Minggu, 03 Mei 2020


Legal Anotation
 atas
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1628 K/PID.SUS/2016
(Perspektif Hukum Administrasi dan Hukum Keuangan Negara)
Oleh: Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.
Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
1.       Struktur Pertanggungjawaban Administratif Kebijakan Pengembangan Mobil Listrik Nasional Dalam Bentuk Pembuatan Prototype Electric Bus dan Executive Electric Car untuk Mendukung Kegiatan Asia-Pasific Economic Cooperation (APEC) XXI Tahun 2013
Dalam Putusan MA No. 1628 K/PID.SUS/2016 terlihat bahwa pembentukan Panitia Nasional Penyelenggaraan KTT APEC 2013 di Bali didasarkan atas SK Presiden Nomor 22 Tahun 2012 tentang Paanitia Nasional Penyelenggara Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Pasific Economic Cooperation XXI Tahun 2013 tanggal 31 Juli 2012. Kedudukan saksi Dahlan Iskan (DI) selaku Menteri BUMN adalah sebagai Wakil Penanggung Jawab Bidang Pelaksana KTT APEC 2013. Dalam Putusan MA aquo disebutkan peran dari Menko Perekonomian Ir Hatta Radjasa hanyalah melaksanakan Rapat Panitia APEC 2013. Sayang, dalam putusan-putusan terkait sejak dari putusan PN Tipikor sampai pada putusan MA aquo tak digambarkan dengan jelas struktur keanggotaan dalam kepanitian nasional penyelenggaraan KTT APEC 2013 di Bali tersebut. Padahal, penyelenggaraan kegiatan pembuatan Prototype Electric Bus dan Executive Electric Car tersebut kiranya berawal dari proses-proses rapat kepanitiaan nasional tersebut.
Dahlan Iskan sebagai Menteri BUMN dalam putusan MA aquo disebutkan kedudukannya dalam kepanitiaan nasional tersebut adalah sebagai Wakil Penanggungjawab Bidang Pelaksana KTT APEC 2013. Dalam Hukum Administrasi Negara, kedudukan sebagai wakil penanggungjawab tentunya tidak bertanggungjawab secara mandiri dan harus dikaitkan dengan pertanggungjawaban administratif Ketua Penanggungjawab Kepanitiaan Nasional tersebut. Guna menganalisis pertanggungawaban secara administratif dalam kapasitas sebagai Menteri BUMN dari DI harus dimulai dari rapat internal dengan jajaran pejabat eselon I dan II pada Kementerian BUMN guna mempersiapkan penyediaan sarana angkutan transportasi peserta APEC 2013 berupa electric bus dan VIP VAN (putusan MA hal 4). 
Meskipun DI – lah yang dikonstruksikan berperan dalam pengusulan penggunaan kendaraan electric untuk pelaksanaan KTT APEC 2013 dan ditindaklanjuti dengan rapat internal di Kementerian BUMN untuk membahas persiapan penyediaan sarana angkutan transportasi peserta APEC 2013 berupa electric bus dan VIP VAN, namun, karena tidak jelas adanya struktur kepanitiaan yang digambarkan dalam putusan MA aquo dan proses persetujuan dalam rapat kepanitiaan bersama dengan Menko Perekonomian berimplikasi masih terlihat tidak jelasnya alur pengambilan keputusan administratif yang memutuskan persetujuan atas usulan dari DI dalam rapat kepanitian nasional tersebut. Dalam Hukum Administrasi Negara untuk menentukan letak pertanggungjawaban jabatan dalam pengambilan suatu keputusan harus ditelusuri dengan mengujinya berdasarkan teori mengenai sumber wewenang. Ditinjau secara konseptual, istilah wewenang atau kewenangan sering disejajarkan dengan istilah Belanda “bevoegdheid” (yang berarti wewenang atau berkuasa). Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dalam Hukum Tata Pemerintahan (Hukum Administrasi), karena pemerintahan baru dapat menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya.
Pengertian kewenangan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan sama dengan wewenang, yaitu hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu.  Wewenang diperoleh secara atribusi, delegasi, dan mandat, yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut : Wewenang yang diperoleh secara atribusi, yaitu pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, disini dilahirkan/diciptakan suatu wewenang pemerintah yang baru. Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan TUN yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Jabatan TUN lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh adanya sesuatu atribusi wewenang. Pada mandat, disitu tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Jabatan TUN yang satu kepada yang lain.
Huisman membedakan delegasi dan mandat  sebagai berikut : Delegasi, merupakan pelimpahan wewenang (overdracht van bevoegdheid); kewenangan tidak dapat dijalankan secara insidental oleh organ yang memiliki wewenang asli (bevoegdheid kan door hetoorsprokenlijk bevoegde orgaan niet incidenteel uitgoefend worden ); terjadi peralihan tanggung jawab (overgang van verantwoordelijkheid); harus berdasarkan UU (wetelijk basis vereist ); harus tertulis (moet schriftelijk);. Mandat menurut Huisman, merupakan perintah untuk  melaksanakan (opdracht tot uitvoering); kewenangan dapat sewaktu-waktu dilaksanakan oleh  mandans (bevoeghdheid kan door mandaatgever nog incidenteel uitgeofend worden); tidak  terjadi peralihan tanggung jawab (behooud van verantwoordelijkheid); tidak harus berdasarkan  UU (geen wetelijke basis vereist); dapat tertulis, dapat pula secara lisan.
Jika mengacu pada teori mengenai wewenang dan sumber wewenang di atas, sebenarnya perlu ada kejelasan terlebih dahulu terkait pertanggungjawaban dalam kebijakan Pengembangan Mobil Listrik Nasional Dalam Bentuk Pembuatan Prototype Electric Bus dan Executive Electric Car untuk Mendukung Kegiatan Asia-Pasific Economic Cooperation (APEC) XXI Tahun 2013 tersebut. Hal itu untuk menjawab beberapa isu berikut: (1). Jika keputusan tersebut dihasilkan melalui forum Rapat Panitia APEC 2013 yang dipimpin oleh Menko Perekonomian, mengapa pertanggungjawaban tidak dilakukan secara kolektif dari peserta forum rapat tersebut?; (2). Dasar pelaksanaan rapat internal di Kementerian BUMN tak dapat dilepaskan dari proses pengambilan keputusan dalam forum rapat sebelumnya yang dselenggarakan oleh Menko Perekonomian Hatta Radjasa. Sejauh mana hasil rapat panitia nasional tersebut telah merekomendasikan kepada DI untuk mengambil sejumlah keputusan yang dilakukan setelah melalui rapat internal di Kementerian BUMN (vide hal.4); (3) Hubungan DI sebagai wakil penanggungjawab dalam kepanitiaan yang menindaklanjuti hasil rapat sebelumnya yang diselenggarakan oleh Menko Perekonomian dengan Ketua Penanggungjawab seharusnya hanya bersifat mandat (bukan delegasi apalagi atributif). Hal ini berarti DI tidak bisa bertanggungjawab secara mandiri atas kebijakan yang dilakukan dalam memberikan “arahan untuk menampilkan dalam acara APEC tersebut mobil listrik hasil karya anak bangsa” (hal 5) yang diikuti dengan berbagai tindak lanjut perbuatan seperti menawarkan kepada sponsor/penyandang dana (PT BRI dan PT PGN), penunjukan Terdakwa Ir. Dasep Ahmadi dalam pembuatan prototype mobil listrik untuk pengangkutan peserta APEC 2013 di Bali dan lain-lain. Tentunya, tindakan DI selaku Menteri BUMN dan Wakil Penanggungjawab Bidang Pelaksana KTT APEC 2013 diambil setelah sebelumnya mendapat persetujuan dari forum rapat panitia nasional yang diselenggarakan oleh Menko Perekonomian dan Ketua Penanggungjawab Kepanitian. Dalam Hukum Administrasi Negara, jika terdapat hubungan mandat antara pemberi mandat yang disebut sebagai mandans (Ketua penanggung jawab? Forum rapat panitia nasional?) dengan penerima mandat (DI selaku Wakil Penggungjawab) yang disebut sebagai mandataris, pertanggungjawaban penggunaan wewenang yang diberikan tetap melekat pada pemberi mandat. Artinya, mandataris tidak bertanggungjawab secara mandiri.
2.       Jika dikaitkan dengan rumusan putusan MA pada hal 15 yang terselip kalimat: “…kerugian negara akibat dari perbuatan Terdakwa bersama-sama dengan saksi DI sebesar …..” telah berimplikasi: (1) mengaburkan batas wewenang Hukum Administrasi Negara antara pengambil kebijakan dengan pelaksana kebijakan serta implikasi dari analisis atas struktur wewenang dalam pengambilan kebijakan terkait Pengembangan Mobil Listrik Nasional Dalam Bentuk Pembuatan Prototype Electric Bus dan Executive Electric Car untuk Mendukung Kegiatan Asia-Pasific Economic Cooperation (APEC) XXI Tahun 2013; dan (2) tidak konsisten dalam penggunaan istilah terminologi “kerugian negara” dan “kerugian keuangan negara” sebagaimana akan dijelaskan pada analisis selanjutnya.

3.       Analisis Aspek Hukum Keuangan Negara
Ada 2 (dua) konstruksi kesalahan dari DI dalam pengambilan keputusan terkait penggunaan uang negara dalam kebijakan Pengembangan Mobil Listrik Nasional Dalam Bentuk Pembuatan Prototype Electric Bus dan Executive Electric Car untuk Mendukung Kegiatan Asia-Pasific Economic Cooperation (APEC) XXI Tahun 2013. Pertama, Pasal 11 ayat (1) SK Presiden Nomor 22 Tahun 2012 tentang Panitia Nasional Penyelenggara Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Pasific Economic Cooperation XXI Tahun 2013 tanggal 31 Juli 2012 memerintahkan agar : “pengadaan barang dan jasa yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas masing-masing Penanggungjawab Bidang dan Panitia Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), dibebankan pada Anggaran Belanja Kementerian/Lembaga atau Instansi Pemerintah terkait, kecuali untuk anggaran pengamanan yang dibebankan pada Anggaran Belanja Kementerian Sekretaris Negara.” Namun, realisasinya, justru anggaran yang digunakan untuk pengadaan mobil listrik tersebut diambil dari dana yang disediakan oleh PGN dan BRI (BUMN). Kedua, penunjukan langsung PT Sarimas Ahmadi Pratama (SAP) dan tenaga ahli yang direkomendasi  Dasep Admadi, dkk (hal 6) dinilai bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa BUMN yang mengatur bahwa: “Pengadaan barang dan jasa wajib menerapkan prinsip-prinsip kompetitif, berarti Pengadaan barang dan jasa harus terbuka bagi Penyedia Barang dan Jasa yang memenuhi persyaratan dan dilakukan melalui persaingan yang sehat di antara Penyedia Barang dan Jasa yang setara dan memenuhi syarat/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas dan transparan.” Berdasarkan konstruksi tersebut, terdapat 2 kategori kerugian negara, yaitu: kerugian negara derajat pertama terletak pada penanggung jawab administratif kegiatan pengadaan mobil listrik yang bertentangan baik dengan Pasal 11 ayat (1) SK Presiden Nomor 22 Tahun 2012 tentang Panitia Nasional Penyelenggara Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Pasific Economic Cooperation XXI Tahun 2013 tanggal 31 Juli 2012 dan kerugian negara derajat kedua yang dilakukan langsung oleh Terdakwa yang secara tekhnis melakukan tindakan yang menimbulkan terjadinya kerugian negara sebagaimana telah diulas dalam putusan MA aquo.

4.       Status Uang Negara BUMN
Pengertian keuangan negara dalam UU No. 17/2003 adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut (Pasal 1 butir 1). Pengertian tersebut secara historis konseptual sebenarnya mengikuti rumusan pengertian keuangan negara yang pernah dihasilkan dalam seminar ICW tanggal 30 Agustus-5 September 1970 di Jakarta yang sebelumnya dalam teori hukum keuangan negara pernah pula dikemukakan oleh van der Kemp. Definisi keuangan negara dalam Pasal 1 butir 1 UU No. 17/2003 tersebut menggunakan definisi yang luas untuk mengamankan kekayaan negara yang bersumber dari uang rakyat yang diperoleh melalui pajak, retribusi maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak. Komitmen tersebut terlihat dari definisi keuangan negara dalam UU No. 17/2003 yang menggunakan sistem definisi yang bersifat luas/komprehensif. Hal itu diperjelas oleh penjelasan UU No. 17/2003 butir ke-3 sebagai berikut: Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Ditinjau dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Ditinjau dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/ Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Ditinjau dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban. Ditinjau dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Selanjutnya, konsisten dengan rumusan definisi keuangan negara yang bersifat luas/komprehensif tersebut untuk mengatasi kelemahan dari peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku selama ini khususnya UU Perbendaharaan Indonesia (UPI) yang merupakan metamorfosa dari ICW, maka ruang lingkup keuangan negara dalam Pasal 2 UU No. 17/2003 disebutkan meliputi 9 macam, yaitu: a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman; b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga; c. Penerimaan Negara; d. Pengeluaran Negara; e. Penerimaan Daerah; f. Pengeluaran Daerah; g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah; h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Definisi dan ruang lingkup keuangan negara yang dirumuskan secara luas/komprehensif tersebut dimaksudkan untuk mencegah adanya loopholes dalam regulasi yang bisa berimplikasi terhadap terjadinya kerugian negara dalam hal pengelolaan keuangan negara. Jika dikaitkan dengan upaya pemberantasan korupsi, Penjelasan UU No. 31/1999 juga terlihat menganut sistem definisi yang luas/komprehensif terhadap pemaknaan keuangan negara dengan menyatakan bahwa: Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: (a) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah; (b) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.
Jika ditinjau dari "teori sumber", uang negara yang dipisahkan dari APBN untuk diinvestasikan di BUMN, jelas bersumber dari uang rakyat di APBN. Hal itu berimplikasi harus tunduk pada mekanisme pengelolaan, pertanggungjawaban dan pemeriksaan yang sama dengan aliran uang negara lainnya. Asas kelengkapan yang dikenal dalam hukum keuangan negara  mengharuskan seluruh uang negara bersifat transparan dan tak ada yang terlepas dari pengawasan parlemen sebagai representasi rakyat. BUMN tak boleh berlindung di balik otonomi badan hukum privat untuk melucuti akses pengawasan rakyat terhadap uang negara yang dipisahkan.
PT PGN (Persero) dan PT BRI (Persero) merupakan BUMN sebagaimana dimaksud dalam UU No.19 Tahun 2003. Dengan demikian, status uang yang dikelolanya termasuk dalam lingkup keuangan negara. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 48/PUU-XI/2013 dan Nomor 62/PUU-XI/2013 pada prinsipnya memperkuat status hukum keuangan negara yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) termasuk juga dan BHMN. Hal itu juga sebelumnya telah ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1863 K/Pid.Sus/2010 tanggal 6 Oktober 2010 atas nama terdakwa Ir. Hariadi Sadono. Jika mengacu pada  ketentuan yang terdapat pada Pasal 11 ayat (1) SK Presiden Nomor 22 Tahun 2012 tentang Panitia Nasional Penyelenggara Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Pasific Economic Cooperation XXI Tahun 2013 tanggal 31 Juli 2012 memerintahkan agar : “pengadaan barang dan jasa yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas masing-masing Penanggungjawab Bidang dan Panitia Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), dibebankan pada Anggaran Belanja Kementerian/Lembaga atau Instansi Pemerintah terkait, kecuali untuk anggaran pengamanan yang dibebankan pada Anggaran Belanja Kementerian Sekretaris Negara,” terlihat adanya penyimpangan terhadap mekanisme penganggaran yang seharusnya mengikuti Pasal 11 ayat (1) SK Presiden No. 22 Tahun 2012 justru menggunakan dana yang bersumber dari pembiayaan BUMN. Mengingat bahwa status uang yang dikelola oleh BUMN tetap merupakan unsur keuangan negara, maka, terjadi pelanggaran terhadap asas spesialitas dalam pelaksanaan pembiayaan atas pelaksanaan dari SK Presiden No. 22 Tahun 2012.

5.       Kerugian Negara dalam Kebijakan Pengembangan Mobil Listrik Nasional Dalam Bentuk Pembuatan Prototype Electric Bus dan Executive Electric Car untuk Mendukung Kegiatan Asia-Pasific Economic Cooperation (APEC) XXI Tahun 2013
Pendapat majelis Hakim Kasasi yang menyatakan bahwa judex facti telah salah mengkualifisir sifat melawan hukumnya tindakan terdakwa karena melanggar Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa (pasa putusan MA hal. 63 disebut sebagai Keppres No. 54 Tahun 2010) dikarenakan menggunakan dana sponsorship dan CSR dari BUMN tidak dengan jelas menegaskan: (1) sifat kerugian negara yang disebabkan penggunaan dana sponsorship dan CSR yang tetap termasuk dalam ruang lingkup keuangan negara; (2) penyimpangan yang dilakukan terdakwa sehubungan dengan penggunaan dana yang bersumber dari sponsorship dan CSR BUMN berbeda dengan perintah dari Pasal 11 ayat (1) SK Presiden No. 22 Tahun 2012 yang menetapkan keharusan penggunaan pembiayaan yang bersumber dari Anggaran Belanja Kementerian/Lembaga atau Instansi Pemerintah terkait, kecuali untuk anggaran pengamanan yang dibebankan pada Anggaran Belanja Kementerian Sekretaris Negara. Dengan demikian, putusan MA tidak diletakkan atas basis yuridis yang mengatur asas muasal kerugian negara yang ditimbulkan.
Pengertian dari kerugian negara dalam Hukum Administrasi Negara diatur pada Pasal 1 angka 22 UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendahararan Negara jo Pasal 1 angka 15 UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan yang mengatur bahwa Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Berdasarkan pengertian tersebut, kerugian negara terdiri atas unsur:
·         Adanya pelaku yang dapat dimintakan pertanggungjawaban; 
·         Berkurangnya uang, surat berharga dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya;
·         Perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai; dan
·         Adanya hubungan sebab – akibat antara perbuatan melawan hukum dan berkurangnya uang, surat berharga dan barang. 

Pengertian kerugian negara merujuk pada pengertian kerugian negara dalam perspektif Hukum Administrasi Negara yang pada hakikatnya mencakup seluruh unsur pengertian keuangan negara sebagaimana diatur pada Pasal 1 angka 1 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yaitu kerugian terhadap semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut Putusan MK No. 48/PUU-XI/2013 memaknai kerugian negara tersebut mencakup:
·         Pengeluaran suatu sumber/kekayaan negara/daerah (dapat berupa uang, barang) yang seharusnya tidak dikeluarkan;
·         Pengeluaran suatu sumber/kekayaan negara/daera
·         Hilangnya sumber/kekayaan negara/daerah yang seharusnya diterima (termasuk diantaranya penerimaan uang palsu, barang fiktif);
·         Penerimaan sumber/kekayaan negara/daerah lebih kecil/lebih rendah dari yang seharusnya diterima (termasuk penerimaan barang rusak, kualitas tidak sesuai);
·         Timbulnya suatu kewajiban negara/daerah yang seharusnya tidak ada;
·         Timbulnya suatu kewajiban negara/daerah yang lebih besar dari yanga seharusnya;
·         Hilangnya satu hak negara/daerah yang seharusnya dimiliki/diterima menurut aturan yang berlaku;
·         Hak negaradaerah yang diterima lebih kecil dari yang seharusnya diterima.
Pengertian kerugian negara juga harus dikaitkan dengan pendekatan keuangan negara sebagaimana diatur pada Pasal 1 angka 1 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan ruang lingkupnya sebagaimana diatur pada Pasal 2 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menggunakan pendekatan luas-komprehensif yang sudah mencakup seluruh aset/ekekayaan negara. Hal itu secara lebih lengkap diuraikan dalam Penjelasan UU No. 17 Tahun 2003 yang merumuskan pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara.
Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban.
Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Pengertian kerugian negara adalah istilah yang sering digunakan oleh BPK dalam menjalankan tugas pemeriksaan.
Terdapat hubungan antara kerugian negara dan kerugiankeuangan negara. Hubungan tersebut tertera dalam paragraf keenam, butir keenam pada penjelasan umum UU No 1 Tahun 2004, yaitu "Untuk menghindari terjadinya kerugian keuangan negara/darah, akibat tindakan melanggar hukum, atau kelalaian seseorang,dalam undang-undang perbendaharaan ini, diatur ketentuan mengenai penyelesaian kerugian negara/daerah". Proses tersebut dapat dimaknai bahwa proses penyelesaian kerugian negara/daerah dibuat dalam konteks menghindari terjadinya kerugian keuangan negara/daerah.Maka efek lanjutan dari kerugian negara/daerah akan menyebabkan terjadinya kerugian keuangan negara/daerah apabila kerugian negara/daerah tersebut tidak diselesaikan.
Dengan demikian, yang membedakan antara keduanya adalah fase penyelesaian terhadap peristiwa terjadinya kerugian negara. Jika kerugian negara tidak diselesaikan sesuai dengan mekanisme penyelesaian kerugian negara sebagaimana diatur pada Bab XI Pasal 59 – 67 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, maka, akan berakibat terjadinya kerugian keuangan negara. Dengan demikian, jika dirumuskan, kerugian keuangan negara adalah kerugian negara yang terjadi sebagai akibat tidak diselesaikannya kerugian tersebut menurut mekanisme penyelesaian kerugian negara sebagaimana diatur dalam UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.


Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...