Minggu, 03 Mei 2020


Pendapat Hukum Ahli Bidang Hukum Administrasi Negara
 atas
 Putusan PTUN Kalimantan Selatan No. 4/G/2018/PTUN.BJM, No. 5/G/2018/PTUN.BJM dan No. 6/G/2018/PTUN.BJM.
Oleh: Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.
Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara
Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta

1.       Posisi Kasus  ( Sesuai dengan yang diuraikan oleh Paparan dari KARSA  & PARTNERS - Attorney – Counselor at Law)

Bahwa pada tanggal 29 Desember 2004, Pemerintah Daerah Kab. Kotabaru mengeluarkan Peraturan Bupati Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Larangan Aktivitas Pertambangan Batubara di Pulau Laut Kabupaten Kotabaru. Pada tanggal 5 November 2008, Bupati Kotabaru mengeluarkan izin Kuasa Penyelidikan Umum Pertambangan Batubara kepada PT. Sebuku Tanjung Coal.
Selanjutnya, pada tanggal 20 April 2009 Bupati Kotabaru mengeluarkan Surat Keputusan Bupati Kotabaru Nomor 545/03/IUPE/D.PE tentang Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi kepada PT. Sebuku Tanjung Coal. Pada tanggal 1 Juli 2010 Sekda Kotabaru atas nama Bupati Kotabaru mengeluarkan Surat Pemberitahuan yang ditujukan kepada Ketua DPRD. Adapun substansi surat pemberitahuan tersebut ialah berupa pemberitahuan bahwa Peraturan Bupati Nomor 30 Tahun 2004 dianggap bertentangan dengan UU N0. 4 Tahun 2009 tentang Minerba dan PP 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Nasional.
Tanggal 7 Juli 2010, Bupati Kotabaru mengeluarkan Surat Keputusan Bupati Nomor 545/63/IUPOP/D.PE/2010 tentang Perseutujuan Peningkatan IUP Eksplorasi menjadi IUP Operasi Produksi Kepada Sebuku Tanjung Coal.  Kemudian,  pada tahun 2018 Gubernur Kalimantan Selatan mencabut IUP Operasi Produksi PT Sebuku Tanjung Coal, salah satu alasannya ialah kaeena tidak memperbaharui izin lingkungan.

2.       Isu-isu Hukum
a.       Bagaimana kedudukan Surat Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara yang dianggap bertentangan dengan produk hukumnya padahal belum ada mekanisme pencabutan dan dinyatakan tidak berlaku dapat dibenarkan secara hukum?
b.       Apakah prosedur pencabutan Peraturan Bupati hanya menggunakan surat pemberitahuan kepada DPRD Kabupaten merupakan prosedur yang dapat dibenarkan sefcara teori dan praktik?
c.       Bagaimana status keberlakuan Peraturan Bupati a quo jika dianggap bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi?
d.       Bagaiaman pemberian sanksi administratif dipandang secara teori dan praktiknya?
e.       Bagaimana hubungan kerja antara Gubernur dengan Dinas di bawahnya?
f.        Apakah dengan tidak diperbaharuinya izin lingkungan dapat berakibat pada pencabutan IUP Operasi Produkisi mengingat salah satu prasyarat diterbitkannya IUP OP ialah harus memenuhi izin lingkungan?



3.       Eksposisi Teori Hukum Administrasi Negara Terkait
Karakter dari sanksi administratif pada hakikatnya bersifat reparatoir, bertujuan untuk memperbaiki dan mengarahkan kembali pelanggaran yang dilakukan oleh pelanggar norma HAN ke pada situasi yang dikehendaki oleh tujuan norma HAN Umum dan sektoral. Sanksi administratif merupakan parate – executie yang dapat dilaksanakan tanpa melalui proses peradilan, karena terletak di ranah pemerintahan. Sanksi administratif sifat normanya adalah kewenangan, bukan kewajiban. Maka, juga bisa dikatakan bahwa sanksi administratif sangat dominan warna diskresinya, walaupun dalam UU sudah diatur prosedur penegakan norma HAN melalui sanksi administratif secara restriktif-limitatif. Ketika Hakim Tata Usaha Negara mengadili penerapan sanksi administratif oleh badan atau pejabat tata usaha negara, hakim harus berhati-hati dan memperhatikan dengan sungguh konsep marginale – toetsing. Hal itu disebabkan bisa saja hakim justru menilai diskresi pemerintah, sesuatu yang dianggap tabu dalam Hukum Administrasi Negara.
Ada pemahaman yang dianut luas dalam Hukum Acara Peratun bahwa sebagai konsekuensi dari Pasal 1 angka 9 UU No. 9 Tahun 2004, Hakim PTUN menguji suatu KTUN dengan mendasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku (ex tunc). Hal itu cenderung dimaknai pertama, Hakim PTUN cenderung menguji legalitas suatu KTUN “hanya” secara vertikal ke atas dengan mendasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak menguji berdasarkan konteks sosial dari “legitimasi” suatu KTUN. Kedua, pengujian dilakukan hanya didasarkan atas suatu KTUN yang eksis pada saat suatu KTUN ditetapkan dan dengan dasar pengujian (toetsingsgrond) yang dicantumkan dalam bab mengingat suatu KTUN (vide Pasal 55 dan Pasal 56 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan).
Prinsip pencabutan suatu peraturan maupun beschikking produk pemerintah sebenarnya melekat pada kewenangan pemerintah sendiri. Maka, Pemerintah memiliki kewenangan untuk mencabut kembali setiap produk hukum (regeling maupun beschikking) karena sejatinya meskipun tak dicantumkan “veilegheid clausule” (klausula penyelamat) dalam produk hukum tersebut, pemerintah memiliki kewenangan untuk meninjau kembali bahkan mencabut kembali produk hukum yang diterbitkannya secara eksklusif. Dengan demikian, sesungguhnya pemerintah memiliki otoritas yang penuh untuk meninjau kembali status keberadaan produk hukum yang diterbitkannya dengan tetap memperhatikan asas kepastian hukum dan asas keadilan. Namun, tentunya pencabutan suatu produk hukum harus melalui mekanisme yang sama dengan mekanisme penerbitannya (asas contratius actus similar fit). Hal yang sama juga berlaku untuk suatu KTUN. Mekanisme pencabutannya harus melalui mekanisme yang sama dengan mekanisme penetapannya. Meskipun, dalam setiap suatu KTUN baik secara expresis-verbis maupun tidak dicantumkan veilegheid clausule (klausula pengaman), pencabutan suatu KTUN harus tetap mendasarkan pada asas contrarius actus similar fit, asas kepastian hukum, asas keadilan dan asas perlindungan hak warga masyarakat. Tanpa memperhatikan hal itu, UUAP sudah memberikan guidances tindakan tata usaha negara tersebut bisa dikategorikan abuse of prower, excess of power maupun kategori lainnya yang lebih luas dalam UU Ombudsman (mal administrasi).
Kedudukan Kepala Daerah dengan organisasi perangkat daerah (OPD) di bawahnya secara teoretis adalah merupakan hubungan yang bersifat mandat, karena hubungan antara pejabat yang lebih tinggi dengan pejabat di bawahnya selalu harus dibaca sebagai mandat. Hal itu berbeda dengan konsep yang dianut dalam U AP (vide Pasal 13 UUAP). Delegasi dalam UUAP bisa saja diberikan kepada pejabat yang secara struktural lebih rendah dalam institusi yang sama. Hal mana berbeda dengan teori HAN yang oleh mayoritas ahli dikatakan bahwa hubungan vertikal antara pejabat yang lebih tinggi kepada pejabat yang lebih rendah dalam institusi yang sama selalu dikatakan sebagai hubungan yang bersifat mandat. MA mengambil jalan tengah moderat melalui Sema No. 2/1991 yang memberi ruang bagi Hakim TUN untuk meneliti sampai selesainya pemeriksaan persiapan untuk menilai karakter dari hubungan pelimpahan kewenangan dalam penerbitan suatu KTUN.

4.       Pendapat Hukum
a.       Kedudukan Surat Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara yang dianggap bertentangan dengan produk hukumnya -- padahal belum ada mekanisme pencabutan dan dinyatakan tidak berlaku --- dapat dianalisis dari 2 (dua) segi. Pertama, ditinjau dari teori Hukum Administrasi Negara, dasar dari tindakan tata usaha negara harus selalu memenuhi asas legalitas (rechtsmatigheid beginsel) dan asas kepastian hukum (rechtszekerheidsbeginsel). Hal itu dituangkan pada Pasal 8 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Adpem) yang menyatakan bahwa Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menggunakan Wewenang wajib berdasarkan: a. peraturan perundang-undangan; dan b. AUPB. Demikian pula, Pasal 9 UU Adpem juga mengatur beberapa landasan hukum penting, antara lain: (1) Setiap Keputusan dan/atau Tindakan wajib berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan dan AUPB; (2) Peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar Kewenangan; dan b. peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan; (3) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan wajib mencantumkan atau menunjukkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar Kewenangan dan dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan. Tindakan badan atau pejabat tata usaha negara dengan demikian harus selalu mengacu pada produk hukum yang menjadi dasar tindakan badan atau pejabat tata usaha negara tersebut, termasuk  dan terutama terhadap tindakan tata usaha negara yang merupakan manifestasi penggunaan wewenang tata usaha negara yang dituangkan dalam bentuk keputusan tata usaha negara (beschikking)  maupun peraturan  (regeling).Maka, Surat Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara yang dianggap bertentangan dengan produk hukumnya harus dinyatakan batal demi hukum (van rechtswege nietig) yang bersifat ex tunc (dari awalnya dianggap tidak ada/tidak mengikat). Kedua, ditinjau dari azas contrarius actus similar fit. Setiap tindakan badan atau pejabat tata usaha negara senantiasa dapat dibatalkan/dicabut melalui mekanisme yang sama dengan mekanisme penetapannya. Artinya, meskipun belum ada regulasi yang mengatur mekanisme pencabutannya, tindakan hukum badan atau pejabat tata usaha negara yang bertentangan dengan produk hukumnya senantiasa dapat dicabut/dibatalkan ab ovo (dikembalikan pada kondisi awal sebelum penetapan dikeluarkan oleh pejabat a quo).oleh pejabat yang menetapkannya. Selain itu, dalam konteks UU Adpem, dapat diterapkan Pasal 87 huruf d perihal Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat final dalam arti luas, yaitu Keputusan yang diambil alih oleh Atasan Pejabat yang berwenang. Artinya, atasan pejabat yang bersangkutan dapat mengambil alih kewenangan pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkan oleh pejabat tata usaha negara a quo. Hal  itu juga didukung oleh Pasal 13 ayat 5 dan 6 UU Adpem, yang mengatur bahwa: (5) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan Delegasi dapat menggunakan sendiri Wewenang yang telah diberikan melalui Delegasi, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan (6) Dalam hal pelaksanaan Wewenang berdasarkan Delegasi menimbulkan ketidakefektifan penyelenggaraan pemerintahan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan pendelegasian Kewenangan dapat menarik kembali Wewenang yang telah didelegasikan.
b.      Prosedur pencabutan Peraturan Bupati hanya menggunakan surat pemberitahuan kepada DPRD Kabupaten merupakan prosedur merupakan prosedur pencabutan Peraturan Bupati yang tidak dapat dibenarkan secara teori dan praktik. Hal itu bertentangan dengan asas contrarius actus similar fit, yang maknanya adalah pencabutan suatu Keputusan (beschikking) maupun peraturan (regeling) harus melalui mekanisme yang sama dengan mekanisme penerbitan produk hukum tersebut. Dengan demikian, seharusnya Bupati mengeluarkan Peraturan Bupati yang tingkatnya sama dengan Peraturan Bupati yang ingin dicabut dan didalamnya berisi klausul secara khusus (sesuai dengan azas spesialitas dalam teori Hukum Administrasi Negara) yang berisi norma hukum pencabutan peraturan bupati yang ingin dicabut.
c.       Dalam sistem hukum perundang-undangan pada prinsipnya terdapat 2 (dua) sistem pengaturan. Pertama, single authority system, yang artinya hanya ada satu lembaga yang diberikan kewenangan untuk mengeluarkan produk hukum yang bersifat pengaturan dan berdaya laku sebagai undang-undang. Kedua, multiple authority system, yang maknanya diatur adanya beberapa lembaga publik yang diberikan kewenangan untuk mengeluarkan produk hukum yang berdaya mengikat secara umum (wet atau regeling) sesuai dengan tingkatannya yang menentukan hierarkhi tingkatan produk hukum yang dikeluarkannya. Jika berkaca pada UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pada hakikatnya Indonesia menggunakan model yang kedua, multiple authority system, yang memberikan kewenangan secara bertingkat terhadap lembaga maupun produk hukum yang dikeluarkannya, mulai dari UU sampai dengan peraturan pelaksanaannya. Peraturan perundang-undangan yang secara hierarkhis lebih tingkatannya lebih rendah baik dari segi lembaga yang mengeluarkannya mapun produk hukum yang dikeluarkannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan demikian, status keberlakuan Peraturan Bupati a quo jika dianggap bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi menjadi tidak berlaku atau batal demi hukum (nietig van rechtswege) atau dapat diabaikan saja keberadaannya karena secara ab ovo sudah batal demi hukum. Dapat pula diambil tindakan pemerintahan, Gubernur memerintahkan kepada Bupati untuk mencabut peraturan bupati yang dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sesuai dengan azas contrarius actus similar fit.
d.      Sanksi administratif dalam teori Hukum Administrasi Negara harus didasarkan atas tujuan untuk memperbaiki (fungsi korektif) bukan menghukum (condemnatoir). Atas dasar konsep tersebut, dalam penjatuhan sanksi administratif harus dilakukan secara bertahap dimulai dari sanksi yang paling ringan (misalnya teguran lisan) sampai dengan sanksi yang paling berat (misalnya pemberhentian sebagai pegawai, pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara ijin, dan lain-lain). Ada 4 (empat) sanksi utama dalam Teori Hukum Administrasi Negara, yaitu: Paksaan pemerintahan (bestuursdwang), denda administratif (administrative boete), uang paksa (dwangsom) dan pencabutan KTUN yang menguntungkan. Kemudian, terdapat variasi perkembangan dalam jenis sanksi administrasi negara di berbagai peraturan perundang-undangan sektoral yang pada hakikatnya merupakan derivat dari keempat sanksi pokok dalam teori Hukum Administrasi Negara tersebut. Dalam penjatuhan sanksi administratif, memang dikenal adanya kumulasi sanksi, yaitu kumulasi sanksi secara internal maupun kumulasi sanksi secara eksternal. Kumulasi sanksi secara internal artinya sanksi administratif dapat dijatuhkan secara bersama-sama dengan sanksi administratif yang lain. Misalnya sanksi untuk membayar denda administratif dijatuhkan bersamaan dengan sanksi pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang menguntungkan. Namun, dalam teori Hukum Administrasi Negara terdapat azas Nebis Vexari, artinya sanksi administratif yang karakternya sejenis tidak boleh dijatuhkan bersamaan. Misalnya, sanksi paksaan pemerintahan (bestuursdwang) tidak dapat dijatuhkan bersamaan dengan sanksi uang paksa (dwangsom), karena uang paksa merupakan alternatif pengganti manakala paksaaan pemerintah (bestuursdwang) tidak dapat dilakukan. Kumulasi ekternal dapat diterapkan dalam penjatuhan sanksi administratif, artinya sanksi administratif dapat dijatuhkan bersamaan dengan sanksi di bidang hukum lain, misalnya sanksi pidana tidak menghalangi dijatuhkannya sanksi administratif terhadap pihak pelanggar.Selain itu, dalam teori Hukum Administrasi Negara, juga berlaku asas sanksi administratif yang sifatnya bertingkat, artinya, sanksi administratif harus dijatuhkan mulai dari sanksi yang ringan terlebih dahulu. Hal ini sebenarnya merupakan derivat dari azas in cauda venenum, artinya sanksi yang lebih berat (khususnya dalam hal terbuka kemungkinan dijatuhkan sanksi yang lebih berat atau sanksi pidaha), harus diberikan preferensi untuk menjatuhkan sanksi yang ringan terlebih dahulu. Sanksi yang lebih berat harus didasarkan adanya alasan yang kuat bahwa pihak yang dinilai melanggar tidak bersedia mematuhi sanksi yang lebih ringan. Hal ini juga dikaitkan dengan karakter sanksi administratif yang didasarkan atas tujuan yang bersifat memperbaiki (repatoir), bukan didasarkan atas tujuan penghukuman (condemnatoir). Pejabat dilarang menjatuhkan sanksi administratif yang lebih berat, manakala pihak yang dinilai melanggar belum pernah dijatuhi sanksi administratif yang lebih ringan.
e.       Hbungan kerja antara Gubernur dengan Dinas di bawahnya pada prinsipnya harus selalu dimaknai sebagai hubungan yang bersifat mandat. Artinya, dalam lingkungan kerja yang secara struktural sama, hubungan antara pejabat yang lebih tinggi merupakan hubungan yang bersifat mandat. Pejabat yang lebih rendah (mandataris ), melaksanakan tugas untuk dan atas nama pejabat yang lebih tinggi (mandans). Dalam konteks UU Adpem, berlaku Pasal 14 UU Adpem yang mengatur bahwa: (1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh Mandat apabila: a. ditugaskan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan di atasnya; dan b. merupakan pelaksanaan tugas rutin;  (2) Pejabat yang melaksanakan tugas rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas: a. pelaksana harian yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan sementara; dan b. pelaksana tugas yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan tetap; (3) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat memberikan Mandat kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lain yang menjadi bawahannya, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; (4) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menerima Mandat harus menyebutkan atas nama Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan Mandat; (5) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan Mandat dapat menggunakan sendiri Wewenang yang telah diberikan melalui Mandat, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; (6) Dalam hal pelaksanaan Wewenang berdasarkan Mandat menimbulkan ketidakefektifan penyelenggaraan pemerintahan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan Mandat dapat menarik kembali Wewenang yang telah dimandatkan;  (7) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Mandat tidak berwenang mengambil Keputusan dan/atau Tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran;  (8) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Mandat tanggung jawab Kewenangan tetap pada pemberi Mandat.  Pertanggungjawaban dalam relasi yang bersifat mandat tersebut sebagai berikut: pertama, pertanggungjawaban sekunder, mandataris bertanggungjawab secara internal – vertikal kepada pejabat yang lebih tinggi (mandans); kedua, pertanggungjawaban primer, pejabat yang memberi mandat (mandans) memiliki pertanggungjawabah internal-eksternal.
f.        Tidak diperbaharuinya izin lingkungan dapat berakibat pada pencabutan IUP Operasi Produksi mengingat salah satu prasyarat diterbitkannya IUP OP ialah harus memenuhi izin lingkungan, dengan syarat bahwa peraturan perundang-undangan menentukan bahwa pembaruan izin lingkungan tersebut merupakan syarat pokok bagi penerbitan IUP OP. Hubungan antara izin lingkungan dengan IUP OP tersebut dalam Hukum Administrasi Negara dikategorikan sebagai KTUN-berangkai. Artinya, KTUN yang satu menjadi prasyarat bagi KTUN yang lain. Maka, apakah sampai perlu dilakukan pencabutan atau tidak harus ditelusuri dari 2 (dua) hal. Pertama, sesuai dengan asas legalitas (rechtsmatigheid van het bestuur) harus sungguh dicermati syarat dan kriteria pencabutan suatu KTUN yang dikaitkan dengan syarat yang ditentukan terhadap KTUN yang menjadi dasar dari penerbitan KTUN selanjutnya. Kedua, harus diperhatikan apakah tindakan pencabutan tersebut sudah sesuai dengan tahapan penjatuhan sanksi administratif yang harus dilaukan secara bertahap dari yang ringan sampai dengan yang terberat (bahkan sampai pada sanksi pidana), mengingat adanya azas in cauda venenum. Pencabutan suatu KTUN harus menjadi upaya yang terakhir apabila sanksi administratif yang lebih ringan sudah terlebih dahulu dijatuhkan terhadap pelanggar yang didahului oleh 2 (dua) prasyarat, yaitu: 1. Penyelidikan terhadap fakta-fakta pelanggaran yang memungkinkan dijatuhkannya sanksi administratif (untuk memenuhi azas kecermatan dalam tindakan administratif pejabat tata usaha negara); 2. Peringatan-peringatan tertulis dalam hal pelanggar tidak mematuhi syarat-syarat yang dikaitkan dengan penerbitan KTUN a quo (untuk memenuhi asas kehati-hatian dalam melakukan tindakan administratif pejabat tata usaha negara). Apabila hal itu tidak diperhatikan bagi pejabat tata usaha negara yang melakukan pencabutan suatu KTUN ada resiko akan terjadi konsekuensi yang diatur dalam UU Adpem.  Pasal 17 ayat (1)  UU Adpem mengatur bahwa: Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan Wewenang; Pasal 17 ayat (2) UU Adpem mengatur bahwa Larangan penyalahgunaan Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. larangan melampaui Wewenang; b. larangan mencampuradukkan Wewenang; dan/atau c. larangan bertindak sewenang-wenang.  Selanjutnya, pada Pasal 18 diatur lebih rinci secara kategoris ketiga larangan tersebut. Pengaturan pada Pasal 18 tersebut meliputi: pertama, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan melampaui Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan: a. melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya Wewenang;  b. melampaui batas wilayah berlakunya Wewenang; dan/atau c. bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kedua, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan mencampuradukkan Wewenang sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  17 ayat (2) huruf b apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan: a. di luar cakupan bidang atau materi Wewenang yang diberikan; dan/atau b. bertentangan dengan tujuan Wewenang yang diberikan. Dan, ketiga, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan bertindak sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan: a. tanpa dasar Kewenangan; dan/atau b. bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, sejak di Pasal 5 UU Adpem telah diingatkan agar Penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan didasarkan atas: a. asas legalitas; b. asas pelindungan terhadap hak asasi manusia; dan c. AUPB. Pasal 10 ayat (1) UU Adpem menyebutkan bahwa AUPB yang dimaksud dalam Undang-Undang ini meliputi asas: a. kepastian hukum; b. kemanfaatan; c. ketidakberpihakan; d. kecermatan; e. tidak menyalahgunakan kewenangan; f. keterbukaan;  g. kepentingan umum; dan h. pelayanan yang baik. Demikian juga, Pasal 7 UU Adpem juga telah memberikan pedoman bahwa: (1) Pejabat Pemerintahan berkewajiban untuk menyelenggarakan Administrasi Pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kebijakan pemerintahan, dan AUPB. (2) Pejabat Pemerintahan memiliki kewajiban: a. membuat Keputusan dan/atau Tindakan sesuai dengan kewenangannya; b. mematuhi AUPB dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. mematuhi persyaratan dan prosedur pembuatan Keputusan dan/atau Tindakan; d. mematuhi Undang-Undang ini dalam menggunakan Diskresi; e. memberikan Bantuan Kedinasan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang meminta bantuan untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan tertentu; f. memberikan kesempatan kepada Warga Masyarakat untuk didengar pendapatnya sebelum membuat Keputusan dan/atau Tindakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. g. memberitahukan kepada Warga Masyarakat yang berkaitan dengan Keputusan dan/atau Tindakan yang menimbulkan kerugian paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak Keputusan dan/atau Tindakan ditetapkan dan/atau dilakukan; h. menyusun standar operasional prosedur pembuatan Keputusan dan/atau Tindakan; i. memeriksa dan meneliti dokumen Administrasi Pemerintahan, serta membuka akses dokumen Administrasi Pemerintahan kepada Warga Masyarakat, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang; j. menerbitkan Keputusan terhadap permohonan Warga Masyarakat, sesuai dengan  hal-hal yang diputuskan dalam keberatan/banding; k. melaksanakan Keputusan dan/atau Tindakan yang sah dan Keputusan yang telah dinyatakan tidak sah atau dibatalkan oleh Pengadilan, pejabat yang bersangkutan, atau Atasan Pejabat; dan l. mematuhi putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap



Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...