Optimalisasi Fungsi Komisi Yudisial dalam
Perspektif
Hukum Ketatanegaraan
oleh: Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.
Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Hadirnya Komisi Yudisial (KY) yang diberikan atribusi
wewenang oleh UUD Negara RI 1945 sebagai institusi non pemerintah setingkat lembaga
tinggi negara yang dibentuk pada level konstitusi untuk mengawasi pelaksanaan rule of ethics oleh para hakim, ingin memastikan
tujuan organ yudikatif dalam menegakkan negara hukum di negeri ini dapat diwujudkan
secara optimal. Kehadiran Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan modern
merupakan suatu perkembangan yang sangat menarik dalam cabang kekuasaan
kehakiman (judicial power).
Keberadaannya juga merupakan trend
yang terjadi pada abad ke-20 dalam sejarah negara demokrasi modern yang
mengharuskan adanya lembaga peradilan yang bebas dari campur tangan kekuasaan
lain di luarnya. Dalam perspektif hukum ketatanegaraan, hadirnya Komisi Yudisial
diamanatkan oleh Pasal 24B UUD Negara RI 1945, yang mengatur bahwa Komisi
Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung
dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Hal tersebut menegaskan bahwa KY dinisbahkan
sebagai suatu institusi independen dengan jaminan independensi secara konstitusional
(constitutional independency) agar mampu
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan melaksanakan wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku
hakim. Ditinjau dari rumusan "melaksanakan wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim"
dapat dimaknai adanya open legal policy
yang luas untuk mengawasi pelaksanaan rule
of ethics oleh para hakim.
Ditinjau
dari sudut historis, kehendak untuk membentuk institusi Komisi Yudisial tersebut
sudah ada sejak lama. Gagasan pembentukan lembaga yang mempunyai peran seperti
Komisi Yudisial sebenarnya telah muncul pada saat adanya pemikiran untuk
membentuk lembaga yang bernama Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) pada
tahun 1968. Tugas MPPH ialah memberi pertimbangan pada saat pengambilan
keputusan terakhir mengenai saran dan/atau usul pengangkatan, promosi,
kepindahan pemberhentian, dan atau tindakan/hukuman jabatan hakim yang diajukan
kepada Mahkamah Agung. Namun, sayang ide ini layu sebelum berkembang. Ide
tersebut kembali menjadi wacana seiring gelombang reformasi yang menerpa bangsa
Indonesia tahun 1997-1998 dan berdampak adanya pergantian kepemimpinan nasional
dimana Presiden Soeharto menyerahkan kekuasaannya kepada Presiden Habibie. Pasca
peralihan kekuasaan, Indonesia mengalami perubahan signifikan dalam berbagai
aspek kenegaraan, termasuk di dalamnya sistem penyelenggaraan kekuasaan negara
yang terdiri dari legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dasar perubahan ini
lahir dengan adanya Ketetapan MPR RI No.X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok
Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan
Nasional sebagai Haluan Negara. Salah satu agenda yang harus dijalankan
berdasakan Ketetapan MPR tersebut yaitu pelaksanaan reformasi di bidang hukum
untuk mendukung penanggulangan krisis di bidang hukum, dengan salah satu agenda
yang harus dijalankan afalah pemisahan yang tegas antar fungsi-fungsi,
eksekutif, yudikatif dan legislatif. Berdasarkan hal tersebut, lahirnya ide
untuk pembentukan Komisi Yudisial diawali pada tahun 1999 ketika Presiden
Habibie membentuk Panel untuk mengkaji pembaharuan UUD 1945. Dalam salah satu
diskusi forum panel dihasilkan berbagai gagasan mengenai pembentukan sebuah
badan yang disebut “Judicial
Commission”.
Gagasan pembentukan Judicial Commission dilanjutkan oleh pimpinan Ketua Mahkamah Agung
saat itu. Pada bulan Mei 2001, Mahkamah Agung membentuk Tim yang dipimpin
Abdurrahman Saleh (Hakim Agung) yang bertugas melakukan studi, pengkajian, dan
menyusun rumusan-rumusan substantif sebuah badan yang kemudian dinamakan Komisi
Yudisial. Rumusan tersebut menjadi materi dalam perubahan ketiga, yang kemudian
diatur dalam Pasal 24B dan 24C UUD RI 1945. Bersamaan dengan ide tersebut, pada
tahun 1999 pemangku kekuasaan melakukan perubahan terhadap UU Nomor 14 tahun
1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaaan Kehakiman yang dirubah dengan
UU Nomor 35 Tahun 2009. Dalam UU tersebut, terjadi pengalihan organisasi,
administrasi, dan finansial peradilan, dimana sebelumnya secara administratif
dan keuangan di bawah kendali Departemen Kehakiman, sedangkan secara teknis
yudisial berada di bawah kendali Mahkamah Agung. Konsep ini lebih dikenal dengan sebutan penyatuatapan
kekuasaan kehakiman, one roof system of
judicial power.
Akibat penyatuan atap tersebut dikhawatirkan
terjadi monopoli kekuasaan kehakiman. Hal tersebut membuat para ahli dan pengamat
hukum mengeluarkan ide untuk membentuk lembaga pengawas eksternal yang diberi
tugas menjalankan fungsi checks and
balances. Selain itu, merujuk pada naskah akademis RUU Komisi Yudisial yang
disusun oleh Mahkamah Agung, adanya kekhawatiran Mahkamah Agung belum tentu
mampu menjalankan tugas barunya karena memiliki beberapa kelemahan organisasi
yang sampai saat ini upaya perbaikannya masih dilakukan. Alasan lain ialah
kegagalan sistem yang ada untuk menciptakan pengadilan yang lebih baik.
Penyatuatapan kekuasaan kehakiman ke Mahkamah Agung belum menyesaikan
permasalahan secara tuntas. Ide tersebut direspon oleh MPR sehingga pada Sidang
Tahunan Tahun 2001 pada pembahasan Amandemen Ketiga UUD 1945 dibahas pula
keberadaan Komisi Yudisial. Pasal 24B UUD 1945 secara lugas menyebutkan bahwa
Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Betdasarkan
UUD 1945, kemudian disusun UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang
disahkan pada tanggal 13 Agustus 2004 pada era pemerintahan Presiden RI
Megawati Soekarnoputri. Guna merealisasikan UU tersebut, pemerintah membentuk
Panitia Seleksi Komisi Yudisial.
Tafsir Konstitusi
oleh Mahkamah Konstitusi
Terhadap
Pasal 24B UUD Negara RI 1945 Mahkamah Konstitusi melalui putusan No. 005/PUU-IV/2006
memberikan penafsiran bahwa hubungan antara KY sebagai supporting organ dan MA sebagai main
organ dalam bidang pengawasan perilaku hakim, seharusnya lebih tepat
dipahami sebagai hubungan kemitraan (partnership)
tanpa mengganggu kemandirian masing-masing, Bahkan, salah satu bagian dari pertimbangan
hukum putusan MK tersebut menyatakan bahwa dengan digunakan frasa “dalam rangka menjaga dan
menegakkan“ dan bukan ”untuk menjaga dan menegakkan”, maka sifat kewenangan yang
dimiliki oleh KY adalah komplementer. Artinya, tugas menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim bukan merupakan kewenangan
eksklusif yang hanya dimiliki oleh KY saja. Mahkamah Agung sebagai pengadilan
negara tertinggi dari empat lingkungan peradilan di bawahnya juga mempunyai
fungsi pengawasan yang meliputi pengawasan terhadap teknis justisial, pengawasan
administratif, maupun pengawasan terhadap perilaku hakim, sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang lebih lanjut diatur dalam
Pasal 11 ayat (4) UUKK dan Pasal 32 UUMA. MK juga berpendapat bahwa Pasal 24B
ayat (1) UUD 1945 tersebut sepanjang mengenai ”kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”, di satu pihak tidak tepat diartikan hanya sebagai
pengawasan etik eksternal saja, dan di pihak lain juga tidak tepat diartikan terpisah
dari konteks Pasal 24A ayat (3) untuk mewujudkan hakim agung – dan hakim-hakim pada peradilan di bawah MA – yang memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang
hukum. Dengan kata lain, yang dimaksud ”kewenangan
lain” dalam Pasal 24B ayat (1) UUD
1945 terkait erat dengan kewenangan utama KY untuk mengusulkan pengangkatan
hakim agung. Akhirnya, MK melalui putusannya tersebut menyatakan bahwa UUKY
yang menyangkut pengawasan harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena terbukti menimbulkan
ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid).
Untuk mengatasi akibat kekosongan hukum yang terlalu lama berkaitan dengan
tugas KY, khususnya yang berkaitan dengan ketentuan mengenai pengawasan
perilaku hakim, UUKY segera harus disempurnakan melalui proses perubahan
undang-undang sebagaimana mestinya. Keinginan untuk mengadakan perubahan
undang-undang ini telah pula dikemukakan berkali-kali secara terbuka baik oleh MA
maupun oleh KY sendiri. Karena itu, Mahkamah Konstitusi juga merekomendasikan
kepada DPR dan Presiden untuk segera mengambil langkah-langkah penyempurnaan
UUKY. Bahkan, DPR dan Presiden dianjurkan pula untuk melakukan
perbaikan-perbaikan yang bersifat integral dengan juga mengadakan perubahan
dalam rangka harmonisasi dan sinkronisasi atas UUKK, UUMA, UUMK, dan
undang-undang lain yang terkait dengan sistem peradilan terpadu.
Implikasi Putusan MK
Lahirnya UU No 18 Tahun 2011 tentang Perubahan
atas UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial kiranya tak dapat dipisahkan dari
putusan MK No. 005/PUU-IV/2006. Pasal 13 UU No. 18 Tahun 2011 mengatur bahwa Komisi
Yudisial mempunyai wewenang: a. mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim
ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan; b. menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim; c.
menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-sama dengan
Mahkamah Agung; dan d. menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau
Pedoman Perilaku Hakim. Dalam Pasal 13 UU No. 22 Tahun 2004 hanya diatur adanya
2 kewenangan KY, yaitu bahwa Komisi Yudisial mempunyai wewenang: untuk a. mengusulkan pengangkatan Hakim
Agung kepada DPR; dan b. menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta
menjaga perilaku hakim. Lahirnya, UU No. 18 Tahun 2011 tersebut dimaknai cukup positif
oleh KY. Dalam buku "Mengenal Lebih Dekat Komisi Yudisial" dikatakan bahwa
di tahun 2011 Komisi Yudisial memiliki energi baru dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 18 tahun 2011
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Perubahan yang telah ditunggu selama lima tahun ini memberikan berbagai tugas
dan wewenang baru bagi Komisi Yudisial.
Memang, sebelumnya putusan MK No. 005/PUU-IV/2006.
juga sempat menyatakan bahwa terlepas dari problem besar yang dihadapi MA,
termasuk di dalamnya masalah yang disebut oleh KY sebagai judicial corruption, maka mekanisme pengawasan ekternal yang
terpisah dari pengawasan internal tidak akan dapat diterapkan di antara MA
dengan KY, sepanjang didasarkan pada konsepsi checks and balances. Hal itu karena checks and balances tidak dapat diterapkan oleh organ penunjang (auxiliary organ) terhadap organ utama (main organ)-nya sendiri. Pendirian yang
menyatakan bahwa KY melakukan fungsi checks
and balances terhadap MA, tidak sesuai dengan jiwa (spirit) konstitusi. KY sebagai auxiliary
organ kekuasaan yudikatif akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan
kewenangannya jika didasarkan pada pemikiran checks and balances demikian, karena akan menimbulkan mekanisme
yang mengandung cacat konstitusional (constitutional
defect) dan sekaligus tidak efektif, yang pada akhirnya akan melahirkan
krisis yang mencederai tingkat kepercayaan terhadap lembaga dan proses
peradilan. Tanpa komunikasi antara lembaga negara utama (main organ) dan lembaga negara penunjang (auxiliary organ) yang didasarkan atas prinsip saling menghormati
dan saling mendengar, keberadaan lembaga negara penunjang (auxiliary organ) demikian hanya akan dianggap sebagai kendala
terhadap sistem ketatanegaraan secara keseluruhan yang didasarkan atas paham constitutional democracy dan democratische rechtsstaat sebagaimana
termuat dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945;
Jika mencermati
putusan MK No. 27/PUU-XI/2013 juga terdapat pendapat MK terkait posisi KY dalam
kaitannya dengan kewenangan KY untuk melakukan seleksi Hakim Agung. Dalam putusan
MK tersebut dinyatakan bahwa kedudukan KY yang mandiri sebagai suatu komisi
negara yang tidak berada di bawah pengaruh Mahkamah Agung ataupun tidak
dikendalikan oleh cabang kekuasaan negara lainnya menjadi sangat penting untuk
menentukan calon hakim agung. Selanjutnya, MK juga berpendapat bahwa dalam hal
menjaring calon hakim agung, KY melakukan serangkaian seleksi administrasi dan
seleksi terhadap kualitas dan kepribadian seperti yang ditentukan dalam Pasal
15 sampai dengan Pasal 18 UU KY yang juga ikut melibatkan masyarakat. Ditinjau dari
ketentuan tersebut, sangat jelas KY mempunyai tugas yang berat dalam menjaring
calon hakim agung yang berkualitas yang diyakini mempunyai integritas yang
tinggi terhadap penegakan hukum dan keadilan di Indonesia.
Penjaga Rule
of Ethics
Pasal 19A UU No. 18 Tahun 2011 mengatur bahwa dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim, Komisi Yudisial berpedoman pada Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku
Hakim yang ditetapkan oleh Komisi Yudisial bersama Mahkamah Agung. Berdasarkan kewenangan
pengawasan KY tersebut dapat dikatakan bahwa KY metupakan the guardian of the ethics bagi perilaku hakim.
Profesi hakim juga memerlukan code of
conduct yang mempunyai kekuatan mengikat bagi para anggotanya. Kode etik
bagi para hakim diperlukan, karena kode etik merupakan kumpulan asas atau nilai
moral atau norma dan asas yang diterima oleh kelompok tertentu sebagai landasan
tingkah laku.Kode etik dianggap penting bagi profesi hukum, karena profesi
hukum merupakan suatu masyarakat moral (moral community) yang memiliki
cita-cita dan nilai-nilai bersama.Kode etik adalah sebuah kompas yang menunjuk
arah moral bagi profesional hukum dan sekaligus juga menjamin mutu moral
profesi hukum di mata masyarakat. Dengan demikian, kode etik profesi hukum
merupakan pengaturan diri (self
regulation) bagi profesional hukum dengan tujuan untuk mencegah terjadinya
perilaku tidak etis. profesi hakim harus mempunyai kode etik agar nilai-nilai
yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan terinternalisasi pada diri
seorang hakim. Nilai-nilai tersebut mencakup beberapa hal sebagai berikut: 1. Hakim
dalam menjalankan tugasnya harus bebas, tetapi harus menjunjung tinggi keadilan,
2. Hakim harus menjunjung tinggi nilai-nilai keterbukaan dan menemukan hukum
melalui metode interpretasi, 3. Hakim harus selalu mempertanggungjawabkan sikap
dan tindakannya baik secara vertikal (kepada masyarakat) maupun secara horizontal
(kepada Tuhan Yang Maha Esa). 4. Hakim harus bersedia menerima keberatan yang
diajukan oleh pihak yang diadili apabila meragukan objektivitas hakim tersebut.
Sehubungan kemerdekaan hakim dalam melaksanakan
fungsinya, Joseph B Diescho dengan mengutip Basic
Principles on the Independence of the Judiciary (UNHCHR/United Nations High
Commission for Human Rights. 1985), menyatakan bahwa: "Some of the cornerstones of judicial
independence follow, for consideration: Judges are free to evaluate,
objectively, the facts of the disputes placed before them by applying the
constitution, existing laws and ordinances objectively and without duress from
other organs of government The judicial arm of the state operates independently
vis-à-vis the legislative and executive spheres of the
same socio-political system which created them all Offi cers of the courts are
independent from one another, and seniority in terms of the judicial hierarchy
does not affect their judgement in relation to one another All matters of a
judicial nature are attended to by competent members of the legal fraternity
Assignment of judges to handle cases is undertaken by senior officials of the
court solely on clear and convincing evidence of their ability to perform the
required tasks Tenure of judges lasts until retirement in terms of conditions
established by appointed members of the legal enterprise The state allocates
sufficient financial and other resources to the judiciary to obviate
temptations that arise as a result of fi nancial insecurity Disciplinary action
against judges is taken solely on convincing grounds of inability to perform,
and The selection and appointment of judges is purely on selective criteria in
accordance with the merit system."
KY Di Beberapa Negara
Komisi
Yudisial ada diberbagai negara dan dapat menjadi indikasi penting bahwa memang
ada kebutuhan di berbagai negara untuk memberikan perhatian pada lembaga
kekuasaan kehakiman. Ada beberapa alasan yang menjadi dasar pembentukan Komisi
Yudisial, yaitu antara lain: 1. Memberikan jaminan agar proses recruiting hakim dilakukan secara
profesional dan tidak bias dari kepentingan politik. 2. Meningkatkan kualitas
kinerja lembaga kekuasaan kehakiman sehingga kian efektif dalam menjalankan
tugas dan kewenangannya. dan 3. Meningkatkan kualitas pemantauan terhadap
lembaga kekuasaan kehakiman dengan melibatkan partisipasi publik. Berikut beberapa
negara di antara banyak negara yang memiliki Komisi Yudisial.
1. Afrika Selatan
Komisi Yudisial di Afrika Selatan bernama Judicial Service Commission yang diatur
di dalam Section 174 Konstitusinya.21 Komisi ini berfungsi memberikan advis
kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Ketua dan Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi, Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung, dan hakim di semua
lembaga peradilan.22 Keanggotaan Komisi ini terdiri dari beberapa jabatan,
yaitu Ketua Mahakamah Agung sebagai Ketua; Ketua Mahakamah Konstitusi; 1 orang
hakim pilihan; anggota kabinet yang bertanggung jawab terhadap administrasi
pengadilan; dua (2) orang advokat yang dinominasikan organisasinya dan diangkat
oleh presiden; dua (2) orang jaksa yang dinominasikan organisasinya dan
diangkat oleh presiden; satu (1) orang pengajar fakultas hukum yang dipilih
dari universitas universitas di Afrika Selatan; tujuh (7) orang yang dibentuk
oleh National Assembly di mana tiga
(3) di antaranya harus dari partai oposisi; empat (4) orang yang mewakili
provinsi; dan empat (4) orang yang dipilih presiden setelah melalui persetujuan
National Assembly.
2. Argentina
Komisi Yudisial di Argentina bernama Council of Magistracy yang diatur di dalam Article Konstitusinya. Dewan
ini berfungsi mengajukan calon hakim agung kepada Senat dan diangkat oleh
Presiden; bertanggung jawab terhadap seleksi hakim dan administrasi kekuasaan
kehakiman; mengembangkan pemilihan kandidat hakim tingkat bawah melalui
kompetisi publik; mengeluarkan usulan tiga nama kandidat hakim tingkat bawah; mengurus
sumber daya untuk administrasi pengadilan; melakukan tindakan pendisiplinan
terhadap hakim; memutuskan pemberhentian hakim; dan mengeluarkan peraturan
tentang organisasi pengadilan untuk menjamin independensi hakim dan efisiensi
administrasi pengadilan. Konstitusi tidak mengatur keanggotaan Dewan ini.
3. Malaysia
Komisi Yudisial di Malaysia bernama Judicial and Legal Service Commission yang diatur di
dalam Article 138 Konstitusinya.
Konstitusi Malaysia tidak mengatur secara eksplisit kewenangan lembaga ini.
Hanya dikatakan bahwa Judicial and Legal
Service Commission mempunyai yurisdiksi setiap anggota peradilan dan
pelayanan hukum.82 Keanggotaan lembaga ini terdiri dari Ketua Public Service Commission sebagai ketua;
Jaksa Agung; dan satu (1) orang atau lebih anggota yang diangkat oleh Yang
di-Pertuan Agong setelah berkonsultasi dengan Ketua Mahkamah Agung.
4. Perancis
Komisi Yudisial di Prancis bernama Conseil Superieur de la Magistrature yang diatur di dalam Title
VIII Article 64 Konstitusinya. Komisi ini berfungsi membantu Presiden sebagai
penjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman; mengusulkan pengangkatan Hakim Agung
dan pimpinan Hakim Banding; dan bertindak sebagai Dewan Pendisiplinan Hakim.Keanggotaan
Dewan ini terdiri dari Presiden yang secara ex
officio sebagai Ketua Dewan; Menteri Kehakiman sebagai Wakil Ketua
Dewan.101 Sedangkan anggotanya terdiri dari sembilan (9) orang yang diangkat
oleh Presiden.
Optimalisasi Fungsi
KY
Ditinjau dari perspektif hukum organisasi publik,
optimalisasi fungsi KY perlu mempertimbangkan pandangan Tom Christensen, dkk. (2007:
22) bahwa: "organizations have goals–
ideas about what they would like to achieve or realize in the future.Within
this context,a problem for an organization can be defined as a perceived
distance between a desired and an actual state of affairs.For public
organizations this can involve problems defined from within the public
administration or from outside.Thus,problem-solving implies actions that aim to
reduce or eliminate this distance.Another way of describing this is through the
concept of instrumentally rational actions.The implementation of such actions
consists of four elements:
■Goal
or problem:What does one want to achieve and what is the distance between that
and the current state of affairs?
■Alternatives:What actions are possible?
■(Expectations about)
consequences:What future consequences in relation to the goals might follow
from each alternative,and how likely are these consequences assuming that the
alternative is chosen?
■Decision-making rules:How shall the choice between
alternatives be made?"
Upaya untuk mengoptimalisasikan fungsi KY perku
diletakkan dalam perspektif penguatan kapasitas sistem peradilan guna menginternalisasikan
nilai-nilai transparansi, partisipasi dan akuntabilias. KY harus memperkuat mekanisme
kerja pengawasan berdasarkan pedoman pengawasan etik terhadap perilaku hakim yang
telah disepakati bersama dengan Mahkamah Agung. Jika berkaca pada putusan MK No.
005/PUU-IV/2006, upaya mengoptimalisasikan fungsi KY perlu dimaknai sebagai langkah
meningkatkan komunikasi dengan MA guna mendorong implementasi secara efektif betbagai
rule of ethics bagi para hakim.
Optimalisasi fungsi KY dalam mekanisme seleksi
hakim agung perlu dilaksanakan dengan memanfaatkan momentum yang diciptakan oleh
putusan MK No. No. 27/PUU-XI/2013. Putusan MK tersebut antara lain menyatakan bahwa
posisi DPR dalam penentuan calon hakim agung sebatas memberi persetujuan atau
tidak memberi persetujuan atas calon hakim agung yang diusulkan oleh KY, dan
DPR tidak dalam posisi untuk memilih dari beberapa calon hakim agung yang diusulkan
oleh KY sebagaimana diatur dalam Undang-Undang a quo. Hal itu dimaksudkan agar ada jaminan independensi hakim agung
yang tidak dapat dipengaruhi oleh kekuatan politik atau cabang kekuasan negara
lainnya. Hal itu bisa dipergunakan oleh KY untuk memperketat proses seleksi hakim
agung sebagaimana telah diatur oleh KY melalui Peraturan Komisi Yudisial No. 9 Tahun
2013 tentang Perubahan atas Peraturan Komisi Yudisial No. 7 Tahun 2011 tentang Tata
Cara Seleksi Hakim Agung. Terwujudnya impartialitas hakim dalam melaksanakan fungsinya
akan berpengaruh terhadap perwujudan prinsip negara hukum dan kepastian hukum yang
adil dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal itu menjadi parameter kualitas good
judicial governance. Dalam GUIDANCE FOR
PROMOTING JUDICIAL INDEPENDENCE AND IMPARTIALITY-USAID (2002) dinyatakan bahwa "If a judiciary cannot be relied upon to
decide cases impartially, according to the law, and not based on external
pressures and influences, its role is distorted and public confidence in
government is undermined."
Eksistensi Komisi Yudisial dalam mewujudkan
kekuasaan kehakiman yang merdeka meliputi: pengusulan dan pengangkatan Hakim
Agung, dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku
hakim. Peranan pengusulan dan pengangkatan Hakim Agung meliputi: pendaftaran,
penyeleksian, penetapan dan pengajuan calon Hakim Agung ke Dewan Perwakilan
Rakyat. Sedangkan peranan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta
menjaga perilaku hakim adalah pengawasan terhadap perilaku hakim dimana akan
menghasilkan dua hal yang berbeda yaitu hal yang negatif berupa pengusulan
penjatuhan sanksi, sebaliknya yang positif adalah pengusulan pemberian
penghargaan terhadap hakim atas prestasi dan jasanya menegakkan kerhormatan dan
keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Kewenangan KY tersebut efektivitasnya
dipengaruhi oleh kehendak MA sendiri untuk semakin memperkuat kapasitas good judicial governance. Apabila fungsi
pengawasan oleh Komisi Yudisial itu berjalan efektif tentu dapat mendorong terbangunnya komitmen dan integritas para hakim
untuk senantiasa menjalankan wewenang dan tugasnya sebagai pelaksana utama
kekuasaan kehakiman sesuai dengan kode etik, code of conduct hakim dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Di sinilah sesungguhnya letak peranan penting dari Komisi Yudisial
dalam upaya mendukung penegakan hukum di Indonesia.
Kedudukan
KY dalam konstitusi tidak bokeh diireduksi melalui proses legislasi. Kedua tafsir
konstitusi sebagaimana terdapat pada putusan MK No. 005/PUU-IV/2006 dan No. 27/PUU-XI/2013
tidak boleh digunakan sebagai cara terselubung untuk mereduksi eksistensi KY. Jika
melihat rumusan Pasal 24 B Perubahan Ketiga UUD 1945, Komisi Yudisial termasuk
ke dalam lembaga negara non pemerintah setingkat Presiden dan sejatinya bukan sekadar
lembaga negara tambahan (state auxiliary
agency), karena dua alasan sebagai berikut: 1. Berbeda dengan komisi-komisi
yang lain, kewenangan Komisi Yudisial diberikan langsung oleh UUD 1945, yaitu
Pasal 24 B, dan 2. Berbeda dengan komisi-komisi yang lain, Komisi Yudisial
merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman, bukan dari kekuasaan eksekutif,
karena pengaturannya ada dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman yang terdapat dalam
UUD 1945. Melalui Komisi Yudisial ini diharapkan dapat diwujudkan lembaga
peradilan yang sesuai dengan harapan rakyat sekaligus dapat diwujudkan penegakan
hukum dan pencapaian keadilan melalui putusan hakim yang terjaga kehormatan dan
keluhuran martabat serta perilakunya. UUD Negara RI 1945 dinisbahkan sebagai konstitusi
yang hidup (the living constitution) melalui
penafsiran-penafsiran MK. Di masa mendatang, MK melalui putusannya diharapkan dapat
memperkuat kedudukan KY sebagai lembaga negara non pemerintah dengan wewenang untuk
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim guna mengawal eksistensi
negeri ini sebagai negara hukum yang demokratis.
Daftar Pustaka
Ahsin Tohari,
A., 2004, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat (ELSAM), Jakarta.
Christensen,
dkk, 2007, Organization Theory and the Public
Sector Instrument,culture and myth, Routledge, London, UK.
Diescho, Joseph
B., The paradigm of an independent
judiciary: Its history, implications and limitations in Africa, paper.
Komisi
Yudisial, 2012, Mengenal Lebih Dekat
Komisi Yudisial, Komisi Yudisial, Jakarta.
Noor M. Aziz,
2011, LAPORAN AKHIR PENELITIAN HUKUM
EFEKTIFITAS KOMISI YUDISIAL DALAM RANGKA MENJAGA HARKAT DAN MARTABAT HAKIM KEMENTERIAN
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI, BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL
Prim Fahrur
Razi, 2007, Sengketa Kewenangan
Pengawasan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, Tesis UNDIP, Tidak Dipublikasikan,
Semarang.
USAID, GUIDANCE FOR PROMOTING JUDICIAL INDEPENDENCE
AND IMPARTIALITY, 2002, USAID, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar