Legal Anotation
atas
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1628
K/PID.SUS/2016
(Perspektif Hukum Administrasi
dan Hukum Keuangan Negara)
Oleh:
Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.
Fakultas
Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
1.
Struktur Pertanggungjawaban Administratif
Kebijakan Pengembangan Mobil Listrik Nasional Dalam Bentuk Pembuatan Prototype
Electric Bus dan Executive Electric Car untuk Mendukung Kegiatan Asia-Pasific
Economic Cooperation (APEC) XXI Tahun 2013
Dalam
Putusan MA No. 1628 K/PID.SUS/2016 terlihat bahwa pembentukan Panitia Nasional
Penyelenggaraan KTT APEC 2013 di Bali didasarkan atas SK Presiden Nomor 22
Tahun 2012 tentang Paanitia Nasional Penyelenggara Konferensi Tingkat Tinggi
Asia-Pasific Economic Cooperation XXI Tahun 2013 tanggal 31 Juli 2012.
Kedudukan saksi Dahlan Iskan (DI) selaku Menteri BUMN adalah sebagai Wakil
Penanggung Jawab Bidang Pelaksana KTT APEC 2013. Dalam Putusan MA aquo
disebutkan peran dari Menko Perekonomian Ir Hatta Radjasa hanyalah melaksanakan
Rapat Panitia APEC 2013. Sayang, dalam putusan-putusan terkait sejak dari
putusan PN Tipikor sampai pada putusan MA aquo tak digambarkan dengan jelas
struktur keanggotaan dalam kepanitian nasional penyelenggaraan KTT APEC 2013 di
Bali tersebut. Padahal, penyelenggaraan kegiatan pembuatan Prototype Electric
Bus dan Executive Electric Car tersebut kiranya berawal dari proses-proses
rapat kepanitiaan nasional tersebut.
Dahlan
Iskan sebagai Menteri BUMN dalam putusan MA aquo disebutkan kedudukannya dalam
kepanitiaan nasional tersebut adalah sebagai Wakil Penanggungjawab Bidang
Pelaksana KTT APEC 2013. Dalam Hukum Administrasi Negara, kedudukan sebagai
wakil penanggungjawab tentunya tidak bertanggungjawab secara mandiri dan harus
dikaitkan dengan pertanggungjawaban administratif Ketua Penanggungjawab
Kepanitiaan Nasional tersebut. Guna menganalisis pertanggungawaban secara
administratif dalam kapasitas sebagai Menteri BUMN dari DI harus dimulai dari
rapat internal dengan jajaran pejabat eselon I dan II pada Kementerian BUMN
guna mempersiapkan penyediaan sarana angkutan transportasi peserta APEC 2013 berupa
electric bus dan VIP VAN (putusan MA hal 4).
Meskipun
DI – lah yang dikonstruksikan berperan dalam pengusulan penggunaan kendaraan
electric untuk pelaksanaan KTT APEC 2013 dan ditindaklanjuti dengan rapat
internal di Kementerian BUMN untuk membahas persiapan penyediaan sarana
angkutan transportasi peserta APEC 2013 berupa electric bus dan VIP VAN, namun,
karena tidak jelas adanya struktur kepanitiaan yang digambarkan dalam putusan
MA aquo dan proses persetujuan dalam rapat kepanitiaan bersama dengan Menko
Perekonomian berimplikasi masih terlihat tidak jelasnya alur pengambilan
keputusan administratif yang memutuskan persetujuan atas usulan dari DI dalam
rapat kepanitian nasional tersebut. Dalam Hukum Administrasi Negara untuk
menentukan letak pertanggungjawaban jabatan dalam pengambilan suatu keputusan
harus ditelusuri dengan mengujinya berdasarkan teori mengenai sumber wewenang.
Ditinjau secara konseptual, istilah wewenang atau kewenangan sering
disejajarkan dengan istilah Belanda “bevoegdheid” (yang berarti wewenang
atau berkuasa). Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dalam Hukum Tata
Pemerintahan (Hukum Administrasi), karena pemerintahan baru dapat menjalankan
fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya.
Pengertian
kewenangan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan sama dengan wewenang,
yaitu hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu. Wewenang diperoleh secara atribusi, delegasi,
dan mandat, yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut : Wewenang
yang diperoleh secara atribusi, yaitu pemberian wewenang pemerintahan
yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, disini
dilahirkan/diciptakan suatu wewenang pemerintah yang baru. Pada delegasi terjadilah
pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan TUN yang telah
memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau
Jabatan TUN lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh adanya sesuatu
atribusi wewenang. Pada mandat, disitu tidak terjadi suatu pemberian
wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Jabatan TUN yang satu
kepada yang lain.
Huisman
membedakan delegasi dan mandat sebagai berikut : Delegasi, merupakan
pelimpahan wewenang (overdracht van bevoegdheid); kewenangan tidak dapat
dijalankan secara insidental oleh organ yang memiliki wewenang asli (bevoegdheid
kan door hetoorsprokenlijk bevoegde orgaan niet incidenteel uitgoefend worden
); terjadi peralihan tanggung jawab (overgang van verantwoordelijkheid);
harus berdasarkan UU (wetelijk basis vereist ); harus tertulis (moet
schriftelijk);. Mandat menurut Huisman, merupakan perintah untuk
melaksanakan (opdracht tot uitvoering); kewenangan dapat
sewaktu-waktu dilaksanakan oleh mandans (bevoeghdheid kan door
mandaatgever nog incidenteel uitgeofend worden); tidak terjadi
peralihan tanggung jawab (behooud van verantwoordelijkheid); tidak harus
berdasarkan UU (geen wetelijke basis vereist); dapat tertulis,
dapat pula secara lisan.
Jika
mengacu pada teori mengenai wewenang dan sumber wewenang di atas, sebenarnya
perlu ada kejelasan terlebih dahulu terkait pertanggungjawaban dalam kebijakan
Pengembangan Mobil Listrik Nasional Dalam Bentuk Pembuatan Prototype Electric Bus dan Executive
Electric Car untuk Mendukung Kegiatan Asia-Pasific Economic Cooperation
(APEC) XXI Tahun 2013 tersebut. Hal itu untuk menjawab beberapa isu berikut:
(1). Jika keputusan tersebut dihasilkan melalui forum Rapat Panitia APEC 2013
yang dipimpin oleh Menko Perekonomian, mengapa pertanggungjawaban tidak
dilakukan secara kolektif dari peserta forum rapat tersebut?; (2). Dasar
pelaksanaan rapat internal di Kementerian BUMN tak dapat dilepaskan dari proses
pengambilan keputusan dalam forum rapat sebelumnya yang dselenggarakan oleh
Menko Perekonomian Hatta Radjasa. Sejauh mana hasil rapat panitia nasional
tersebut telah merekomendasikan kepada DI untuk mengambil sejumlah keputusan
yang dilakukan setelah melalui rapat internal di Kementerian BUMN (vide hal.4);
(3) Hubungan DI sebagai wakil penanggungjawab dalam kepanitiaan yang
menindaklanjuti hasil rapat sebelumnya yang diselenggarakan oleh Menko
Perekonomian dengan Ketua Penanggungjawab seharusnya hanya bersifat mandat
(bukan delegasi apalagi atributif). Hal ini berarti DI tidak bisa
bertanggungjawab secara mandiri atas kebijakan yang dilakukan dalam memberikan
“arahan untuk menampilkan dalam acara APEC tersebut mobil listrik hasil karya
anak bangsa” (hal 5) yang diikuti dengan berbagai tindak lanjut perbuatan seperti
menawarkan kepada sponsor/penyandang dana (PT BRI dan PT PGN), penunjukan
Terdakwa Ir. Dasep Ahmadi dalam pembuatan prototype mobil listrik untuk
pengangkutan peserta APEC 2013 di Bali dan lain-lain. Tentunya, tindakan DI
selaku Menteri BUMN dan Wakil Penanggungjawab Bidang Pelaksana KTT APEC 2013
diambil setelah sebelumnya mendapat persetujuan dari forum rapat panitia
nasional yang diselenggarakan oleh Menko Perekonomian dan Ketua Penanggungjawab
Kepanitian. Dalam Hukum Administrasi Negara, jika terdapat hubungan mandat
antara pemberi mandat yang disebut sebagai mandans (Ketua penanggung jawab?
Forum rapat panitia nasional?) dengan penerima mandat (DI selaku Wakil
Penggungjawab) yang disebut sebagai mandataris, pertanggungjawaban penggunaan
wewenang yang diberikan tetap melekat pada pemberi mandat. Artinya, mandataris
tidak bertanggungjawab secara mandiri.
2.
Jika
dikaitkan dengan rumusan putusan MA pada hal 15 yang terselip kalimat:
“…kerugian negara akibat dari perbuatan Terdakwa bersama-sama dengan saksi DI
sebesar …..” telah berimplikasi: (1) mengaburkan batas wewenang Hukum
Administrasi Negara antara pengambil kebijakan dengan pelaksana kebijakan serta
implikasi dari analisis atas struktur wewenang dalam pengambilan kebijakan
terkait Pengembangan Mobil Listrik Nasional Dalam Bentuk Pembuatan Prototype
Electric Bus dan Executive Electric Car untuk Mendukung Kegiatan Asia-Pasific
Economic Cooperation (APEC) XXI Tahun 2013; dan (2) tidak konsisten dalam
penggunaan istilah terminologi “kerugian negara” dan “kerugian keuangan negara”
sebagaimana akan dijelaskan pada analisis selanjutnya.
3.
Analisis Aspek Hukum Keuangan
Negara
Ada 2 (dua) konstruksi
kesalahan dari DI dalam pengambilan keputusan terkait penggunaan uang negara
dalam kebijakan Pengembangan Mobil Listrik Nasional Dalam Bentuk Pembuatan
Prototype Electric Bus dan Executive Electric Car untuk Mendukung Kegiatan
Asia-Pasific Economic Cooperation (APEC) XXI Tahun 2013. Pertama, Pasal 11 ayat
(1) SK Presiden Nomor 22 Tahun 2012 tentang Panitia Nasional Penyelenggara
Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Pasific Economic Cooperation XXI Tahun 2013
tanggal 31 Juli 2012 memerintahkan agar : “pengadaan barang dan jasa yang
diperlukan bagi pelaksanaan tugas masing-masing Penanggungjawab Bidang dan
Panitia Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), dibebankan pada
Anggaran Belanja Kementerian/Lembaga atau Instansi Pemerintah terkait, kecuali
untuk anggaran pengamanan yang dibebankan pada Anggaran Belanja Kementerian
Sekretaris Negara.” Namun, realisasinya, justru anggaran yang digunakan untuk
pengadaan mobil listrik tersebut diambil dari dana yang disediakan oleh PGN dan
BRI (BUMN). Kedua, penunjukan langsung PT Sarimas Ahmadi Pratama (SAP) dan
tenaga ahli yang direkomendasi Dasep
Admadi, dkk (hal 6) dinilai bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1) Peraturan
Menteri Negara BUMN Nomor PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan
Pengadaan Barang dan Jasa BUMN yang mengatur bahwa: “Pengadaan barang dan jasa
wajib menerapkan prinsip-prinsip kompetitif, berarti Pengadaan barang dan jasa
harus terbuka bagi Penyedia Barang dan Jasa yang memenuhi persyaratan dan
dilakukan melalui persaingan yang sehat di antara Penyedia Barang dan Jasa yang
setara dan memenuhi syarat/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur
yang jelas dan transparan.” Berdasarkan konstruksi tersebut, terdapat 2
kategori kerugian negara, yaitu: kerugian negara derajat pertama terletak pada
penanggung jawab administratif kegiatan pengadaan mobil listrik yang
bertentangan baik dengan Pasal 11 ayat (1) SK Presiden Nomor 22 Tahun 2012
tentang Panitia Nasional Penyelenggara Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Pasific
Economic Cooperation XXI Tahun 2013 tanggal 31 Juli 2012 dan kerugian negara
derajat kedua yang dilakukan langsung oleh Terdakwa yang secara tekhnis
melakukan tindakan yang menimbulkan terjadinya kerugian negara sebagaimana
telah diulas dalam putusan MA aquo.
4.
Status Uang Negara BUMN
Pengertian keuangan negara dalam UU No. 17/2003 adalah
semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala
sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara
berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut (Pasal 1 butir 1).
Pengertian tersebut secara historis konseptual sebenarnya mengikuti rumusan
pengertian keuangan negara yang pernah dihasilkan dalam seminar ICW tanggal 30
Agustus-5 September 1970 di Jakarta yang sebelumnya dalam teori hukum keuangan
negara pernah pula dikemukakan oleh van der Kemp. Definisi keuangan negara
dalam Pasal 1 butir 1 UU No. 17/2003 tersebut menggunakan definisi yang luas untuk mengamankan
kekayaan negara yang bersumber dari uang rakyat yang diperoleh melalui pajak,
retribusi maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak. Komitmen tersebut terlihat dari
definisi keuangan negara dalam UU No. 17/2003 yang menggunakan sistem definisi
yang bersifat luas/komprehensif. Hal itu diperjelas oleh penjelasan UU No.
17/2003 butir ke-3 sebagai berikut: Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan
Keuangan Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Ditinjau dari
sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan
kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala
sesuatu baik berupa uang, maupun
berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut. Ditinjau dari sisi subyek yang dimaksud dengan
Keuangan Negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang
dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
Perusahaan Negara/ Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan
negara. Ditinjau dari sisi proses, Keuangan Negara
mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek
sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan
keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban. Ditinjau dari
sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan
hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek
sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.
Selanjutnya, konsisten dengan rumusan definisi keuangan negara yang bersifat
luas/komprehensif tersebut untuk mengatasi kelemahan dari peraturan
perundang-undangan yang pernah berlaku selama ini khususnya UU Perbendaharaan
Indonesia (UPI) yang merupakan metamorfosa dari ICW, maka ruang lingkup
keuangan negara dalam Pasal 2 UU No. 17/2003 disebutkan meliputi 9 macam,
yaitu: a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang,
dan melakukan pinjaman; b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas
layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga; c.
Penerimaan Negara; d. Pengeluaran Negara; e. Penerimaan Daerah; f. Pengeluaran
Daerah; g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh
pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain
yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada
perusahaan negara/perusahaan daerah; h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh
pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan
umum; i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang
diberikan pemerintah. Definisi dan ruang lingkup keuangan negara yang
dirumuskan secara luas/komprehensif tersebut dimaksudkan untuk mencegah adanya loopholes dalam regulasi yang bisa
berimplikasi terhadap terjadinya kerugian negara dalam hal pengelolaan keuangan
negara. Jika dikaitkan dengan upaya pemberantasan korupsi, Penjelasan UU No.
31/1999 juga terlihat menganut sistem definisi yang luas/komprehensif terhadap
pemaknaan keuangan negara dengan menyatakan bahwa: Keuangan negara yang
dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan
atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara
dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: (a) berada dalam penguasaan,
pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat
pusat maupun di daerah; (b) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan
pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan,
badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang
menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.
Jika ditinjau dari "teori sumber", uang negara
yang dipisahkan dari APBN untuk diinvestasikan di BUMN, jelas bersumber dari
uang rakyat di APBN. Hal itu berimplikasi harus tunduk pada mekanisme
pengelolaan, pertanggungjawaban dan pemeriksaan yang sama dengan aliran uang
negara lainnya. Asas kelengkapan yang dikenal dalam hukum keuangan negara mengharuskan seluruh uang negara bersifat
transparan dan tak ada yang terlepas dari pengawasan parlemen sebagai
representasi rakyat. BUMN tak boleh berlindung di balik otonomi badan hukum
privat untuk melucuti akses pengawasan rakyat terhadap uang negara yang
dipisahkan.
PT PGN (Persero) dan PT BRI (Persero) merupakan
BUMN sebagaimana dimaksud dalam UU No.19 Tahun 2003. Dengan demikian, status
uang yang dikelolanya termasuk dalam lingkup keuangan negara. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 48/PUU-XI/2013
dan Nomor 62/PUU-XI/2013 pada prinsipnya memperkuat status hukum
keuangan negara yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) termasuk juga
dan BHMN. Hal itu juga
sebelumnya telah ditegaskan dalam Putusan Mahkamah
Agung No. 1863 K/Pid.Sus/2010 tanggal 6 Oktober 2010 atas nama terdakwa Ir. Hariadi
Sadono. Jika mengacu pada
ketentuan yang terdapat pada Pasal
11 ayat (1) SK Presiden Nomor 22 Tahun 2012 tentang Panitia Nasional
Penyelenggara Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Pasific Economic Cooperation XXI
Tahun 2013 tanggal 31 Juli 2012 memerintahkan agar : “pengadaan barang dan jasa
yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas masing-masing Penanggungjawab Bidang dan
Panitia Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), dibebankan pada
Anggaran Belanja Kementerian/Lembaga atau Instansi Pemerintah terkait, kecuali
untuk anggaran pengamanan yang dibebankan pada Anggaran Belanja Kementerian
Sekretaris Negara,” terlihat adanya penyimpangan terhadap mekanisme
penganggaran yang seharusnya mengikuti Pasal 11 ayat (1) SK Presiden No. 22
Tahun 2012 justru menggunakan dana yang bersumber dari pembiayaan BUMN. Mengingat
bahwa status uang yang dikelola oleh BUMN tetap merupakan unsur keuangan
negara, maka, terjadi pelanggaran terhadap asas spesialitas dalam pelaksanaan
pembiayaan atas pelaksanaan dari SK Presiden No. 22 Tahun 2012.
5.
Kerugian Negara dalam Kebijakan
Pengembangan Mobil Listrik Nasional Dalam Bentuk Pembuatan Prototype Electric
Bus dan Executive Electric Car untuk Mendukung Kegiatan Asia-Pasific Economic
Cooperation (APEC) XXI Tahun 2013
Pendapat
majelis Hakim Kasasi yang menyatakan bahwa judex facti telah salah
mengkualifisir sifat melawan hukumnya tindakan terdakwa karena melanggar
Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa (pasa putusan MA
hal. 63 disebut sebagai Keppres No. 54 Tahun 2010) dikarenakan
menggunakan dana sponsorship dan CSR dari BUMN tidak dengan jelas menegaskan:
(1) sifat kerugian negara yang disebabkan penggunaan dana sponsorship dan CSR
yang tetap termasuk dalam ruang lingkup keuangan negara; (2) penyimpangan yang
dilakukan terdakwa sehubungan dengan penggunaan dana yang bersumber dari
sponsorship dan CSR BUMN berbeda dengan perintah dari Pasal 11 ayat (1) SK
Presiden No. 22 Tahun 2012 yang menetapkan keharusan penggunaan pembiayaan yang
bersumber dari Anggaran Belanja Kementerian/Lembaga atau Instansi Pemerintah
terkait, kecuali untuk anggaran pengamanan yang dibebankan pada Anggaran
Belanja Kementerian Sekretaris Negara. Dengan demikian, putusan MA tidak
diletakkan atas basis yuridis yang mengatur asas muasal kerugian negara yang
ditimbulkan.
Pengertian dari kerugian negara dalam Hukum Administrasi Negara diatur pada Pasal 1 angka 22
UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendahararan Negara jo Pasal 1 angka 15 UU No. 15
Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan yang mengatur bahwa Kerugian
Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata
dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun
lalai. Berdasarkan pengertian tersebut, kerugian negara terdiri atas unsur:
·
Adanya
pelaku yang dapat dimintakan pertanggungjawaban;
·
Berkurangnya
uang, surat berharga dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya;
·
Perbuatan
melawan hukum baik sengaja maupun lalai; dan
·
Adanya
hubungan sebab – akibat antara perbuatan melawan hukum dan berkurangnya uang,
surat berharga dan barang.
Pengertian
kerugian negara merujuk pada pengertian kerugian negara dalam perspektif Hukum
Administrasi Negara yang pada hakikatnya mencakup seluruh unsur pengertian
keuangan negara sebagaimana diatur pada Pasal 1 angka 1 UU No. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara, yaitu kerugian terhadap semua hak dan kewajiban negara
yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun
berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan
hak dan kewajiban tersebut Putusan MK No. 48/PUU-XI/2013 memaknai kerugian
negara tersebut mencakup:
·
Pengeluaran
suatu sumber/kekayaan negara/daerah (dapat berupa uang, barang) yang seharusnya
tidak dikeluarkan;
·
Pengeluaran
suatu sumber/kekayaan negara/daera
·
Hilangnya
sumber/kekayaan negara/daerah yang seharusnya diterima (termasuk diantaranya
penerimaan uang palsu, barang fiktif);
·
Penerimaan
sumber/kekayaan negara/daerah lebih kecil/lebih rendah dari yang seharusnya
diterima (termasuk penerimaan barang rusak, kualitas tidak sesuai);
·
Timbulnya
suatu kewajiban negara/daerah yang seharusnya tidak ada;
·
Timbulnya
suatu kewajiban negara/daerah yang lebih besar dari yanga seharusnya;
·
Hilangnya
satu hak negara/daerah yang seharusnya dimiliki/diterima menurut aturan yang
berlaku;
·
Hak
negaradaerah yang diterima lebih kecil dari yang seharusnya diterima.
Pengertian kerugian
negara juga harus dikaitkan dengan pendekatan keuangan negara sebagaimana
diatur pada Pasal 1 angka 1 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan
ruang lingkupnya sebagaimana diatur pada Pasal 2 UU No. 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara menggunakan pendekatan luas-komprehensif yang sudah mencakup
seluruh aset/ekekayaan negara. Hal itu secara lebih lengkap diuraikan dalam
Penjelasan UU No. 17 Tahun 2003 yang merumuskan pendekatan yang digunakan dalam
merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan.
Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan
kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang
dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang
dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut. Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi
seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau
dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah,
dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara.
Dari
sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan
dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan
kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban.
Dari
sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan
hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana
tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Pengertian
kerugian negara adalah istilah yang sering digunakan oleh BPK dalam menjalankan
tugas pemeriksaan.
Terdapat
hubungan antara kerugian negara dan kerugiankeuangan negara. Hubungan tersebut
tertera dalam paragraf keenam, butir keenam pada penjelasan umum UU No 1 Tahun
2004, yaitu "Untuk menghindari terjadinya kerugian keuangan negara/darah,
akibat tindakan melanggar hukum, atau kelalaian seseorang,dalam undang-undang
perbendaharaan ini, diatur ketentuan mengenai penyelesaian kerugian
negara/daerah". Proses tersebut dapat dimaknai bahwa proses penyelesaian
kerugian negara/daerah dibuat dalam konteks menghindari terjadinya kerugian
keuangan negara/daerah.Maka efek lanjutan dari kerugian negara/daerah akan
menyebabkan terjadinya kerugian keuangan negara/daerah apabila kerugian
negara/daerah tersebut tidak diselesaikan.
Dengan
demikian, yang membedakan antara keduanya adalah fase penyelesaian terhadap
peristiwa terjadinya kerugian negara. Jika kerugian negara tidak diselesaikan
sesuai dengan mekanisme penyelesaian kerugian negara sebagaimana diatur pada
Bab XI Pasal 59 – 67 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, maka,
akan berakibat terjadinya kerugian keuangan negara. Dengan demikian, jika
dirumuskan, kerugian keuangan negara adalah kerugian negara yang terjadi
sebagai akibat tidak diselesaikannya kerugian tersebut menurut mekanisme
penyelesaian kerugian negara sebagaimana diatur dalam UU No 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar