PJ/2016 dengan pokok-pokok ketentuan sebagai berikut:
1. Orang Pribadi seperti petani, nelayan, pensiunan, TKI, atau subjek pajak warisan yang belum terbagi, yang jumlah penghasilannya pada tahun 2015 di bawah PTKP diperbolehkan tidak ikut TA;
2. WNI yang berada di LN lebih dari 183 hari dalam setahun dan tidak memperoleh penghasilan dari Indonesia merupakan Subjek Pajak LN dan diperbolehkan tidak ikut TA;
3. Harta warisan bukan merupakan objek TA jika:
a. diterima oleh ahli waris yang tidak mempunyai penghasilan atau penghasilannya di bawah PTKP;
b. sudah dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh pewaris.
4. Harta hibahan dari orang tua ke anak atau dari anak ke orang tua bukan merupakan objek TA jika:
a. pihak penerima tidak mempunyai penghasilan atau penghasilannya di bawah PTKP;
b. sudah dilaporkan dalam SPT Tahunan pemberi hibah.
5. Untuk angka 1 sampai dengan angka 4 *tidak dikenakan* sanksi Pasal 18 UU TA (apabila nanti ditemukan harta yang belum dilaporkan akan dianggap sebagai penghasilan dan pajaknya dihutung plus sanksi 2% per bulan).

6. Terhadap harta yang diperoleh dari penghasilan yang telah dikenakan PPh atau diperoleh dari penghasilan yang bukan objek PPh dan belum dilaporkan dalam SPT Tahunan, Wajib Pajak boleh tidak ikut TA dengan ketentuan:
a. Jika SPT sudah masuk, dapat melakukan pembetulan SPT;
b. Jika SPT belum masuk, memasukkan SPT Tahunan dengan melaporkan seluruh harta.
Apabila dikemudian hari ditemukan harta yang diperoleh dari 1985 – 2015 yang belum dilaporkan, maka harta tersebut dihitung sebagai penghasilan dan dikenakan pajak plus sanksi 2% sebulan (berlaku sanksi Pasal 18 UU TA).
7. Pelaporan harta selain kas adalah sebesar nilai wajar menurut Wajib Pajak dan tidak akan ada koreksi dari petugas pajak.


Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...