Minggu, 03 Mei 2020


Penataan Ulang Hubungan Pusat dan Daerah
Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal[1]
Oleh : Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum[2]
Abstrak.
Selama ini hubungan pusat dan daerah tak pernah lepas dari proses tarik ulur yang dipengaruhi oleh variabel politik ketatanegaraan dan sistem demokrasi yang dianut. Diawali dengan hubungan antara pusat dan daerah yang bersifat demokratis melalui pengaturan yang relatif longgar pascakemerdekaan dan kemudian kian memuncak dengan terbentuknya sistem federal di era konstitusi RIS, kemudian secara perlahan semakin mengarah pada pola sentralisasi di era Orde Baru dan selanjutnya di era pascareformasi melalui UU No. 22 Tahun 1999 yang melaksanakan konstitusi pascaamandemen, kembali mengarah ke era desentralisasi seluas-luasnya yang bahkan nyaris mendekati quasi federalisme. Pola hubungan antara pusat dan daerah dengan demikian sangat dipengaruhi oleh proses politik ketatanegaraan suatu negara yang berpuncak pada konstitusi. Salah satu hal yang sangat penting untuk ditelaah dalam persoalan hubungan pusat dan daerah disini adalah sistem desentralisasi fiskal yang merupakan derivasi dari konsep relasi keuangan pusat dan daerah. Transformasi sistem keuangan di pusat melalui lahirnya paket UU Keuangan Negara (UU No. 17/2003, UU No. 1/2004 dan UU No. 15/2004) memiliki pengaruh yang sangat penting terhadap penerapan sistem transparansi, partisipasi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan sistem keuangan daerah. Namun, derajat otonomi daerah yang bergerak terlalu luas di satu sisi dan di sisi lain lemahnya kapasitas pengawasan pusat terhadap daerah, telah menyebabkan masih meluasnya praktik-praktik pengelolaan keuangan daerah yang belum sepenuhnya mengacu pada prinsip transparansi, partisipasi dan akuntabilitas. Hal itu diperparah dengan beberapa transfer dana ad hoc (intergovernmental fiscal transfer) yang semakin mendorong maraknya korupsi anggaran  di daerah. Penataan ulang hubungan pusat dan daerah harus dilakukan dengan menempatkan sistem hubungan pusat dan daerah dalam kerangka sistem desentralisasi fiskal yang mampu menerjemahkan tata kelola pemerintahan yang baik.
Kata kunci: hubungan pusat dan daerah, desentralisasi fiskal dan otonomi daerah
1.               Pendahuluan
Hubungan pusat dan daerah merupakan salah satu amanat konstitusi yang ditegaskan pada Bab VI Pasal 18, 18A dan 18B UUD Negara RI 1945. Prinsip dalam pengaturan konstitusional mengenai hubungan antara pusat dan daerah terdapat pada Pasal 18 ayat (2) UUD Negara RI 1945 yang mengatur bahwa pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Hubungan antara pusat dan daerah dengan demikian harus bertitik tolak dari penegasan mengenai dasar otonomi dalam pengaturan mengenai hubungan antara pusat dan daerah yang kemudian lebih dispesifikasikan pada Pasal 18 ayat (5) UUD Negara RI 1945 yang mengatur bahwa pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah.
Dasar pengaturan hubungan antara pusat dan daerah secara lebih khusus ditentukan pada Pasal 18A UUD Negara RI 1945 yang mengatur dua hal. Pertama, ayat (1) Pasal 18A UUD Negara RI 1945 mengatur bahwa hubungan wewenang antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, kota, atau antara propinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Kedua, ayat (2) Pasal 18A UUD Negara RI 1945 mengatur bahwa hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Pengaturan Pasal 18A UUD Negara RI 1945 tersebut mencakup beberapa prinsip pokok dalam hubungan antara pusat dan daerah, yaitu: pertama, hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah propinsi, kabupaten, kota atau antara propinsi dan kabupaten dan kota didasarkan atas penghargaan terhadap kekhususan dan keragaman daerah. Pengaturan terhadap hal tersebut dituangkan dalam suatu undang-undang; kedua, perlu dikeluarkan undang-undang yang substansinya mengatur hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerinttahan pusat dan pemerintahan daerah yang dilaksanakan berdasarkan prinsip keadilan dan keselarasan.
Pasal 18A UUD Negara RI 1945 tersebut mengandung suatu keharusan dilaksanakannya desentralisasi fiskal dalam hubungan antara pusat dan daerah dalam suatu undang-undang yang mengatur hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Undang-undang yang mengatur hubungan keuangan antara pusat dan daerah tersebut harus didasarkan atas prinsip otonomi seluas-luasnya, kecuali yang berkaitan dengan pengaturan urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah.  Tentu saja, karena pengaturan mengenai hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah tersebut substansinya mengatur mengenai keuangan negara, maka ketentuan Pasal 23 UUD Negara RI 1945 harus menjadi acuan dalam urusan keuangan negara, mulai dari proses penetapannya melalui APBN, pelaksanaannya dalam pembiayaan urusan pemerintahan dan sistem pertanggungjawabannya dalam Pertanggungjawaban Anggaran Negara (PAN).
Analisis terhadap pengaturan mengenai sistem hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah ditinjau dari perspektif desentralisasi fiskal dalam tulisan ini mencakup beberapa hal berikut, yaitu: teori desentralisasi fiskal, sistem pengaturan hubungan keuangan pusat dan daerah serta mengatasi kelemahan transfer fiskal dan DAK.

