Kebijakan Tax Amnesty
Oleh: Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum
Pengajar Hukum Administrasi Negara FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
1.
Perspektif
UU Tax Amnesty
Pada tanggal 1 Juli 2016
telah disahkan da mulai diberlakukan
Undang-Undang No. 11 Tahun 2016 tentang
Pengampunan Pajak atau yang lebih dikenal sebagai UU Tax Amnesty oleh DPR RI melalui Rapat Paripurna pada hari
Selasa (28/6).
Pengampunan Pajak secara umum
bertujuan untuk: a. Meningkatkan penerimaan pajak dalam jangka pendek; b.
Meningkatkan kepatuhan pajak di masa yang akan datang; c. Meningkatkan basis
pemajakan (subjek dan objek); d. Transisi ke sistem perpajakan yang baru yang
lebih kuat dan adil; e. Mewujudkan Rekonsiliasi perpajakan nasional. Atas
pengampunan tersebut terjadi pertentangan pendapat antara kelompok yang
mendukung maupun yang menentang metode alternatif peningkatan penerimaan pajak
ini, yaitu sebagai berikut: Kelompok yang mendukung berargumen antara lain
karena Pengampunan Pajak dapat memberikan dampak sebagai berikut: a.
Peningkatan penerimaan pajak yang signifikan; b. Mendorongkepatuhan Wajib
Pajak; c. Menambah informasi mengenai daftar kekayaan Wajib Pajak. Sedangkan
kelompok yang menentang mengajukan argumen bahwa sisi lain dari pemberian
Pengampunan Pajak adalah timbulnya: a. Ketidakadilan (inequity) bagi Wajib
Pajak patuh (honest taxpayers); b. Risiko moral hazard Wajib Pajak untuk
memanfaatkan Pengampunan; c. Potensi pajak yang hilang.
Pengampunan Pajak dilaksanakan
berdasarkan asas: a. kepastian hukum; b. keadilan; c. kemanfaatan; dan d.
kepentingan nasional. UU menegaskan bahwa Pengampunan Pajak bertujuan untuk: a.
mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan Harta,
yang antara lain akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas domestik,
perbaikan nilai tukar Rupiah, penurunan suku bunga, dan peningkatan investasi;
b. mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih
berkeadilan serta perluasan basis data perpajakan yang lebih valid,
komprehensif, dan terintegrasi; dan c. meningkatkan penerimaan pajak, yang
antara lain akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan.
Pengampunan Pajak bukanlah suatu
kebijakan yang tidak memiliki justifikasi. Pemerintah Indonesia melalui
Direktorat Jenderal Pajak pernah melaksanakan kebijakan Pengampunan Pajak yaitu
pada tahun 1964, 1984, serta 2008 (bernama Sunset Policy). Adapun sejarah
pelaksanaan kebijakan Pengampunan Pajak dan sunset policy di Indonesia adalah
sebagaimana terlihat pada tabel 1 di bawah ini.
Pengampunan Pajak diberikan
berdasarkan Harta yang dilaporkan oleh subjek Pengampunan Pajak, baik yang
berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun di luar
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Harta yang berada di dalam wilayah
NKRI adalah harta yang dikenai pajak yang diadministrasikan oleh pemerintah
pusat yaitu: a. Pajak Penghasilan; b. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah; c. Bea Meterai; dan d. Pajak Bumi dan Bangunan di
sektor perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Pengkhususan jenis pajak pusat
sebagaimana dimaksud diatas bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bahwa
penerimaan dari hasil program pengampunan pajak masuk dalam penerimaan negara
dari sektor pajak dan untuk menegaskan bahwa yang dimaksud dengan penerimaan
negara sektor pajak adalah penerimaan pemerintah pusat sehingga penerimaan
tersebut bukan merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) maupun penerimaan
pemerintah daerah. Harta yang dilaporkan dalam Surat Permohonan Pengampunan
Pajak meliputi: 1) seluruh Harta yang telah dilaporkan di Surat Pemberitahuan
Tahunan 2) seluruh Harta tambahan yang dimohonkan pengampunan pajak Jadi harta
yang dilaporkan dalam Surat Permohonan Pengampunan Pajak merupakan akumulasi
dari harta-harta sebelumnya yang telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan, termasuk harta yang belum dilaporkan (harta tambahan) dan akan
dimohonkan untuk mendapatkan pengampunan pajak.
Pengampunan pajak dapat diberikan
untuk kurun waktu kurang lebih 12 (dua belas) bulan. Hal ini dipandang cukup
untuk memberikan waktu kepada Wajib Pajak dalam mempertimbangkan secara matang
ap[akah mereka akan ikut program pengampunan pajak atau tidak. Selain itu penting
pula untuk diperhatikan bahwa tidak boleh ada isu tentang program Pengampunan
Pajak jilid berikutnya. Pengampunan Pajak yang diberikan berkali-kali
menyebabkan Wajib Pajak akan selalu menunggu program Pengampunan Pajak
berikutnya dan ini akan mendorong Wajib Pajak untuk tidak menjalankan kewajiban
pajaknya dengan benar.
UU
Tax Amnesty itu menegaskan bahwa, Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak
yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan
sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar
Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Menurut UU Tax
Amnesty, Wajib Pajak (WP) berhak mendapatkan Pengampunan Pajak yang diberikan
melalui pengungkapan Harta yang dimilikinya dalam Surat Pernyataan (SP). Dikecualikan dari ketentuan dimaksud, yaitu
Wajib Pajak yang sedang: a. dilakukan penyidikan dan berkas penyidikannya telah
dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan; b. dalam proses peradilan; atau c. menjalani
hukuman pidana, atas Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. Pasal 3 ayat (4) UU TA
mengatur bahwa Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud meliputi pengampunan atas
kewajiban perpajakan sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir, yang belum atau
belum sepenuhnya diselesaikan oleh Wajib Pajak. Kewajiban perpajakan yang
dikenakan fasilitas Pengampunan Pajak terdiri atas kewajiban: a. Pajak
Penghasilan; dan b. Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Tarif
Uang Tebusan atas Harta yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) atau Harta yang berada di luar wilayah NKRI yang dialihkan ke
dalam wilayah NKRI dan diinvestasikan di dalam wilayah NKRI dalam jangka waktu
paling singkat 3 tahun terhitung sejak dialihkan, adalah sebesar: 2% (dua
persen) untuk periode penyampaian SP pada bulan pertama sampai dengan akhir
bulan ketiga terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku;- 3% (tiga persen)
untuk periode penyampaian SP pada bulan keempat terhitung sejak UU ini mulai
berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2016; dan 5% (lima persen) untuk
periode penyampaian SP terhitung sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan
tanggal 31 Maret 2017. Adapun tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada di luar
wilayah NKRI dan tidak dialihkan ke dalam wilayah NKRI adalah sebesar: a. 4%
untuk periode penyampaian SP pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan
ketiga terhitung sejak UU ini mulai berlaku; b. 6% untuk periode penyampaian SP
pada bulan keempat terhitung sejak UU ini mulai berlaku sampai dengan tanggal
31 Desember 2016; c. 10% untuk periode penyampaian SP terhitung sejak tanggal 1
Januari 2017 sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.
Tarif Uang Tebusan bagi WP yang peredaran usahanya
sampai dengan Rp 4.8 miliar pada Tahun Pajak Terakhir, menurut UU Nomor 11
Tahun 2016 ini, adalah sebesar: a. 0,5% bagi WP yang mengungkapkan nilai Harta
sampai dengan Rp10 miliar dalam SP; atau b. 2% (dua persen) bagi Wajib Pajak
yang mengungkapkan nilai Harta lebih dari Rp10 miliar dalam SP untuk periode
penyampaian SP pada bulan pertama sejak UU ini mulai berlaku sampai dengan
tanggal 31 Maret 2017. Guna memperoleh Pengampunan Pajak, menurut UU ini, WP
harus menyampaikan SP kepada Menteri. SP ini harus ditandatangani oleh: a. WP
orang pribadi; b. pemimpin tertinggi berdasarkan akta pendirian badan atau
dokumen lain yang dipersamakan, bagi WP badan; atau c. penerima kuasa, dalam
hal pemimpin tertinggi sebagaimana dimaksud pada huruf b berhalangan. Dalam hal
WP bermaksud mengalihkan Harta ke dalam wilayah NKRI, selain memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud, menurut UU ini, WP harus mengalihkan Harta ke
dalam wilayah NKRI dan menginvestasikan Harta dimaksud di dalam wilayah NKRI
paling singkat selama jangka waktu 3 tahun. WP yang menyatakan mengalihkan dan
menginvestasikan Harta sebagaimana dimaksud harus mengalihkan Harta dimaksud
melalui Bank Persepsi yang ditunjuk secara khusus untuk itu paling lambat
tanggal 31 Desember 2016 bagi WP yang menyatakan mengalihkan dan
menginvestasikan Harta; dan/atau tanggal 31 Maret 2017 bagi WP yang menyatakan
mengalihkan dan menginvestasikan Harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(6) huruf b.
Pasal 12 ayat (2) UU TA juga mengatur bahwa Jangka
waktu investasi paling singkat 3 tahun sebagaimana dimaksud terhitung sejak
tanggal dialihkannya Harta ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Investasi tersebut dilakukan dalam bentuk: a. surat berharga Negara Republik
Indonesia; b. obligasi Badan Usaha Milik Negara; c. obligasi lembaga pembiayaan
yang dimiliki oleh Pemerintah; d. investasi keuangan pada Bank Persepsi; e.
obligasi perusahaan swasta yang perdagangannya diawasi oleh Otoritas Jasa
Keuangan; f. investasi infrastruktur melalui kerja sama Pemerintah dengan badan
usaha; g. investasi sektor riil berdasarkan prioritas yang ditentukan oleh
Pemerintah; dan/atau h. bentuk investasi lainnya yang sah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal WP telah memperoleh Surat
Keterangan kemudian ditemukan adanya data dan/atau informasi mengenai Harta
yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan, menurut UU ini, atas
Harta dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau
diperoleh WP pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta
dimaksud. Sementara dalam hal: a. WP tidak menyampaikan Surat Pernyataan sampai
dengan periode Pengampunan Pajak berakhir; dan b. Direktur Jenderal Pajak
menemukan data dan/atau informasi mengenai Harta WP yang diperoleh sejak
tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan 31 Desember 2015 dan belum dilaporkan
dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, atas Harta dimaksud
dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh WP pada saat
ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud, paling lama 3
tahun terhitung sejak UU ini mulai berlaku.
Pasal 18 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2016 mengatur bahwa
atas tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud dikenai Pajak Penghasilan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan dan
ditambah dengan sanksi administrasi perpajakan berupa kenaikan sebesar 200%
(dua ratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar. UU
ini juga menegaskan, bahwa Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian
Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak,
tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan,
atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas
didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Namun,
hingga saat ini masih cukup banyak isu yang berkembang mengenai Pengampunan
Pajak dan masih banyak masyarakat yang bingung, mengenai perlu atau tidaknya
untuk mengikuti Pengampunan Pajak. Pada hakikatnya, Pengampunan pajak itu
sendiri bukan merupakan kewajiban setiap Wajib Pajak. Pengampunan pajak
merupakan hak yang bisa diperoleh oleh Wajib Pajak yang lupa melaporkan
hartanya. Pengampunan Pajak berhak diajukan oleh perorangan ataupun badan usaha
seperti PT. Perorangan baik pebisnis, wiraswasta maupun karyawan berhak ikut
pengampunan pajak. Lalu apa bedanya jika kita ikut Pengampunan Pajak dengan
tidak ikut Pengampunan Pajak? Lalu apa bedanya jika kita ikut Pengampunan Pajak
dengan tidak ikut Pengampunan Pajak?
Jika Ikut Pengampunan Pajak
:
1.
Setiap Warga
Negara Indonesia berhak mengikuti program Pengampunan Pajak dan jika memutuskan
mengikuti program Pengampunan Pajak maka si wajib pajak tidak boleh melakukan
pembetulan SPT lagi terhitung dari SPT tahun 2015.
2.
Untuk mengikuti
Pengampunan Pajak, Wajib Pajak dapat mengungkapkan harta yang selama ini belum
dilaporkan kemudian membayar uang tebusan atas harta tersebut. Tarif uang
tebusan sendiri berbeda-beda tergantung periode dan jenis Pengampunan Pajak
yang dilakukan Wajib Pajak, mulai dari 2% sampai dengan 10%. Khusus untuk UMKM,
tarifnya adalah 0,5% dan 2%.
3.
Pengampunan Pajak
yang ada berupa penghapusan pajak yang seharusnya terutang serta pembebasan
sanksi administrasi dan sanksi pidana perpajakan.
4.
Jika sudah ikut
Pengampunan Pajak, atas harta yang dilaporkan tidak akan diperiksa lagi di masa
depan.
5.
Jika ikut
Pengampunan Pajak, maka akan dilakukan penghentian pemeriksaan pajak,
pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan,
dalam hal Wajib Pajak sedang dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti
permulaan, dan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
6.
PPh Final atas
pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan serta saham akan dihapuskan
jika Wajib Pajak ikut Pengampunan Pajak.
7.
Jika ikut
Pengampunan Pajak dan dikemudian hari ditemukan harta yang tidak dilaporkan di
dalam periode pengampunan pajak yakni harta per 31 Desember 2015 , maka temuan
harta tersebut akan dikenakan tarif pajak sebesar 30 persen ( tarif PPh pribadi
yang berlaku ) dan sanksi denda sebesar 200 persen.
Jika Tidak Ikut Pengampunan
Pajak :
Wajib pajak dengan kemauan
sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dengan menyampaikan
pernyataan tertulis. Syaratnya, Direktur Jenderal Pajak belum melakukan
tindakan pemeriksaan.
1.
Jika pembetulan
yang dilakukan mengakibatkan adanya penambahan utang pajak, maka Wajib Pajak
dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan atas jumlah pajak
yang kurang dibayar. Ini terhitung sejak saat penyampaian SPT berakhir sampai
dengan tanggal pembayaran dan bagian dari bulan dihitung penuh satu bulan.
2.
Jika Wajib Pajak
telah memiliki NPWP sebelum tahun 2015 atau sebelumnya, dan belum melaporkan
SPT Tahunan PPh 2015, maka Wajib Pajak dapat melaporkan hartanya tanpa ikut
Pengampunan Pajak dan hanya dikenai Sanksi telat lapor sebesar Rp 100.000 (bagi
WP Orang Pribadi) asalkan atas penambahan harta tersebut tidak menyebabkan
timbulnya tambahan utang pajak.
3.
Aset yang
dilaporkan dalam pembetulan SPT tersebut masih bisa diperiksa di masa depan.
4.
Jika tidak ikut
Pengampunan Pajak dan dikemudian hari ditemukan harta yang tidak dilaporkan di
dalam periode pengampunan pajak yakni harta per 31 Desember 2015 , maka temuan
harta tersebut akan dikenakan sanksi sebesar 30 persen ( tarif PPh pribadi yang
berlaku ) dan sanksi bunga sebesar 2 persen perbulan maksimal 24 bulan atau
maksimal 48 persen.
Implementasi
program Amnesti Pajak dapat segera dilaksanakan setelah Menteri Keuangan
menetapkan paket peraturan pelaksanaan Undang-Undang Pengampunan Pajak yang
dimulai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016 tanggal 15 Juli
2016 tentang Pelaksanaan UU No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Pada
prinsipnya PMK 118/PMK.03/2016 mengatur hal-hal yang belum cukup diatur dalam
Undang-Undang Pengampunan Pajak, antara lain: Pertama, Bentuk dokumen
yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan amnesti pajak, misalnya Surat
Pernyataan dan Surat Keterangan. Kedua, Identitas Wajib Pajak yang harus
dilengkapi dalam Surat Pernyataan. Ketiga, tempat Wajib Pajak dapat
menyampaikan Surat Pernyataan, yakni di KPP di mana Wajib Pajak terdaftar.
Selain itu, pemerintah menentukan tempat tertentu untuk menerima Surat
Pernyataan, yakni: a. KJRI di Hongkong; b. KBRI di Singapura; dan c. KBRI di
London. Dalam hal diperlukan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan UU
Pengampunan Pajak, Menteri dapat menentukan tempat selain Konsulat dan Kedutaan
di atas. Keempat, Wajib Pajak dengan peredaran usaha sampai dengan Rp4,8
miliar yang dapat memanfaatkan tarif uang tebusan 0,5% apabila mengungkapkan
nilai harta sampai dengan Rp 10 miliar dan tarif uang tebusan 2% apabila
mengungkapkan nilai harta lebih dari Rp 10 miliar, adalah Wajib Pajak yang: a.
memiliki peredaran usaha hanya bersumber dari penghasilan atas kegiatan usaha;
dan b. tidak menerima penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan/atau
pekerjaan bebas. Pekerjaan bebas antara lain dokter, notaris, akuntan, arsitek,
atau pengacara. Kelima, Wajib Pajak yang memiliki SP harus mengungkapkan
kepemilikan harta beserta utang yang berkaitan secara langsung dengan harta
dimaksud dalam daftar rincian harta dan utang.Keenam, tunggakan pajak
yang harus dilunasi sebelum penyampaian Surat Pernyataan meliputi pokok pajak
dan biaya penagihan pajak. Dalam hal tunggakan pajak telah dibayar sebagian,
penghitungan pokok pajak yang harus dilunasi dilakukan secara proporsional
antara besarnya pokok pajak dengan sanksi administrasi. Ketujuh, bagi
Wajib Pajak yang sedang dalam proses pemeriksaan bukti permulaan (bukper)
meminta informasi tertulis kepada Dirjen Pajak untuk mengetahui penghitungan
pajak yang harus dibayar. Delapan, bagi WP yang memiliki NPWP sebelum
2016 dan belum lapor SPT PPh Terakhir, wajib lapor SPT PPh Terakhir.Sembilan,
bagi Wajib Pajak yang baru memiliki NPWP setelah tahun 2015, tidak wajib
menyampaikan SPT PPh Terakhir, tambahan Harta bersih yang diungkapkan dalam
Surat Pernyataan seluruhnya diperhitungkan sebagai dasar pengenaan uang
tebusan. Sepuluh, Wajib Pajak yang sedang dalam pengajuan upaya hukum,
melampirkan Surat pernyataan mencabut permohonan atau pengajuan: a. Restitusi;
b. Pengurangan/penghapusan sanksi; c. Pengurangan/pembatalan ketetapan pajak;
d. Pembetulan ketetapan pajak; e. Keberatan; f. Banding; g. Gugatan; dan/atau
h. Peninjauan Kembali. Surat pernyataan dimaksud dianggap sebagai dasar
mencabut permohonan/pengajuan. Pokok pajak terutang yang harus dilunasi WP
kembali pada produk hukum sebelumnya. Sebelas, sanksi administrasi yang
dihapus berupa bunga, denda, kenaikan. Jika sanksi belum diterbitkan produk
hukum, tidak dilakukan penerbitan produk hukum. Tata cara penghapusan sanksi
dilakukan berdasarkan UU dan PMK ini. Duabelas, atas Harta yang
direpatriasi dan diinvestasikan, Wajib Pajak harus menyampaikan Laporan secara
berkala 6 bulan sekali selama 3 tahun sejak direpatriasi dengan ketentuan: a.
tanggal 20 Januari untuk periode laporan realisasi investasi Juli sampai dengan
Desember; dan b. tanggal 20 Juli untuk periode laporan realisasi investasi
Januari sampai dengan Juni. Jika laporan tidak disampaikan sesuai ketentuan,
Dirjen Pajak menerbitkan surat peringatan. Tigabelas, Terhadap WP yang
tidak memenuhi kewajiban repatriasi, investasi, pelaporan, berlaku ketentuan,
harta bersih tambahan yang diungkap menjadi penghasilan 2016, ditagih dengan
SKPKB dengan tarif UU PPh dan sanksi 2% per bulan maksimal 24 bulan dihitung
sejak 1 Januari 2017 sampai SKPKB terbit, Uang tebusan menjadi kredit pajak,
dan Fasilitas pengampunan pajak tetap berlaku. Empatbelas, Harta yang
belum atau kurang diungkap dalam Surat Pernyataan yang
kemudian
hari diketemukan oleh DJP, berlaku ketentuan: a. Harta tersebut menjadi
penghasilan saat ditemukan data; b. Ditagih dengan SKPKB dengan tarif UU PPh
dan sanksi 200%; c. Fasilitas amnesti pajak tetap berlaku. Limabelas,
Wajib Pajak yang tidak mengikuti progam amnesti pajak sampai periode berakhir,
berlaku ketentuan: a. Harta yang diperoleh Wajib Pajak sejak 1 Jan 1985 s/d 31
Desember 2015 yang belum dilaporkan dalam SPT dan ditemukan DJP dalam periode 3
tahun sejak UU berlaku menjadi penghasilan saat ditemukan data; b. Ditagih
dengan SKPKB dengan tarif UU PPh dan sanksi 2% per bulan maksimal 24 bulan
sejak saat ditemukan sampai SKPKB terbit; c. WP tidak berhak mendapatkan
fasilitas amnesti pajak (dapat dilakukan pemeriksaan, bukper, penyidikan).
1.
Pokok-pokok
Peraturan Dirjen Pajak Terbaru Terkait Tax Amnesty (Peraturan Dirjen Pajak No.
11/PJ/2016)
Guna merespons kebutuhan
faktual terhadap urgensi terhadap eksistensi pedoman bagi aparat pajak dalam
pelaksanaan UU Pengampunan Pajak dan untuk meredam keresahan sebagian
masyarakat dalam menyikapi kebijakan Tax Amnesty, Dirjen Pajak mengeluarkan Peraturan Dirjen Pajak Np.
11/PJ/2016 dengan pokok-pokok ketentuan sebagai berikut:
1. Orang Pribadi seperti petani, nelayan, pensiunan,
TKI, atau subjek pajak warisan yang belum terbagi, yang jumlah penghasilannya
pada tahun 2015 di bawah PTKP diperbolehkan tidak ikut TA;
2. WNI yang berada di LN lebih dari 183 hari dalam
setahun dan tidak memperoleh penghasilan dari Indonesia merupakan Subjek Pajak
LN dan diperbolehkan tidak ikut TA;
3. Harta warisan bukan
merupakan objek TA jika:
a. diterima oleh ahli waris
yang tidak mempunyai penghasilan atau penghasilannya di bawah PTKP;
b. sudah dilaporkan dalam SPT
Tahunan PPh pewaris.
4. Harta hibahan dari orang tua
ke anak atau dari anak ke orang tua bukan merupakan objek TA jika:
a. pihak penerima tidak
mempunyai penghasilan atau penghasilannya di bawah PTKP;
b. sudah dilaporkan dalam SPT Tahunan
pemberi hibah.
5. Untuk angka 1 sampai dengan angka 4 *tidak
dikenakan* sanksi Pasal 18 UU TA (apabila nanti ditemukan harta yang belum
dilaporkan akan dianggap sebagai penghasilan dan pajaknya dihutung plus sanksi
2% per bulan).
6.
Terhadap harta yang diperoleh dari penghasilan yang telah dikenakan PPh atau
diperoleh dari penghasilan yang bukan objek PPh dan belum dilaporkan dalam SPT
Tahunan, Wajib Pajak boleh tidak ikut TA dengan ketentuan:
a. Jika SPT sudah masuk, dapat
melakukan pembetulan SPT;
b. Jika SPT belum masuk,
memasukkan SPT Tahunan dengan melaporkan seluruh harta.
Apabila dikemudian hari
ditemukan harta yang diperoleh dari 1985 – 2015 yang belum dilaporkan, maka
harta tersebut dihitung sebagai penghasilan dan dikenakan pajak plus sanksi 2%
sebulan (berlaku sanksi Pasal 18 UU TA).
7. Pelaporan harta selain kas
adalah sebesar nilai wajar menurut Wajib Pajak dan tidak akan ada koreksi dari
petugas pajak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar