Revitalisasi GBHN dalam Sistem Ketatanegaraan
oleh: Dr. W. Riawan Tjandra
willyriawan@yahoo.com
Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Pemikiran dan kegelisahan untuk merevitalisasi
GBHN dalam siatem ketatanegaraan RI merepresentasikan keinginan untuk memiliki kembali
sebuah sistem perencanaan yang bersifat fundamental dan komprehensif guna menentukan
arah pembangunan negara. Gagasan semacam itu secara strategis diperlukan untuk mencari
solusi yang mendasar terhadap absennya visi jangka panjang sebuah bangsa yang dihadapkan
pada kompleksitas permasalahan yang membutuhkan pranata penyelesaian berdasarkan
pedoman yang bersifat komprehensif dan tidak mudah disubordinasi oleh kepentingan
politik jangka pendek suatu rezim, yang dalam sebuah sistem demokrasi hanya berkuasa
secara temporer dan harus selalu memperbarui kontrak politiknya dalam periodisasi
waktu tertentu.
Di era berlakunya UUD 1945 (naskah asli), GBHN
sebagai suatu haluan negara lazimnya diundangkan dalam wadah hukum Ketetapan MPR
(TAP MPR) yang didasarkan pada Pasal 3 UUD 1945, yang mengatur bahwa MPR menetapkan
UUD dan garis-garis besar daripada haluan negara. Pada saat dilakukan amandemen
UUD 1945 dilaksanakan, sejalan dengan perubahan kedudukan dan kewenangan MPR yang
hanya dijadikan suatu joint session dari
DPR dan DPD, kewenangan MPR sebagaimana yang pernah dimiliki vide Pasal 3 UUD 1945
(naskah asli) diubah yang berimplikasi terhadap tiadanya lagi kewenangan menetapkan
TAP MPR. Sebagai konsekuensinya, sistem perencanaan jangka panjang sebagai kebutuhan
dalam penyelenggaraan pemerintahan dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang
(RPJP) yang diatur melalui suatu undang-undang. Tentu saja, jika dicermati,
eksistensi sistem perencanaan jangka panjang tersebut memiliki perbedaan dengan
sistem GBHN. Ditinjau dari dasar hukumnya, jika semula GBHN memiliki landasan
pembentukan secara konstitusional dalam UUD 1945 dan landasan eksistensial
suatu TAP MPR, RPJP memiliki landasan undang-undang. Karena dasar hukumnya suatu
undang-undang maka pembuatan RPJP hanya dihasilkan melalui proses legislasi
reguler. Maka, nuansa politik dalam proses pembentukannya sebangun dengan
proses pembentukan sebuah undang-undang, demikian pula dalam implementasinya.
Maka, kerinduan terhadap hadirnya kembali sistem GBHN pada hakikatnya merupakan
sebuah upaya untuk mengkritisi pola perencanaan model RPJP tersebut. Meskipun
secara ketatanegaraan membutuhkan sebuah terobosan hukum (legal breakthrough),
perlu diakui bahwa pemikiran tersebut perlu diberikan ruang akomodasi.
Kedudukan TAP MPR tidak bisa dipisahkan dengan
kedudukan dan kewenangan MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Amandemen
UUD 1945 pasca reformasi membawa konsekuensi terhadap kedudukan serta
kewenangan yang melekat kepada MPR. Salah satu perubahan penting dalam UUD 1945
yang mempengaruhi kedudukan dan kewenangan MPR adalah perubahan pada bagian
bentuk dan kedaulatan Negara khususnya pada Pasal 1 ayat (2) UUD. Sebelum
amandemen disebutkan bahwa, “Kedaulatan
adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Sedangkan setelah amandemen
dirubah menjadi, “Kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang." Perubahan yang
signifikan juga terlihat pada Pasal 3 UUD 1945. Jika sebelum amandemen MPR
diberikan kewenangan untuk menetapkan Garis-Garis Besar daripada Haluan Negara
(GBHN), maka pasca amandemen kewenangan tersebut sudah tidak diberikan lagi. Dimasa
lalu, konsekuensi dari kedudukan dan kewenangan MPR untuk menetapkan Garis-Garis
Besar daripada Haluan Negara (GBHN), mengakibatkan eksistensi TAP MPR(S)
sebagai salah satu pengaturan perundang-undangan yang memuat pengaturan. Hal
ini kemudian semakain dipertegas dengan adanya Ketetapan MPRS Nomor
XX/MPRS/1966 yang menempatkan TAP MPR sebagai salah satu peraturan
perundang-undangan yang memiliki derajat di bawah UUD. Namun menurut Mahfud MD,
Pemosisian TAP MPR sebagai peraturan perundang-undangan dalam derajat kedua (di
bawah UUD 1945) sebenarnya hanyalah tafsiran MPRS saja, sebab UUD sendiri tidak
menyebutkan bahwa TAP MPR itu harus berisi pengaturan (regeling) dan berbentuk peraturan perundang-undangan. Menetapkan itu
sebenarnya dapat hanya diartikan sebagai penetapan (beschikking) yang bersifat konkrit, individual.Secara umum,
implikasi dari perubahan UUD 1945, tentu saja memberikan akibat perubahan
kedudukan dan kewenangan MPR pula
Di era reformasi, cukup banyak yang beranggapan
bahwa TAP MPR merupakan perpanjangan tangan dari kekuasaan untuk membuat
peraturan-peraturan tertentu yang menguntungkan atau melegitimasi kepentingan
kekuasaan. Sempat berkembang istilah “sunset
clause”, yakni upaya sedikit demi
sedikit untuk menghapus TAP MPR sebagai sumber hukum dalam sistem
perundang-undangan Indonesia. Logika ini yang kiranya mendasari proyek evaluasi
yang disertai penghapusan secara besar-besaran terhadap TAP MPR(S) pada tahun
2003 melalui Sidang Umum (SU) MPR. Mahfud MD menyebut agenda ini sebagai “Sapu Jagat”, yakni TAP MPR yang menyapu semua TAP MPR(S) yang
pernah ada untuk diberi status baru, Puncak dari agenda “sunset clause”
dan “sapu jagat” ini adalah diterbitkannya Undang-undang Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang tidak
memasukkan TAP MPR sebagai salah satu sumber hukum.
Meskipun MPR tidak lagi berwenang membentuk
Ketetapan, namun masih terdapat kategori TAP MPR yang masih tetap berlaku dan
tidak dapat dicabut atau diganti dengan undang-undang, serta kategori TAP MPR
yang dapat masih berlaku sepanjang belum diatur dalam UU.Ketetapan-ketetapan
MPR yang masih tetap berlaku dan tidak dapat dicabut atau diganti dengan
undang-undang adalah: TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai
Komunis Indonesia yang merupakan pernyataan sebagai organisasi terlarang di
seluruh wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan
larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran
Komunis/Marxisme Lenisme.
TAP MPR versi UU No.
12 Tahun 2011
Sebenarnya, sebagai dampak adanya kritik yang dialamatkan
terhadap UU No. 10 Tahun 2004, TAP MPR kini dihadirkan kembali melalui Pasal 7 ayat
(1) huruf b UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Namun, penjelasan terhadap pasal itu menyatakan bahwa yang dimaksud "Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat" adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan yang masih berlaku sebagaimana dimaksud
dalam Padal 2 dan Pasal 3 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI Nomor I/MPR/2003
tentang Peninjauan Tethadap Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Sementara
dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal
7 Agustus 2003. Pilihan pembentuk UUD Negara RI 1945 pasca-amandemen untuk mengintegrasikan
weak bicameralism dalam sistem parlemen
telah mengubah konstelasi ketatanegaraan terkait kedudukan dan kewenangan MPR serta
fungsi legislasi parlemen. Semula, perubahan sistem parlemen yang dianut tersebut
dimaksudkan untuk memperkuat kedudukan parlemen sebagai representative assemblies
(perwakilan) dan deliberative assemblies (pengawasan
anggaran dan administrasi pemerintahan). Namun, kian menguatnya wacana untuk kembali
memperkuat MPR yang mampu menghadirkan kembali TAP MPR sebagai haluan negara yang
bersifat fundamental dan komprehensif, bisa mengawali diskursus seputar sistem parlemen
3 kamar (tricameralism), yang memang juga
dikenal sebagai salah satu varian sistem parlemen dalam perspektif teori ketatanegaraan.
Maka, gagasan mengenai perlunya GBHN merupakan sebuah isu konstitusional yang perlu
direspons secara konstitusional.
TAP MPR dalam Tricameralisme
Pemikiran untuk mengelaborasi sistem trikameral
justru berangkat dari kelemahan yang terdapat pada penerapan sistem bikameral sebagaimana
pernah dikemukakan oleh Tsebelus dan Money bahwa checks and balances sulit terwujud
dalam relasi antar-kamar dalam sistem bikameral, jika: "in those cases where
the upper house is merely consultative and the lower house has ultimate power of
decision, bicameralism does not create a system of checks and balances". Giovanni
Sartory mengemukakan 2 (dua) perbedaan pada pengaturan mengenai sistem bikameral,
yaitu: equal-non equal power dan similarity - differentiation antara kedua
kamar. UUD Negara RI 1945 bergerak di antara weak (assymetric) bicameralism dan strong (symmetric) bicameralism.
Mulai menguatnya trikameralisme gagasan mengenai
sistem parlemen yang dianut, menghendaki agar revitalisasi kedudukan dan kewenangan
MPR dengan salah satu wewenangnya untuk membentuk TAP MPR dengan kekuatan hierarkhis
dalam sistem legislasi dilakukan dengan atribusi sistem trikameral. Sistem trikameral
merupakan sebuah varian sistem parlemen yang terdiri dari 3 (tiga) kamar, yang masing-masing
memiliki kewenangan sesuai dengan fungsi dari parlemen (representative assemblies dan deliberative
assemblies), memiliki anggota sendiri yang merupakan wakil dari warga negara
dengan kategori tertentu dan memiliki kelembagaan tersendiri serta aturan tersendiri
tentang prosedur dalam lembaga tersebut.
GBHN dengan kekuatan hirarkis sebagai landasan
hukum kebijakan merupakan salah satu kulminasi dari trikameralisme. Hadirnya TAP
MPR RI dalam hirarki sistem legislasi menurut UU No. 12 Tahun 2011 bisa dielaborasi
lebih jauh dari sebuah keinginan untuk adanya norma perencanaan yang bersifat fundamental-komprehensif
dan mengandung visi kenegaraan jangka panjang. Contoh dari penerapan sistem trikameral
terlihat dari negara Islamic Republic of
Afganistan (Loya Jirga) dan Constitution
of the Republic of China (National Assembly). Namun, kewenangan yang diatribusikan
pada MPR RI jika dilakukan perbandingan dengan negara-begara yang menggunakan sistem
trikameral terlihat bersifat anomali karena kewenangannya yang amat terbatas. Bahkan,
memerlihatkan keraguan untuk memilih diantara sistem bikameral dan trikameral. Pengembalian
kedaulatan legislasi MPR nerupakan bagian dari upaya purifikasi sistem trikameral.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar