Menggugat
Cara Hakim Berhukum
Oleh: Dr. W. Riawan Tjandra
Pengamat
Hukum dan Dosen FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Cobalah
bandingkan hukuman yang dijatuhkan untuk para koruptor di Indonesia dengan di negara-negara
lain, misalnya di RRC. Luo Yaiping,
pejabat Departemen Perencanaan Kota di RRC yang didakwa menggelapkan uang
negara sebesar 32,39 juta yuan (Rp. 49, 61 miliar) dan menerima uang suap
sebesar 300 ribu yuan (Rp. 462,6 juta) telah dijatuhi hukuman mati dan pada
bulan November 2011 lalu telah dieksekusi.
Masih
di Cina, New York Times pada tanggal 11 Juli 2011 memberitakan bahwa Kepala
Administrasi Urusan Makanan dan Obat-obatan di Cina, Zheng Xiaoyu (62) pada
tanggal 29 Mei 2007 telah dijatuhi hukuman mati karena didakwa menerima suap
sebesar US $ 850.000 (Rp. 8,2 miliar) untuk perijinan perdagangan 137
obat-obatan yang menimbulkan kematian terhadap 10 warga Cina.
Bahkan,
vonis mati terhadap terdakwa koruptor juga dijatuhkan terhadap Sekretaris
Partai Komunis di Nanchang County dan Kota Hufang, Tang Chenggi dan Zhang
Xiaohua karena keduanya didakwa menerima suap lebih dari 60 juta yuan (92,52
miliar) dari pengembang real estate
untuk mendapatkan proyek pemerintah. Masih banyak para pejabat
pemerintah/birokrasi di RRC yang dijatuhi hukuman mati karena terbukti
melakukan tindak pidana korupsi.
Sungguh
kontras penegakan hukum tindak pidana korupsi di RRC dengan di Indonesia
yang pada bagian awal konstitusinya menegaskan dirinya sebagai negara hukum.
Bukan saja belum pernah ada koruptor yang dijatuhi hukuman mati seperti yang
lazim di RRC, menilik tabel penjatuhan pidana terhadap para koruptor di negeri
ini terlihat masih sangat ringan. Yang terbaru penjatuhan pidana terhadap
terdakwa korupsi APBN Angelina P. Sondakh yang hanya divonis 4,5 tahun penjara
jauh lebih ringan dari tuntutan JPU KPK seberat 12 tahun penjara. Bahkan, ada yang pernah membandingkan tak
sepadannya penjatuhan pidana bagi para koruptor dibandingkan dengan pidana
represif untuk pencuri kakao, tebu, batang ketela, dan sejenisnya.
Padahal
dalam UU Tipikor sangat jelas bahwa hukuman terhadap pelaku tipikor
dimungkinkan sampai pada hukuman penjara seumur hidup atau bahkan pidana mati
jika korupsi itu dilakukan dalam keadaan tertentu, yaitu pada waktu negara
dalam keadaan bahaya, bencana alam nasional, pengulangan tindak pidana korupsi
atau negara dalam keadaan krisis moneter. Namun, hingga kini belum pernah ada
satupun pelaku tindak pidana korupsi yang dijerat dengan kedua ancaman hukuman
yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 12 UU Tipikor.
Dalam
beberapa kasus kecil yang sempat menjerat beberapa pelaku pencuri kakao, tebu
dan sejenisnya para hakim berhukum dengan sangat positivistik, sehingga dalam
kasus-kasus tersebut (nyaris) berujung pada pemidanaan terhadap para pelaku
kejahatan kelas “gurem” tersebut. Namun, di saat harus menjatuhkan hukuman
terhadap para pelaku tindak pidana korupsi, cara hakim berhukum justru terlihat
tidak secara tepat menafsir dan menerapkan ancaman hukuman terhadap para pelaku
tipikor sebagaimana diamanatkan dalam UU Tipikor. Hal itulah yang menyebabkan
hukum di negeri ini terkesan inkonsisten, mudah dinegosiasikan dan jauh dari
menimbulkan efek jera terhadap para pelaku tipikor. UU Tipikor dan UU KPK
dengan sangat jelas menisbatkan korupsi sebagai suatu kejahatan luar biasa
(extraordinary crime) yang juga membutuhkan cara penanganan secara luar biasa (extraordinary action) pula agar mampu
menimbulkan efek jera terhadap para pelaku tipikor. Namun, semangat UU Tipikor
dan UU KPK tersebut raib dalam vonis pemidanaan dalam berbagai kasus korupsi.
Cara
pandang dalam penegakan hukum dalam berbagai kasus korupsi di negeri ini belum
mampu menyentuh sisi keadilan restoratif
(restorative justice) yang
mampu memulihkan luka dan ketidakadilan struktural karena tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para pejabat
publik telah berdampak terhadap terjadinya kemiskinan structural karena hak-hak
asasi sosial dan ekonomi rakyat gagal disantuni oleh negara yang dalam konstitusinya
menisbatkan dirinya sebagai negara kesejahteraan lengkap dengan kewajiban
sosial negara dalam menyantuni kaum fakir miskin dan terlantar pada Pasal 33
dan 34 UUD Negara RI 1945.
Hukum
dalam tesis Z. Tamanaha dilihat sebagai alat dari dominasi sosial, ekonomi dan
politik (law is an instrument of social,
economic and political domination), maka cara pandang hakim dalam berhukum
tak lepas dari konstelasi paradigma dan ketatanegaraan yang belum sepenuhnya
memiliki cara pandang yang sama untuk mematuhi amanat undang-undang yang telah menempatkan
korupsi sebagai sebuah kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
Inkonsistensi
dalam penanganan korupsi telah menjadikan korupsi sebagai --- meminjam istilah
Deleuze --- menjadi sebuah simulacrum, yaitu ikon yang telah terdegrasi ke
dalam keserupaan yang paling rendah. Simulakrum telah memproduksi tanda-tanda
yang menyimpang dari rujukan (referent)
atau dari yang asli, dengan menciptakan tanda-tanda sebagai topeng (mask) dan
penyamaran tanda (disguising) yang
mensubversi representasi. Dengan kata lain, penanganan korupsi yang terjadi di
ranah praksis saat ini menyimpang dari paradigma yang dikonstruksi oleh
semangat berkonstitusi dan undang-undang. Hal itu telah mengubah korupsi hanya
sebagai sebuah simulakrum di dunia hukum jauh dari substansi yang seharusnya.
Semakin rumit penanganannya jika korupsi itu membelit kepentingan aktor-aktor
elite kunci, apalagi jika para koruptor akan digantung di Monas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar