Minggu, 03 Mei 2020


Postur Kabinet dan Komposisi Menteri untuk Membentuk
Kabinet yang Efektif

Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.
Y. Hartono, S.H., M.Hum.

Fakultas Hhukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Jl. Mrican Baru 28, Yogyakarta


abstrak

Postur  kabinet dan komposisi menteri untuk membentuk pemerintahan  yang efektif di Indonesia merupakan suatu yang penting meskipun tidak mudah untuk diwujudkan. Hal ini menyangkut persoalan desain hukum ketatanegaraan maupun hukum administrasi negara. Hukum Administrasi Negara selama ini lebih banyak menekankan pembahasan mengenai konsep mengenai pemerintah/administrasi negara dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukannya, wewenang dan pengawasan atas penggunaan wewenang. Di sisi lain teori yang terkait dengan organisasi pemerintah tidak pernah dibahas. Dari sisi Hukum Tata Negara, Sitem Presidensiil dalam sistem multi  partai juga merupakan persoalan tersendiri. Dilema penerapan kabinet ahli atau kabinet koalisi untuk mewujudkan kabinet yang efektif selalu menimbulkan diskusi panjang. Kombinasi antara kabinet ahli dengan kabinet koalisi atau komposisi proporsional para ahli dan politisi  diharapkan bisa menjadi jalan keluar.
                             Kata kunci : postur kabinet, Sistem Presidensiil, efektif

abstract
Cabinet posture and minister composition  to form the effective govenrmnent in Indonesia are important although it’s difficult to be realized. This is related the design of Constitutional Law and Adminitrtaive Law. All this time, the Adminitrative Law more stressing about the concept of government or state administration and its law action, authority and supervision of the authority use. The other side,  theory of government organization did not ever discussed. From the Constitutional Law’s aspect, Presidentil System in Multy Party System is a seperate issue. The dilemma of application of expert cabinet and coalition cabinet to form the effective cabinet always make a long discussion  . The combination between expert cabinet and coalition cabinet or proportional composition the experts and politician can be the way.
Keywords: cabinet posture, Presidentil System, effective
A.     Pendahuluan
Isu mengenai postur kabinet dan komposisi Menteri dalam kerangka membentuk kabinet yang Efektif sesungguhnya adalah isu mengenai desain hukum ketatanegaraan maupun hukum administrasi negara mengenai bangunan eksekutif yang didasarkan atas struktur organisasi, pilihan politik atas nomenklatur maupun pengemban jabatan atasnya dan tata kelola organisasi (proses bisnis) yang akan ditentukan dalam batas-batas konstitusional.
Pertama, terkait desain hukum ketatanegaraan dalam menentukan postur kabinet dan pengisian jabatan menteri ditentukan oleh batas atas berupa pengaturan dalam konstitusi mengenai postur dan nomenklatur yang akan dibentuk. Hal ini ditegaskan dalam pada Pasal 4 ayat (2) UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang membuat kategorisasi nomenklatur kementerian yang boleh dibentuk dengan acuan urusan pemerintahan (bestuurszaak) yang ditentukan untuk dilaksanakan oleh kementerian dibentuk. Pasal 4 tersebut selengkapnya mengatur hal-hal berikut:
(1). Setiap Menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Dengan acuan tersebut sesungguhnya sebelum membentuk kabinet. Perlu dilakukan analisis atas urusan pemerintahan yang harus dilakukan oleh masing-masing kementerian yang akan dibentuk. Terkait hal itu juga bisa dikatakan bahwa dalam desain pembentukan kabinet harus ditekankan pada kriteria obyektif (urusan pemerintahan yang akan ditentukan sebagai derivat dari visi dan misi kampanye Presiden dan Wakil Presiden. Aspek subyektif terkait dengan siapa personil yang akan ditunjuk sebagai menteri yang mengisi kelembagaan menteri yang dibentuk seharusnya mengacu pada analisis kompetensi terhadap calon yang akan ditunjuk mengisi jabatan menteri dalam kabinet, bukan justru pertama-tama dicari subyek yang akan mengisi jabatan menteri sebagai titik tolak menenetukan postur kementerian yang akan dibentuk.
(2).   Urusan tertentu dalam pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. urusan pemerintahan yang nomenklatur Kementeriannya secara tegas disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan c. urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah. Ketentuan ini memberikan batasan normatif sekaligus rasional mengenai postur kabinet yang akan dibentuk dengan acuan nomenklatur, ruang lingkup urusan pemerintahan dan fokus pada implementasi urusan pemerintahan tersebut.
Kedua, sehubungan dengan desain hukum administrasi negara dalam rangka pembentukan kabinet. Berkaitan dengan pembentukan kabinet sesungguhnya isunya terletak pada landasan hukum administrasi negara karena akan menyangkut struktur organisasi kementerian (hukum organisasi pemerintahan), penentukan nomenklatur kementerian (fungsi atribusi) dan penetapan tugas pokok dan fungsi dari jabatan-jabatan menteri berikut struktur organisasi pendukungnya pada setiap kementerian yang akan berkaitan dengan siklus linier (koordinasi) kewenangan antar kementerian yang dibentuk dan siklus diagonal (hubungan kewenangan) antar kementerian dengan lembaga pemerintah non kementerian dan pemerintah daerah. Maka, sesungguhnya merupakan sesuatu yang terkesan “aneh”, jika setiap kali pasca terpilihnya capres dan cawapres, yang beredar di ranah publik justru calon-calon nama yang akan dipinang oleh partai pemenang (ruling party) untuk menduduki jabatan-jabatan menteri, bukan isu mengenai desain struktur kementerian yang akan dibentuk sebagai respons atas kebutuhan negara menghadapi persoalan-persoalan pembangunan bangsa dan negara serta tantangan global. Sebagai implikasinya, sesuatu yang sesungguhnya bersifat strategis sekaligus tekhnis birokratis, menjadi sangat bermuatan politis karena kedua hal di atas jarang menjadi titik tolak dalam desain pembentukan postur kabinet dan komposisi menteri dalam pembentukan kabinet. Akibatnya, kepada publik senantiasa disuguhkan kontestasi politik tak berkesudahan meskipun era kontestasi pilpres sudah berakhir pasca ditetapkannya capres dan cawapres.
B.     Permasalahan
Desain mengenai postur kabinet dan komposisi menteri sebagai implikasinya. sesungguhnya harus diletakkan di ranah strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, namun sekaligus tekhnis birokratis yang didasarkan atas asas profesionalitas. Postur kabinet merupakan hasil dari siklus analisis organisasi dan sekaligus penentuan indikator kompetensi karena hasil akhir yang diharapkan adalah terbentuknya struktur dan komposisi kabinet yang efektif dalam sistem pemerintahan presidensial.
C.        Pembahasan
1.   Pentingnya Pengembangan Hukum Organisasi Pemerintah Dalam Hukum Administrasi Negara
Pembahasan dalam keilmuan hukum administrasi negara selama ini, nyaris melalaikan pembahasan mengenai hukum organisasi pemerintah. Hukum Administrasi Negara selama ini lebih banyak menekankan pembahasan mengenai konsep mengenai pemerintah/administrasi negara dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukannya, wewenang dan pengawasan atas penggunaan wewenang tersebut. Pembahasan mengenai teori yang terkait dengan organisasi pemerintah (meskipun hal ini ternyata justru yang sangat penting) mendapatkan porsi yang sangat sumir atau bahkan tidak pernah dibahas. Padahal, pasca kontestasi politik pilpres, harus ada teori dan landasan hukum untuk menyusun postur dan komposisi kabinet yang berada pada ranah Hukum Administrasi Negara. Akibatnya, absenya kajian-kajian mengenai hukum organisasi pemerintah tersebut justru banyak diisi oleh analisis politik dan bahkan politik praktis yang cenderung pragmatis pada masa pembentukan postur dan komposisi kementerian. Situasi tersebut menjauhkan pembentukan postur kabinet dan komposisi menteri dari desain strategis pembentukan kabinet yang mengacu pada kebutuhan bangsa dan negara mengenai kabinet yang tepat ukuran, fungsi dan personalia.
2.       Konsep Mengenai Pembentukan Postur Kabinet dan Komposisi Menteri
Pembentukan postur kabinet dan komposisi menteri seharusnya diletakkan pertama-tama di ranah Hukum Tata Negara. Dalam konsep Hukum Tata Negara, desain mengenai pembentukan kabinet sesungguhnya merupakan derivat dari konsep mengenai pembagian kekuasaan negara secara horizontal (capital division of power) yang menghasilkan cabang-cabang kekuasaan negara klasik (legislatif, eksekutif dan yudikatif) maupun kontemporer (state auxiliary bodies). Di ranah eksekutif, kabinet yang dibentuk pasca pilpres akan menentukan: derajat kompetensi eksekutif dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan, corak relasi antara eksekutif – parlemen.

Gambar 1
Struktur Pemerintahan Negara


Pembentukan kabinet yang baik harus didasarkan atas analisis yang cermat dalam menentukan ruang lingkup maupun kategorisasi urusan pemerintahan yang harus ditangani oleh setiap kementerian yang dibentuk. Berdasarkan analisis atas urusan pemerintahan yang akan dikelola oleh pemerintah barulah ditentukan nomenklatur dan struktur kementeriannya berikut struktur organisasi pendukungnya dan selanjutnya pengisian personalia yang akan menduduki jabatan menteri dalam suatu kabinet.
Urusan pemerintahan (bestuurszaak) adalah fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi hak dan kewajiban setiap tingkatan dan/atau susunan pemerintahan utk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi tersebut yang menjadi kewenangannya dalam rangka: melindungi, melayani, memberdayakan dan menyejahterakan masyarakat. Fungsi Pemerintahan adalah fungsi dalam melaksanakan Administrasi Pemerintahan yang meliputi fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan, dan pelindungan (Pasal 1 angka 2 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan).
Perlu pula disadari bahwa setiap pembentukan nomenklatur dan struktur organisasi kementerian akan memiliki keterkaitan dengan pelaksanaan urusan pemerintahan yang dikelola oleh pemerintah daerah, mengingat adanya kewenangan daerah berdasarkan dekonsentrasi maupun tugas pembantuan (medebewind). Bahkan, sejatinya kewenangan desentralisasi yang ditangani di daerah, juga senantiasa memiliki keterkaitan material-fungsional dengan desain mengenai kewenangan kementerian di Pusat. Hal ini menunjukkan adanya korelasi antara konsep pembagian kekuasaan negara secara vertikal (territorial division of power) dan pembagian kekuasaan secara horisontal (capital division of power). Maka, analisis mengenai relasi kewenangan secara struktural maupun fungsional dalam desain kelembagaan kementerian dengan pemerintah daerah menjadi sesuatu yang tak boleh ditinggalkan.

Gambar 2
Urusan Pemerintahan




Pembentukan kabinet harus bertitik tolak dari konsep mengenai pembentukan organisasi publik. Maka, sesungguhnya hukum organisasi pemerintah memiliki obyek formal dan material yang dalam pembahasannya akan beririsan dengan banyak bidang keilmuan misalnya ilmu manajemen maupun ilmu administrasi negara. Hanya saja, hukum organisasi pemerintah meletakkan studinya pada kajian kerangka hukum terhadap struktur dan proses pembentukan sampai dengan bekerjanya organisasi-organisasi pemerintah dalam negara. Harmon dan Mayer [1]menggambarkan adanya 3 (tiga) arena sehubungan dengan organisasi dan manajemen sektor publik, yaitu: pertama, Inter-organizational arena. Suatu arena dimana administrator publik bertindak sebagai wakil dan agen dari organisasi dalam berhubungan dengan organisasiorganisasi lain. Di arena ini terjadi hubungan antar organisasi, masing-masing aktor dalam melakukan hubungan mengemban misi dari organisasi yang diwakilinya. Dalam arena ini berbagai isu keorganisasian dapat muncul, misalnya bagaimana melakukan koordinasi antar intansi dalam penyelenggaraan program antar sektor, bagaimana menciptakan hubungan yang serasi dan dinamis antara intansi pusat dengan daerah, bagaimana memelihara hubungan antar organisasi pada tingkat lokal, nasional, regional, atau internasional. Kedua, Intra-organizational relations. Dalam arena ini yang menonjol adalah struktur internal yang mendefinisikan hubungan dalam organisasi. Hubungan ini dapat digambarkan dalam bagan yang menunjukkan siapa menjabat apa, siapa melapor kepada siapa dalam satu unit organisasi. Disini manusia dalam organisasi bertindak mewakili peranan individual yang dimainkan (sebagai kepala, sekretaris, atau bendahara) bukan sebagai pribadi yang utuh. Hal yang ditonjolkan di sini adalah bagaimana suatu peran berhubungan dengan peran lain. Dalam kerangka hubungan ini kita dapat membedakan antara organisasi formal dan organisasi informal. Pada organisasi formal, hubungan yang terjadi adalah dalam kaitanya dengan peran formal yang secara sah diemban oleh setiap aktor, sedangkan pada organisasi informal hubungan antar individu terjadi di luar peranan formal tersebut, tetapi berdasarkan kesepakatan tidak resmi atau tradisi. Dalam arena ini berbagai isu keorganisasian dapat muncul, misalnya bagaimana menentukan deskripsi kerja dan kordinasi kerja antar bagian dalam suatu organisasi, bagaiamana mengatur mekanisme pelaporan yang efisien atau sistem pengendalian yang efektif, dan sebagainya. Ketiga, Organization to individual relations. Dalam arena ini hubungan yang terjadi adalah antara individu yang bertindak di bawah otoritas yang dimilikinya (nisalnya sebagai manajer atau sebagai kasir) dengan orang-orang lain sebagai pribadi baik yang ada di dalam atau di luar organisasi. Termasuk dalam kategori ini adalah hubungan antara manajer (mewakili kepentingan organisasi) dengan pekerja (mewakili kepentingan pribadi sebagai penjual tenaga), atau antara petugas lapangan (mewakili kepentingan organisasi) dengan kliennya (mewakili kepentingan pribadi mereka). Dalam arena ini berbagai isu keorganisasian penting dapat muncul, misalnya bagaimana memotivasi bawahan, bagaimana menyelesaikan konflik dalam organisasi, bagaimana menyelenggarakan pelayanan yang memuaskan kepentingan langganan, dan sebagainya
UU Kementerian Negara memaknai dan sekaligus mengekspresikan konsep mengenai organiasasi dan manajemen sektor publik tersebut dengan mengatur antara lain mengenai: klasifikasi urusan pemerintahan (bestuurszaak); tugas, fungsi dan susunan organisasi; desain pembentukan (sekaligus pengubahan/pembubaran) kelembagaan kementerian; hubungan fungsional dan struktural secara horisontal maupun vertikal ( ke atas maupun ke bawah) lembaga kementerian dengan supra-struktur maupun infra-struktur yang terkait dengan pelaksanaan fungsinya.
Konsiderasi organisasional yang harus disertakan dalam membentuk kelembagaan kementerian harus mencakup hal-hal yang bersifat universal berikut: a) Planning: suatu proses pengambilan keputusan tentang apa tujuan yang harus dicapai pada kurun waktu tertentu di masa mendatang dan apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Proses tersebut terdiri dari dua elemen, yaitu penetapan tujuan dan menentukan kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Fungsi ini menghasilkan dan mengintegrasikan tujuan, strategi, dan kebijakan. b) Organizing: suatu proses pembagian kerja (division of labour) yang disertai dengan pendelegasian wewenang. Organizing sangat bermanfaat dalam memberikan informasi tentang garis kewenangan agar setiap anggota dalam organisasi bisa mengetahui apa kepada siapa dia memberi perintah dan dari siapa dia menerima perintah. Organizing juga diperlukan untuk memperbaiki efisiensi kerja dan kualitas pekerjaan melalui “synergism” yang baik dimana orang bekerja bersama-sama akan meberikan output yang lebih besar daripada bekerja secara sendiri-sendiri. Disamping itu, organizing juga dapat memperbaiki komunikasi. Suatu struktur organisasi yang jelas dapat menggambarkan garis komunikasi antar anggota. c) Staffing: suatu proses untuk memperoleh tenaga yang tepat, baik dalam jumlah maupun kualitas sesuai dengan kebutuhan pekerjaan dalam organisasi. d) Coordinating: suatu proses pengintegrasian kegiatan-kegiatn dan terget/ tujuan dari berbagai unit kerja dari suatu organisasi agar dapat mencapai tujuan secara efisien. Tanpa kordinasi, individu-individu dan bagian-bagian yang ada akan bekerja menuju arah yang berlainan dengan irama/ kecepatan yang berbeda-beda. Demikian pula, tanpa koordinasi, masing-masing bekerja sesuai dengan kepentingannya masing-masing dengan mengorbankan kepentingan organisasi secara keseluruhan. e) Motivating: suatu proses pemberian dorongan kepada para anggota organisasi agar mereka dapat bekerja sesuai dengan tujuan organisasi. Proses tersebut dapat dipahami melalui suatu mekanisme berikut: Kebutuhan mempnegaruhi dorongan kerja, dan dorongan kerja mempengaruhi pencapaian tujuan. Berdasarkan mekanisme tersebut, seorang manajer harus memahami hakekat kebutuhan manusia dan dorongan kerjanya. f) Controlling: suatu fungsi manajemen yang mencari kecocokan antara kegiatan-kegiatan aktual dengan kegiatan-kegiatan yang direncanakan. Fungsi tersebut sangat berkaitan dengan perencanaan yaitu merupakan feedback bagi perencanaan pada masa yang akan datang. Konsiderasi organisasional tersebut merupakan langkah selanjutnya pasca penentuan postur kabinet yang akan diberikan kerangka hukum Perpres yang mengatur baik struktur kementerian maupun organisasi pendukungnya. Maka, upaya untuk membangun kabinet yang efektif tidak hanya berkaitan dengan pengisian jabatan menteri, namun justru ketepatan dalam menyusun organisasi pendukungnya dalam mendesain nomenklatur kementerian sebagaimana digariskan pada Pasal 4 ayat (2) UU Kementerian Negara.
Sehubungan pengisian menteri, kiranya baik jika memperhatikan tipologi manajer publik seperti yang pernah dikemukakan oleh Henry Mintzberg yang bisa dipergunakan presiden dalam menentukan indikator kompetensi dari para (calon) menterinya. Mintzberg mengemukan beberapa tipologi dari manajer publik[2]. Pertama, Sosok atau Figur (Figurehead). Seorang Manajer memiliki tanggung jawab terhadap legal, sosial, seremonial dan juga bertindak sebagai simbol organisasi. Seorang Manajer diharapkan menjadi sumber inspirasi. Sebagai contoh, seorang Manajer biasanya akan melakukan hal-hal seremonial seperti menghadiri acara pemootongan pita peresmian, menandatangani dokumen legal (hukum), menyapa tamu organisasi dan menjadi tuan rumah resepsi. Kedua, Pemimpin (Leader). Seorang Manajer bertugas sebagai pemimpin dalam Tim, departemen  ataupun organisasinya. Menyeleksi dan Melatih karyawanya serta mengelola kinerja dan memotivasi karyawannya. Ketiga,  Penghubung (Liaison). Seorang Manajer harus membangun dan menjaga komunikasi dengan kontak Internal organisasi maupun kontak eksternal organisasi. Contohnya berpartisipasi dalam pertemuan dengan perwakilan dari divisi/departemen lain atau organisasi lainnya. Keempat, Informational Roles (Peran Informasional) Pada Peran Informasional ini, Seorang Manager berperan sebagai pengelola Informasi. 3 Peran yang tergolong dalam Informational Roles adalah sebagai berikut : 1. Pemantau (Monitor) Dalam Peran Pemantau ini, seorang manajer berperan sebagai pencari informasi yang berkaitan dengan industri dan organisasinya. Seorang Manajer juga memantau tim yang dipimpinnya baik dari segi produktivitas, kinerja maupun kenyamanan kerja anggota timnya; 2. Penyebar Informasi (Disseminator). Setelah mendapatkan informasi, seorang manajer harus menyebarkan dan mengkomunikasikan informasi tersebut ke orang lain yang ada di dalam organisasinya atau mengkomunikasikan informasi tersebut ke anggota timnya ataupun karyawan yang berkaitan lainnya di dalam organisasi. Contoh peran penyebar informasi seorang manajer seperti menyampaikan memo, email atau laporan kepada bawahannya mengenai informasi dan keputusan yang telah diambil; 3. Juru Bicara (Spokesperson). Seorang Manajer juga berperan sebagai Juru Bicara yang meneruskan informasi tentang organisasinya dan tujuan organisasinya ke pihak luar.

Gambar 3
Pola Organisasi Menurut Henry Minzberg



Jika mengacu pada gambaran mengenai pola organisasi yang pernah digambarkan oleh Henry Mintzberg, jabatan menteri yang menduduki struktur strategis, perlu ditopang oleh unsur-unsur-unsur middle line, operating core, technostructure maupun support staff yang mampu menjabarkan visi dan misi Presiden dalam kerangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang dijabarkan ke dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP), Rencana Strategis Kementerian/Lembaga (Renstra K/L) dan Rencana Kerja Kementerian/Lembaga (Renja K/L). Maka, postur kabinet juga akan berkaitan dengan grand design yang ditentukan untuk melaksanakan visi dan misi Presiden dan kemampuan dari menteri yang dipilih untuk menyesuaikan postur ideal unsur-unsur kelembagaan di atas. Dalam mendesain organisasi ada empat keputusan dasar yang perlu diambil. Keputusan itu mencakup pembagian pekerjaan (division of labor), pendelegasian wewenang (authority delegation), pengelompokan tugas (departmentalization), dan yang terkait dengan span of control. Setelah pekerjaan dibagi-bagi perlu dipertimbangkan bagaimana melakukan koordinasi. Mekanisme koordinasi ini dapat dilakukan dengan lima cara yaitu (1) mutual adjustment, (2) direct supervision, (3) work process standardization, (4) standardization of output, (5) standardization of skills (input). Struktur organisasi dapat dibagi menjadi lima bagian menurut tugas dan fungsinya, yaitu (1) strategic apex yang berfungsi sebagai koordinator keseluruhan aktivitas organisasi, (2) operating core yang bertugas untuk melakukan pekerjaan pokok dari organisasi, (3) middle line yang menjembatani strategic apex dan operating core, (4) technostructure yang berfungsi sebagai analis dan penyusun standard, serta (5) support staff yang berfungsi sebagai pendukung kehidupan organisasi.
3.     Kementerian dalam sistem  ketatanegaraan di Indonesia.
Formulasi Pasal 17 ayat (3) UUD 1945 naskah asli tidak memberikan kejelasan dalam praktiknya. Pasal 17 ayat (3) yang menyatakan bahwa “Menteri-menteri itu memimpin departemen pemerintahan” dalam praktik tidak terwujud sebagaimana dalam formulasi ayatnya. Artinya, dalam penafsitan harafiah setiap menteri akan membawahi  departemen. Keberadaan Menteri Negara Peranan Wanita dan Menteri-menteri lain yang tidak membawai Deparetemen pada Kabinet Pembangunan VII di masa Presiden Soeharto menunjukkan hal itu. Secara positivistik hal ini tidak sesesuai dengan konstitusi UUD 1945.
Amandemen UUD 1945, yang didalamnya termasuk amandemen terhadap  Pasal 17 ayat (3)[3] setidak-tidaknya memberikan legalitas keberadaan kemenetrian dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia pasca amandemen, yang pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan postur kemetrian negera dalam pemerintahan menurut UUD 1945 naskah asli. Keberadaan kementerian yangh tidak memiliki departemen dapat diberikan justifikasinya melalui formulasi Pasal 17 ayat (3) yang secara substantif berbeda. Pasal 17 ayat (3) UUD amandemen menyatakan “Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan”.  Formulasi Pasal ini jelas tidak menentukan bahwa suatu kementerian harus membawai depertemen. Formulasi Pasal 17 ayat (3) yang tidak menentukan bahwa kementerian harus membawai departemen membawa implikasi tidak hanya pada aspek kelembagaan, yaitu dengan dibentuknya Kantor-kantor  Wilayah di setiap Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai konsekuensi  asas dekonsentrasi yang dianut oleh UU No. 23 tahun 2014, tetapi juga akan berimplikasi pada  aspek Sumber Daya Manusia yang diperlukan untuk mengelola Departemen dan  Kantor-kantor Wilayah . Lebih-lebih bila  mendasarkan pada UU NO. 23 tahun 2014, dimana  penerapan dekonsentrasi tidak hanya dilakukan pada wilayah Provinsi tetapi juga pada wilayah Kabupaten/Kota.[4]  Persoalan-persoalan tadi dapat dipastikan juga akan berimplikasi pada persoalan anggaran negara.
            Pasal 17 UUD 1945 naskah asli  tidak memberikan delegasi wewenang untuk membentuk UU Kementerian Negara. Hal ini membawa konsekuensi, kementerian negara menjadi hak prerogatif presiden dalam menentukan departemen dan jumlah kememteriannya. “Pembatasan” hanya terletak pada kebutuhan dalam menyelenggarakan dan mencapai pembangunan. Berbeda halnya dengan UUD 1945 amandemen, Pasal 17 ayat (4) yang menyatakan “Pembentukan,  pengubahan,  dan  pembubaran  kementerian  negara  diatur dalam undang-undang”. Hal ini dengan tegas menunjukkan adanya  delegasi wewenang untuk membentuk UU Kemeneterian Negara.
            Berlakunya UU No. 39 tahun 2008 sedikit banyak membawa implikasi setidak-tidaknya dalam menentukan kementerian negara dalam susunan kabinet. Yang pasti, terkait dengan jumlah kementerian negara tidak boleh lebih dari 34 (tiga puluh empat) kementerian, sebagaimana diatentukan dalam Pasal 4 ayat (1). Dalam hal ini Presiden melalui hak konstitusionalnya memiliki wewenang untuk menentukan kementeriannya sesuai dengan visi, misi dan program kerjanya. Namu demiki terdapat 3 (tiga) kementerian yang harus dibentuk oleh setiap Presiden, yaitu Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan <emteri Pertahanan. Keberadaan tiga kemnterian ini dapat dikorelasikan dengan ketentuan Pasal 8 ayat (3). Dalam arti bahwa, kewajiban dibentuknya tiga menteri ini adalah untuk mengantisipasi dan menjadi solusi ketika terjadi pristiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3), dimana ketiga menteri ini akan melaksanakan tugas kepresidenan selama Presiden dan Wakil Presiden belum terpilih manakala Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan.
Adapun kementerian-kementerian lainnya dapat dibentuk dengan memperhatian Pasal 5 ayat (2) yaitu kementerian-kementerian dalam urusan  pemerintahan  yang  ruang  lingkupnya disebutkan     dalam     Undang-Undang    Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi; meliputi urusan agama,  hukum,  keuangan,  keamanan,  hak  asasi manusia,  pendidikan,  kebudayaan, kesehatan, sosial, ketenagakerjaan, industri, perdagangan, pertambangan, energi, pekerjaan umum, transmigrasi, transportasi, informasi, komunikasi, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan, dan perikanan. Di samping itu juga harus memperhatikan  Pasal 5 ayat (3) yaitu kementerian-kementerian dalam urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi,     dan       sinkronisasi       program pemerintah yang meliputi;  meliputi  urusan perencanaan   pembangunan   nasional,   aparatur negara, kesekretariatan negara, badan usaha milik negara, pertanahan, kependudukan, lingkungan hidup, ilmu pengetahuan, teknologi, investasi, koperasi, usaha kecil dan menengah, pariwisata, pemberdayaan perempuan, pemuda, olahraga, perumahan,   dan   pembangunan   kawasan   atau daerah tertinggal.
            Konsekuensi sistem pemerintahan Presidensiil adalah, bahwa Presiden memiliki kekuasaan memilih dan memberhentikan menteri-menteri, dan menteri-menteri bertanggung jawab kepada Presiden. Kekuasaan ini menjadi salah satu parameter dari sistem pemerintahan Presidensiil sebagaimana dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Pokok-pokok Hukum tata Negara Pasca Reformasi
dan Douglas V. Verney dalam “Parliamentery Government and Presidential Government dengan dengan istilah “the President appoints head of departmens who are his subordinate.[5]
            Sistem pemerintahan presidensiil sendiri tidak lepas dari kelebihan dan kelemahan. Kelebihan dari sistem presidensial adalah[6] :
1.      Cabang eksekutif adalah posisi yang lebih stabil dikarenakan oleh eksekutif yang tidak tergantung kepada parlemen.
2.      Masa jabatan badan eksekutif lebih jelas dengan adanya jangka waktu tertentu. Seperti misalnya seperti, presiden Amerika serikat 4 tahun, Presiden Indonesia 5 tahun, sedangkan Presiden Filipina ialah 6 tahun.
3.      Penyusunan program kerja kabinet mudah untuk disesuaikan dengan jangka waktu masa jabatannya.
4.      Legislatif bukan tempat regenerasi untuk posisi eksekutif disebabkan legislatif bisa diisi oleh orang luar, termasuk juga anggota parlemen.
Adapun kelemahannya adalah:
1.        Kekuasaan eksekutif di luar pengawasan langsung legislatif sehingga bisa menciptakan kekuasaan mutlak.
2.        Sistem Akuntabilitasnya tidak terlalu
3.        Pengambilan keputusan ataupun kebijakan publik umumnya hasil dari tawar-menawar antara eksekutif dan juga legislatif, sejauh tidak keputusan tegas
4.        Membuat keputusan yang membutuhkan waktu cukup lama
Sistem Presidensiil sebenarnya sudah mejadi cita-cita para founding fathers.[7] yang kemudian dipraktikkan terutama pada masa pemerintahan Orde baru. Namun apabila diukur dari parameter sistem Presidensil dalam praktiknya -  setidak-tidaknya sampai amandemen UUD 1945-, tidak menunjukkan ciri sistem Presidensiil yang sesungguhnya. Jimly Asshiddiqie mengatakannya sebagai quasi prsidentil[8]. Atau sistem pemerintahan Presidensiil yang juga mengambil unsur-unsur dari sistem pemerintahan oarlkementer dan melakukan pembaharuan untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan dalam sistem presidesiil.[9] Salah satu kesepakatan dasar dalam amandemen UUD 1945, yaitu muwujudkan Sistem Presidensiil Murni yang kemudian diwujudkan dalam Pasal 4, Pasal 6 A ayat (1), Pasal 7, Pasal 7 C, Pasal 10 sampai dengan Pasal 15 dan Pasal 17 menjadi tonggak mulai dilaksanakannya Sistem Presidjuga apa yang disampaikan oleh Jimensiil Murni.
4.     Dilema antara Kabinet Ahli dan Kabinet Koalisi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kabinet dapat berarti badan atau dewan pemerintahan yang terdiri atas para menteri atau kantor kerja (terutama bagi presiden, perdana menteri, dan sebagainya). Dengan demikian kabinet dapat dipahami sebagai cabang kekuasaan yang dalam Konsep Montesqueau adalah lembaga eksekutif. lembaga eksekutif ini sebagai lembaga pelaksana undang-undang yang sudah ditetapkan dan menjalankan fungsi pemerintahan di suatu negara. Lembaga eksekutif ini meliputi presiden dan wakil presiden, menteri, pemerintah di tingkat daerah seperti gubernur, bupati/walikota, camat, dan kades/lurah. Lembaga eksekutif ini lebih kita kenal dengan nama pemerintah.[10] Dalam konteks Sistem Presidensiil, lembaga eksekutif menunjuk pada Presiden, Wakil Presiden dan jajaran menteri-menterinya.
Pasca amandemen UUD 1945 juga ditandai dengan sistem multi partai dalam kehidupan partai di Indonesia. Munculnya Pasal 6 A ayat (2) dan diterapkannya Presidential Threshold yang cukup tinggi menyebabkan pasangan Presiden/Wakil Presiden memerlukan dukungan dari gabungan partai politik dalam proses Pemilihan Umum Presiden/Wakil Presiden atau sebaliknya partai oilitik harus bergabung dengan partai politik lain agar memenuhi Presidential Threshold untuk dapat mengusung pasangan Presiden/Wakil Presiden. Disinilah muncul hubungan simbiose mutualistis. Kondisi ini secara langsung akan berdampak pada proses pembentukan kabinet dalam menyusun kementerian negara. Politik “balas budi” sering menyandera Presiden dalam membentuk kabinetnya, meski Presiden memilik hak konstitusional dan hak prerogative.
Program kerja yang dikampanyekan merupakan janji yang harus direalisasikan, baik dalam rencana program tahunan maupun program 5 (lima) tahunan. Untuk mencapai rencana program kerja, peranan ahli menjadi sangat penting. Namun dengan menyerahkan kepada (sebagian besar) ahli (baca: kaum profesional) non partisan yang akan duduk dalam kabinet dengan membentuk kabinet ahli (zaken cabinet) tentu akan menimbulkan  persoalan tersendiri. Begitu pula sebaliknya jika kabinet hanya diisi oleh politisi partai yang mungkin tidak sesuai dengan bidang tugas yang diembannya  juga akan menimbulkan persoalan yang tidak mudah, ditambah lagi bila partai-partai politik pendukung memiliki konsep pembangunan, atau ideologi yang berbeda. 
Melihat kondisi riil system politik di Indonesia, politisi yang ahli atau ahli yang politisi, atau komposisi proporsional antara ahli dan politisi tampaknya menjadi pilihan yang “ideal”. Artinya, partai politik pendukung harus benar-benar menempatkan kadernya yang memiliki keahlian sesuai dengan yang dibutuhkan.  Di sini “political wiil” dari partai politik perlu lebih dikedepankan.
Tidak  mungkin dibentuk kabinet yang benar-benar ideal, lebih-lebih dalam system multi partai yang orientasinya pada kekuasaan. Tetapi membentuk kabinet yang efektif merupakan keharusan.
D.     Penutup  (Kesimpulan dan Rekomendasi)
a.       Kesimpulan
1.      Desain mengenai postur kabinet dan komposisi menteri untuk membentuk kabinet yang efektif harus mempertimbangkan konsep mengenai urusan pemerintahan yang terkait dengan capital division of power dan territorial division of power, teori mengenai hukum organisasi publik, struktur kelembagaan organisasi publik dan indikator kompetensi dalam pengisian calon menteri dalam kabinet.
2.      Melihat kondisi riil dalam perpolitian di Indonesia,  mewujudkan  postur kabinet  yang ideal adalah suatu hal yang tidak mungkin. Di sisi lain, membentuk kabinet yang efektif hanya dengan membentuk kabinet ahli atau hanya dengan membentuk kabinet koalisi adalah pilihan  yang tidak mungkin juga . Kabinet yang efektif dengan kombinasi antara kabinet ahli dengan kabinet koalisi atau komposisi proporsional para ahli dan politisi  bisa menjadi jalan keluar meskipun juga masih bersifat hipotesis.



Daftar Pustaka

Djajadi Hanan,(2014), Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia – Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis Dalam Konteks Indonesia, Mizan, Bandung.
Harmon, Michael M. dan Richard T. Mayor,(1986), Organization Theory for Public Administration, Boston: Little, Brown & Co.
Jimly Asshiddiqie (2015), Penguatan Sistem Pemerintahan dan Peradilan,  Jakarta, Sinar Grafika.
Mintzberg, Henry, (1993) Structure in Fives – Designing Effective Organizations, Prentice Hall Inc., USA,
Riawan Tjandra. W,  (2018),Hukum Administrasi Negara, Jakarta, Sinar Grafika.
Sali Isra, (2019), Sistem Pemerintahan Indonesia, Pergulatan Ketatanegaraan Menuju Sistem Pemerintahan Presidensiil, Depok, Rajawali Pers
 Riawan Tjandra. W,  (2018),Hukum Administrasi Negara,  Jakarta. Sinar Grafika,
Saiful Mohtar
 Zulkarnain. H,  (2019), Perbandingan Sistem Pemerintahan, Bandung, Pustaka Setia

 Internet:



BIODATA PENULIS

 Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum adalah Dosen tetap pada Fakultas Hukum Universitas Atma jaya Yogyakarta. Lahir di  Madiun, Jawa Timur, tanggal16 Mei 1969. Lulus dengan predikat cumlaude dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang pada  tahun 1993 .  Menyelesaikan Magister dengan predikat cumlaude dari Magister Hukum Bidang Konsentrasi Hukum   Kenegaraan Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada pada tahun  2003.  Kemudian menyelesaikan Program Doktor Ilmu Hukum Bidang Hukum Administrasi Negara UGM tahun 2009 dengan predikat cumlaude. Disamping sebagai Ketau bagian Hukum Administrasi Negara, juga mengajar pada Program S2 dan S3 baiak di Perguruan Tinggi negeri maupun Perguruan Tinggi Swasta. Beberapa pelatihan/penataran/kurusus juga pernah diikuti seperti: Penataran Belajar Mengajar Kopertis (1994), Penataran Penelitian Kopertis (1996).  Pelatihan Bantuan Hukum LBH UII (1998) , Lokakarya Class Action yang diselenggarakan oleh YLBHI – LBH Jakarta pada tahun 2000, Kursus Perijinan Lingkungan yang diselenggarakan oleh BKPSL & Lemlit Universitas Airlangga Surabaya pada tahun 2000, Kursus Comparative Administrative Law UGM-Maastricht (2006), dan Training of Materials Budget Oversight LGSP-USAID (2009).  Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum juga menjadi narasumber dalam berbagai forum ilmiah, menulis artikel di beberapa surat kabar nasional dan menelusi beberapa buku seperi;
 “Teori dan Praktik PTUN”, “PTUN: Upaya Mendorong Terwujudnya Pemerintah yang Bersih dan Berwibawa”,  “Demokrasi Melawan Kekuasaan Melalui PTUN”, Dinamika Peran Pemerintah Dalam Perspektif Hukum Administrasi, “Litis Domini Principle”, “Democratic Good Governance, “Hukum Keuangan Negara”, dan “Hukum Sarana Pemerintahan”.
 
Yohanes Hartono, SH., M Hum adalah dosen tetap di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta sejak tahun 1987 sampai sekarang. Menyelesaikan Sarjana di  Fakultas Hukum di Universitas Gadjah Mada  Jurusan Hukum Tata Negara dan Pascasarjana di Universitas Padjadjaran Jurusan Hukum Kenegaraan. Sejak Tahun 2018, memegang Jabatan sebagai Direktur Pusat Bantuan dan Konsultasi Hukum (PBKH) Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Di samping itu juga sebagai  TA Bidang Penyusunan Produk Hukum daerah pada Konsultas PT. Ciptaning, / CV Wisanggeni, Magelang, 2006 – sekarang. Beberapa penelitian/kajian yang telah dilakukan antara lain; Eksisitensi Hukum Adat Byak-Numfor Provinsi Papua (Kelompok) –(Kerja sama Fakultas Hukum UAJY dengan Pemerintah Provinsi Papua) – 2008;  Eksisitensi Hukum Adat Sentani Provinsi Papua (Kelompok) – 2009 (Kerja sama Fakultas Hukum UAJY dengan Pemerintah Provinsi Papua) – 2009; Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (Kajian dari Aspek Hukum Pertanahan, Hukum Tata Negara dan Hukum Adat), 2010, Program Penelitian DEWAN PERWAKILAN DAERAH RI; Pandangan Pemilih Pemula Terhadap Pemilihan Umum di Indonesia (Analisis  pandangan Siswa SMA Pangudi Luhur Van Lith terhadap Pemilu di Indonesia) 2014; Urgensi Penyusunan Undang-Undang Tentang Penyandang Disabilitas, 2014 (Program Penelitian DEWAN PERWAKILAN DAERAH RI). Pengaturan  Desentralisasi Asimetris Di Daerah  Istimewa Yogyakarta (Kajian Terhadap Peraturan  Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Sebagai Pelaksanaan Desentralisasi Asimetris Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012  Keistimewaan  Daerah Istimewa Yogyakarta), 2017.
Pelatihan yang pernah diikuti antara lain; Problem Based Learning (Kerjasama Fakultas Hukum UAJY dan CILC (Belanda)- 2006; Indonesian – Dutch Training of Legislatif Drafters (Kerjasama Kementrian Hukum dan HAM RI dengan CILC (Belanda) – 2010; TOT (Training for Trainers) Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika (Penyelenggara Setjend MPR RI) – 2014.
Kegiatan organisasi profesi yang dikuti; sebagai Ketua II Assosiasi Pengajar Hukum Tata Negara/Hukum Adminstrasi Negara Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 2005 – 2009; sebagai    Kepala  Divisi Penelitian dan Pengembangan Assosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (APHAMK) DPD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 2010 – 2015, Koordinator Divisi Pendidikan dan Pengajaran Assosiasi Pengajar Hukum Tata Negara/Hukum Adminstrasi Negara, Daerah Istimewa Yogyakarta 2017 – 2022. Saat ini juga menjabat sebagai  Wakil Ketua I. Ikatan Keluarga Alumni  Lemhannas  (IKAL) Komisariat Daerah Istimewa Yogyakarta (2017 – 2022).































[1] Harmon, Michael M. dan Richard T. Mayor (1986), Organization Theory for Public Administration, Boston: Little, Brown & Co.

[2] Mintzberg on Management: Inside our Strange World of Organizations yang dikutip dalam https://ilmumanajemenindustri.com/10-peran-manajer-dalam-organisasi-menurut-mintzberg/

[3] Amanademen UUD 1945 di sampiing mengubah formulasi ayat-ayat juga menambah 1 (satu) ayat, yaitu ayat (4)
[4] Penerapan asas dekonsentrasi ini berbeda ketika berlaku UU No. 32 Tahun 2004 yang menerapkan asas dekonsentrasi hanya pada wilayah Provinsi saja.
[5] Lihat dalam Sali Isra, (2019), Sistem Pemerintahan Indonesia, Pergulatan Ketatanegaraan Menuju Sistem Pemerintahan Presidensiil, Depok, Rajawali Pers, h. 34
[6] https://duniapendidikan.co.id/pengertian-kabinet-pemerintah-dan-parlementer/
[7] Lihat dalam Jimly Asshiddiqie (2015), Penguatan Sistem Pemerintahan dan Peradilan,  Jakarta, Sinar Grafika, h. 57
[8]. Ibid.. h. 59
[9] H. Zulkarnain (2019), Perbandingan Sistem Pemerintahan, Bandung, Pustaka Setia, h. 235
[10] https://www.kompasiana.com/ms/59a6884457c78c040d5b64e2/lembaga-eksekutif-dalam-ketatanegaraan-indonesia

Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...