Minggu, 03 Mei 2020


Optimalisasi Fungsi Komisi Yudisial dalam Perspektif
Hukum Ketatanegaraan
oleh: Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.
Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta

      Hadirnya Komisi Yudisial (KY) yang diberikan atribusi wewenang oleh UUD Negara RI 1945 sebagai institusi non pemerintah setingkat lembaga tinggi negara yang dibentuk pada level konstitusi untuk mengawasi pelaksanaan rule of ethics oleh para hakim, ingin memastikan tujuan organ yudikatif dalam menegakkan negara hukum di negeri ini dapat diwujudkan secara optimal. Kehadiran Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan modern merupakan suatu perkembangan yang sangat menarik dalam cabang kekuasaan kehakiman (judicial power). Keberadaannya juga merupakan trend yang terjadi pada abad ke-20 dalam sejarah negara demokrasi modern yang mengharuskan adanya lembaga peradilan yang bebas dari campur tangan kekuasaan lain di luarnya. Dalam perspektif hukum ketatanegaraan, hadirnya Komisi Yudisial diamanatkan oleh Pasal 24B UUD Negara RI 1945, yang mengatur bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Hal tersebut menegaskan bahwa KY dinisbahkan sebagai suatu institusi independen dengan jaminan independensi secara konstitusional (constitutional independency) agar mampu mengusulkan pengangkatan hakim agung dan melaksanakan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Ditinjau dari rumusan "melaksanakan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim" dapat dimaknai adanya open legal policy yang luas untuk mengawasi pelaksanaan rule of ethics oleh para hakim.
       Ditinjau dari sudut historis, kehendak untuk membentuk institusi Komisi Yudisial tersebut sudah ada sejak lama. Gagasan pembentukan lembaga yang mempunyai peran seperti Komisi Yudisial sebenarnya telah muncul pada saat adanya pemikiran untuk membentuk lembaga yang bernama Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) pada tahun 1968. Tugas MPPH ialah memberi pertimbangan pada saat pengambilan keputusan terakhir mengenai saran dan/atau usul pengangkatan, promosi, kepindahan pemberhentian, dan atau tindakan/hukuman jabatan hakim yang diajukan kepada Mahkamah Agung. Namun, sayang ide ini layu sebelum berkembang. Ide tersebut kembali menjadi wacana seiring gelombang reformasi yang menerpa bangsa Indonesia tahun 1997-1998 dan berdampak adanya pergantian kepemimpinan nasional dimana Presiden Soeharto menyerahkan kekuasaannya kepada Presiden Habibie. Pasca peralihan kekuasaan, Indonesia mengalami perubahan signifikan dalam berbagai aspek kenegaraan, termasuk di dalamnya sistem penyelenggaraan kekuasaan negara yang terdiri dari legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dasar perubahan ini lahir dengan adanya Ketetapan MPR RI No.X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara. Salah satu agenda yang harus dijalankan berdasakan Ketetapan MPR tersebut yaitu pelaksanaan reformasi di bidang hukum untuk mendukung penanggulangan krisis di bidang hukum, dengan salah satu agenda yang harus dijalankan afalah pemisahan yang tegas antar fungsi-fungsi, eksekutif, yudikatif dan legislatif. Berdasarkan hal tersebut, lahirnya ide untuk pembentukan Komisi Yudisial diawali pada tahun 1999 ketika Presiden Habibie membentuk Panel untuk mengkaji pembaharuan UUD 1945. Dalam salah satu diskusi forum panel dihasilkan berbagai gagasan mengenai pembentukan sebuah badan yang disebut Judicial Commission.
      Gagasan pembentukan Judicial Commission dilanjutkan oleh pimpinan Ketua Mahkamah Agung saat itu. Pada bulan Mei 2001, Mahkamah Agung membentuk Tim yang dipimpin Abdurrahman Saleh (Hakim Agung) yang bertugas melakukan studi, pengkajian, dan menyusun rumusan-rumusan substantif sebuah badan yang kemudian dinamakan Komisi Yudisial. Rumusan tersebut menjadi materi dalam perubahan ketiga, yang kemudian diatur dalam Pasal 24B dan 24C UUD RI 1945. Bersamaan dengan ide tersebut, pada tahun 1999 pemangku kekuasaan melakukan perubahan terhadap UU Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaaan Kehakiman yang dirubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2009. Dalam UU tersebut, terjadi pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial peradilan, dimana sebelumnya secara administratif dan keuangan di bawah kendali Departemen Kehakiman, sedangkan secara teknis yudisial berada di bawah kendali Mahkamah Agung. Konsep ini  lebih dikenal dengan sebutan penyatuatapan kekuasaan kehakiman, one roof system of judicial power.
    Akibat penyatuan atap tersebut dikhawatirkan terjadi monopoli kekuasaan kehakiman. Hal tersebut membuat para ahli dan pengamat hukum mengeluarkan ide untuk membentuk lembaga pengawas eksternal yang diberi tugas menjalankan fungsi checks and balances. Selain itu, merujuk pada naskah akademis RUU Komisi Yudisial yang disusun oleh Mahkamah Agung, adanya kekhawatiran Mahkamah Agung belum tentu mampu menjalankan tugas barunya karena memiliki beberapa kelemahan organisasi yang sampai saat ini upaya perbaikannya masih dilakukan. Alasan lain ialah kegagalan sistem yang ada untuk menciptakan pengadilan yang lebih baik. Penyatuatapan kekuasaan kehakiman ke Mahkamah Agung belum menyesaikan permasalahan secara tuntas. Ide tersebut direspon oleh MPR sehingga pada Sidang Tahunan Tahun 2001 pada pembahasan Amandemen Ketiga UUD 1945 dibahas pula keberadaan Komisi Yudisial. Pasal 24B UUD 1945 secara lugas menyebutkan bahwa Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Betdasarkan UUD 1945, kemudian disusun UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang disahkan pada tanggal 13 Agustus 2004 pada era pemerintahan Presiden RI Megawati Soekarnoputri. Guna merealisasikan UU tersebut, pemerintah membentuk Panitia Seleksi Komisi Yudisial.



Tafsir Konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi
       Terhadap Pasal 24B UUD Negara RI 1945 Mahkamah Konstitusi melalui putusan No. 005/PUU-IV/2006 memberikan penafsiran bahwa hubungan antara KY sebagai supporting organ dan MA sebagai main organ dalam bidang pengawasan perilaku hakim, seharusnya lebih tepat dipahami sebagai hubungan kemitraan (partnership) tanpa mengganggu kemandirian masing-masing, Bahkan, salah satu bagian dari pertimbangan hukum putusan MK tersebut menyatakan bahwa dengan digunakan frasa dalam rangka menjaga dan menegakkan dan bukan untuk menjaga dan menegakkan, maka sifat kewenangan yang dimiliki oleh KY adalah komplementer. Artinya, tugas menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim bukan merupakan kewenangan eksklusif yang hanya dimiliki oleh KY saja. Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi dari empat lingkungan peradilan di bawahnya juga mempunyai fungsi pengawasan yang meliputi pengawasan terhadap teknis justisial, pengawasan administratif, maupun pengawasan terhadap perilaku hakim, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang lebih lanjut diatur dalam Pasal 11 ayat (4) UUKK dan Pasal 32 UUMA. MK juga berpendapat bahwa Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tersebut sepanjang mengenai kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, di satu pihak tidak tepat diartikan hanya sebagai pengawasan etik eksternal saja, dan di pihak lain juga tidak tepat diartikan terpisah dari konteks Pasal 24A ayat (3) untuk mewujudkan hakim agung dan hakim-hakim pada peradilan di bawah MA yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Dengan kata lain, yang dimaksud kewenangan lain dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 terkait erat dengan kewenangan utama KY untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung. Akhirnya, MK melalui putusannya tersebut menyatakan bahwa UUKY yang menyangkut pengawasan harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena terbukti menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid). Untuk mengatasi akibat kekosongan hukum yang terlalu lama berkaitan dengan tugas KY, khususnya yang berkaitan dengan ketentuan mengenai pengawasan perilaku hakim, UUKY segera harus disempurnakan melalui proses perubahan undang-undang sebagaimana mestinya. Keinginan untuk mengadakan perubahan undang-undang ini telah pula dikemukakan berkali-kali secara terbuka baik oleh MA maupun oleh KY sendiri. Karena itu, Mahkamah Konstitusi juga merekomendasikan kepada DPR dan Presiden untuk segera mengambil langkah-langkah penyempurnaan UUKY. Bahkan, DPR dan Presiden dianjurkan pula untuk melakukan perbaikan-perbaikan yang bersifat integral dengan juga mengadakan perubahan dalam rangka harmonisasi dan sinkronisasi atas UUKK, UUMA, UUMK, dan undang-undang lain yang terkait dengan sistem peradilan terpadu.

Implikasi Putusan MK
      Lahirnya UU No 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial kiranya tak dapat dipisahkan dari putusan MK No. 005/PUU-IV/2006. Pasal 13 UU No. 18 Tahun 2011 mengatur bahwa Komisi Yudisial mempunyai wewenang: a. mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan; b. menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim; c. menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-sama dengan Mahkamah Agung; dan d. menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim. Dalam Pasal 13 UU No. 22 Tahun 2004 hanya diatur adanya 2 kewenangan KY, yaitu bahwa Komisi Yudisial mempunyai wewenang:                untuk a. mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR; dan b. menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Lahirnya, UU No. 18 Tahun 2011 tersebut dimaknai cukup positif oleh KY. Dalam buku "Mengenal Lebih Dekat Komisi Yudisial" dikatakan bahwa di tahun 2011 Komisi Yudisial memiliki energi baru dengan  lahirnya Undang-Undang Nomor 18 tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Perubahan yang telah ditunggu selama lima tahun ini memberikan berbagai tugas dan wewenang baru bagi Komisi Yudisial.
      Memang, sebelumnya putusan MK No. 005/PUU-IV/2006. juga sempat menyatakan bahwa terlepas dari problem besar yang dihadapi MA, termasuk di dalamnya masalah yang disebut oleh KY sebagai judicial corruption, maka mekanisme pengawasan ekternal yang terpisah dari pengawasan internal tidak akan dapat diterapkan di antara MA dengan KY, sepanjang didasarkan pada konsepsi checks and balances. Hal itu karena checks and balances tidak dapat diterapkan oleh organ penunjang (auxiliary organ) terhadap organ utama (main organ)-nya sendiri. Pendirian yang menyatakan bahwa KY melakukan fungsi checks and balances terhadap MA, tidak sesuai dengan jiwa (spirit) konstitusi. KY sebagai auxiliary organ kekuasaan yudikatif akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan kewenangannya jika didasarkan pada pemikiran checks and balances demikian, karena akan menimbulkan mekanisme yang mengandung cacat konstitusional (constitutional defect) dan sekaligus tidak efektif, yang pada akhirnya akan melahirkan krisis yang mencederai tingkat kepercayaan terhadap lembaga dan proses peradilan. Tanpa komunikasi antara lembaga negara utama (main organ) dan lembaga negara penunjang (auxiliary organ) yang didasarkan atas prinsip saling menghormati dan saling mendengar, keberadaan lembaga negara penunjang (auxiliary organ) demikian hanya akan dianggap sebagai kendala terhadap sistem ketatanegaraan secara keseluruhan yang didasarkan atas paham constitutional democracy dan democratische rechtsstaat sebagaimana termuat dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945;
       Jika mencermati putusan MK No. 27/PUU-XI/2013 juga terdapat pendapat MK terkait posisi KY dalam kaitannya dengan kewenangan KY untuk melakukan seleksi Hakim Agung. Dalam putusan MK tersebut dinyatakan bahwa kedudukan KY yang mandiri sebagai suatu komisi negara yang tidak berada di bawah pengaruh Mahkamah Agung ataupun tidak dikendalikan oleh cabang kekuasaan negara lainnya menjadi sangat penting untuk menentukan calon hakim agung. Selanjutnya, MK juga berpendapat bahwa dalam hal menjaring calon hakim agung, KY melakukan serangkaian seleksi administrasi dan seleksi terhadap kualitas dan kepribadian seperti yang ditentukan dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 18 UU KY yang juga ikut melibatkan masyarakat. Ditinjau dari ketentuan tersebut, sangat jelas KY mempunyai tugas yang berat dalam menjaring calon hakim agung yang berkualitas yang diyakini mempunyai integritas yang tinggi terhadap penegakan hukum dan keadilan di Indonesia.

Penjaga Rule of Ethics
      Pasal 19A UU No. 18 Tahun 2011 mengatur bahwa dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial berpedoman pada Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim yang ditetapkan oleh Komisi Yudisial bersama Mahkamah Agung. Berdasarkan kewenangan pengawasan KY tersebut dapat dikatakan bahwa KY metupakan the guardian of the ethics bagi perilaku hakim. Profesi hakim juga memerlukan code of conduct yang mempunyai kekuatan mengikat bagi para anggotanya. Kode etik bagi para hakim diperlukan, karena kode etik merupakan kumpulan asas atau nilai moral atau norma dan asas yang diterima oleh kelompok tertentu sebagai landasan tingkah laku.Kode etik dianggap penting bagi profesi hukum, karena profesi hukum merupakan suatu masyarakat moral (moral community) yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama.Kode etik adalah sebuah kompas yang menunjuk arah moral bagi profesional hukum dan sekaligus juga menjamin mutu moral profesi hukum di mata masyarakat. Dengan demikian, kode etik profesi hukum merupakan pengaturan diri (self regulation) bagi profesional hukum dengan tujuan untuk mencegah terjadinya perilaku tidak etis. profesi hakim harus mempunyai kode etik agar nilai-nilai yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan terinternalisasi pada diri seorang hakim. Nilai-nilai tersebut mencakup beberapa hal sebagai berikut: 1. Hakim dalam menjalankan tugasnya harus bebas, tetapi harus menjunjung tinggi keadilan, 2. Hakim harus menjunjung tinggi nilai-nilai keterbukaan dan menemukan hukum melalui metode interpretasi, 3. Hakim harus selalu mempertanggungjawabkan sikap dan tindakannya baik secara vertikal (kepada masyarakat) maupun secara horizontal (kepada Tuhan Yang Maha Esa). 4. Hakim harus bersedia menerima keberatan yang diajukan oleh pihak yang diadili apabila meragukan objektivitas hakim tersebut.
      Sehubungan kemerdekaan hakim dalam melaksanakan fungsinya, Joseph B Diescho dengan mengutip Basic Principles on the Independence of the Judiciary (UNHCHR/United Nations High Commission for Human Rights. 1985), menyatakan bahwa: "Some of the cornerstones of judicial independence follow, for consideration: Judges are free to evaluate, objectively, the facts of the disputes placed before them by applying the constitution, existing laws and ordinances objectively and without duress from other organs of government The judicial arm of the state operates independently vis-à-vis the legislative and executive spheres of the same socio-political system which created them all Offi cers of the courts are independent from one another, and seniority in terms of the judicial hierarchy does not affect their judgement in relation to one another All matters of a judicial nature are attended to by competent members of the legal fraternity Assignment of judges to handle cases is undertaken by senior officials of the court solely on clear and convincing evidence of their ability to perform the required tasks Tenure of judges lasts until retirement in terms of conditions established by appointed members of the legal enterprise The state allocates sufficient financial and other resources to the judiciary to obviate temptations that arise as a result of fi nancial insecurity Disciplinary action against judges is taken solely on convincing grounds of inability to perform, and The selection and appointment of judges is purely on selective criteria in accordance with the merit system."

KY Di Beberapa Negara
      Komisi Yudisial ada diberbagai negara dan dapat menjadi indikasi penting bahwa memang ada kebutuhan di berbagai negara untuk memberikan perhatian pada lembaga kekuasaan kehakiman. Ada beberapa alasan yang menjadi dasar pembentukan Komisi Yudisial, yaitu antara lain: 1. Memberikan jaminan agar proses recruiting hakim dilakukan secara profesional dan tidak bias dari kepentingan politik. 2. Meningkatkan kualitas kinerja lembaga kekuasaan kehakiman sehingga kian efektif dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. dan 3. Meningkatkan kualitas pemantauan terhadap lembaga kekuasaan kehakiman dengan melibatkan partisipasi publik. Berikut beberapa negara di antara banyak negara yang memiliki Komisi Yudisial.
      
1. Afrika Selatan
Komisi Yudisial di Afrika Selatan bernama Judicial Service Commission yang diatur di dalam Section 174 Konstitusinya.21 Komisi ini berfungsi memberikan advis kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung, dan hakim di semua lembaga peradilan.22 Keanggotaan Komisi ini terdiri dari beberapa jabatan, yaitu Ketua Mahakamah Agung sebagai Ketua; Ketua Mahakamah Konstitusi; 1 orang hakim pilihan; anggota kabinet yang bertanggung jawab terhadap administrasi pengadilan; dua (2) orang advokat yang dinominasikan organisasinya dan diangkat oleh presiden; dua (2) orang jaksa yang dinominasikan organisasinya dan diangkat oleh presiden; satu (1) orang pengajar fakultas hukum yang dipilih dari universitas universitas di Afrika Selatan; tujuh (7) orang yang dibentuk oleh National Assembly di mana tiga (3) di antaranya harus dari partai oposisi; empat (4) orang yang mewakili provinsi; dan empat (4) orang yang dipilih presiden setelah melalui persetujuan National Assembly.


2. Argentina
Komisi Yudisial di Argentina bernama Council of Magistracy yang diatur di dalam Article Konstitusinya. Dewan ini berfungsi mengajukan calon hakim agung kepada Senat dan diangkat oleh Presiden; bertanggung jawab terhadap seleksi hakim dan administrasi kekuasaan kehakiman; mengembangkan pemilihan kandidat hakim tingkat bawah melalui kompetisi publik; mengeluarkan usulan tiga nama kandidat hakim tingkat bawah; mengurus sumber daya untuk administrasi pengadilan; melakukan tindakan pendisiplinan terhadap hakim; memutuskan pemberhentian hakim; dan mengeluarkan peraturan tentang organisasi pengadilan untuk menjamin independensi hakim dan efisiensi administrasi pengadilan. Konstitusi tidak mengatur keanggotaan Dewan ini.

3. Malaysia
Komisi Yudisial di Malaysia bernama Judicial and Legal Service Commission yang diatur di dalam Article 138 Konstitusinya. Konstitusi Malaysia tidak mengatur secara eksplisit kewenangan lembaga ini. Hanya dikatakan bahwa Judicial and Legal Service Commission mempunyai yurisdiksi setiap anggota peradilan dan pelayanan hukum.82 Keanggotaan lembaga ini terdiri dari Ketua Public Service Commission sebagai ketua; Jaksa Agung; dan satu (1) orang atau lebih anggota yang diangkat oleh Yang di-Pertuan Agong setelah berkonsultasi dengan Ketua Mahkamah Agung.

4. Perancis
Komisi Yudisial di Prancis bernama Conseil Superieur de la Magistrature yang diatur di dalam Title VIII Article 64 Konstitusinya. Komisi ini berfungsi membantu Presiden sebagai penjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman; mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan pimpinan Hakim Banding; dan bertindak sebagai Dewan Pendisiplinan Hakim.Keanggotaan Dewan ini terdiri dari Presiden yang secara ex officio sebagai Ketua Dewan; Menteri Kehakiman sebagai Wakil Ketua Dewan.101 Sedangkan anggotanya terdiri dari sembilan (9) orang yang diangkat oleh Presiden.

Optimalisasi Fungsi KY
      Ditinjau dari perspektif hukum organisasi publik, optimalisasi fungsi KY perlu mempertimbangkan pandangan Tom Christensen, dkk. (2007: 22) bahwa: "organizations have goals ideas about what they would like to achieve or realize in the future.Within this context,a problem for an organization can be defined as a perceived distance between a desired and an actual state of affairs.For public organizations this can involve problems defined from within the public administration or from outside.Thus,problem-solving implies actions that aim to reduce or eliminate this distance.Another way of describing this is through the concept of instrumentally rational actions.The implementation of such actions consists of four elements:
Goal or problem:What does one want to achieve and what is the distance between that and the current state of affairs?
Alternatives:What actions are possible?
(Expectations about) consequences:What future consequences in relation to the goals might follow from each alternative,and how likely are these consequences assuming that the alternative is chosen?
Decision-making rules:How shall the choice between alternatives be made?"
      Upaya untuk mengoptimalisasikan fungsi KY perku diletakkan dalam perspektif penguatan kapasitas sistem peradilan guna menginternalisasikan nilai-nilai transparansi, partisipasi dan akuntabilias. KY harus memperkuat mekanisme kerja pengawasan berdasarkan pedoman pengawasan etik terhadap perilaku hakim yang telah disepakati bersama dengan Mahkamah Agung. Jika berkaca pada putusan MK No. 005/PUU-IV/2006, upaya mengoptimalisasikan fungsi KY perlu dimaknai sebagai langkah meningkatkan komunikasi dengan MA guna mendorong implementasi secara efektif betbagai rule of ethics bagi para hakim.
      Optimalisasi fungsi KY dalam mekanisme seleksi hakim agung perlu dilaksanakan dengan memanfaatkan momentum yang diciptakan oleh putusan MK No. No. 27/PUU-XI/2013. Putusan MK tersebut antara lain menyatakan bahwa posisi DPR dalam penentuan calon hakim agung sebatas memberi persetujuan atau tidak memberi persetujuan atas calon hakim agung yang diusulkan oleh KY, dan DPR tidak dalam posisi untuk memilih dari beberapa calon hakim agung yang diusulkan oleh KY sebagaimana diatur dalam Undang-Undang a quo. Hal itu dimaksudkan agar ada jaminan independensi hakim agung yang tidak dapat dipengaruhi oleh kekuatan politik atau cabang kekuasan negara lainnya. Hal itu bisa dipergunakan oleh KY untuk memperketat proses seleksi hakim agung sebagaimana telah diatur oleh KY melalui Peraturan Komisi Yudisial No. 9 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Komisi Yudisial No. 7 Tahun 2011 tentang Tata Cara Seleksi Hakim Agung. Terwujudnya impartialitas hakim dalam melaksanakan fungsinya akan berpengaruh terhadap perwujudan prinsip negara hukum dan kepastian hukum yang adil dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal itu menjadi parameter kualitas good judicial governance. Dalam GUIDANCE FOR PROMOTING JUDICIAL INDEPENDENCE AND IMPARTIALITY-USAID  (2002) dinyatakan bahwa "If a judiciary cannot be relied upon to decide cases impartially, according to the law, and not based on external pressures and influences, its role is distorted and public confidence in government is undermined."
      Eksistensi Komisi Yudisial dalam mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka meliputi: pengusulan dan pengangkatan Hakim Agung, dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Peranan pengusulan dan pengangkatan Hakim Agung meliputi: pendaftaran, penyeleksian, penetapan dan pengajuan calon Hakim Agung ke Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan peranan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim adalah pengawasan terhadap perilaku hakim dimana akan menghasilkan dua hal yang berbeda yaitu hal yang negatif berupa pengusulan penjatuhan sanksi, sebaliknya yang positif adalah pengusulan pemberian penghargaan terhadap hakim atas prestasi dan jasanya menegakkan kerhormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Kewenangan KY tersebut efektivitasnya dipengaruhi oleh kehendak MA sendiri untuk semakin memperkuat kapasitas good judicial governance. Apabila fungsi pengawasan oleh Komisi Yudisial itu berjalan efektif tentu dapat mendorong terbangunnya komitmen dan integritas para hakim untuk senantiasa menjalankan wewenang dan tugasnya sebagai pelaksana utama kekuasaan kehakiman sesuai dengan kode etik, code of conduct hakim dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di sinilah sesungguhnya letak peranan penting dari Komisi Yudisial dalam upaya mendukung penegakan hukum di Indonesia.
     Kedudukan KY dalam konstitusi tidak bokeh diireduksi melalui proses legislasi. Kedua tafsir konstitusi sebagaimana terdapat pada putusan MK No. 005/PUU-IV/2006 dan No. 27/PUU-XI/2013 tidak boleh digunakan sebagai cara terselubung untuk mereduksi eksistensi KY. Jika melihat rumusan Pasal 24 B Perubahan Ketiga UUD 1945, Komisi Yudisial termasuk ke dalam lembaga negara non pemerintah setingkat Presiden dan sejatinya bukan sekadar lembaga negara tambahan (state auxiliary agency), karena dua alasan sebagai berikut: 1. Berbeda dengan komisi-komisi yang lain, kewenangan Komisi Yudisial diberikan langsung oleh UUD 1945, yaitu Pasal 24 B, dan 2. Berbeda dengan komisi-komisi yang lain, Komisi Yudisial merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman, bukan dari kekuasaan eksekutif, karena pengaturannya ada dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman yang terdapat dalam UUD 1945. Melalui Komisi Yudisial ini diharapkan dapat diwujudkan lembaga peradilan yang sesuai dengan harapan rakyat sekaligus dapat diwujudkan penegakan hukum dan pencapaian keadilan melalui putusan hakim yang terjaga kehormatan dan keluhuran martabat serta perilakunya. UUD Negara RI 1945 dinisbahkan sebagai konstitusi yang hidup (the living constitution) melalui penafsiran-penafsiran MK. Di masa mendatang, MK melalui putusannya diharapkan dapat memperkuat kedudukan KY sebagai lembaga negara non pemerintah dengan wewenang untuk menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim guna mengawal eksistensi negeri ini sebagai negara hukum yang demokratis.

Daftar Pustaka

Ahsin Tohari, A., 2004, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan,             Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta.

Christensen, dkk, 2007, Organization Theory and the Public Sector Instrument,culture and myth, Routledge, London, UK.

Diescho, Joseph B., The paradigm of an independent judiciary: Its history, implications and limitations in Africa, paper.

Komisi Yudisial, 2012, Mengenal Lebih Dekat Komisi Yudisial, Komisi Yudisial, Jakarta.
Noor M. Aziz, 2011, LAPORAN AKHIR PENELITIAN HUKUM EFEKTIFITAS KOMISI YUDISIAL DALAM RANGKA MENJAGA HARKAT DAN MARTABAT HAKIM KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI, BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL

Prim Fahrur Razi, 2007, Sengketa Kewenangan Pengawasan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, Tesis UNDIP, Tidak Dipublikasikan, Semarang.

USAID, GUIDANCE FOR PROMOTING JUDICIAL INDEPENDENCE AND IMPARTIALITY, 2002, USAID, Jakarta.


Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...