2.         Teori Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi sebagai salah satu metode transfer kekuasaan sering dihubungkan dengan demokrasi. Juanda[3] menempatkan desentralisasi sebagai salah satu sendi negara yang demokratis (democratischerechtsstaat) sebagai pilihan yang tepat dalam rangka menjawab berbagai persoalan yang dihadapi negara dan bangsa sekarang dan di masa datang. Ada yang menganggap bahwa desentralisasi secara lexicogragraphy di satu sisi merupakan pembalikan konsentrasi administrasi pada satu pusat (kekuasaan) dan pemberian kewenangan terhadap pemerintahan lokal[4]. Desentralisasi sebagai suatu pilihan kebijakan dalam kaca mata politik tidak pernah bersifat final . Hal itu antara lain juga terkait dengan konsolidasi desentralisasi. Berkaitan dengan konsolidasi desentralisasi, Pratikno dalam Karim[5] menguraikan adanya dua parameter utama, yaitu tatkala elit daerah mampu membuat otonomi daerah dirasakan manfaatnya bagi masyarakat, dan tatkala Pemerintah Pusat harus membangun legitimasinya dari basis politik daerah. Pada level daerah, kepemerintahan yang baik menjadi prasyarat bagi keberlanjutan desentralisasi.
Desentralisasi akan menimbulkan otonomi daerah dengan tingkat keluasan wewenang yang beragam tergantung dari asas otonomi yang dipergunakan dan pengaruh demokrasi terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Hal itulah yang tampaknya menjadi argumen untuk mengatakan bahwa desentralisasi merupakan pilihan kebijakan yang dalam politik tidak pernah bersifat final. Faktor demokrasi dan asas otonomi sangat berpengaruh terhadap kebijakan desentralisasi yang diterapkan. Hal tersebut dapat dicermati dari tabel berikut[6]:
Tabel 1
 Sejarah Desentralisasi di Indonesia
Periode
Konfigurasi Politik
UU Otonomi
Hakikat Otonomi
Perjuangan Kemerdekaan (1945-1949)
Demokrasi
UU No. 1/1945, UU No. 22/1948
Otonomi Luas
Pasca Kemerdekaan
(1950-1959)
Demokrasi
UU No. 1/1957
Otonomi Luas
Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Otoritarian
Penpres No. 6/1959, UU No. 18/1965
Otonomi Terbatas
Orde Baru
(1965-1988)
Otoritarian
UU No. 5/1974
Sentralisasi
Pasca Orde Baru
(1998– sekarang)
Demokrasi
UU No. 22/1999, UU No. 32/2004
Otonomi Luas

Desentralisasi merupakan cara untuk melakukan transfer kekuasaan secara vertikal dari pemerintah pusat kepada daerah, yang ditinjau dari segi konseptual sama pentingnya dengan power sharing secara horizontal untuk membagi wewenang antara legislatif, eksekutif dan yudikatif. Amrah Muslimin mengklasifikasikan desentralisasi menjadi desentralisasi politik, desentralisasi fungsional dan desentralisasi kebudayaan.[7]
Desentralisasi politik diartikan sebagai pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat, yang menimbulkan hak mengurus kepentingan rumah tangga sendiri bagi badan-badan politik di daerah-daerah, yang dipilih oleh rakyat dalam daerah-daerah tertentu. Pengertian desentralisasi politik tersebut identik dengan desentralisasi teritorial, karena faktor “daerah” menjadi salah satu unsurnya. Desentralisasi teritorial menjelma dalam bentuk badan yang didasarkan pada wilayah (gebiedscorporaties), sedangkan desentralisasi fungsional menjelma dalam bentuk badan-badan yang didasarkan pada tujuan-tujuan tertentu (doelcorporaties).[8]
            Desentralisasi administratif atau dekonsentrasi (ambtelijke decentralisatie) adalah desentralisasi yang terjadi manakala pemerintah melimpahkan sebagian dari kewenangannya kepada alat perlengkapan atau organ pemerintah sendiri di daerah, yakni pejabat-pejabat pemerintah yang ada di daerah, untuk dilaksanakan.[9]
            Desentralisasi fiskal merupakan pemberian kewenangan kepada daerah untuk menggali sumber-sumber pendapatan, hak untuk menerima transfer dari pemerintah yang lebih tinggi dan menentukan belanja rutin dan investasi. Syahruddin[10] berpendapat bahwa tahapan desentralisasi fiskal di Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi tiga tahapan, yaitu:
1.         1975 s/d 1999     : Desentralisasi fiskal terbatas;
2.         2000 s/d 2004      : Desentralisasi fiskal luas;
3.         2005 s/d sekarang : Desentralisasi fiskal luas terkendali.

Berikut ini dalam tabel 2 diuraikan karakteristik dari masing-masing tahapan tersebut[11]:
Tabel 2
Klasifikasi Desentralisasi Fiskal
No
Tipe Desentralisasi
Periode
Karakteristik
1
Desentralisasi fiskal terbatas
1975 s/d 1999
a) Kewenangan Pemerintah Pusat sangat dominan, Pemerintah Daerah merupakan pelaksana kewenangan Pemerintah Pusat; b) Perda APBD ditetapkan dan disahkan oleh Pemerintah yang setingkat lebih tinggi (Dati II/Kab/Kota oleh Gubernur, Dati I/Prov. Oleh Mendagri). Kebijakan Publik tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Pemda; c) Alokasi transfer dana dari Pemerintah Pusat ke Pemda bersifat spesifik dan sudah jelas peruntukannya. Transfer dari Pemerintah Pusat dikelompokan menjadi Sumbangan dan Bantuan. Sumbangan untuk pembayaran belanja kegiatan rutin, mis. Pembayaran Gaji PNS. Bantuan untuk membayar belanja pembangunan, melalui Inpres (Instruksi Presiden), misalnya inpres SD, inpres Desa, inpres kesehatan, dan seterusnya. (Pasal 55 UU No 5 tahun 1974); d) Pinjaman Daerah: Pemda tidak memiliki kewenangan melakukan pinjaman, APBD disusun berdasarkan anggaran berimbang dan dinamis, sehingga total penerimaan = total pengeluaran; e) Penerimaan daerah terdiri dari PAD, transfer pemerintah pusat (sumbangan dan bantuan), lain-lain pendapatan yang sah.

2
Desentralisasi fiskal luas
2000 s/d 2004
a) Pemerintah Pusat memberikan kewenangan luas kepada Pemda termasuk masalah Keuangan/ Fiskal walaupun masih ada batasan-batasan tertentu (Pasal 7 UU No. 22 Tahun 1999); b) Perda APBD ditetapkan oleh Kepala Daerah dan tidak memerlukan persetujuan Pemerintah yang lebih tinggi. Kebijakan Publik sepenuhnya tanggung jawab Pemda. Tidak ada campur tangan Pemerintah Pusat; c) Alokasi transfer dana dari Pemerintah Pusat ke Pemda bersifat umum dan berbentuk block grant (Dana Perimbangan: Bagi Hasil, DAU, DAK--Pasal 6 UU No. 25 Tahun 2009) sehingga Pemda dapat lebih leluasa menentukan program dan kegiatan walaupun ada arahan dari Pemerintah Pusat untuk Program dan Kegiatan Prioritas; d) Pinjaman Daerah: Pemda memiliki kewenangan melakukan pinjaman, baik pinjaman ke pemerintah pusat, lembaga keuangan bank, non bank, maupun pinjaman luar negeri (pasal 2, PP No. 107 Tahun 2000); e) APBD disusun berdasarkan anggaran surplus/defisit, sehingga total penerimaan = total pengeluaran + total pembiayaan. Defisit terjadi apabila Pendapatan lebih kecil dari Belanja (pasal 15 PP No. 105 Tahun 2000).

3
Desentralisasi fiskal luas terkendali
2005 s/d sekarang
a) Pemerintah Pusat memberikan kewenangan luas kepada Pemda termasuk masalah Keuangan/ Fiskal walaupun masih ada batasan-batasan tertentu (Pasal 10 UU No. 32 Tahun 2004); b) Perda APBD ditetapkan oleh Kepala Daerah dan memerlukan persetujuan Pemerintah yang lebih tinggi (Pasal 185 UU No. 32 Tahun 2004). Terdapat campur tangan Pemerintah Pusat ; c) Alokasi transfer dana dari Pemerintah Pusat ke Pemda bersifat umum dan berbentuk block grant (Dana Perimbangan: Bagi Hasil, DAU, DAK – Pasal 10 UU No. 33 Tahun 2004) sehingga Pemda dapat lebih leluasa menentukan program dan kegiatan walaupun ada arahan dari Pemerintah Pusat untuk Program dan Kegiatan Prioritas; d) Pinjaman Daerah: Pemda memiliki kewenangan melakukan pinjaman, jangka pendek, jangka menengah, jangka panjang (Pasal 5 PP No. 54 Tahun 2005). Sumber pinjaman lebih luas; e) APBD disusun berdasarkan anggaran surplus/defisit, sehingga total penerimaan = total pengeluaran + total pembiayaan. Defisit terjadi apabila Pendapatan lebih kecil dari Belanja (Pasal 174 UU No. 32 Tahun 2004).




3.         Pengaturan Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah
Pengaturan hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan instrumen penataan sistem desentralisasi fiskal. Sehubungan dengan adanya prinsip otonomi seluas-luasnya, maka sistem desentralisasi fiskal dimaksudkan agar daerah memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan otonom daerah.
  Berkaitan dengan asas otonomi daerah, pembagian urusan, tugas dan fungsi serta tanggung jawab antara pusat dan daerah menunjukkan bahwa tidak mungkin semua urusan pemerintahan diselenggarakan oleh pusat saja. Pengakuan tersebut memberikan peluang kepada daerah untuk berusaha mengatur dan mengurus serta menyelenggarakan pemerintahan sendiri.Dengan demikian pengaturan mengenai hubungan pusat dan daerah, khususnya dalam hal ini hubungan dalam bidang keuangan merupakan permasalahan yang memerlukan pengaturan yang baik, komprehensif dan responsif terhadap tuntutan kemandirian dan perkembangan daerah.[12]
Pengaturan hubungan keuangan antara pusat dan daerah akan menentukan dan sekaligus juga dipengaruhi oleh derajat otonomi daerah yang diberikan. Pola umum dalam pengaturan hubungan keuangan antara pusat dan daerah terdapat dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Ada 3 (tiga) prinsip kebijakan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Pertama, perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah merupakan subsistem Keuangan Negara sebagai konsekuensi pembagian tugas antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Kedua, pemberian sumber keuangan Negara kepada Pemerintahan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi didasarkan atas penyerahan tugas oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dengan memperhatikan stabilitas dan keseimbangan fiskal. Ketiga, perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah merupakan suatu sistem yang menyeluruh dalam rangka pendanaan penyelenggaraan asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan. Penegasan bahwa perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah merupakan subsistem keuangan negara menempatkan sistem penyelenggaraan keuangan daerah merupakan bagian integral dari sistem keuangan negara.
Pengaturan hubungan keuangan negara antara pusat dan daerah menentukan derajat otonomi daerah. Karena pembiayaan penyelenggaraaan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah ditentukan oleh kapasitas daerah dalam mengelola berbagai urusan pemerintahan tersebut secara efektif dan efisien. Penyelenggaraan urusan Pemerintahan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi didanai APBD. Hal itu berarti APBD merupakan titik tolak yang menentukan kualitas penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah.
Kualitas pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia ditentukan oleh 3 (tiga) variabel yaitu[13]: (1) desentralisasi pengeluaran, yaitu rasio pengeluaran total masing-masing kabupaten/kota (APBD) terhadap total pengeluaran pemerintah (APBN); (2) desentralisasi pengeluaran pembangunan, yaitu rasio antara total pengeluaran pembangunan masing-masing kabupaten/kota (APBD) terhadap total pengeluaran pembangunan (APBN); dan (3) desentralisasi penerimaan, yaitu rasio total penerimaan masing-masing kabupaten/kota (APBD), tidak termasuk subsidi terhadap total penerimaan pemerintah yang mengekspresikan besaran relatif antara pendapatan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat.
Guna menilai kualitas pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia ketiga indikator di atas dapat digunakan sebagai parameter. Pasal 5 ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004 mengatur penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan.Pendapatan daerah tersebut bersumber dari: 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD), 2. Dana Perimbangan, 3. Lain-lain pendapatan dan 4.Pinjaman Daerah Sedangkan pembiayaan bersumber dari: a. sisa lebih perhitungan anggaran Daerah; b. penerimaan Pinjaman Daerah; c. Dana Cadangan Daerah; dan d. hasil penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) bersumber dari: a. Pajak Daerah;  b. Retribusi Daerah;  c. hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan d. lain-lain PAD yang sah. Lain-lain PAD yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi:  a. hasil penjualan kekayaan Daerah yang tidak dipisahkan;  b. jasa giro;  c. pendapatan bunga;  d. keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; dan e. komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah. Secara teoretis, PAD seharusnya mencerminkan kapasitas daerah dalam melaksanakan otonomi daerah. Namun, dalam pemungutan PAD oleh daerah, diberikan 2 (dua) limitasi oleh UU No. 33 Tahun 2004, yaitu larangan bagi daerah untuk: a. menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi; dan b. menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antardaerah, dan kegiatan impor/ekspor.
Sehubungan dengan keterbatasan dari mayoritas daerah dalam memperoleh sumber pendapatan yang berasal dari PAD, maka UU No. 33 Tahun 2004 mengatur bahwa daerah bisa memperoleh sumber pembiayaan lain dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah, yaitu yang bersumber dari Dana Perimbangan, lain-lain pendapatan dan Pinjaman Daerah.Dana Perimbangan tersebut terdiri dari: Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Jumlah Dana Perimbangan tersebut ditetapkan setiap tahun anggaran dalam APBN. Hal itu menunjukkan komitmen pusat dalam mendukung kesinambungan penyelenggaraan otonomi daerah. Meskipun di satu sisi keberadaan Dana Perimbangan masih sangat diperlukan oleh mayoritas daerah untuk mendukung kemampuan daerah dalam melaksanakan kewenangan daerah, namun ketergantungan terhadapnya justru mereduksi tujuan dari eksistensi dana perimbangan itu sendiri serta dalam jangka panjang akan menyebabkan ketergantungan daerah terhadap pusat. Namun, keterbatasan sumber pendapatan daerah yang bersumber dari PAD seringkali menjadi penyebab bagi daerah-daerah pada umumnya untuk menempatkan dana-dana perimbangan sebagai sub sistem pendanaan yang sangat menentukan kemampuan daerah dalam mengelola pelaksanaan urusan-urusan pemerintahan daerah.
Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.Dana Bagi Hasil bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak itu terdiri atas:  a. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);  b. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); dan c. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21.  Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari: a. kehutanan; b. pertambangan umum; c. perikanan; d. pertambangan minyak bumi; e. pertambangan gas bumi; dan f. pertambangan panas bumi.
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% (dua puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN. DAU untuk suatu Daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal dihitung berdasarkan selisih antara kebutuhan fiskal Daerah dan kapasitas fiskal Daerah. Kebutuhan fiskal Daerah merupakan kebutuhan pendanaan Daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum. Setiap kebutuhan pendanaan itu diukur secara berturut-turut dengan jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia.
Dana Alokasi Umum sebagaimana diatur dalam Perpres No. 96 Tahun 2011 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2012 terdiri atas: a. Dana Alokasi Umum untuk daerah provinsi; dan b. Dana Alokasi Umum untuk daerah kabupaten/kota. Jumlah keseluruhan Dana Alokasi Umum Tahun Anggaran 2012 ditetapkan sebesar 26% (dua puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012.
Proporsi Dana Alokasi Umum untuk daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam Perpres No. 96 Tahun 2011 tersebut ditetapkan sebagai berikut : a. untuk daerah provinsi ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah keseluruhan Dana Alokasi Umum; b. untuk daerah kabupaten/kota ditetapkan sebesar 90% (sembilan puluh persen) dari jumlah keseluruhan Dana Alokasi Umum.
Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. DAK dialokasikan kepada Daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah. Kegiatan khusus tersebut disesuaikan dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam APBN.
Pemerintah menetapkan kriteria DAK berdasarkan 3 (tiga) kriteria, yaitu: kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Kriteria umum ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan Keuangan Daerah dalam APBD. Kriteria umum dihitung untuk melihat kemampuan APBD untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan dalam rangka pembangunan Daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD dikurangi dengan belanja pegawai. Kemampuan Keuangan Daerah merupakan Penerimaan Umum APBD dikurangi belanja pegawai Daerah. Penerimaan Umum merupakan penjumlahan dari PAD ditambah dengan DAU ditambah DBH dikurangi DBHDR. Sedangkan Belanja Pegawai Daerah  sama dengan Belanja PNSD.
Kriteria khusus sebagai dasar penetapan DAK ditentukan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan karakteristik Daerah. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah undang-undang yang mengatur tentang kekhususan suatu daerah. Karakteristik Daerah dalam penetapan DAK antara lain adalah daerah pesisir dan kepulauan, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah tertinggal/terpencil, daerah yang termasuk rawan banjir dan longsor, serta daerah yang termasuk daerah ketahanan pangan.
Kriteria teknis yang dipertimbangkan dalam penetapan DAK antara lain meliputi standar kualitas/kuantitas konstruksi, serta perkiraan manfaat lokal dan nasional yang menjadi indikator dalam perhitungan teknis. Kriteria teknis ditetapkan oleh kementerian Negara/departemen teknis.
Karakteristik dari DAK adalah keharusan adanya dana pendamping sebagai dasar dalam penetapannya. Daerah penerima DAK wajib menyediakan Dana Pendamping sekurang-kurangnya 10% (sepuluh persen) dari alokasi DAK. Dana Pendamping itu dianggarkan dalam APBD. Perkecualian dalam penyediaan dana pendamping diberikan kepada daerah dengan kemampuan fiskal tertentu yang tidak diwajibkan menyediakan Dana Pendamping. Daerah dengan kemampuan fiskal tertentu tersebut merupakan daerah yang selisih antara penerimaan umum APBD dan belanja pegawainya sama dengan nol atau negatif.
Keberadaan kriteria dalam sistem alokasi DAK tersebut dimaksudkan agar pengalokasian DAK memenuhi prinsip keadilan antardaerah dan kesesuaian dengan kebutuhan daerah. Meskipun juga dalam beberapa segi masih ada kelemahan dalam alokasi DAK, namun keberadaan kriteria dalam penetapan alokasi DAK tersebut membantu untuk mengurangi adanya kesenjangan kebutuhan antardaerah secara riil untuk mendapatkan alokasi DAK dari APBN.
Lain-lain Pendapatan yang juga bisa menjadi sumber pembiayaan bagi daerah terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan Dana Darurat. Hibah adalah Penerimaan Daerah yang berasal dari pemerintah negara asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional, Pemerintah, badan/lembaga dalam negeri atau perseorangan, baik dalam bentuk devisa, rupiah maupun barang dan/atau jasa, termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali.Dana Darurat adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada Daerah yang mengalami bencana nasional, peristiwa luar biasa, dan/atau krisis solvabilitas. Pendapatan hibah smerupakan bantuan yang tidak mengikat.Hibah kepada Daerah yang bersumber dari luar negeri dilakukan melalui Pemerintah.Hibah dituangkan dalam suatu naskah perjanjian antara Pemerintah Daerah dan pemberi hibah.
Pemerintah mengalokasikan Dana Darurat yang berasal dari APBN untuk keperluan mendesak yang diakibatkan oleh bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh Daerah dengan menggunakan sumber APBD. Keadaan yang dapat digolongkan sebagai bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa ditetapkan oleh Presiden.
Sumber pembiayaan daerah yang keempat adalah pinjaman daerah. Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan Daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali. Pinjaman Daerah tersebut dapat bersumber dari: a. Pemerintah; b. Pemerintah Daerah lain; c. lembaga keuangan bank; d. lembaga keuangan bukan bank; dan e. masyarakat. Jenis Pinjaman tersebut terdiri atas : a. Pinjaman Jangka Pendek; b. Pinjaman Jangka Menengah; dan c. Pinjaman Jangka Panjang.
Pemerintah menetapkan batas maksimal kumulatif pinjaman Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan memperhatikan keadaan dan prakiraan perkembangan perekonomian nasional. Batas maksimal kumulatif pinjaman itu tidak boleh melebihi 60% (enam puluh persen) dari Produk Domestik Bruto tahun bersangkutan.  Menteri Keuangan menetapkan batas maksimal kumulatif pinjaman Pemerintah Daerah secara keseluruhan selambat-lambatnya bulan Agustus untuk tahun anggaran berikutnya.
Sehubungan dengan sistem pengalokasian DAK, pada tahun 2009 KPK sempat menemukan adanya beberapa kelemahan dari DAK untuk bidang pendidikan. Kelemahan tersebut terutama menyangkut pertama, ketidaksesuaian pengalokasian Dana Alokasi pada tahap perencanaan. Dari data Dana Alokasi di bidang pendidikan, masih ada pihak yang tidak perlu menerima Dana Alokasi tapi masih tetap menerima. Kedua, penyimpangan pemanfaatan dana dalam pelaksanaan proyek. Ada kesulitan dalam melakukan monitoring yang disebabkan tidak semua pemerintah daerah menyampaikan kepada Departemen Pendidikan. Berdasarkan temuan tersebut, KPK merekomendasikan Depdiknas bersama Depkeu membuat perencanaan alokasi DAK bidang pendidikan dengan menyempurnakan formula penentuan alokasi; memperbarui baseline data teknis secara berkala; menyempurnakan petunjuk teknis DAK; dan menindaklanjuti segala macam pembayaran yang tidak sesuai peruntukan DAK bidang pendidikan, serta melakukan tindakan atas penyimpangan oleh oknum yang terlibat konflik kepentingan dalam pengadaan secara tegas.[14]
Sekitar 80% DAU yang dikelola daerah digunakan untuk belanja rutin, terutama gaji pegawai pemda[15]. Oleh sebab itu, sumber utama daerah untuk membangun sarana dan prasarana fisik adalah dari DAK. DAK yang khusus digunakan untuk pembangunan dan rehabilitasi sarana dan prasarana fisik ini, apabila dikelola dengan baik, dapat memperbaiki mutu pendidikan, meningkatkan pelayanan kesehatan, dan paling tidak mengurangi kerusakan infrastruktur. Hal ini sangat penting untuk menanggulangi kemiskinan dan membangun perekonomian nasional yang lebih berdaya saing[16]. Jika dilihat dari kondisi daerah yang masih banyak mengandalkan DAU sebagai sumber belanja rutin, maka DAK menjadi komponen yang amat penting untuk mengatasi kekurangan anggaran daerah dalam beberapa aspek penting yang tak mungkin didanai dari DAU.

Tabel 3
Perbandingan DAK, DAU, DBH, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan,
dan APBN, serta PDB, 2001-2007 (miliar rupiah)


     Meminjam analisis SMERU,[17] tabel 3 tersebut memperlihatkan bahwa dari tahun ke tahun DAK mengalami peningkatan yang signifikan, baik dari segi nilai nominalnya maupun dari segi perbandingan proporsinya dengan proporsi DAU dan DBH. Selama periode 2001–2007, nilai nominal DAK meningkat lebih dari 24 kali lipat atau rata-rata 390% per tahunnya. Jika dibandingkan dengan jumlah DAU dan DBH, nilai relatif DAK juga mengalami peningkatan yang cukup besar. Terhadap nilai DAU, nilai DAK meningkat dari 1,2% (2001) ke 10.4% (2007), sementara terhadap DBH, peningkatannya adalah dari 3.5% (2001) ke 25% (2007). Selain disebabkan oleh kenaikan anggaran pada setiap bidang yang dibiayai DAK, peningkatan DAK tersebut juga disebabkan oleh perluasan bidang cakupan pembiayaan DAK dan peningkatan jumlah kabupaten/kota yang menerima DAK. Pada tahun 2007, misalnya, seharusnya terdapat 87 kabupaten/kota yang tidak menerima DAK. Namun, karena ada kompromi antara Pemerintah Pusat dan DPR, daerah-daerah tersebut akhirnya menjadi penerima DAK.

4.         Mengatasi Kelemahan Transfer Fiskal dan DAK
Guna memberikan tambahan sumber pembiayaan daerah dalam skema transfer fiskal (intergovernmental fiscal transfer), ternyata juga sejak tahun 2006 telah dilakukan transfer dana ad hoc yang secara hukum eksistensinya tidak diatur dalam UU No. 33 Tahun 2004. Dana ad hoc tersebut misalnya berwujud Dana Otonomi Khusus untuk Provinsi NAD, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat (diatur dengan UU Otonomi Khusus), Dana Tambahan Penghasilan Guru, Tunjangan Profesi Guru, dan Dana Insentif Daerah. Dana transfer di luar dana perimbangan dan dana otonomi khusus selanjutnya diwadahi dengan nama “dana penyesuaian”. Dalam dana penyesuaian ini sendiri terdapat dua kelompok dana, yaitu dana yang telah direncanakan dalam jangka menengah/panjang sebagai bentuk kebijakan nasional (seperti Tambahan Penghasilan Guru, Bantuan Operasional Sekolah, Dana Insentif Daerah) dan dana yang ditetapkan secara ad hoc yang diputuskan pada saat pembahasan APBN di DPR dengan sebutan Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) dan Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID.[18] Daerah merasa senang memperoleh dana ad hoc karena tidak perlu menyediakan dana pendamping seperti DAK dan lebih memberikan diskresi dalam pengalokasiannya sesuai dengan kebutuhan daerah.
Dalam perjalanannya, nama dan peruntukan dana ad hoc mengalami pergeseran dari tahun ke tahun. Pada tahun 2005-2006 dikenal dengan nomenklatur Dana Penyesuaian Ad Hoc, pada tahun 2007 disebut Dana Penyesuaian Infrastruktur Jalan, di tahun 2008 disebut Dana Penyesuaian Infrastruktur Sarana dan Prasarana, tahun 2009-2010 Dana Penguatan Desentralisasi Fiskal dan Percepatan Pembangunan Daerah, tahun 2010 Dana Penguatan Infrastruktur dan Prasarana Daerah, dan pada tahun 2011 disebut dengan nama Dana Penyesuaian Infratruktur Daerah (DPID) dan Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID).[19]


Gambar 1
Porsi Penggunaan Anggaran Belanja Pemerintah Tahun Anggaran 2011



(Sumber: Soepomo, dkk., 2012: hal. V.3)

     Transfer fiskal tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk mempercepat pembangunan berbagai infrastruktur di daerah, karena alokasi Dana Perimbangan dinilai tidak mencukupi. Namun, kelemahan dari aspek hukum pendanaan tersebut telah menimbulkan terjadinya banyak penyalahgunaan wewenang dari sisi keuangan negara yang bahkan telah menyeret beberapa nama eks pimpinan Badan Anggaran DPR RI dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi.
     Guna mengatasi kelemahan dari sistem transfer fiskal tersebut, maka mekanisme transfer dana ad hoc tersebut perlu diintegrasikan ke dalam mekanisme alokasi DAK yang sudah memiliki kriteria yang jelas. Namun, sekaligus juga perlu dilakukan perbaikan terhadap kelemahan DAK yang selama ini dikritik terlalu bersifat input based transfer, menjadi output based transfer yang memberikan keleluasaan penggunaan anggaran bagi daerah penerima. Peningkatan prosentase DAU sambil memperbaiki sistem alokasi penganggaran di daerah, kiranya juga akan melengkapi langkah perbaikan dalam sistem desentralisasi fiskal guna mendorong kualitas penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Daftar Pustaka
1.      Buku-buku
Abdul Gafar Karim (ed), 2003, Kompleksitas Persoalan Otonomi Daeah di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Bagir Manan, 1994, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Bodway, dkk. (ed), 2007,  Intergovernmental Fiscal Transfer – Principles and Practice, The World Bank, Washington DC, USA.
Dirjen Perimbangan Keuangan RI, 2010, Laporan Hasil Monitoring dan Evaluasi Dana Alokasi Khusus 2009, Jakarta.
Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah – Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah, Alumni, Bandung.
Mawhood, Philip, 1987, Local Government in The Third World, John Willey & Sons, New York.
Muhammad Fauzan, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah – Kajian tentang Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah, UII Press, Yogyakarta, 2006.
Muhammad Khuzaini, Ekonomi Publik – Desentralisasi Fiskal dan Pembangunan Daerah, BPFE Universitas Brawijaya, Malang, 2006.
Smith, BC, 1985, Decentralization – The Territorial Dimension of the State, George Allen & Unwin, London, UK.
Soepomo Prodjoharjono, dkk., 2012, Laporan Akhir “ Kajian tentang Review atas Kebijakan Pengalokasian Dana Ad Hoc (Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah dan/atau Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah), PT Sinergi Visi Utama, Yogyakarta (tidak dipublikasikan).
Solossa, Jacobus Perviddya, 2005, Otonomi Khusus Papua – Mengangkat Martabat Rakyat Papua di Dalam NKRI, Sinar Harapan, Jakarta.
Syaiku Usman, dkk., 2008, Laporan Penelitian “ Mekanisme dan Penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK)” , Lembaga Penelitian SMERU, Jakarta.
2. Sumber dari Internet, Artikel dan lain-lain.
Yuna Farhan, Transfer Anggaran (Birokrasi) Daerah, Opini di Kompas, 28/8/2012.
3. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945
UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara RI Tahun 2004 No. 126, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4438.
Peraturan Presiden No. 96 Tahun 2011 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2012.
Peraturan Menteri Keuangan No. 25/PMK.07/2011 tertanggal 11 Februari 2011 tentang Pedoman Umum dan Alokasi Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah Tahun Anggaran 2011
Peraturan Menteri Keuangan No. 140/PMK.07/2011 tertanggal 23 Agustus 2011 tentang Alokasi dan Pedoman Umum Penggunaan Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah Tahun Anggaran 2011.




[1] Makalah dipresentasikan dalam SIMPOSIUM NASIONAL Satu Dasawarsa Perubahan Undang-Undang Dasar 1945: Indonesia Menuju Negara Konstitusional?” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Padjajaran di Bandung, 31 Oktober-1 November 2012.
[2] Penulis adalah Direktur Program Pasca Sarjana dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Associate Researcher Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta dan Dewan Pakar Asosiasi Pengajar Hukum Acara Peradilan Konstitusi Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
[3]  Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah – Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah, Alumni, Bandung, hal. 113.
[4] BC. Smith, 1985, Decentralization – The Territorial Dimension of the State, George Allen & Unwin, London, UK hal.1.
[5]Abdul Gafar Karim (ed), 2003, Kompleksitas Persoalan Otonomi Daeah di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 51.
[6] Jacobus Perviddya Solossa, 2005, Otonomi Khusus Papua – Mengangkat Martabat Rakyat Papua di Dalam NKRI, Sinar Harapan, Jakarta, hal. 48.
[7] Bagir Manan, 1994, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 22.
[8] Ibid., hal. 21.
[9] Ibid.
[10] http://hendragforce.blogspot.com/2011/04/mekanisme-desentralisasi-fiskal-dan.html.
[11] Diolah penulis berdasarkan klasifikasi Syahrudin dalam ibid.
[12] Muhammad Fauzan, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah – Kajian tentang Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah, UII Press, Yogyakarta, 2006, hal. 3.
[13] Muhammad Khuzaini, Ekonomi Publik – Desentralisasi Fiskal dan Pembangunan Daerah, BPFE Universitas Brawijaya, Malang, 2006, hal. 99 – 100.
[15] Rata-rata daaerah menggantungkan 80 persen pendapatan daerahnya pada dana transfer dari APBN, sementara sebagian besar transfer daerah sudah dalam bentuk belanja pegawai. Dengan memasukkan kebutuhan belanja pegawai pada Dana Alokasi Umum (DAU), otomotis daerah tak ambil pusing membiayai  atau merekrut pegawai baru. Formula DAU meninabobokkan daerah untuk terus merekrut pegawai baru dan memekarkan diri. Formula DAU justru memberikan insentif terhadap membengkaknya belanja pegawai dan disinsentif bagi daerah yang efisien belanja pegawainya (Yuna Farhan, Transfer Anggaran (Birokrasi) Daerah, Opini Kompas, 28/8/2012).
[16] Syaiku Usman, dkk., 2008, Laporan Penelitian “Mekanisme dan Penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK)” , Lembaga Penelitian SMERU, Jakarta, hal. 1-2.
[17] Ibid., hal. 23.
[18] Soepomo Prodjoharjono, dkk., 2012, Laporan Akhir “ Kajian tentang Review atas Kebijakan Pengalokasian Dana Ad Hoc (Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah dan/atau Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah), PT Sinergi Visi Utama, Yogyakarta (tidak dipublikasikan), hal. I-1. Bdk. Bodway, dkk. (ed)., 2007, Intergovernmental Fiscal Transfer – Principles and Practice, The World Bank, Washington DC, USA, hal. xxxiii yang menguraikan beberapa prinsip penting dari transfer fiskal antardaerah yang salah satunya adalah untuk mengatasi kesenjangan fiskal (fiscal gap) antardaerah dan memperbaiki kapasitas daerah. Namun, di hal 8 buku tersebut diuraikan bahwa transfer fiskal antardaerah pada jangka panjang justru bisa menimbulkan defisit.
[19] Ibid., hal. I-2

Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...