Pendapat Hukum Ahli Bidang Hukum Administrasi
Negara
atas
Putusan PTUN
Kalimantan Selatan No. 4/G/2018/PTUN.BJM, No. 5/G/2018/PTUN.BJM dan No.
6/G/2018/PTUN.BJM.
Oleh: Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.
Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara
Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
1.
Posisi Kasus ( Sesuai dengan yang diuraikan oleh Paparan
dari KARSA & PARTNERS - Attorney –
Counselor at Law)
Bahwa pada
tanggal 29 Desember 2004, Pemerintah
Daerah Kab. Kotabaru mengeluarkan
Peraturan Bupati Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Larangan Aktivitas Pertambangan
Batubara di Pulau Laut Kabupaten Kotabaru. Pada tanggal 5 November 2008,
Bupati Kotabaru mengeluarkan izin Kuasa Penyelidikan Umum Pertambangan Batubara
kepada PT. Sebuku Tanjung Coal.
Selanjutnya,
pada tanggal 20 April 2009 Bupati Kotabaru mengeluarkan Surat Keputusan Bupati
Kotabaru Nomor 545/03/IUPE/D.PE tentang Persetujuan Izin Usaha Pertambangan
Eksplorasi kepada PT. Sebuku Tanjung Coal. Pada tanggal 1 Juli 2010 Sekda
Kotabaru atas nama Bupati Kotabaru mengeluarkan Surat Pemberitahuan yang
ditujukan kepada Ketua DPRD. Adapun substansi surat pemberitahuan tersebut
ialah berupa pemberitahuan bahwa Peraturan Bupati Nomor 30 Tahun 2004 dianggap
bertentangan dengan UU N0. 4 Tahun 2009 tentang Minerba dan PP 26 Tahun 2008
tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Nasional.
Tanggal
7 Juli 2010, Bupati Kotabaru mengeluarkan Surat Keputusan Bupati Nomor
545/63/IUPOP/D.PE/2010 tentang Perseutujuan Peningkatan IUP Eksplorasi menjadi
IUP Operasi Produksi Kepada Sebuku Tanjung Coal. Kemudian,
pada tahun 2018 Gubernur Kalimantan Selatan mencabut IUP Operasi
Produksi PT Sebuku Tanjung Coal, salah satu alasannya ialah kaeena tidak
memperbaharui izin lingkungan.
2.
Isu-isu Hukum
a. Bagaimana
kedudukan Surat Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara yang dianggap bertentangan
dengan produk hukumnya padahal belum ada mekanisme pencabutan dan dinyatakan
tidak berlaku dapat dibenarkan secara hukum?
b. Apakah
prosedur pencabutan Peraturan Bupati hanya menggunakan surat pemberitahuan
kepada DPRD Kabupaten merupakan prosedur yang dapat dibenarkan sefcara teori
dan praktik?
c. Bagaimana
status keberlakuan Peraturan Bupati a quo jika dianggap bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi?
d. Bagaiaman
pemberian sanksi administratif dipandang secara teori dan praktiknya?
e. Bagaimana
hubungan kerja antara Gubernur dengan Dinas di bawahnya?
f.
Apakah
dengan tidak diperbaharuinya izin lingkungan dapat berakibat pada pencabutan
IUP Operasi Produkisi mengingat salah satu prasyarat diterbitkannya IUP OP
ialah harus memenuhi izin lingkungan?
3.
Eksposisi Teori
Hukum Administrasi Negara Terkait
Karakter dari
sanksi administratif pada hakikatnya bersifat reparatoir, bertujuan untuk
memperbaiki dan mengarahkan kembali pelanggaran yang dilakukan oleh pelanggar
norma HAN ke pada situasi yang dikehendaki oleh tujuan norma HAN Umum dan
sektoral. Sanksi administratif merupakan parate – executie yang dapat
dilaksanakan tanpa melalui proses peradilan, karena terletak di ranah
pemerintahan. Sanksi administratif sifat normanya adalah kewenangan, bukan
kewajiban. Maka, juga bisa dikatakan bahwa sanksi administratif sangat dominan
warna diskresinya, walaupun dalam UU sudah diatur prosedur penegakan norma HAN
melalui sanksi administratif secara restriktif-limitatif. Ketika Hakim Tata
Usaha Negara mengadili penerapan sanksi administratif oleh badan atau pejabat
tata usaha negara, hakim harus berhati-hati dan memperhatikan dengan sungguh
konsep marginale – toetsing. Hal itu disebabkan bisa saja hakim justru menilai
diskresi pemerintah, sesuatu yang dianggap tabu dalam Hukum Administrasi
Negara.
Ada pemahaman
yang dianut luas dalam Hukum Acara Peratun bahwa sebagai konsekuensi dari Pasal
1 angka 9 UU No. 9 Tahun 2004, Hakim PTUN menguji suatu KTUN dengan mendasarkan
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku (ex tunc). Hal itu cenderung dimaknai pertama, Hakim PTUN cenderung
menguji legalitas suatu KTUN “hanya” secara vertikal ke atas dengan mendasarkan
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak menguji berdasarkan
konteks sosial dari “legitimasi” suatu KTUN. Kedua, pengujian dilakukan hanya
didasarkan atas suatu KTUN yang eksis pada saat suatu KTUN ditetapkan dan
dengan dasar pengujian (toetsingsgrond) yang dicantumkan dalam bab mengingat suatu
KTUN (vide Pasal 55 dan Pasal 56 UU
No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan).
Prinsip
pencabutan suatu peraturan maupun beschikking produk pemerintah sebenarnya
melekat pada kewenangan pemerintah sendiri. Maka, Pemerintah memiliki kewenangan
untuk mencabut kembali setiap produk hukum (regeling
maupun beschikking) karena sejatinya
meskipun tak dicantumkan “veilegheid clausule” (klausula penyelamat) dalam
produk hukum tersebut, pemerintah memiliki kewenangan untuk meninjau kembali
bahkan mencabut kembali produk hukum yang diterbitkannya secara eksklusif.
Dengan demikian, sesungguhnya pemerintah memiliki otoritas yang penuh untuk
meninjau kembali status keberadaan produk hukum yang diterbitkannya dengan
tetap memperhatikan asas kepastian hukum dan asas keadilan. Namun, tentunya
pencabutan suatu produk hukum harus melalui mekanisme yang sama dengan
mekanisme penerbitannya (asas contratius actus similar fit). Hal yang sama juga
berlaku untuk suatu KTUN. Mekanisme pencabutannya harus melalui mekanisme yang
sama dengan mekanisme penetapannya. Meskipun, dalam setiap suatu KTUN baik
secara expresis-verbis maupun tidak dicantumkan veilegheid clausule (klausula
pengaman), pencabutan suatu KTUN harus tetap mendasarkan pada asas contrarius
actus similar fit, asas kepastian hukum, asas keadilan dan asas perlindungan
hak warga masyarakat. Tanpa memperhatikan hal itu, UUAP sudah memberikan guidances tindakan tata usaha negara
tersebut bisa dikategorikan abuse of
prower, excess of power maupun kategori lainnya yang lebih luas dalam UU
Ombudsman (mal administrasi).
Kedudukan
Kepala Daerah dengan organisasi perangkat daerah (OPD) di bawahnya secara
teoretis adalah merupakan hubungan yang bersifat mandat, karena hubungan antara
pejabat yang lebih tinggi dengan pejabat di bawahnya selalu harus dibaca
sebagai mandat. Hal itu berbeda dengan konsep yang dianut dalam U AP (vide
Pasal 13 UUAP). Delegasi dalam UUAP bisa saja diberikan kepada pejabat yang
secara struktural lebih rendah dalam institusi yang sama. Hal mana berbeda
dengan teori HAN yang oleh mayoritas ahli dikatakan bahwa hubungan vertikal
antara pejabat yang lebih tinggi kepada pejabat yang lebih rendah dalam
institusi yang sama selalu dikatakan sebagai hubungan yang bersifat mandat. MA
mengambil jalan tengah moderat melalui Sema No. 2/1991 yang memberi ruang bagi
Hakim TUN untuk meneliti sampai selesainya pemeriksaan persiapan untuk menilai
karakter dari hubungan pelimpahan kewenangan dalam penerbitan suatu KTUN.
4.
Pendapat Hukum
a.
Kedudukan Surat Keputusan Pejabat Tata Usaha
Negara yang dianggap bertentangan dengan produk hukumnya -- padahal belum ada
mekanisme pencabutan dan dinyatakan tidak berlaku --- dapat dianalisis dari 2
(dua) segi. Pertama, ditinjau dari teori Hukum Administrasi Negara, dasar dari
tindakan tata usaha negara harus selalu memenuhi asas legalitas (rechtsmatigheid beginsel) dan asas
kepastian hukum (rechtszekerheidsbeginsel).
Hal itu dituangkan pada Pasal 8 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan (UU Adpem) yang menyatakan bahwa Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan dalam menggunakan Wewenang wajib berdasarkan: a. peraturan
perundang-undangan; dan b. AUPB. Demikian pula, Pasal 9 UU Adpem juga mengatur
beberapa landasan hukum penting, antara lain: (1) Setiap Keputusan dan/atau
Tindakan wajib berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan dan AUPB; (2)
Peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a.
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar Kewenangan; dan b. peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan
Keputusan dan/atau Tindakan; (3) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam
menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan wajib mencantumkan
atau menunjukkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
Kewenangan dan dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau
Tindakan. Tindakan badan atau pejabat tata usaha negara dengan demikian harus
selalu mengacu pada produk hukum yang menjadi dasar tindakan badan atau pejabat
tata usaha negara tersebut, termasuk dan
terutama terhadap tindakan tata usaha negara yang merupakan manifestasi
penggunaan wewenang tata usaha negara yang dituangkan dalam bentuk keputusan
tata usaha negara (beschikking) maupun peraturan (regeling).Maka,
Surat Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara yang dianggap bertentangan dengan
produk hukumnya harus dinyatakan batal demi hukum (van rechtswege nietig) yang bersifat ex tunc (dari awalnya dianggap tidak ada/tidak mengikat). Kedua,
ditinjau dari azas contrarius actus
similar fit. Setiap tindakan badan atau pejabat tata usaha negara
senantiasa dapat dibatalkan/dicabut melalui mekanisme yang sama dengan
mekanisme penetapannya. Artinya, meskipun belum ada regulasi yang mengatur
mekanisme pencabutannya, tindakan hukum badan atau pejabat tata usaha negara
yang bertentangan dengan produk hukumnya senantiasa dapat dicabut/dibatalkan ab ovo (dikembalikan pada kondisi awal
sebelum penetapan dikeluarkan oleh pejabat a
quo).oleh pejabat yang menetapkannya. Selain itu, dalam konteks UU Adpem,
dapat diterapkan Pasal 87 huruf d perihal Keputusan Tata Usaha Negara yang
bersifat final dalam arti luas, yaitu Keputusan yang diambil alih oleh Atasan
Pejabat yang berwenang. Artinya, atasan pejabat yang bersangkutan dapat
mengambil alih kewenangan pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang
diterbitkan oleh pejabat tata usaha negara a
quo. Hal itu juga didukung oleh
Pasal 13 ayat 5 dan 6 UU Adpem, yang mengatur bahwa: (5) Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang memberikan Delegasi dapat menggunakan sendiri Wewenang yang
telah diberikan melalui Delegasi, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan dan (6) Dalam hal pelaksanaan Wewenang berdasarkan
Delegasi menimbulkan ketidakefektifan penyelenggaraan pemerintahan, Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan pendelegasian Kewenangan dapat
menarik kembali Wewenang yang telah didelegasikan.
b.
Prosedur pencabutan Peraturan Bupati hanya
menggunakan surat pemberitahuan kepada DPRD Kabupaten merupakan prosedur
merupakan prosedur pencabutan Peraturan Bupati yang tidak dapat dibenarkan
secara teori dan praktik. Hal itu bertentangan dengan asas contrarius actus similar fit, yang maknanya adalah pencabutan suatu
Keputusan (beschikking) maupun peraturan (regeling) harus melalui mekanisme
yang sama dengan mekanisme penerbitan produk hukum tersebut. Dengan demikian,
seharusnya Bupati mengeluarkan Peraturan Bupati yang tingkatnya sama dengan
Peraturan Bupati yang ingin dicabut dan didalamnya berisi klausul secara khusus
(sesuai dengan azas spesialitas dalam teori Hukum Administrasi Negara) yang
berisi norma hukum pencabutan peraturan bupati yang ingin dicabut.
c.
Dalam sistem hukum perundang-undangan pada
prinsipnya terdapat 2 (dua) sistem pengaturan. Pertama, single authority system, yang artinya hanya ada satu lembaga yang
diberikan kewenangan untuk mengeluarkan produk hukum yang bersifat pengaturan
dan berdaya laku sebagai undang-undang. Kedua, multiple authority system, yang maknanya diatur adanya beberapa
lembaga publik yang diberikan kewenangan untuk mengeluarkan produk hukum yang
berdaya mengikat secara umum (wet
atau regeling) sesuai dengan
tingkatannya yang menentukan hierarkhi tingkatan produk hukum yang
dikeluarkannya. Jika berkaca pada UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, pada hakikatnya Indonesia menggunakan model yang
kedua, multiple authority system, yang memberikan kewenangan secara bertingkat terhadap
lembaga maupun produk hukum yang dikeluarkannya, mulai dari UU sampai dengan
peraturan pelaksanaannya. Peraturan perundang-undangan yang secara hierarkhis
lebih tingkatannya lebih rendah baik dari segi lembaga yang mengeluarkannya
mapun produk hukum yang dikeluarkannya tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan demikian, status
keberlakuan Peraturan Bupati a quo jika dianggap bertentangan dengan peraturan
yang lebih tinggi menjadi tidak berlaku atau batal demi hukum (nietig van rechtswege) atau dapat
diabaikan saja keberadaannya karena secara ab
ovo sudah batal demi hukum. Dapat pula diambil tindakan pemerintahan,
Gubernur memerintahkan kepada Bupati untuk mencabut peraturan bupati yang
dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
sesuai dengan azas contrarius actus
similar fit.
d.
Sanksi administratif dalam teori Hukum
Administrasi Negara harus didasarkan atas tujuan untuk memperbaiki (fungsi
korektif) bukan menghukum (condemnatoir).
Atas dasar konsep tersebut, dalam penjatuhan sanksi administratif harus
dilakukan secara bertahap dimulai dari sanksi yang paling ringan (misalnya
teguran lisan) sampai dengan sanksi yang paling berat (misalnya pemberhentian
sebagai pegawai, pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara ijin, dan lain-lain).
Ada 4 (empat) sanksi utama dalam Teori Hukum Administrasi Negara, yaitu: Paksaan
pemerintahan (bestuursdwang), denda
administratif (administrative boete),
uang paksa (dwangsom) dan pencabutan
KTUN yang menguntungkan. Kemudian, terdapat variasi perkembangan dalam jenis
sanksi administrasi negara di berbagai peraturan perundang-undangan sektoral
yang pada hakikatnya merupakan derivat dari keempat sanksi pokok dalam teori
Hukum Administrasi Negara tersebut. Dalam penjatuhan sanksi administratif,
memang dikenal adanya kumulasi sanksi, yaitu kumulasi sanksi secara internal
maupun kumulasi sanksi secara eksternal. Kumulasi sanksi secara internal
artinya sanksi administratif dapat dijatuhkan secara bersama-sama dengan sanksi
administratif yang lain. Misalnya sanksi untuk membayar denda administratif
dijatuhkan bersamaan dengan sanksi pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang
menguntungkan. Namun, dalam teori Hukum Administrasi Negara terdapat azas Nebis Vexari, artinya sanksi
administratif yang karakternya sejenis tidak boleh dijatuhkan bersamaan.
Misalnya, sanksi paksaan pemerintahan (bestuursdwang) tidak dapat dijatuhkan
bersamaan dengan sanksi uang paksa (dwangsom),
karena uang paksa merupakan alternatif pengganti manakala paksaaan pemerintah (bestuursdwang) tidak dapat dilakukan.
Kumulasi ekternal dapat diterapkan dalam penjatuhan sanksi administratif,
artinya sanksi administratif dapat dijatuhkan bersamaan dengan sanksi di bidang
hukum lain, misalnya sanksi pidana tidak menghalangi dijatuhkannya sanksi
administratif terhadap pihak pelanggar.Selain itu, dalam teori Hukum
Administrasi Negara, juga berlaku asas sanksi administratif yang sifatnya
bertingkat, artinya, sanksi administratif harus dijatuhkan mulai dari sanksi
yang ringan terlebih dahulu. Hal ini sebenarnya merupakan derivat dari azas in
cauda venenum, artinya sanksi yang lebih berat (khususnya dalam hal terbuka
kemungkinan dijatuhkan sanksi yang lebih berat atau sanksi pidaha), harus
diberikan preferensi untuk menjatuhkan sanksi yang ringan terlebih dahulu.
Sanksi yang lebih berat harus didasarkan adanya alasan yang kuat bahwa pihak
yang dinilai melanggar tidak bersedia mematuhi sanksi yang lebih ringan. Hal
ini juga dikaitkan dengan karakter sanksi administratif yang didasarkan atas
tujuan yang bersifat memperbaiki (repatoir),
bukan didasarkan atas tujuan penghukuman (condemnatoir).
Pejabat dilarang menjatuhkan sanksi administratif yang lebih berat, manakala
pihak yang dinilai melanggar belum pernah dijatuhi sanksi administratif yang
lebih ringan.
e. Hbungan kerja
antara Gubernur dengan Dinas di bawahnya pada prinsipnya harus selalu dimaknai
sebagai hubungan yang bersifat mandat. Artinya, dalam lingkungan kerja yang
secara struktural sama, hubungan antara pejabat yang lebih tinggi merupakan
hubungan yang bersifat mandat. Pejabat yang lebih rendah (mandataris ),
melaksanakan tugas untuk dan atas nama pejabat yang lebih tinggi (mandans). Dalam
konteks UU Adpem, berlaku Pasal 14 UU Adpem yang mengatur bahwa: (1) Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh Mandat apabila: a. ditugaskan oleh
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan di atasnya; dan b. merupakan pelaksanaan
tugas rutin; (2) Pejabat yang
melaksanakan tugas rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri
atas: a. pelaksana harian yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif
yang berhalangan sementara; dan b. pelaksana tugas yang melaksanakan tugas
rutin dari pejabat definitif yang berhalangan tetap; (3) Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan dapat memberikan Mandat kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
lain yang menjadi bawahannya, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan; (4) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menerima
Mandat harus menyebutkan atas nama Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
memberikan Mandat; (5) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan
Mandat dapat menggunakan sendiri Wewenang yang telah diberikan melalui Mandat,
kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; (6) Dalam
hal pelaksanaan Wewenang berdasarkan Mandat menimbulkan ketidakefektifan
penyelenggaraan pemerintahan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
memberikan Mandat dapat menarik kembali Wewenang yang telah dimandatkan; (7) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
memperoleh Wewenang melalui Mandat tidak berwenang mengambil Keputusan dan/atau
Tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum
pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran; (8) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
memperoleh Wewenang melalui Mandat tanggung jawab Kewenangan tetap pada pemberi
Mandat. Pertanggungjawaban dalam relasi
yang bersifat mandat tersebut sebagai berikut: pertama, pertanggungjawaban
sekunder, mandataris bertanggungjawab secara internal – vertikal kepada pejabat
yang lebih tinggi (mandans); kedua, pertanggungjawaban primer, pejabat yang
memberi mandat (mandans) memiliki pertanggungjawabah internal-eksternal.
f.
Tidak
diperbaharuinya izin lingkungan dapat berakibat pada pencabutan IUP Operasi
Produksi mengingat salah satu prasyarat diterbitkannya IUP OP ialah harus
memenuhi izin lingkungan, dengan syarat bahwa peraturan perundang-undangan
menentukan bahwa pembaruan izin lingkungan tersebut merupakan syarat pokok bagi
penerbitan IUP OP. Hubungan antara izin lingkungan dengan IUP OP tersebut dalam
Hukum Administrasi Negara dikategorikan sebagai KTUN-berangkai. Artinya, KTUN
yang satu menjadi prasyarat bagi KTUN yang lain. Maka, apakah sampai perlu
dilakukan pencabutan atau tidak harus ditelusuri dari 2 (dua) hal. Pertama, sesuai dengan asas legalitas
(rechtsmatigheid van het bestuur)
harus sungguh dicermati syarat dan kriteria pencabutan suatu KTUN yang
dikaitkan dengan syarat yang ditentukan terhadap KTUN yang menjadi dasar dari
penerbitan KTUN selanjutnya. Kedua, harus diperhatikan apakah tindakan
pencabutan tersebut sudah sesuai dengan tahapan penjatuhan sanksi administratif
yang harus dilaukan secara bertahap dari yang ringan sampai dengan yang
terberat (bahkan sampai pada sanksi pidana), mengingat adanya azas in cauda venenum. Pencabutan suatu KTUN
harus menjadi upaya yang terakhir apabila sanksi administratif yang lebih
ringan sudah terlebih dahulu dijatuhkan terhadap pelanggar yang didahului oleh
2 (dua) prasyarat, yaitu: 1. Penyelidikan terhadap fakta-fakta pelanggaran yang
memungkinkan dijatuhkannya sanksi administratif (untuk memenuhi azas kecermatan
dalam tindakan administratif pejabat tata usaha negara); 2.
Peringatan-peringatan tertulis dalam hal pelanggar tidak mematuhi syarat-syarat
yang dikaitkan dengan penerbitan KTUN a quo (untuk memenuhi asas kehati-hatian
dalam melakukan tindakan administratif pejabat tata usaha negara). Apabila hal
itu tidak diperhatikan bagi pejabat tata usaha negara yang melakukan pencabutan
suatu KTUN ada resiko akan terjadi konsekuensi yang diatur dalam UU Adpem. Pasal 17 ayat (1) UU Adpem mengatur bahwa: Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan Wewenang; Pasal 17 ayat (2) UU
Adpem mengatur bahwa Larangan penyalahgunaan Wewenang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi: a. larangan melampaui Wewenang; b. larangan mencampuradukkan
Wewenang; dan/atau c. larangan bertindak sewenang-wenang. Selanjutnya, pada Pasal 18 diatur lebih rinci
secara kategoris ketiga larangan tersebut. Pengaturan pada Pasal 18 tersebut
meliputi: pertama, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan melampaui
Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a apabila Keputusan
dan/atau Tindakan yang dilakukan: a. melampaui masa jabatan atau batas waktu
berlakunya Wewenang; b. melampaui batas
wilayah berlakunya Wewenang; dan/atau c. bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Kedua, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan
mencampuradukkan Wewenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal
17 ayat (2) huruf b apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan:
a. di luar cakupan bidang atau materi Wewenang yang diberikan; dan/atau b.
bertentangan dengan tujuan Wewenang yang diberikan. Dan, ketiga, Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan dikategorikan bertindak sewenang-wenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c apabila Keputusan dan/atau Tindakan
yang dilakukan: a. tanpa dasar Kewenangan; dan/atau b. bertentangan dengan
Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, sejak di
Pasal 5 UU Adpem telah diingatkan agar Penyelenggaraan Administrasi
Pemerintahan didasarkan atas: a. asas legalitas; b. asas pelindungan terhadap
hak asasi manusia; dan c. AUPB. Pasal 10 ayat (1) UU Adpem menyebutkan bahwa AUPB
yang dimaksud dalam Undang-Undang ini meliputi asas: a. kepastian hukum; b.
kemanfaatan; c. ketidakberpihakan; d. kecermatan; e. tidak menyalahgunakan
kewenangan; f. keterbukaan; g.
kepentingan umum; dan h. pelayanan yang baik. Demikian juga, Pasal 7 UU Adpem
juga telah memberikan pedoman bahwa: (1) Pejabat Pemerintahan berkewajiban
untuk menyelenggarakan Administrasi Pemerintahan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, kebijakan pemerintahan, dan AUPB. (2) Pejabat
Pemerintahan memiliki kewajiban: a. membuat Keputusan dan/atau Tindakan sesuai
dengan kewenangannya; b. mematuhi AUPB dan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; c. mematuhi persyaratan dan prosedur pembuatan Keputusan
dan/atau Tindakan; d. mematuhi Undang-Undang ini dalam menggunakan Diskresi; e.
memberikan Bantuan Kedinasan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
meminta bantuan untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan tertentu; f.
memberikan kesempatan kepada Warga Masyarakat untuk didengar pendapatnya
sebelum membuat Keputusan dan/atau Tindakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. g. memberitahukan kepada Warga Masyarakat yang berkaitan
dengan Keputusan dan/atau Tindakan yang menimbulkan kerugian paling lama 10
(sepuluh) hari kerja terhitung sejak Keputusan dan/atau Tindakan ditetapkan
dan/atau dilakukan; h. menyusun standar operasional prosedur pembuatan
Keputusan dan/atau Tindakan; i. memeriksa dan meneliti dokumen Administrasi
Pemerintahan, serta membuka akses dokumen Administrasi Pemerintahan kepada
Warga Masyarakat, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang; j. menerbitkan
Keputusan terhadap permohonan Warga Masyarakat, sesuai dengan hal-hal yang diputuskan dalam
keberatan/banding; k. melaksanakan Keputusan dan/atau Tindakan yang sah dan
Keputusan yang telah dinyatakan tidak sah atau dibatalkan oleh Pengadilan,
pejabat yang bersangkutan, atau Atasan Pejabat; dan l. mematuhi putusan
Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar