Penataan
Ulang Hubungan Pusat dan Daerah
Oleh
: Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum[2]
Abstrak.
Selama ini hubungan
pusat dan daerah tak pernah lepas dari proses tarik ulur yang dipengaruhi oleh
variabel politik ketatanegaraan dan sistem demokrasi yang dianut. Diawali
dengan hubungan antara pusat dan daerah yang bersifat demokratis melalui
pengaturan yang relatif longgar pascakemerdekaan dan kemudian kian memuncak
dengan terbentuknya sistem federal di era konstitusi RIS, kemudian secara
perlahan semakin mengarah pada pola sentralisasi di era Orde Baru dan
selanjutnya di era pascareformasi melalui UU No. 22 Tahun 1999 yang
melaksanakan konstitusi pascaamandemen, kembali mengarah ke era desentralisasi
seluas-luasnya yang bahkan nyaris mendekati quasi federalisme. Pola hubungan
antara pusat dan daerah dengan demikian sangat dipengaruhi oleh proses politik
ketatanegaraan suatu negara yang berpuncak pada konstitusi. Salah satu hal yang
sangat penting untuk ditelaah dalam persoalan hubungan pusat dan daerah disini
adalah sistem desentralisasi fiskal yang merupakan derivasi dari konsep relasi
keuangan pusat dan daerah. Transformasi sistem keuangan di pusat melalui
lahirnya paket UU Keuangan Negara (UU No. 17/2003, UU No. 1/2004 dan UU No.
15/2004) memiliki pengaruh yang sangat penting terhadap penerapan sistem
transparansi, partisipasi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan sistem
keuangan daerah. Namun, derajat otonomi daerah yang bergerak terlalu luas di
satu sisi dan di sisi lain lemahnya kapasitas pengawasan pusat terhadap daerah,
telah menyebabkan masih meluasnya praktik-praktik pengelolaan keuangan daerah
yang belum sepenuhnya mengacu pada prinsip transparansi, partisipasi dan
akuntabilitas. Hal itu diperparah dengan beberapa transfer dana ad hoc (intergovernmental fiscal transfer) yang semakin mendorong maraknya
korupsi anggaran di daerah. Penataan
ulang hubungan pusat dan daerah harus dilakukan dengan menempatkan sistem
hubungan pusat dan daerah dalam kerangka sistem desentralisasi fiskal yang
mampu menerjemahkan tata kelola pemerintahan yang baik.
Kata
kunci: hubungan pusat dan daerah, desentralisasi fiskal dan otonomi daerah
1.
Pendahuluan
Hubungan
pusat dan daerah merupakan salah satu amanat konstitusi yang ditegaskan pada Bab
VI Pasal 18, 18A dan 18B UUD Negara RI 1945. Prinsip dalam pengaturan
konstitusional mengenai hubungan antara pusat dan daerah terdapat pada Pasal 18
ayat (2) UUD Negara RI 1945 yang mengatur bahwa pemerintahan daerah propinsi,
daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Hubungan antara pusat dan daerah
dengan demikian harus bertitik tolak dari penegasan mengenai dasar otonomi
dalam pengaturan mengenai hubungan antara pusat dan daerah yang kemudian lebih
dispesifikasikan pada Pasal 18 ayat (5) UUD Negara RI 1945 yang mengatur bahwa
pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah.
Dasar
pengaturan hubungan antara pusat dan daerah secara lebih khusus ditentukan pada
Pasal 18A UUD Negara RI 1945 yang mengatur dua hal. Pertama, ayat (1) Pasal 18A UUD Negara RI 1945 mengatur bahwa
hubungan wewenang antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah propinsi,
kabupaten, kota, atau antara propinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan
undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Kedua, ayat (2) Pasal 18A UUD Negara RI
1945 mengatur bahwa hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya
alam dan sumber daya lainnya antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah
diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Pengaturan
Pasal 18A UUD Negara RI 1945 tersebut mencakup beberapa prinsip pokok dalam
hubungan antara pusat dan daerah, yaitu: pertama,
hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah propinsi, kabupaten,
kota atau antara propinsi dan kabupaten dan kota didasarkan atas penghargaan
terhadap kekhususan dan keragaman daerah. Pengaturan terhadap hal tersebut
dituangkan dalam suatu undang-undang; kedua,
perlu dikeluarkan undang-undang yang substansinya mengatur hubungan keuangan,
pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara
pemerinttahan pusat dan pemerintahan daerah yang dilaksanakan berdasarkan
prinsip keadilan dan keselarasan.
Pasal
18A UUD Negara RI 1945 tersebut mengandung suatu keharusan dilaksanakannya
desentralisasi fiskal dalam hubungan antara pusat dan daerah dalam suatu
undang-undang yang mengatur hubungan keuangan antara pusat dan daerah.
Undang-undang yang mengatur hubungan keuangan antara pusat dan daerah tersebut
harus didasarkan atas prinsip otonomi seluas-luasnya, kecuali yang berkaitan
dengan pengaturan urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan
sebagai urusan Pemerintah. Tentu saja,
karena pengaturan mengenai hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah
tersebut substansinya mengatur mengenai keuangan negara, maka ketentuan Pasal
23 UUD Negara RI 1945 harus menjadi acuan dalam urusan keuangan negara, mulai
dari proses penetapannya melalui APBN, pelaksanaannya dalam pembiayaan urusan
pemerintahan dan sistem pertanggungjawabannya dalam Pertanggungjawaban Anggaran
Negara (PAN).
Analisis
terhadap pengaturan mengenai sistem hubungan keuangan antara pemerintah pusat
dan daerah ditinjau dari perspektif desentralisasi fiskal dalam tulisan ini
mencakup beberapa hal berikut, yaitu: teori desentralisasi fiskal, sistem
pengaturan hubungan keuangan pusat dan daerah serta mengatasi kelemahan
transfer fiskal dan DAK.
2.
Teori
Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi
sebagai salah satu metode transfer kekuasaan sering dihubungkan dengan
demokrasi. Juanda[3] menempatkan
desentralisasi sebagai salah satu sendi negara yang demokratis (democratischerechtsstaat) sebagai
pilihan yang tepat dalam rangka menjawab berbagai persoalan yang dihadapi
negara dan bangsa sekarang dan di masa datang. Ada yang menganggap bahwa
desentralisasi secara lexicogragraphy
di satu sisi merupakan pembalikan konsentrasi administrasi pada satu pusat
(kekuasaan) dan pemberian kewenangan terhadap pemerintahan lokal[4].
Desentralisasi sebagai suatu pilihan kebijakan dalam kaca mata politik tidak
pernah bersifat final . Hal itu antara lain juga terkait dengan konsolidasi
desentralisasi. Berkaitan dengan konsolidasi desentralisasi, Pratikno dalam
Karim[5]
menguraikan adanya dua parameter utama, yaitu tatkala elit daerah mampu membuat
otonomi daerah dirasakan manfaatnya bagi masyarakat, dan tatkala Pemerintah
Pusat harus membangun legitimasinya dari basis politik daerah. Pada level
daerah, kepemerintahan yang baik menjadi prasyarat bagi keberlanjutan
desentralisasi.
Desentralisasi
akan menimbulkan otonomi daerah dengan tingkat keluasan wewenang yang beragam
tergantung dari asas otonomi yang dipergunakan dan pengaruh demokrasi terhadap
penyelenggaraan pemerintahan. Hal itulah yang tampaknya menjadi argumen untuk
mengatakan bahwa desentralisasi merupakan pilihan kebijakan yang dalam politik
tidak pernah bersifat final. Faktor demokrasi dan asas otonomi sangat
berpengaruh terhadap kebijakan desentralisasi yang diterapkan. Hal tersebut
dapat dicermati dari tabel berikut[6]:
Tabel 1
Sejarah
Desentralisasi di Indonesia
Periode
|
Konfigurasi Politik
|
UU Otonomi
|
Hakikat Otonomi
|
Perjuangan Kemerdekaan
(1945-1949)
|
Demokrasi
|
UU No. 1/1945,
UU No. 22/1948
|
Otonomi Luas
|
Pasca
Kemerdekaan
(1950-1959)
|
Demokrasi
|
UU No. 1/1957
|
Otonomi Luas
|
Demokrasi
Terpimpin (1959-1965)
|
Otoritarian
|
Penpres No.
6/1959, UU No. 18/1965
|
Otonomi
Terbatas
|
Orde Baru
(1965-1988)
|
Otoritarian
|
UU No. 5/1974
|
Sentralisasi
|
Pasca Orde
Baru
(1998–
sekarang)
|
Demokrasi
|
UU No.
22/1999, UU No. 32/2004
|
Otonomi Luas
|
Desentralisasi
merupakan cara untuk melakukan transfer kekuasaan secara vertikal dari
pemerintah pusat kepada daerah, yang ditinjau dari segi konseptual sama
pentingnya dengan power sharing
secara horizontal untuk membagi wewenang antara legislatif, eksekutif dan
yudikatif. Amrah Muslimin mengklasifikasikan desentralisasi menjadi
desentralisasi politik, desentralisasi fungsional dan desentralisasi kebudayaan.[7]
Desentralisasi
politik diartikan sebagai pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat, yang
menimbulkan hak mengurus kepentingan rumah tangga sendiri bagi badan-badan
politik di daerah-daerah, yang dipilih oleh rakyat dalam daerah-daerah
tertentu. Pengertian desentralisasi politik tersebut identik dengan
desentralisasi teritorial, karena faktor “daerah” menjadi salah satu unsurnya.
Desentralisasi teritorial menjelma dalam bentuk badan yang didasarkan pada
wilayah (gebiedscorporaties),
sedangkan desentralisasi fungsional menjelma dalam bentuk badan-badan yang
didasarkan pada tujuan-tujuan tertentu (doelcorporaties).[8]
Desentralisasi administratif atau
dekonsentrasi (ambtelijke decentralisatie)
adalah desentralisasi yang terjadi manakala pemerintah melimpahkan sebagian
dari kewenangannya kepada alat perlengkapan atau organ pemerintah sendiri di
daerah, yakni pejabat-pejabat pemerintah yang ada di daerah, untuk dilaksanakan.[9]
Desentralisasi fiskal merupakan
pemberian kewenangan kepada daerah untuk menggali sumber-sumber pendapatan, hak
untuk menerima transfer dari pemerintah yang lebih tinggi dan menentukan
belanja rutin dan investasi. Syahruddin[10]
berpendapat bahwa tahapan desentralisasi fiskal di Indonesia dapat diklasifikasikan
menjadi tiga tahapan, yaitu:
1.
1975 s/d
1999 : Desentralisasi fiskal terbatas;
2.
2000 s/d
2004 : Desentralisasi fiskal luas;
3.
2005 s/d
sekarang : Desentralisasi fiskal luas terkendali.
Berikut ini dalam tabel 2 diuraikan karakteristik
dari masing-masing tahapan tersebut[11]:
Tabel 2
Klasifikasi
Desentralisasi Fiskal
No
|
Tipe Desentralisasi
|
Periode
|
Karakteristik
|
1
|
Desentralisasi fiskal terbatas
|
1975 s/d 1999
|
a) Kewenangan Pemerintah Pusat sangat dominan, Pemerintah
Daerah merupakan pelaksana kewenangan Pemerintah Pusat;
b) Perda APBD ditetapkan dan disahkan oleh
Pemerintah yang setingkat lebih tinggi (Dati II/Kab/Kota oleh Gubernur, Dati
I/Prov. Oleh Mendagri). Kebijakan Publik tanggung jawab Pemerintah Pusat dan
Pemda; c) Alokasi transfer dana dari Pemerintah Pusat ke Pemda bersifat
spesifik dan sudah jelas peruntukannya. Transfer dari Pemerintah Pusat
dikelompokan menjadi Sumbangan dan Bantuan. Sumbangan untuk pembayaran
belanja kegiatan rutin, mis. Pembayaran Gaji PNS. Bantuan untuk membayar
belanja pembangunan, melalui Inpres (Instruksi Presiden), misalnya inpres SD,
inpres Desa, inpres kesehatan, dan seterusnya. (Pasal 55 UU No 5 tahun 1974);
d) Pinjaman Daerah: Pemda tidak memiliki kewenangan melakukan pinjaman, APBD
disusun berdasarkan anggaran berimbang dan dinamis, sehingga total penerimaan
= total pengeluaran; e) Penerimaan
daerah terdiri dari PAD, transfer pemerintah pusat (sumbangan dan bantuan),
lain-lain pendapatan yang sah.
|
2
|
Desentralisasi fiskal luas
|
2000 s/d 2004
|
a) Pemerintah Pusat memberikan kewenangan luas kepada Pemda
termasuk masalah Keuangan/ Fiskal walaupun masih ada batasan-batasan tertentu
(Pasal 7 UU No. 22 Tahun 1999); b) Perda APBD ditetapkan oleh Kepala Daerah dan
tidak memerlukan persetujuan Pemerintah yang lebih tinggi. Kebijakan Publik
sepenuhnya tanggung jawab Pemda. Tidak ada campur tangan Pemerintah Pusat; c)
Alokasi transfer dana dari Pemerintah Pusat ke Pemda bersifat umum dan
berbentuk block grant (Dana
Perimbangan: Bagi Hasil, DAU, DAK--Pasal 6 UU No. 25 Tahun 2009) sehingga
Pemda dapat lebih leluasa menentukan program dan kegiatan walaupun ada arahan
dari Pemerintah Pusat untuk Program dan Kegiatan Prioritas; d) Pinjaman Daerah: Pemda memiliki
kewenangan melakukan pinjaman, baik pinjaman ke pemerintah pusat, lembaga
keuangan bank, non bank, maupun pinjaman luar negeri (pasal 2, PP No. 107
Tahun 2000); e) APBD disusun
berdasarkan anggaran surplus/defisit, sehingga total penerimaan = total
pengeluaran + total pembiayaan. Defisit terjadi apabila Pendapatan lebih
kecil dari Belanja
(pasal 15 PP No. 105 Tahun 2000).
|
3
|
Desentralisasi
fiskal luas terkendali
|
2005 s/d
sekarang
|
a) Pemerintah
Pusat memberikan kewenangan luas kepada Pemda termasuk masalah Keuangan/
Fiskal walaupun masih ada batasan-batasan tertentu (Pasal 10 UU No. 32 Tahun
2004); b) Perda APBD ditetapkan oleh Kepala Daerah dan memerlukan persetujuan
Pemerintah yang lebih tinggi (Pasal 185 UU No. 32 Tahun 2004). Terdapat
campur tangan Pemerintah Pusat ;
c) Alokasi transfer dana dari Pemerintah Pusat ke Pemda bersifat umum dan
berbentuk block grant (Dana Perimbangan: Bagi Hasil, DAU, DAK – Pasal 10 UU
No. 33 Tahun 2004) sehingga Pemda dapat lebih leluasa menentukan program dan
kegiatan walaupun ada arahan dari Pemerintah Pusat untuk Program dan Kegiatan
Prioritas; d) Pinjaman Daerah: Pemda memiliki kewenangan melakukan pinjaman,
jangka pendek, jangka menengah, jangka panjang (Pasal 5 PP No. 54 Tahun
2005). Sumber pinjaman lebih luas; e) APBD disusun berdasarkan anggaran
surplus/defisit, sehingga total penerimaan = total pengeluaran + total
pembiayaan. Defisit terjadi apabila Pendapatan lebih kecil dari Belanja
(Pasal 174 UU No. 32 Tahun 2004).
|
3.
Pengaturan
Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah
Pengaturan hubungan keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan instrumen penataan sistem desentralisasi
fiskal. Sehubungan dengan adanya prinsip otonomi seluas-luasnya, maka sistem
desentralisasi fiskal dimaksudkan agar daerah memiliki kemampuan untuk
menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan otonom
daerah.
Berkaitan
dengan asas otonomi daerah, pembagian urusan, tugas dan fungsi serta tanggung
jawab antara pusat dan daerah menunjukkan bahwa tidak mungkin semua urusan
pemerintahan diselenggarakan oleh pusat saja. Pengakuan tersebut memberikan
peluang kepada daerah untuk berusaha mengatur dan mengurus serta
menyelenggarakan pemerintahan sendiri.Dengan demikian pengaturan mengenai
hubungan pusat dan daerah, khususnya dalam hal ini hubungan dalam bidang
keuangan merupakan permasalahan yang memerlukan pengaturan yang baik,
komprehensif dan responsif terhadap tuntutan kemandirian dan perkembangan
daerah.[12]
Pengaturan hubungan keuangan antara
pusat dan daerah akan menentukan dan sekaligus juga dipengaruhi oleh derajat
otonomi daerah yang diberikan. Pola umum dalam pengaturan hubungan keuangan
antara pusat dan daerah terdapat dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Ada 3 (tiga) prinsip
kebijakan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Pertama, perimbangan keuangan antara
Pemerintah dan Pemerintahan Daerah merupakan subsistem Keuangan Negara sebagai
konsekuensi pembagian tugas antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Kedua, pemberian
sumber keuangan Negara kepada Pemerintahan Daerah dalam rangka pelaksanaan
Desentralisasi didasarkan atas penyerahan tugas oleh Pemerintah kepada
Pemerintah Daerah dengan memperhatikan stabilitas dan keseimbangan fiskal. Ketiga, perimbangan
keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah merupakan suatu sistem yang
menyeluruh dalam rangka pendanaan penyelenggaraan asas Desentralisasi,
Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan. Penegasan bahwa perimbangan keuangan
antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah merupakan subsistem keuangan negara
menempatkan sistem penyelenggaraan keuangan daerah merupakan bagian integral dari
sistem keuangan negara.
Pengaturan hubungan keuangan negara
antara pusat dan daerah menentukan derajat otonomi daerah. Karena pembiayaan
penyelenggaraaan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah ditentukan
oleh kapasitas daerah dalam mengelola berbagai urusan pemerintahan tersebut
secara efektif dan efisien. Penyelenggaraan urusan
Pemerintahan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi didanai APBD. Hal
itu berarti APBD merupakan titik tolak yang menentukan kualitas penyelenggaraan
urusan pemerintahan daerah.
Kualitas pelaksanaan desentralisasi
fiskal di Indonesia ditentukan oleh 3 (tiga) variabel yaitu[13]: (1) desentralisasi pengeluaran, yaitu rasio pengeluaran
total masing-masing kabupaten/kota (APBD) terhadap total pengeluaran pemerintah
(APBN); (2) desentralisasi pengeluaran pembangunan, yaitu rasio antara total
pengeluaran pembangunan masing-masing kabupaten/kota (APBD) terhadap total
pengeluaran pembangunan (APBN); dan (3) desentralisasi penerimaan, yaitu rasio
total penerimaan masing-masing kabupaten/kota (APBD), tidak termasuk subsidi
terhadap total penerimaan pemerintah yang mengekspresikan besaran relatif
antara pendapatan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat.
Guna menilai kualitas
pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia ketiga indikator di atas dapat
digunakan sebagai parameter. Pasal 5 ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004 mengatur
penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas pendapatan
daerah dan pembiayaan.Pendapatan daerah tersebut bersumber dari: 1. Pendapatan
Asli Daerah (PAD), 2. Dana Perimbangan, 3. Lain-lain pendapatan dan 4.Pinjaman
Daerah Sedangkan pembiayaan bersumber dari: a. sisa lebih perhitungan anggaran
Daerah; b. penerimaan Pinjaman Daerah; c. Dana Cadangan Daerah; dan d. hasil
penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan.
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
bersumber dari: a. Pajak Daerah; b.
Retribusi Daerah; c. hasil pengelolaan
kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan d. lain-lain PAD yang sah. Lain-lain PAD
yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi: a. hasil penjualan kekayaan Daerah yang tidak
dipisahkan; b. jasa giro; c. pendapatan bunga; d. keuntungan selisih nilai tukar rupiah
terhadap mata uang asing; dan e. komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai
akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah.
Secara teoretis, PAD seharusnya mencerminkan kapasitas daerah dalam
melaksanakan otonomi daerah. Namun, dalam pemungutan PAD oleh daerah, diberikan
2 (dua) limitasi oleh UU No. 33 Tahun 2004, yaitu larangan bagi daerah untuk:
a. menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi
biaya tinggi; dan b. menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang
menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antardaerah, dan
kegiatan impor/ekspor.
Sehubungan dengan
keterbatasan dari mayoritas daerah dalam memperoleh sumber pendapatan yang
berasal dari PAD, maka UU No. 33 Tahun 2004 mengatur bahwa daerah bisa
memperoleh sumber pembiayaan lain dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah,
yaitu yang bersumber dari Dana Perimbangan, lain-lain pendapatan dan Pinjaman
Daerah.Dana Perimbangan tersebut terdiri dari: Dana Bagi Hasil (DBH), Dana
Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Jumlah Dana Perimbangan
tersebut ditetapkan setiap tahun anggaran dalam APBN. Hal itu menunjukkan
komitmen pusat dalam mendukung kesinambungan penyelenggaraan otonomi daerah.
Meskipun di satu sisi keberadaan Dana Perimbangan masih sangat diperlukan oleh
mayoritas daerah untuk mendukung kemampuan daerah dalam melaksanakan kewenangan
daerah, namun ketergantungan terhadapnya justru mereduksi tujuan dari
eksistensi dana perimbangan itu sendiri serta dalam jangka panjang akan
menyebabkan ketergantungan daerah terhadap pusat. Namun, keterbatasan sumber
pendapatan daerah yang bersumber dari PAD seringkali menjadi penyebab bagi
daerah-daerah pada umumnya untuk menempatkan dana-dana perimbangan sebagai sub
sistem pendanaan yang sangat menentukan kemampuan daerah dalam mengelola
pelaksanaan urusan-urusan pemerintahan daerah.
Dana Bagi Hasil adalah dana
yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan
angka persentase untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan
Desentralisasi.Dana Bagi Hasil bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Dana
Bagi Hasil yang bersumber dari pajak itu terdiri atas: a. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); b. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB); dan c. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang
Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21.
Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber daya alam sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berasal dari: a. kehutanan; b. pertambangan umum; c.
perikanan; d. pertambangan minyak bumi; e. pertambangan gas bumi; dan f.
pertambangan panas bumi.
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah
untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Jumlah
keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% (dua puluh enam persen) dari
Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN. DAU untuk suatu Daerah
dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal dihitung
berdasarkan selisih antara kebutuhan fiskal Daerah dan kapasitas fiskal Daerah.
Kebutuhan fiskal Daerah merupakan kebutuhan pendanaan Daerah untuk melaksanakan
fungsi layanan dasar umum. Setiap kebutuhan pendanaan itu diukur secara
berturut-turut dengan jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi,
Produk Domestik Regional Bruto per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia.
Dana Alokasi Umum sebagaimana diatur dalam Perpres
No. 96 Tahun 2011 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota
Tahun Anggaran 2012 terdiri atas: a. Dana Alokasi Umum untuk daerah provinsi;
dan b. Dana Alokasi Umum untuk daerah kabupaten/kota. Jumlah keseluruhan Dana
Alokasi Umum Tahun Anggaran 2012 ditetapkan sebesar 26% (dua puluh enam persen)
dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Tahun Anggaran 2012.
Proporsi Dana Alokasi Umum untuk daerah provinsi dan
kabupaten/kota dalam Perpres No. 96 Tahun 2011 tersebut ditetapkan sebagai
berikut : a. untuk daerah provinsi ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari
jumlah keseluruhan Dana Alokasi Umum; b. untuk daerah kabupaten/kota ditetapkan
sebesar 90% (sembilan puluh persen) dari jumlah keseluruhan Dana Alokasi Umum.
Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk
membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah dan sesuai
dengan prioritas nasional. DAK dialokasikan kepada Daerah tertentu untuk
mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah. Kegiatan khusus tersebut
disesuaikan dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam APBN.
Pemerintah menetapkan kriteria DAK berdasarkan 3 (tiga) kriteria,
yaitu: kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Kriteria umum
ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan Keuangan Daerah dalam APBD. Kriteria umum dihitung untuk melihat
kemampuan APBD untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan dalam rangka
pembangunan Daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD
dikurangi dengan belanja pegawai. Kemampuan Keuangan
Daerah merupakan Penerimaan Umum APBD dikurangi belanja pegawai Daerah. Penerimaan Umum
merupakan penjumlahan dari PAD ditambah dengan DAU ditambah DBH dikurangi
DBHDR. Sedangkan Belanja
Pegawai Daerah sama dengan Belanja PNSD.
Kriteria khusus sebagai dasar penetapan DAK
ditentukan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan karakteristik
Daerah. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah undang-undang yang
mengatur tentang kekhususan suatu daerah. Karakteristik Daerah dalam penetapan
DAK antara lain adalah daerah pesisir dan kepulauan, daerah perbatasan dengan
negara lain, daerah tertinggal/terpencil, daerah yang termasuk rawan banjir dan
longsor, serta daerah yang termasuk daerah ketahanan pangan.
Kriteria teknis yang
dipertimbangkan dalam penetapan DAK antara lain meliputi standar
kualitas/kuantitas konstruksi, serta perkiraan manfaat lokal dan nasional yang
menjadi indikator dalam perhitungan teknis. Kriteria teknis ditetapkan oleh
kementerian Negara/departemen teknis.
Karakteristik dari
DAK adalah keharusan adanya dana pendamping sebagai dasar dalam penetapannya.
Daerah penerima DAK wajib menyediakan Dana Pendamping sekurang-kurangnya 10%
(sepuluh persen) dari alokasi DAK. Dana Pendamping itu dianggarkan dalam APBD.
Perkecualian dalam penyediaan dana pendamping diberikan kepada daerah dengan
kemampuan fiskal tertentu yang tidak diwajibkan menyediakan Dana Pendamping.
Daerah dengan kemampuan fiskal tertentu tersebut merupakan daerah yang selisih
antara penerimaan umum APBD dan belanja pegawainya sama dengan nol atau
negatif.
Keberadaan kriteria
dalam sistem alokasi DAK tersebut dimaksudkan agar pengalokasian DAK memenuhi
prinsip keadilan antardaerah dan kesesuaian dengan kebutuhan daerah. Meskipun
juga dalam beberapa segi masih ada kelemahan dalam alokasi DAK, namun
keberadaan kriteria dalam penetapan alokasi DAK tersebut membantu untuk mengurangi
adanya kesenjangan kebutuhan antardaerah secara riil untuk mendapatkan alokasi
DAK dari APBN.
Lain-lain
Pendapatan yang juga bisa menjadi sumber pembiayaan bagi daerah terdiri atas
pendapatan hibah dan pendapatan Dana Darurat. Hibah adalah Penerimaan Daerah
yang berasal dari pemerintah negara asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga
internasional, Pemerintah, badan/lembaga dalam negeri atau perseorangan, baik
dalam bentuk devisa, rupiah maupun barang dan/atau jasa, termasuk tenaga ahli
dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali.Dana Darurat adalah dana yang
berasal dari APBN yang dialokasikan kepada Daerah yang mengalami bencana
nasional, peristiwa luar biasa, dan/atau krisis solvabilitas. Pendapatan hibah
smerupakan bantuan yang tidak mengikat.Hibah kepada Daerah yang bersumber dari
luar negeri dilakukan melalui Pemerintah.Hibah dituangkan dalam suatu naskah
perjanjian antara Pemerintah Daerah dan pemberi hibah.
Pemerintah
mengalokasikan Dana Darurat yang berasal dari APBN untuk keperluan mendesak
yang diakibatkan oleh bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa yang tidak
dapat ditanggulangi oleh Daerah dengan menggunakan sumber APBD. Keadaan yang
dapat digolongkan sebagai bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa
ditetapkan oleh Presiden.
Sumber pembiayaan
daerah yang keempat adalah pinjaman daerah. Pinjaman Daerah adalah semua
transaksi yang mengakibatkan Daerah menerima sejumlah uang atau menerima
manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga Daerah tersebut dibebani
kewajiban untuk membayar kembali. Pinjaman Daerah tersebut dapat bersumber
dari: a. Pemerintah; b. Pemerintah Daerah lain; c. lembaga keuangan bank; d.
lembaga keuangan bukan bank; dan e. masyarakat. Jenis Pinjaman tersebut terdiri
atas : a. Pinjaman Jangka Pendek; b. Pinjaman Jangka Menengah; dan c. Pinjaman
Jangka Panjang.
Pemerintah
menetapkan batas maksimal kumulatif pinjaman Pemerintah dan Pemerintah Daerah
dengan memperhatikan keadaan dan prakiraan perkembangan perekonomian nasional.
Batas maksimal kumulatif pinjaman itu tidak boleh melebihi 60% (enam puluh
persen) dari Produk Domestik Bruto tahun bersangkutan. Menteri Keuangan menetapkan batas maksimal
kumulatif pinjaman Pemerintah Daerah secara keseluruhan selambat-lambatnya
bulan Agustus untuk tahun anggaran berikutnya.
Sehubungan dengan
sistem pengalokasian DAK, pada tahun 2009 KPK sempat menemukan adanya beberapa
kelemahan dari DAK untuk bidang pendidikan. Kelemahan tersebut terutama
menyangkut pertama, ketidaksesuaian pengalokasian Dana Alokasi pada
tahap perencanaan. Dari data Dana Alokasi di bidang pendidikan, masih ada pihak
yang tidak perlu menerima Dana Alokasi tapi masih tetap menerima. Kedua, penyimpangan pemanfaatan dana
dalam pelaksanaan proyek. Ada kesulitan dalam melakukan monitoring yang
disebabkan tidak semua pemerintah daerah menyampaikan kepada Departemen
Pendidikan. Berdasarkan temuan tersebut, KPK merekomendasikan Depdiknas bersama
Depkeu membuat perencanaan alokasi DAK bidang pendidikan dengan menyempurnakan
formula penentuan alokasi; memperbarui baseline data teknis secara berkala;
menyempurnakan petunjuk teknis DAK; dan menindaklanjuti segala macam pembayaran
yang tidak sesuai peruntukan DAK bidang pendidikan, serta melakukan tindakan
atas penyimpangan oleh oknum yang terlibat konflik kepentingan dalam pengadaan
secara tegas.[14]
Sekitar 80% DAU yang dikelola daerah
digunakan untuk belanja rutin, terutama gaji pegawai pemda[15]. Oleh sebab itu, sumber utama
daerah untuk membangun sarana dan prasarana fisik adalah dari DAK. DAK yang
khusus digunakan untuk pembangunan dan rehabilitasi sarana dan prasarana fisik
ini, apabila dikelola dengan baik, dapat memperbaiki mutu pendidikan,
meningkatkan pelayanan kesehatan, dan paling tidak mengurangi kerusakan
infrastruktur. Hal ini sangat penting untuk menanggulangi kemiskinan dan membangun
perekonomian nasional yang lebih berdaya saing[16]. Jika dilihat dari
kondisi daerah yang masih banyak mengandalkan DAU sebagai sumber belanja rutin,
maka DAK menjadi komponen yang amat penting untuk mengatasi kekurangan anggaran
daerah dalam beberapa aspek penting yang tak mungkin didanai dari DAU.
Tabel
3
Perbandingan
DAK, DAU, DBH, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan,
dan APBN, serta PDB, 2001-2007 (miliar
rupiah)
Meminjam
analisis SMERU,[17]
tabel
3 tersebut memperlihatkan bahwa dari tahun ke tahun
DAK mengalami peningkatan yang signifikan, baik dari segi nilai nominalnya maupun dari segi perbandingan proporsinya dengan
proporsi DAU dan DBH. Selama periode
2001–2007, nilai nominal DAK meningkat lebih dari 24 kali lipat atau rata-rata 390% per tahunnya. Jika dibandingkan dengan jumlah
DAU dan DBH, nilai relatif DAK juga mengalami
peningkatan yang cukup besar. Terhadap nilai DAU, nilai DAK meningkat dari 1,2% (2001) ke 10.4% (2007), sementara
terhadap DBH, peningkatannya adalah dari 3.5%
(2001) ke 25% (2007). Selain disebabkan oleh kenaikan anggaran pada setiap
bidang yang dibiayai DAK, peningkatan DAK
tersebut juga disebabkan oleh perluasan bidang cakupan
pembiayaan DAK dan peningkatan jumlah kabupaten/kota yang menerima DAK. Pada tahun 2007, misalnya, seharusnya terdapat 87
kabupaten/kota yang tidak menerima DAK. Namun,
karena ada kompromi antara Pemerintah Pusat dan DPR, daerah-daerah tersebut akhirnya menjadi penerima DAK.
4.
Mengatasi
Kelemahan Transfer Fiskal dan DAK
Guna memberikan tambahan sumber
pembiayaan daerah dalam skema transfer fiskal (intergovernmental fiscal transfer), ternyata juga sejak tahun 2006
telah dilakukan transfer dana ad hoc
yang secara hukum eksistensinya tidak diatur dalam UU No. 33 Tahun 2004. Dana ad hoc tersebut misalnya berwujud Dana Otonomi Khusus untuk Provinsi NAD, Provinsi Papua, dan
Provinsi Papua Barat (diatur dengan UU Otonomi Khusus), Dana Tambahan
Penghasilan Guru, Tunjangan Profesi Guru, dan Dana Insentif Daerah. Dana
transfer di luar dana perimbangan dan dana otonomi khusus selanjutnya diwadahi
dengan nama “dana penyesuaian”. Dalam dana penyesuaian ini sendiri terdapat dua
kelompok dana, yaitu dana yang telah direncanakan dalam jangka menengah/panjang
sebagai bentuk kebijakan nasional (seperti Tambahan Penghasilan Guru, Bantuan
Operasional Sekolah, Dana Insentif Daerah) dan dana yang ditetapkan secara ad hoc yang diputuskan pada saat
pembahasan APBN di DPR dengan sebutan Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah
(DPID) dan Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID.[18] Daerah merasa senang
memperoleh dana ad hoc karena tidak perlu menyediakan dana pendamping seperti
DAK dan lebih memberikan diskresi dalam pengalokasiannya sesuai dengan
kebutuhan daerah.
Dalam
perjalanannya, nama dan peruntukan dana ad
hoc mengalami pergeseran dari tahun ke tahun. Pada tahun 2005-2006 dikenal dengan
nomenklatur Dana Penyesuaian Ad Hoc, pada
tahun 2007 disebut Dana Penyesuaian Infrastruktur Jalan, di tahun 2008 disebut Dana
Penyesuaian Infrastruktur Sarana dan Prasarana, tahun 2009-2010 Dana Penguatan
Desentralisasi Fiskal dan Percepatan Pembangunan Daerah, tahun 2010 Dana
Penguatan Infrastruktur dan Prasarana Daerah, dan pada tahun 2011 disebut
dengan nama Dana Penyesuaian Infratruktur Daerah (DPID) dan Dana Percepatan
Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID).[19]
Gambar 1
Porsi Penggunaan Anggaran Belanja Pemerintah Tahun Anggaran 2011
(Sumber: Soepomo, dkk., 2012: hal. V.3)
Transfer fiskal
tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk mempercepat pembangunan berbagai infrastruktur
di daerah, karena alokasi Dana Perimbangan dinilai tidak mencukupi. Namun,
kelemahan dari aspek hukum pendanaan tersebut telah menimbulkan terjadinya
banyak penyalahgunaan wewenang dari sisi keuangan negara yang bahkan telah
menyeret beberapa nama eks pimpinan Badan Anggaran DPR RI dalam proses
penyidikan tindak pidana korupsi.
Guna
mengatasi kelemahan dari sistem transfer fiskal tersebut, maka mekanisme
transfer dana ad hoc tersebut perlu
diintegrasikan ke dalam mekanisme alokasi DAK yang sudah memiliki kriteria yang
jelas. Namun, sekaligus juga perlu dilakukan perbaikan terhadap kelemahan DAK
yang selama ini dikritik terlalu bersifat input
based transfer, menjadi output based
transfer yang memberikan keleluasaan penggunaan anggaran bagi daerah
penerima. Peningkatan prosentase DAU sambil memperbaiki sistem alokasi
penganggaran di daerah, kiranya juga akan melengkapi langkah perbaikan dalam
sistem desentralisasi fiskal guna mendorong kualitas penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
Daftar
Pustaka
1.
Buku-buku
Abdul
Gafar Karim (ed), 2003, Kompleksitas
Persoalan Otonomi Daeah di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Bagir
Manan, 1994, Hubungan Antara Pusat dan
Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Bodway,
dkk. (ed), 2007, Intergovernmental Fiscal Transfer – Principles and Practice, The
World Bank, Washington DC, USA.
Dirjen
Perimbangan Keuangan RI, 2010, Laporan
Hasil Monitoring dan Evaluasi Dana Alokasi Khusus 2009, Jakarta.
Juanda,
2004, Hukum Pemerintahan Daerah – Pasang
Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah, Alumni, Bandung.
Mawhood,
Philip, 1987, Local Government in The
Third World, John Willey & Sons, New York.
Muhammad
Fauzan, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah –
Kajian tentang Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah, UII Press,
Yogyakarta, 2006.
Muhammad
Khuzaini, Ekonomi Publik – Desentralisasi
Fiskal dan Pembangunan Daerah, BPFE Universitas Brawijaya, Malang, 2006.
Smith,
BC, 1985, Decentralization – The
Territorial Dimension of the State, George Allen & Unwin, London, UK.
Soepomo
Prodjoharjono, dkk., 2012, Laporan Akhir
“ Kajian tentang Review atas Kebijakan Pengalokasian Dana Ad Hoc (Dana
Penyesuaian Infrastruktur Daerah dan/atau Dana Percepatan Pembangunan
Infrastruktur Daerah), PT Sinergi Visi Utama, Yogyakarta (tidak
dipublikasikan).
Solossa,
Jacobus Perviddya, 2005, Otonomi Khusus
Papua – Mengangkat Martabat Rakyat Papua di Dalam NKRI, Sinar Harapan,
Jakarta.
Syaiku
Usman, dkk., 2008, Laporan Penelitian “
Mekanisme dan Penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK)” , Lembaga Penelitian SMERU,
Jakarta.
2. Sumber dari Internet,
Artikel dan lain-lain.
http://infokorupsi.com/id/korupsi.php?ac=4802&l=kpk-temukan-tiga-kelemahan-pengelolaan-dak-pendidikan
(diakses tanggal 11/19/2012 pukul 11.00-12.00 WIB).
http://hendragforce.blogspot.com/2011/04/mekanisme-desentralisasi-fiskal-dan.html
(diakses tanggal 12/9/2012 pukul 05.00 - 06.00).
Yuna Farhan, Transfer Anggaran (Birokrasi) Daerah, Opini di Kompas, 28/8/2012.
3. Peraturan
Perundang-undangan
Undang-Undang
Dasar Negara RI Tahun 1945
UU
No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara RI Tahun 2004 No. 126, Tambahan Lembaran Negara
RI No. 4438.
Peraturan
Presiden No. 96 Tahun 2011 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi dan
Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2012.
Peraturan
Menteri Keuangan No. 25/PMK.07/2011 tertanggal 11 Februari 2011 tentang Pedoman
Umum dan Alokasi Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah Tahun Anggaran 2011
Peraturan
Menteri Keuangan No. 140/PMK.07/2011 tertanggal 23 Agustus 2011 tentang Alokasi
dan Pedoman Umum Penggunaan Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah
Tahun Anggaran 2011.
[1] Makalah dipresentasikan dalam SIMPOSIUM NASIONAL “Satu Dasawarsa Perubahan Undang-Undang
Dasar 1945: Indonesia Menuju Negara Konstitusional?” yang diselenggarakan
oleh Fakultas Hukum Universitas Padjajaran di Bandung, 31 Oktober-1 November
2012.
[2] Penulis adalah Direktur Program
Pasca Sarjana dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Associate Researcher Institute for Research
and Empowerment (IRE) Yogyakarta dan Dewan Pakar Asosiasi Pengajar Hukum
Acara Peradilan Konstitusi Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
[3] Juanda,
2004, Hukum Pemerintahan Daerah – Pasang
Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah, Alumni, Bandung,
hal. 113.
[4] BC. Smith, 1985, Decentralization – The Territorial Dimension
of the State, George Allen & Unwin, London, UK hal.1.
[5]Abdul Gafar Karim (ed), 2003, Kompleksitas Persoalan Otonomi Daeah di
Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 51.
[6] Jacobus Perviddya Solossa, 2005, Otonomi Khusus Papua – Mengangkat Martabat
Rakyat Papua di Dalam NKRI, Sinar Harapan, Jakarta, hal. 48.
[7] Bagir Manan, 1994, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD
1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 22.
[8] Ibid., hal. 21.
[9] Ibid.
[10] http://hendragforce.blogspot.com/2011/04/mekanisme-desentralisasi-fiskal-dan.html.
[11] Diolah penulis berdasarkan
klasifikasi Syahrudin dalam ibid.
[12] Muhammad Fauzan, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah – Kajian tentang
Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah, UII Press, Yogyakarta, 2006,
hal. 3.
[13] Muhammad Khuzaini, Ekonomi Publik – Desentralisasi Fiskal dan
Pembangunan Daerah, BPFE Universitas Brawijaya, Malang, 2006, hal. 99 –
100.
[15] Rata-rata daaerah menggantungkan
80 persen pendapatan daerahnya pada dana transfer dari APBN, sementara sebagian
besar transfer daerah sudah dalam bentuk belanja pegawai. Dengan memasukkan
kebutuhan belanja pegawai pada Dana Alokasi Umum (DAU), otomotis daerah tak
ambil pusing membiayai atau merekrut
pegawai baru. Formula DAU meninabobokkan daerah untuk terus merekrut pegawai
baru dan memekarkan diri. Formula DAU justru memberikan insentif terhadap
membengkaknya belanja pegawai dan disinsentif bagi daerah yang efisien belanja
pegawainya (Yuna Farhan, Transfer Anggaran (Birokrasi) Daerah, Opini Kompas,
28/8/2012).
[16] Syaiku Usman, dkk., 2008, Laporan Penelitian “Mekanisme dan Penggunaan
Dana Alokasi Khusus (DAK)” , Lembaga Penelitian SMERU, Jakarta, hal. 1-2.
[17] Ibid., hal. 23.
[18] Soepomo Prodjoharjono, dkk.,
2012, Laporan Akhir “ Kajian tentang
Review atas Kebijakan Pengalokasian Dana Ad Hoc (Dana Penyesuaian Infrastruktur
Daerah dan/atau Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah), PT
Sinergi Visi Utama, Yogyakarta (tidak dipublikasikan), hal. I-1. Bdk. Bodway,
dkk. (ed)., 2007, Intergovernmental
Fiscal Transfer – Principles and Practice, The World Bank, Washington DC, USA, hal. xxxiii yang menguraikan
beberapa prinsip penting dari transfer fiskal antardaerah yang salah satunya adalah
untuk mengatasi kesenjangan fiskal (fiscal
gap) antardaerah dan memperbaiki kapasitas daerah. Namun, di hal 8 buku
tersebut diuraikan bahwa transfer fiskal antardaerah pada jangka panjang justru
bisa menimbulkan defisit.
[19]
Ibid., hal. I-2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar