Postur Kabinet dan
Komposisi Menteri untuk Membentuk
Kabinet yang Efektif
Dr. W. Riawan Tjandra,
S.H., M.Hum.
Y. Hartono, S.H., M.Hum.
Fakultas Hhukum Universitas Atma Jaya
Yogyakarta
Jl. Mrican Baru 28, Yogyakarta
abstrak
Postur
kabinet dan komposisi menteri untuk
membentuk pemerintahan yang efektif di
Indonesia merupakan suatu yang penting meskipun tidak mudah untuk diwujudkan. Hal
ini menyangkut persoalan desain hukum ketatanegaraan maupun hukum administrasi
negara. Hukum Administrasi Negara selama ini
lebih banyak menekankan pembahasan mengenai konsep mengenai
pemerintah/administrasi negara dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukannya,
wewenang dan pengawasan atas penggunaan wewenang. Di sisi lain teori yang terkait dengan
organisasi pemerintah tidak pernah dibahas. Dari sisi Hukum Tata Negara, Sitem Presidensiil
dalam sistem multi partai juga merupakan
persoalan tersendiri. Dilema penerapan kabinet ahli atau kabinet koalisi untuk
mewujudkan kabinet yang efektif selalu menimbulkan diskusi panjang. Kombinasi
antara kabinet ahli dengan kabinet koalisi atau komposisi proporsional para
ahli dan politisi diharapkan bisa menjadi
jalan keluar.
Kata
kunci : postur kabinet, Sistem Presidensiil, efektif
abstract
Cabinet posture and
minister composition to form the
effective govenrmnent in Indonesia are important although it’s difficult to be
realized. This is related the design of Constitutional Law and Adminitrtaive
Law. All this time, the Adminitrative Law more stressing about the concept of
government or state administration and its law action, authority
and supervision of the authority use. The other side, theory of government organization did not ever
discussed. From the Constitutional Law’s aspect, Presidentil System in Multy
Party System is a seperate issue. The dilemma of application of expert cabinet
and coalition cabinet to form the effective cabinet always make a long discussion . The combination between
expert cabinet and coalition cabinet or proportional composition the experts
and politician can be the way.
Keywords:
cabinet posture, Presidentil System, effective
A. Pendahuluan
Isu
mengenai postur kabinet dan komposisi Menteri dalam kerangka membentuk kabinet
yang Efektif sesungguhnya adalah isu mengenai desain hukum ketatanegaraan
maupun hukum administrasi negara mengenai bangunan eksekutif yang didasarkan
atas struktur organisasi, pilihan politik atas nomenklatur maupun pengemban
jabatan atasnya dan tata kelola organisasi (proses bisnis) yang akan ditentukan
dalam batas-batas konstitusional.
Pertama,
terkait desain hukum ketatanegaraan dalam menentukan postur kabinet dan
pengisian jabatan menteri ditentukan oleh batas atas berupa pengaturan dalam
konstitusi mengenai postur dan nomenklatur yang akan dibentuk. Hal ini ditegaskan
dalam pada Pasal 4 ayat (2) UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara
yang membuat kategorisasi nomenklatur kementerian yang boleh dibentuk dengan
acuan urusan pemerintahan (bestuurszaak)
yang ditentukan untuk dilaksanakan oleh kementerian dibentuk. Pasal 4 tersebut
selengkapnya mengatur hal-hal berikut:
(1). Setiap Menteri
membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Dengan acuan tersebut
sesungguhnya sebelum membentuk kabinet. Perlu dilakukan analisis atas urusan
pemerintahan yang harus dilakukan oleh masing-masing kementerian yang akan
dibentuk. Terkait hal itu juga bisa dikatakan bahwa dalam desain pembentukan
kabinet harus ditekankan pada kriteria obyektif (urusan pemerintahan yang akan
ditentukan sebagai derivat dari visi dan misi kampanye Presiden dan Wakil
Presiden. Aspek subyektif terkait dengan siapa personil yang akan ditunjuk
sebagai menteri yang mengisi kelembagaan menteri yang dibentuk seharusnya
mengacu pada analisis kompetensi terhadap calon yang akan ditunjuk mengisi
jabatan menteri dalam kabinet, bukan justru pertama-tama dicari subyek yang
akan mengisi jabatan menteri sebagai titik tolak menenetukan postur kementerian
yang akan dibentuk.
(2). Urusan tertentu dalam pemerintahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. urusan pemerintahan yang
nomenklatur Kementeriannya secara tegas disebutkan dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. urusan pemerintahan yang ruang
lingkupnya disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945; dan c. urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan
sinkronisasi program pemerintah. Ketentuan ini memberikan batasan normatif
sekaligus rasional mengenai postur kabinet yang akan dibentuk dengan acuan
nomenklatur, ruang lingkup urusan pemerintahan dan fokus pada implementasi
urusan pemerintahan tersebut.
Kedua, sehubungan dengan
desain hukum administrasi negara dalam rangka pembentukan kabinet. Berkaitan
dengan pembentukan kabinet sesungguhnya isunya terletak pada landasan hukum
administrasi negara karena akan menyangkut struktur organisasi kementerian
(hukum organisasi pemerintahan), penentukan nomenklatur kementerian (fungsi
atribusi) dan penetapan tugas pokok dan fungsi dari jabatan-jabatan menteri
berikut struktur organisasi pendukungnya pada setiap kementerian yang akan
berkaitan dengan siklus linier (koordinasi) kewenangan antar kementerian yang dibentuk
dan siklus diagonal (hubungan kewenangan) antar kementerian dengan lembaga
pemerintah non kementerian dan pemerintah daerah. Maka, sesungguhnya merupakan
sesuatu yang terkesan “aneh”, jika setiap kali pasca terpilihnya capres dan
cawapres, yang beredar di ranah publik justru calon-calon nama yang akan
dipinang oleh partai pemenang (ruling party) untuk menduduki jabatan-jabatan
menteri, bukan isu mengenai desain struktur kementerian yang akan dibentuk
sebagai respons atas kebutuhan negara menghadapi persoalan-persoalan
pembangunan bangsa dan negara serta tantangan global. Sebagai implikasinya,
sesuatu yang sesungguhnya bersifat strategis sekaligus tekhnis birokratis,
menjadi sangat bermuatan politis karena kedua hal di atas jarang menjadi titik
tolak dalam desain pembentukan postur kabinet dan komposisi menteri dalam
pembentukan kabinet. Akibatnya, kepada publik senantiasa disuguhkan kontestasi
politik tak berkesudahan meskipun era kontestasi pilpres sudah berakhir pasca
ditetapkannya capres dan cawapres.
B. Permasalahan
Desain
mengenai postur kabinet dan komposisi menteri sebagai implikasinya.
sesungguhnya harus diletakkan di ranah strategis dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, namun sekaligus tekhnis birokratis yang didasarkan atas asas
profesionalitas. Postur kabinet merupakan hasil dari siklus analisis organisasi
dan sekaligus penentuan indikator kompetensi karena hasil akhir yang diharapkan
adalah terbentuknya struktur dan komposisi kabinet yang efektif dalam sistem
pemerintahan presidensial.
C.
Pembahasan
1.
Pentingnya Pengembangan
Hukum Organisasi Pemerintah Dalam Hukum Administrasi Negara
Pembahasan dalam
keilmuan hukum administrasi negara selama ini, nyaris melalaikan pembahasan
mengenai hukum organisasi pemerintah. Hukum Administrasi Negara selama ini
lebih banyak menekankan pembahasan mengenai konsep mengenai
pemerintah/administrasi negara dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukannya,
wewenang dan pengawasan atas penggunaan wewenang tersebut. Pembahasan mengenai
teori yang terkait dengan organisasi pemerintah (meskipun hal ini ternyata
justru yang sangat penting) mendapatkan porsi yang sangat sumir atau bahkan
tidak pernah dibahas. Padahal, pasca kontestasi politik pilpres, harus ada
teori dan landasan hukum untuk menyusun postur dan komposisi kabinet yang
berada pada ranah Hukum Administrasi Negara. Akibatnya, absenya kajian-kajian
mengenai hukum organisasi pemerintah tersebut justru banyak diisi oleh analisis
politik dan bahkan politik praktis yang cenderung pragmatis pada masa
pembentukan postur dan komposisi kementerian. Situasi tersebut menjauhkan
pembentukan postur kabinet dan komposisi menteri dari desain strategis
pembentukan kabinet yang mengacu pada kebutuhan bangsa dan negara mengenai
kabinet yang tepat ukuran, fungsi dan personalia.
2. Konsep Mengenai Pembentukan Postur Kabinet dan Komposisi
Menteri
Pembentukan
postur kabinet dan komposisi menteri seharusnya diletakkan pertama-tama di
ranah Hukum Tata Negara. Dalam konsep Hukum Tata Negara, desain mengenai
pembentukan kabinet sesungguhnya merupakan derivat dari konsep mengenai
pembagian kekuasaan negara secara horizontal (capital division of power) yang menghasilkan cabang-cabang
kekuasaan negara klasik (legislatif, eksekutif dan yudikatif) maupun
kontemporer (state auxiliary bodies).
Di ranah eksekutif, kabinet yang dibentuk pasca pilpres akan menentukan:
derajat kompetensi eksekutif dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan, corak
relasi antara eksekutif – parlemen.
Gambar 1
Struktur
Pemerintahan Negara
Pembentukan
kabinet yang baik harus didasarkan atas analisis yang cermat dalam menentukan
ruang lingkup maupun kategorisasi urusan pemerintahan yang harus ditangani oleh
setiap kementerian yang dibentuk. Berdasarkan analisis atas urusan pemerintahan
yang akan dikelola oleh pemerintah barulah ditentukan nomenklatur dan struktur
kementeriannya berikut struktur organisasi pendukungnya dan selanjutnya
pengisian personalia yang akan menduduki jabatan menteri dalam suatu kabinet.
Urusan
pemerintahan (bestuurszaak) adalah fungsi-fungsi pemerintahan yang
menjadi hak dan kewajiban setiap tingkatan dan/atau susunan pemerintahan utk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi tersebut yang
menjadi kewenangannya dalam
rangka:
melindungi, melayani, memberdayakan dan menyejahterakan masyarakat. Fungsi
Pemerintahan adalah fungsi dalam melaksanakan Administrasi Pemerintahan yang
meliputi fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan, dan
pelindungan (Pasal 1 angka 2 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan).
Perlu
pula disadari bahwa setiap pembentukan nomenklatur dan struktur organisasi
kementerian akan memiliki keterkaitan dengan pelaksanaan urusan pemerintahan
yang dikelola oleh pemerintah daerah, mengingat adanya kewenangan daerah
berdasarkan dekonsentrasi maupun tugas pembantuan (medebewind). Bahkan,
sejatinya kewenangan desentralisasi yang ditangani di daerah, juga senantiasa
memiliki keterkaitan material-fungsional dengan desain mengenai kewenangan
kementerian di Pusat. Hal ini menunjukkan adanya korelasi antara konsep
pembagian kekuasaan negara secara vertikal (territorial
division of power) dan pembagian kekuasaan secara horisontal (capital division of power). Maka,
analisis mengenai relasi kewenangan secara struktural maupun fungsional dalam
desain kelembagaan kementerian dengan pemerintah daerah menjadi sesuatu yang
tak boleh ditinggalkan.
Gambar 2
Urusan
Pemerintahan
Pembentukan
kabinet harus bertitik tolak dari konsep mengenai pembentukan organisasi
publik. Maka, sesungguhnya hukum organisasi pemerintah memiliki obyek formal dan
material yang dalam pembahasannya akan beririsan dengan banyak bidang keilmuan
misalnya ilmu manajemen maupun ilmu administrasi negara. Hanya saja, hukum
organisasi pemerintah meletakkan studinya pada kajian kerangka hukum terhadap
struktur dan proses pembentukan sampai dengan bekerjanya organisasi-organisasi
pemerintah dalam negara. Harmon dan Mayer [1]menggambarkan
adanya 3 (tiga) arena sehubungan dengan organisasi dan manajemen sektor publik,
yaitu: pertama, Inter-organizational
arena. Suatu arena dimana administrator publik bertindak sebagai wakil dan
agen dari organisasi dalam berhubungan dengan organisasiorganisasi lain. Di
arena ini terjadi hubungan antar organisasi, masing-masing aktor dalam
melakukan hubungan mengemban misi dari organisasi yang diwakilinya. Dalam arena
ini berbagai isu keorganisasian dapat muncul, misalnya bagaimana melakukan
koordinasi antar intansi dalam penyelenggaraan program antar sektor, bagaimana
menciptakan hubungan yang serasi dan dinamis antara intansi pusat dengan daerah,
bagaimana memelihara hubungan antar organisasi pada tingkat lokal, nasional,
regional, atau internasional. Kedua, Intra-organizational
relations. Dalam arena ini yang menonjol adalah struktur internal yang
mendefinisikan hubungan dalam organisasi. Hubungan ini dapat digambarkan dalam
bagan yang menunjukkan siapa menjabat apa, siapa melapor kepada siapa dalam
satu unit organisasi. Disini manusia dalam organisasi bertindak mewakili
peranan individual yang dimainkan (sebagai kepala, sekretaris, atau bendahara)
bukan sebagai pribadi yang utuh. Hal yang ditonjolkan di sini adalah bagaimana
suatu peran berhubungan dengan peran lain. Dalam kerangka hubungan ini kita
dapat membedakan antara organisasi formal dan organisasi informal. Pada
organisasi formal, hubungan yang terjadi adalah dalam kaitanya dengan peran
formal yang secara sah diemban oleh setiap aktor, sedangkan pada organisasi
informal hubungan antar individu terjadi di luar peranan formal tersebut,
tetapi berdasarkan kesepakatan tidak resmi atau tradisi. Dalam arena ini
berbagai isu keorganisasian dapat muncul, misalnya bagaimana menentukan
deskripsi kerja dan kordinasi kerja antar bagian dalam suatu organisasi,
bagaiamana mengatur mekanisme pelaporan yang efisien atau sistem pengendalian
yang efektif, dan sebagainya. Ketiga, Organization
to individual relations. Dalam arena ini hubungan yang terjadi adalah
antara individu yang bertindak di bawah otoritas yang dimilikinya (nisalnya
sebagai manajer atau sebagai kasir) dengan orang-orang lain sebagai pribadi baik
yang ada di dalam atau di luar organisasi. Termasuk dalam kategori ini adalah
hubungan antara manajer (mewakili kepentingan organisasi) dengan pekerja
(mewakili kepentingan pribadi sebagai penjual tenaga), atau antara petugas
lapangan (mewakili kepentingan organisasi) dengan kliennya (mewakili
kepentingan pribadi mereka). Dalam arena ini berbagai isu keorganisasian
penting dapat muncul, misalnya bagaimana memotivasi bawahan, bagaimana
menyelesaikan konflik dalam organisasi, bagaimana menyelenggarakan pelayanan
yang memuaskan kepentingan langganan, dan sebagainya
UU
Kementerian Negara memaknai dan sekaligus mengekspresikan konsep mengenai
organiasasi dan manajemen sektor publik tersebut dengan mengatur antara lain
mengenai: klasifikasi urusan pemerintahan (bestuurszaak);
tugas, fungsi dan susunan organisasi; desain pembentukan (sekaligus
pengubahan/pembubaran) kelembagaan kementerian; hubungan fungsional dan
struktural secara horisontal maupun vertikal ( ke atas maupun ke bawah) lembaga
kementerian dengan supra-struktur maupun infra-struktur yang terkait dengan
pelaksanaan fungsinya.
Konsiderasi
organisasional yang harus disertakan dalam membentuk kelembagaan kementerian
harus mencakup hal-hal yang bersifat universal berikut: a) Planning: suatu proses pengambilan keputusan tentang apa tujuan
yang harus dicapai pada kurun waktu tertentu di masa mendatang dan apa yang
harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Proses tersebut terdiri dari
dua elemen, yaitu penetapan tujuan dan menentukan kegiatan-kegiatan yang harus
dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Fungsi ini menghasilkan dan
mengintegrasikan tujuan, strategi, dan kebijakan. b) Organizing: suatu proses pembagian kerja (division of labour) yang
disertai dengan pendelegasian wewenang. Organizing sangat bermanfaat dalam
memberikan informasi tentang garis kewenangan agar setiap anggota dalam
organisasi bisa mengetahui apa kepada siapa dia memberi perintah dan dari siapa
dia menerima perintah. Organizing juga
diperlukan untuk memperbaiki efisiensi kerja dan kualitas pekerjaan melalui
“synergism” yang baik dimana orang bekerja bersama-sama akan meberikan output
yang lebih besar daripada bekerja secara sendiri-sendiri. Disamping itu,
organizing juga dapat memperbaiki komunikasi. Suatu struktur organisasi yang
jelas dapat menggambarkan garis komunikasi antar anggota. c) Staffing: suatu proses untuk memperoleh
tenaga yang tepat, baik dalam jumlah maupun kualitas sesuai dengan kebutuhan
pekerjaan dalam organisasi. d) Coordinating:
suatu proses pengintegrasian kegiatan-kegiatn dan terget/ tujuan dari berbagai
unit kerja dari suatu organisasi agar dapat mencapai tujuan secara efisien.
Tanpa kordinasi, individu-individu dan bagian-bagian yang ada akan bekerja
menuju arah yang berlainan dengan irama/ kecepatan yang berbeda-beda. Demikian
pula, tanpa koordinasi, masing-masing bekerja sesuai dengan kepentingannya
masing-masing dengan mengorbankan kepentingan organisasi secara keseluruhan. e)
Motivating: suatu proses pemberian
dorongan kepada para anggota organisasi agar mereka dapat bekerja sesuai dengan
tujuan organisasi. Proses tersebut dapat dipahami melalui suatu mekanisme
berikut: Kebutuhan mempnegaruhi dorongan kerja, dan dorongan kerja mempengaruhi
pencapaian tujuan. Berdasarkan mekanisme tersebut, seorang manajer harus
memahami hakekat kebutuhan manusia dan dorongan kerjanya. f) Controlling: suatu fungsi manajemen yang
mencari kecocokan antara kegiatan-kegiatan aktual dengan kegiatan-kegiatan yang
direncanakan. Fungsi tersebut sangat berkaitan dengan perencanaan yaitu
merupakan feedback bagi perencanaan
pada masa yang akan datang. Konsiderasi organisasional tersebut merupakan
langkah selanjutnya pasca penentuan postur kabinet yang akan diberikan kerangka
hukum Perpres yang mengatur baik struktur kementerian maupun organisasi
pendukungnya. Maka, upaya untuk membangun kabinet yang efektif tidak hanya
berkaitan dengan pengisian jabatan menteri, namun justru ketepatan dalam
menyusun organisasi pendukungnya dalam mendesain nomenklatur kementerian
sebagaimana digariskan pada Pasal 4 ayat (2) UU Kementerian Negara.
Sehubungan
pengisian menteri, kiranya baik jika memperhatikan tipologi manajer publik
seperti yang pernah dikemukakan oleh Henry Mintzberg yang bisa dipergunakan
presiden dalam menentukan indikator kompetensi dari para (calon) menterinya.
Mintzberg mengemukan beberapa tipologi dari manajer publik[2].
Pertama, Sosok atau Figur (Figurehead). Seorang Manajer memiliki tanggung jawab terhadap
legal, sosial, seremonial dan juga bertindak sebagai simbol organisasi. Seorang
Manajer diharapkan menjadi sumber inspirasi. Sebagai contoh, seorang Manajer
biasanya akan melakukan hal-hal seremonial seperti menghadiri acara pemootongan
pita peresmian, menandatangani dokumen legal (hukum), menyapa tamu organisasi
dan menjadi tuan rumah resepsi. Kedua, Pemimpin
(Leader).
Seorang Manajer bertugas sebagai pemimpin dalam
Tim, departemen ataupun organisasinya. Menyeleksi dan Melatih karyawanya
serta mengelola kinerja dan memotivasi karyawannya. Ketiga, Penghubung (Liaison). Seorang Manajer harus membangun dan menjaga
komunikasi dengan kontak Internal organisasi maupun kontak eksternal organisasi.
Contohnya berpartisipasi dalam pertemuan dengan perwakilan dari
divisi/departemen lain atau organisasi lainnya. Keempat, Informational Roles (Peran Informasional) Pada Peran Informasional
ini, Seorang Manager berperan sebagai pengelola Informasi. 3 Peran yang
tergolong dalam Informational Roles
adalah sebagai berikut : 1. Pemantau (Monitor) Dalam Peran Pemantau ini, seorang manajer
berperan sebagai pencari informasi yang berkaitan dengan industri dan
organisasinya. Seorang Manajer juga memantau tim yang dipimpinnya baik dari
segi produktivitas, kinerja maupun kenyamanan kerja anggota timnya; 2. Penyebar Informasi (Disseminator). Setelah mendapatkan
informasi, seorang manajer harus menyebarkan dan mengkomunikasikan informasi
tersebut ke orang lain yang ada di dalam organisasinya atau mengkomunikasikan
informasi tersebut ke anggota timnya ataupun karyawan yang berkaitan lainnya di
dalam organisasi. Contoh peran penyebar informasi seorang manajer seperti
menyampaikan memo, email atau laporan kepada bawahannya mengenai informasi dan
keputusan yang telah diambil; 3. Juru
Bicara (Spokesperson). Seorang Manajer juga
berperan sebagai Juru Bicara yang meneruskan informasi tentang organisasinya
dan tujuan organisasinya ke pihak luar.
Gambar 3
Pola
Organisasi Menurut Henry Minzberg
Jika
mengacu pada gambaran mengenai pola organisasi yang pernah digambarkan oleh
Henry Mintzberg, jabatan menteri yang menduduki struktur strategis, perlu
ditopang oleh unsur-unsur-unsur middle
line, operating core, technostructure maupun support staff yang mampu menjabarkan visi dan misi Presiden dalam
kerangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang dijabarkan ke dalam
Rencana Kerja Pemerintah (RKP), Rencana Strategis Kementerian/Lembaga (Renstra
K/L) dan Rencana Kerja Kementerian/Lembaga (Renja K/L). Maka, postur kabinet
juga akan berkaitan dengan grand design
yang ditentukan untuk melaksanakan visi dan misi Presiden dan kemampuan dari
menteri yang dipilih untuk menyesuaikan postur ideal unsur-unsur kelembagaan di
atas. Dalam mendesain organisasi ada empat keputusan dasar yang perlu diambil.
Keputusan itu mencakup pembagian pekerjaan (division
of labor), pendelegasian wewenang (authority
delegation), pengelompokan tugas (departmentalization),
dan yang terkait dengan span of control.
Setelah pekerjaan dibagi-bagi perlu dipertimbangkan bagaimana melakukan
koordinasi. Mekanisme koordinasi ini dapat dilakukan dengan lima cara yaitu (1)
mutual adjustment, (2) direct supervision, (3) work process standardization, (4) standardization of output, (5) standardization of skills (input).
Struktur organisasi dapat dibagi menjadi lima bagian menurut tugas dan
fungsinya, yaitu (1) strategic apex
yang berfungsi sebagai koordinator keseluruhan aktivitas organisasi, (2) operating core yang bertugas untuk
melakukan pekerjaan pokok dari organisasi, (3) middle line yang menjembatani strategic
apex dan operating core, (4) technostructure yang berfungsi sebagai
analis dan penyusun standard, serta (5) support
staff yang berfungsi sebagai pendukung kehidupan organisasi.
3. Kementerian dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Formulasi Pasal 17 ayat (3) UUD 1945 naskah asli tidak
memberikan kejelasan dalam praktiknya. Pasal 17 ayat (3) yang menyatakan bahwa
“Menteri-menteri itu memimpin departemen pemerintahan” dalam praktik tidak
terwujud sebagaimana dalam formulasi ayatnya. Artinya, dalam penafsitan
harafiah setiap menteri akan membawahi
departemen. Keberadaan Menteri Negara Peranan Wanita dan Menteri-menteri
lain yang tidak membawai Deparetemen pada Kabinet Pembangunan VII di masa
Presiden Soeharto menunjukkan hal itu. Secara positivistik hal ini tidak
sesesuai dengan konstitusi UUD 1945.
Amandemen UUD 1945, yang didalamnya termasuk amandemen
terhadap Pasal 17 ayat (3)[3] setidak-tidaknya
memberikan legalitas keberadaan kemenetrian dalam praktik ketatanegaraan di
Indonesia pasca amandemen, yang pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan postur
kemetrian negera dalam pemerintahan menurut UUD 1945 naskah asli. Keberadaan kementerian
yangh tidak memiliki departemen dapat diberikan justifikasinya melalui
formulasi Pasal 17 ayat (3) yang secara substantif berbeda. Pasal 17 ayat (3)
UUD amandemen menyatakan “Setiap menteri membidangi
urusan tertentu dalam pemerintahan”.
Formulasi Pasal ini jelas tidak menentukan bahwa suatu kementerian harus
membawai depertemen. Formulasi Pasal 17 ayat (3) yang tidak menentukan bahwa
kementerian harus membawai departemen membawa implikasi tidak hanya pada aspek
kelembagaan, yaitu dengan dibentuknya Kantor-kantor Wilayah di setiap Provinsi dan Kabupaten/Kota
sebagai konsekuensi asas dekonsentrasi
yang dianut oleh UU No. 23 tahun 2014, tetapi juga akan berimplikasi pada aspek Sumber Daya Manusia yang diperlukan
untuk mengelola Departemen dan Kantor-kantor Wilayah . Lebih-lebih bila mendasarkan pada UU NO. 23 tahun 2014, dimana penerapan dekonsentrasi tidak hanya dilakukan pada
wilayah Provinsi tetapi juga pada wilayah Kabupaten/Kota.[4] Persoalan-persoalan tadi dapat dipastikan juga
akan berimplikasi pada persoalan anggaran negara.
Pasal 17 UUD 1945 naskah
asli tidak memberikan delegasi wewenang
untuk membentuk UU Kementerian Negara. Hal ini membawa konsekuensi, kementerian
negara menjadi hak prerogatif presiden dalam menentukan departemen dan jumlah
kememteriannya. “Pembatasan” hanya terletak pada kebutuhan dalam
menyelenggarakan dan mencapai pembangunan. Berbeda halnya dengan UUD 1945
amandemen, Pasal 17 ayat (4) yang menyatakan “Pembentukan, pengubahan,
dan pembubaran kementerian
negara diatur dalam undang-undang”.
Hal ini dengan tegas menunjukkan adanya
delegasi wewenang untuk membentuk UU Kemeneterian Negara.
Berlakunya UU No. 39 tahun
2008 sedikit banyak membawa implikasi setidak-tidaknya dalam menentukan kementerian
negara dalam susunan kabinet. Yang pasti, terkait dengan jumlah kementerian
negara tidak boleh lebih dari 34 (tiga puluh empat) kementerian, sebagaimana
diatentukan dalam Pasal 4 ayat (1). Dalam hal ini Presiden melalui hak konstitusionalnya
memiliki wewenang untuk menentukan kementeriannya sesuai dengan visi, misi dan
program kerjanya. Namu demiki terdapat 3
(tiga) kementerian yang harus dibentuk oleh setiap Presiden, yaitu Menteri Luar
Negeri, Menteri Dalam Negeri dan <emteri Pertahanan. Keberadaan tiga
kemnterian ini dapat dikorelasikan dengan ketentuan Pasal 8 ayat (3). Dalam
arti bahwa, kewajiban dibentuknya tiga menteri ini adalah untuk mengantisipasi
dan menjadi solusi ketika terjadi pristiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (3), dimana ketiga menteri ini akan melaksanakan tugas kepresidenan selama
Presiden dan Wakil Presiden belum terpilih manakala Presiden dan Wakil Presiden
mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam
masa jabatannya secara bersamaan.
Adapun kementerian-kementerian lainnya dapat dibentuk
dengan memperhatian Pasal 5 ayat (2) yaitu kementerian-kementerian dalam urusan pemerintahan
yang ruang lingkupnya disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang meliputi; meliputi urusan agama, hukum,
keuangan, keamanan, hak
asasi manusia, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, sosial,
ketenagakerjaan, industri, perdagangan, pertambangan, energi, pekerjaan umum,
transmigrasi, transportasi, informasi, komunikasi, pertanian, perkebunan,
kehutanan, peternakan, kelautan, dan perikanan. Di samping itu juga harus
memperhatikan Pasal 5 ayat (3) yaitu kementerian-kementerian
dalam urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan
sinkronisasi program
pemerintah yang meliputi; meliputi
urusan perencanaan pembangunan nasional,
aparatur negara, kesekretariatan negara, badan usaha milik negara,
pertanahan, kependudukan, lingkungan hidup, ilmu pengetahuan, teknologi,
investasi, koperasi, usaha kecil dan menengah, pariwisata, pemberdayaan
perempuan, pemuda, olahraga, perumahan,
dan pembangunan kawasan
atau daerah tertinggal.
Konsekuensi sistem
pemerintahan Presidensiil adalah, bahwa Presiden memiliki kekuasaan memilih dan
memberhentikan menteri-menteri, dan menteri-menteri bertanggung jawab kepada
Presiden. Kekuasaan ini menjadi salah satu parameter dari sistem pemerintahan
Presidensiil sebagaimana dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie dalam bukunya
Pokok-pokok Hukum tata Negara Pasca Reformasi
dan Douglas V. Verney dalam “Parliamentery Government and Presidential
Government dengan dengan istilah “the President appoints head of departmens who
are his subordinate.[5]
Sistem pemerintahan presidensiil
sendiri tidak lepas dari kelebihan dan kelemahan. Kelebihan dari sistem presidensial adalah[6] :
1.
Cabang eksekutif adalah
posisi yang lebih stabil dikarenakan oleh eksekutif yang tidak tergantung
kepada parlemen.
2.
Masa jabatan badan
eksekutif lebih jelas dengan adanya jangka waktu tertentu. Seperti misalnya
seperti, presiden Amerika serikat 4 tahun, Presiden Indonesia 5 tahun,
sedangkan Presiden Filipina ialah 6 tahun.
3.
Penyusunan program kerja
kabinet mudah untuk disesuaikan dengan jangka waktu masa jabatannya.
4.
Legislatif bukan tempat
regenerasi untuk posisi eksekutif disebabkan legislatif bisa diisi oleh orang
luar, termasuk juga anggota parlemen.
Adapun
kelemahannya adalah:
1.
Kekuasaan eksekutif di luar pengawasan langsung legislatif sehingga bisa menciptakan
kekuasaan mutlak.
2.
Sistem Akuntabilitasnya tidak terlalu
3.
Pengambilan keputusan ataupun kebijakan publik umumnya hasil dari
tawar-menawar antara eksekutif dan juga legislatif, sejauh tidak keputusan
tegas
4.
Membuat keputusan yang membutuhkan waktu cukup lama
Sistem Presidensiil sebenarnya sudah mejadi cita-cita para founding fathers.[7] yang kemudian dipraktikkan
terutama pada masa pemerintahan Orde baru. Namun apabila diukur dari parameter
sistem Presidensil dalam praktiknya -
setidak-tidaknya sampai amandemen UUD 1945-, tidak menunjukkan ciri
sistem Presidensiil yang sesungguhnya. Jimly Asshiddiqie mengatakannya sebagai quasi
prsidentil[8]. Atau sistem pemerintahan
Presidensiil yang juga mengambil unsur-unsur dari sistem pemerintahan
oarlkementer dan melakukan pembaharuan untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan
dalam sistem presidesiil.[9] Salah satu kesepakatan
dasar dalam amandemen UUD 1945, yaitu muwujudkan Sistem Presidensiil Murni yang
kemudian diwujudkan dalam Pasal 4, Pasal 6 A ayat (1), Pasal 7, Pasal 7 C, Pasal
10 sampai dengan Pasal 15 dan Pasal 17 menjadi tonggak mulai dilaksanakannya
Sistem Presidjuga apa yang disampaikan oleh Jimensiil Murni.
4.
Dilema antara Kabinet Ahli dan
Kabinet Koalisi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kabinet dapat berarti badan
atau dewan pemerintahan yang terdiri atas para menteri atau kantor kerja
(terutama bagi presiden, perdana menteri, dan sebagainya). Dengan demikian kabinet
dapat dipahami sebagai cabang kekuasaan yang dalam Konsep
Montesqueau adalah lembaga eksekutif. lembaga eksekutif ini sebagai lembaga
pelaksana undang-undang yang sudah ditetapkan dan menjalankan fungsi
pemerintahan di suatu negara. Lembaga eksekutif ini meliputi presiden dan wakil
presiden, menteri, pemerintah di tingkat daerah seperti gubernur,
bupati/walikota, camat, dan kades/lurah. Lembaga eksekutif ini lebih kita kenal
dengan nama pemerintah.[10] Dalam konteks Sistem
Presidensiil, lembaga eksekutif menunjuk pada Presiden, Wakil Presiden dan
jajaran menteri-menterinya.
Pasca amandemen UUD 1945 juga ditandai dengan sistem multi partai dalam
kehidupan partai di Indonesia. Munculnya Pasal 6 A ayat (2) dan diterapkannya Presidential Threshold yang cukup tinggi
menyebabkan pasangan Presiden/Wakil Presiden memerlukan dukungan dari gabungan
partai politik dalam proses Pemilihan Umum Presiden/Wakil Presiden atau
sebaliknya partai oilitik harus bergabung dengan partai politik lain agar memenuhi Presidential Threshold untuk dapat
mengusung pasangan Presiden/Wakil Presiden. Disinilah muncul hubungan simbiose mutualistis. Kondisi ini
secara langsung akan berdampak pada proses pembentukan kabinet dalam menyusun
kementerian negara. Politik
“balas budi” sering menyandera Presiden dalam membentuk kabinetnya, meski
Presiden memilik hak konstitusional dan hak prerogative.
Program
kerja yang dikampanyekan merupakan janji yang harus direalisasikan, baik dalam
rencana program tahunan maupun program 5 (lima) tahunan. Untuk mencapai rencana
program kerja, peranan ahli menjadi sangat penting. Namun dengan menyerahkan
kepada (sebagian besar) ahli (baca: kaum profesional) non partisan yang akan
duduk dalam kabinet dengan membentuk kabinet ahli (zaken cabinet) tentu akan
menimbulkan persoalan tersendiri. Begitu
pula sebaliknya jika kabinet hanya diisi oleh politisi partai yang mungkin
tidak sesuai dengan bidang tugas yang diembannya juga akan menimbulkan persoalan yang tidak mudah,
ditambah lagi bila partai-partai politik pendukung memiliki konsep pembangunan,
atau ideologi yang berbeda.
Melihat
kondisi riil system politik di Indonesia, politisi yang ahli atau ahli yang
politisi, atau komposisi proporsional antara ahli dan politisi tampaknya
menjadi pilihan yang “ideal”. Artinya, partai politik pendukung harus
benar-benar menempatkan kadernya yang memiliki keahlian sesuai dengan yang
dibutuhkan. Di sini “political wiil”
dari partai politik perlu lebih dikedepankan.
Tidak
mungkin dibentuk kabinet yang benar-benar
ideal, lebih-lebih dalam system multi partai yang orientasinya pada kekuasaan. Tetapi
membentuk kabinet yang efektif merupakan keharusan.
D. Penutup (Kesimpulan
dan Rekomendasi)
a. Kesimpulan
1. Desain mengenai postur
kabinet dan komposisi menteri untuk membentuk kabinet yang efektif harus
mempertimbangkan konsep mengenai urusan pemerintahan yang terkait dengan capital division of power dan territorial division of power, teori
mengenai hukum organisasi publik, struktur kelembagaan organisasi publik dan
indikator kompetensi dalam pengisian calon menteri dalam kabinet.
2. Melihat kondisi riil
dalam perpolitian di Indonesia, mewujudkan
postur kabinet yang ideal adalah suatu hal yang tidak
mungkin. Di sisi lain, membentuk kabinet yang efektif hanya dengan membentuk kabinet ahli atau hanya dengan membentuk
kabinet koalisi adalah pilihan yang tidak mungkin juga . Kabinet yang efektif
dengan kombinasi antara kabinet ahli dengan kabinet koalisi atau komposisi
proporsional para ahli dan politisi bisa
menjadi jalan keluar meskipun juga masih bersifat hipotesis.
Daftar Pustaka
Djajadi
Hanan,(2014), Menakar Presidensialisme
Multipartai di Indonesia – Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan
Dinamis Dalam Konteks Indonesia, Mizan, Bandung.
Harmon,
Michael M. dan Richard T. Mayor,(1986),
Organization Theory for Public Administration, Boston: Little, Brown &
Co.
Jimly
Asshiddiqie (2015), Penguatan Sistem Pemerintahan dan Peradilan, Jakarta, Sinar Grafika.
Mintzberg,
Henry, (1993) Structure in Fives –
Designing Effective Organizations, Prentice Hall Inc., USA,
Riawan
Tjandra. W, (2018),Hukum Administrasi
Negara, Jakarta, Sinar Grafika.
Sali
Isra, (2019), Sistem Pemerintahan Indonesia, Pergulatan Ketatanegaraan Menuju
Sistem Pemerintahan Presidensiil, Depok, Rajawali Pers
Riawan Tjandra. W, (2018),Hukum
Administrasi Negara, Jakarta. Sinar Grafika,
Saiful
Mohtar
https://www.kompasiana.com/ms/59a6884457c78c040d5b64e2/lembaga-eksekutif-dalam-ketatanegaraan-indonesia
(diakses tanggal 5 Agustus 2019)
Zulkarnain. H, (2019), Perbandingan Sistem Pemerintahan,
Bandung, Pustaka Setia
Internet:
BIODATA PENULIS
Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum adalah Dosen tetap pada Fakultas Hukum Universitas Atma jaya Yogyakarta. Lahir di Madiun, Jawa Timur, tanggal16 Mei 1969. Lulus dengan
predikat cumlaude dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang
pada tahun 1993 . Menyelesaikan Magister dengan predikat cumlaude dari Magister Hukum Bidang Konsentrasi Hukum Kenegaraan Program Pascasarjana Universitas
Gadjah Mada pada tahun 2003. Kemudian menyelesaikan Program
Doktor Ilmu Hukum Bidang Hukum Administrasi Negara UGM tahun 2009 dengan
predikat cumlaude.
Disamping sebagai Ketau bagian Hukum Administrasi Negara, juga mengajar pada
Program S2 dan S3 baiak di Perguruan Tinggi negeri maupun Perguruan Tinggi
Swasta. Beberapa pelatihan/penataran/kurusus juga pernah diikuti seperti:
Penataran Belajar
Mengajar Kopertis (1994), Penataran Penelitian Kopertis (1996). Pelatihan Bantuan Hukum LBH UII (1998) , Lokakarya
Class Action yang diselenggarakan oleh YLBHI – LBH Jakarta pada tahun 2000, Kursus
Perijinan Lingkungan yang diselenggarakan oleh BKPSL & Lemlit Universitas
Airlangga Surabaya pada tahun 2000, Kursus Comparative Administrative Law
UGM-Maastricht (2006), dan Training of Materials Budget Oversight LGSP-USAID
(2009). Dr. W. Riawan Tjandra, S.H.,
M.Hum juga menjadi narasumber dalam berbagai forum ilmiah, menulis artikel di
beberapa surat kabar nasional dan menelusi beberapa buku seperi;
“Teori dan Praktik PTUN”, “PTUN: Upaya
Mendorong Terwujudnya Pemerintah yang Bersih dan Berwibawa”, “Demokrasi Melawan Kekuasaan Melalui PTUN”,
Dinamika Peran Pemerintah Dalam Perspektif Hukum Administrasi, “Litis Domini
Principle”, “Democratic Good Governance, “Hukum Keuangan Negara”, dan “Hukum Sarana
Pemerintahan”.
Yohanes
Hartono, SH., M Hum adalah dosen tetap di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
sejak tahun 1987 sampai sekarang. Menyelesaikan Sarjana di Fakultas Hukum di Universitas Gadjah
Mada Jurusan Hukum Tata Negara dan
Pascasarjana di Universitas Padjadjaran Jurusan Hukum Kenegaraan. Sejak Tahun
2018, memegang Jabatan sebagai Direktur Pusat Bantuan dan Konsultasi Hukum
(PBKH) Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Di samping itu juga
sebagai TA Bidang Penyusunan Produk
Hukum daerah pada Konsultas PT. Ciptaning, / CV Wisanggeni, Magelang, 2006 –
sekarang. Beberapa penelitian/kajian yang telah dilakukan antara lain;
Eksisitensi Hukum Adat Byak-Numfor Provinsi Papua (Kelompok) –(Kerja sama
Fakultas Hukum UAJY dengan Pemerintah Provinsi Papua) – 2008; Eksisitensi Hukum Adat Sentani Provinsi Papua
(Kelompok) – 2009 (Kerja sama Fakultas Hukum UAJY dengan Pemerintah Provinsi
Papua) – 2009; Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (Kajian dari Aspek Hukum
Pertanahan, Hukum Tata Negara dan Hukum Adat), 2010, Program Penelitian DEWAN
PERWAKILAN DAERAH RI; Pandangan Pemilih Pemula Terhadap Pemilihan Umum di
Indonesia (Analisis pandangan Siswa SMA
Pangudi Luhur Van Lith terhadap Pemilu di Indonesia) 2014; Urgensi Penyusunan
Undang-Undang Tentang Penyandang Disabilitas, 2014 (Program Penelitian DEWAN
PERWAKILAN DAERAH RI). Pengaturan
Desentralisasi Asimetris Di Daerah
Istimewa Yogyakarta (Kajian Terhadap Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Sebagai
Pelaksanaan Desentralisasi Asimetris Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2012 Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta), 2017.
Pelatihan yang pernah diikuti antara lain; Problem Based
Learning (Kerjasama Fakultas Hukum UAJY dan CILC (Belanda)- 2006; Indonesian –
Dutch Training of Legislatif Drafters (Kerjasama Kementrian Hukum dan HAM RI
dengan CILC (Belanda) – 2010; TOT (Training for Trainers) Pancasila, UUD 1945,
NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika (Penyelenggara Setjend MPR RI) – 2014.
Kegiatan organisasi profesi yang dikuti; sebagai Ketua II
Assosiasi Pengajar Hukum Tata Negara/Hukum Adminstrasi Negara Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta 2005 – 2009; sebagai Kepala Divisi Penelitian dan Pengembangan Assosiasi
Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (APHAMK) DPD Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta 2010 – 2015, Koordinator Divisi Pendidikan dan Pengajaran Assosiasi
Pengajar Hukum Tata Negara/Hukum Adminstrasi Negara, Daerah Istimewa Yogyakarta
2017 – 2022. Saat ini juga menjabat sebagai
Wakil Ketua I. Ikatan Keluarga Alumni
Lemhannas (IKAL) Komisariat
Daerah Istimewa Yogyakarta (2017 – 2022).
[1] Harmon,
Michael M. dan Richard T. Mayor
(1986), Organization Theory
for Public Administration, Boston: Little, Brown & Co.
[2]
Mintzberg on
Management: Inside our Strange World of Organizations yang
dikutip dalam https://ilmumanajemenindustri.com/10-peran-manajer-dalam-organisasi-menurut-mintzberg/
[3]
Amanademen UUD 1945 di sampiing
mengubah formulasi ayat-ayat juga menambah 1 (satu) ayat, yaitu ayat (4)
[4]
Penerapan asas dekonsentrasi ini
berbeda ketika berlaku UU No. 32 Tahun 2004 yang menerapkan asas dekonsentrasi
hanya pada wilayah Provinsi saja.
[5] Lihat dalam Sali Isra, (2019), Sistem
Pemerintahan Indonesia, Pergulatan Ketatanegaraan Menuju Sistem Pemerintahan
Presidensiil, Depok, Rajawali Pers, h. 34
[7] Lihat dalam Jimly Asshiddiqie (2015), Penguatan Sistem Pemerintahan dan Peradilan, Jakarta, Sinar Grafika, h. 57
[8]. Ibid..
h. 59
[9] H. Zulkarnain (2019), Perbandingan Sistem Pemerintahan, Bandung, Pustaka Setia, h. 235
[10] https://www.kompasiana.com/ms/59a6884457c78c040d5b64e2/lembaga-eksekutif-dalam-ketatanegaraan-indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar