Beberapa Catatan Terhadap RUU Perbankan
(Perspektif Hukum Administrasi Negara)
Oleh:
Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.
RUU Perbankan yang kini sedang dipersiapkan oleh DPR dan OJK hadir dalam momentum yang tepat. Indonesia sedang mengalami transformasi perekonomian sebagai dampak kian menguatnya arus globalisasi, internasionalisasi dan regionalisasi kawasan. Berikut ini ingin disampaikan beberapa catatan terkait RUU Perbankan yang sudah menjadi bagian dari Prolegnas untuk disahkan menjadi suatu undang-undang.
Substansi RUU Perbankan harus memenuhi Fungsi pokoknya dalam sistem demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila. Perbankan sebagai lembaga perantara keuangan masyarakat ( financial intermediary ), harus dapat menjadi media perantara pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana (surplus of fouds) dengan pihak-pihak yang kekurangan / memerlukan dana (lack of fouds). Di Indonesia, lembaga perbankan memiliki misi dan fungsi sebagai agen pembangunan ( agent of development ), yaitu sebagai lembaga yang bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Dalam kedudukannya sebagai agen pembangunan (agent of development) tersebut sangat logis manakala RUU Perbankan versi OJK menginisiasi konsep Bank Pembangunan (Policy Bank) sebagai salah satu tipologi bank dalam RUU Perbankan. Kegiatan usaha yang utama Bank pembangunan dalam RUU Perbankan versi OJK adalah membiayai program pembangunan pemerintah. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam rangka medukung pembiayaan program pembangunan pemerintah Bank pembangunan dapat melakukan kegiatan yang berkaitan dengan usaha atau bidang yang dibiayai. Guna mendukung kegiatan usaha Bank pembangunan dapat :
a. menyelenggarakan transfer dana untuk kepentingan sendiri maupun nasabah;
b. menempatkan dana pada Bank lain, meminjam dana dari Bank lain, atau meminjamkan dana kepada Bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya.
Mengingat fungsi strategis dari Bank Pembangunan sebagaimana diinisiasi dalam RUU versi OJK, OJK sebagai institusi regulator dan sekaligus pengawas (vide Pasal 6 UU No. 21 Tahun 2011) harus tetap memiliki kendali dalam mengatur dan mengawasi kinerja bank tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, OJK harus memastikan terpenuhinya karakter instrumental dalam teori hukum administrasi negara, yaitu efektivitas (doelmatigheid) dan efisiensi (doeltreffenheid), terhadap instrumen perijinan (verguining middelen) terkait pendirian dan pengawasan terhadap Bank Pembangunan (policy bank) sebagaimana diatur pada Pasal 14 RUU Perbankan versi OJK. Pasal 14 RUU Perbankan versi OJK mengatur bahwa
(1) Setiap orang atau badan hukum yang melakukan kegiatan usaha Bank Pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13 wajib memperoleh izin usaha dari OJK.
(2) Untuk memperoleh izin usaha Bank Pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dipenuhi persyaratan yang akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan OJK.
Dalam teori hukum administrasi negara, instrumen perijinan semakin menduduki tempat terpenting dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan (bestuursfunctie). Beberapa motif untuk menggunakan sistem ijin dapat berupa (Spelt, dkk., 1993):
- Keinginan mengarahkan (mengendalikan sturen”) aktivitas-aktivitas tertentu
- Mencegah bahaya
- Kenginan melindungi obyek-obyek tertentu
- Hendak membagi benda-benda yang sedikit
- Pengarahan dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas
Dalam teori hukum administrasi negara, sturen yang merupakan akar kata dari bestuur (pemerintah) memiliki dimensi aktif. Oleh karena itu, jika konsep pendirian Bank Pembangunan dalam RUU Perbankan versi OJK disetujui untuk menjadi undang-undang, OJK harus memastikan kualitas sistem perijinan tersebut dengan mempertajam kualitas fungsi regulator dan pengawas tersebut dalam peraturan pelaksanaan OJK mengenai sistem perijinan bank, termasuk terhadap Bank Pembangunan. Namun, cukup mengherankan, konsep Bank Pembangunan tersebut justru tak muncul dalam RUU Perbankan versi DPR, karena RUU Perbankan versi DPR memilih pendekatan konvensional dalam mendesain sistem perbankan dengan hanya mengusulkan 2 (dua) jenis bank pada Pasal 7 ayat (1) yang terdiri dari: Bank Umum dan Bank Perkreditan.
Lembaga perbankan mempunyai fungsi dan tanggung jawab yang sangat besar, selain memiliki fungsi tradisional, yaitu untuk menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat dalam arti sebagai perantara pihak yang berlebihan dana dan kekurangan dana, yakni fungsi financial intermediary, juga berfungsi sebagai sarana pembayaran. Seperti telah dikemukakan, perbankan Indonesia mempunyai fungsi yang diarahkan sebagai agen pembangunan (agent of development), yaitu sebagai lembaga yang bertujuan guna mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak. Perbankan nasional berfungsi sebagai sarana pemberdayaan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi nasional, terutama pengusaha kecil, menengah dan koperasi. Untuk mencapainya perbankan Indonesia harus memiliki komitmen.
Dalam hukum perbankan dikenal beberapa prinsip perbankan, yaitu prinsip kepercayaan ( fiduciary relation principle ), prinsip kehat-ihatian ( prudential principle ), prinsip kerahasiaan ( secrecy principle), dan prinsip mengenal nasabah ( know how costumer principle ). Lazaros E Panourgias dalam buku “Banking Regulation and World Trade Law- GATS, EU and ‘Prudential’ Institution Building ” (Oxford, 2006) berpendapat bahwa: ““In the GATS, ‘prudential’ is the criterion for allocation of jurisdiction with respect to financial stability and depositor protection. The regulatory autonomy of the Members in these areas depends upon the ‘prudential’ concept, as measures with a rational link to ‘prudential’ reasons are exempted from trade disciplines. In the EU, there has been essential harmonization, which allows the application of the principle of home Member State ‘prudential supervision’. The term ‘prudential supervision’ also determines functions for which the European Central Bank (ECB) may have a coordinating role or which it potentially may itself undertake. Thus, the concept of ‘prudential’ operates at the core of the GATS and EU trade liberalization structures, determining the level at which regulation is to be undertaken.”” Sehubungan dengan upaya untuk memenuhi prinsip kehati-hatian (prudential principle) tersebut, peranan Bank Indonesia dan OJK yang melaksanakan fungsi pemerintahan dalam arti luas sebagai lembaga negara independen sangat diperlukan. Oleh karena itu, upaya untuk mengatur sistem Perbankan melalui regulasi baru perlu dilakukan melaksanakan harmonisasi dan sinkronisasi pengaturan dengan UU BI dan UU OJK. Hal tersebut juga harus ditindaklanjuti dengan melakukan harmonisasi dan sinkronisasi pelaksanaan tugas dan kewenangan diantara kedua institusi tersebut guna mengefektifkan tumbuhnya prinsip kehati-hatian (prudential principle) dalam sistem perbankan.
Terkait dengan Bank Pembangunan (policy bank) sebagaimana diinisiasi oleh RUU Perbankan versi OJK (vide Pasal 5 huruf b jo Pasal 12 s/d 16), pada Pasal 12 RUU Perbankan versi OJK disebutkan bahwa Bank Pembangunan dalam melaksanakan pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 (diatas) memperoleh sumber dana dari :
a. pinjaman jangka menengah dan/atau jangka panjang, hibah, program pemerintah, atau lembaga keuangan dalam dan luar negeri.
b. Simpanan dalam bentuk Deposito berjangka, Sertifikat Deposito, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
c. kegiatan lainnya yang ditetapkan oleh OJK.
Mencermati kedudukan Bank Pembangunan tersebut, jika berkaca pada Pasal 2 huruf g dan h jo Putusan Mahkamah Konstitusi No. 48/35/PUU/2013 dan No. 62/35/PUU/2013, maka status keuangan yang dikelola oleh Bank Pembangunan tidak terlepas statusnya sebagai unsur keuangan negara. Dengan demikian, diperlukan kehati-hatian yang tinggi dan penerapan asas-asas umum pemerintahan yang baik (the principles of good administration) maupun asas-asas umum pengelolaan keuangan negara yang baik (the principles of good financial governance) dalam mengelola penggunaan uang tersebut agar tetap dalam standar pengelolaan keuangan negara yang baik.
Menyangkut pengaturan mengenai sistem perijinan terkait pendirian maupun pengelolaan bank sebagaimana diatur baik dalam RUU Perbankan versi OJK maupun DPR, harus dikelola dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) perijinan dengan kualitas pelayanan publik yang tinggi sebagaimana diamanatkan baik dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik maupun UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Hal ini untuk menghindari terjadinya sengketa tata usaha negara terkait perijinan perbankan. Dalam UU Administrasi Pemerintahan beberapa ketentuan yang perlu dicermati terkait aspek perijinan adalah Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2014 yang pada intinya membatasi waktu penerbitan ijin bagi pejabat tata usaha negara selama 10 hari. Selengkapnya Pasal 53 UU No. 30
Tahun 2014 mengatur bahwa:
1) Batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2) Jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.
3) Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum.
4) Pemohon mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
5) Pengadilan wajib memutuskan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan diajukan.
6) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan untuk melaksanakan putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 5 (lima) hari kerja sejak putusan Pengadilan ditetapkan.
Daftar Bacaan
Neni Sri Imaniyati, S.H.,M.H., 2008, Hukum Perbankan (untuk lingkungan sendiri), Penerbit Fakultas Hukum Unisba, Bandung.
Lazaros E Panourgias, 2006, Banking Regulation and World Trade Law GATS, EU and ‘Prudential’ Institution Building, Oxford and Portland, Oregon, USA.
Spelt, dkk., 1993, Hukum Perijinan, Yuridika, Surabaya.
W. Riawan Tjandra, 2014, Hukum Keuangan Negara, Penerbit Grasindo, Jakarta.
Kaki Merapi, Ngayogjakarta Hadiningrat, Kamis Pahing, 24 September 2015
Basa ngelmu, mupangate lan panemu
Pasahe lan tapa
Yen satria tanah jawi
Kuna-kuna kang ginilut tri prakara
Lila lamun, kelangan noragegetun
Nrima yen kataman
Sak serik sameng dumadi
Tri legawa nalangsa srah ing bathara.
(Tembang Pocung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar