Minggu, 03 Mei 2020


Revitalisasi GBHN dalam Sistem Ketatanegaraan
oleh: Dr. W. Riawan Tjandra
willyriawan@yahoo.com
Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta

    Pemikiran dan kegelisahan untuk merevitalisasi GBHN dalam siatem ketatanegaraan RI merepresentasikan keinginan untuk memiliki kembali sebuah sistem perencanaan yang bersifat fundamental dan komprehensif guna menentukan arah pembangunan negara. Gagasan semacam itu secara strategis diperlukan untuk mencari solusi yang mendasar terhadap absennya visi jangka panjang sebuah bangsa yang dihadapkan pada kompleksitas permasalahan yang membutuhkan pranata penyelesaian berdasarkan pedoman yang bersifat komprehensif dan tidak mudah disubordinasi oleh kepentingan politik jangka pendek suatu rezim, yang dalam sebuah sistem demokrasi hanya berkuasa secara temporer dan harus selalu memperbarui kontrak politiknya dalam periodisasi waktu tertentu.
    Di era berlakunya UUD 1945 (naskah asli), GBHN sebagai suatu haluan negara lazimnya diundangkan dalam wadah hukum Ketetapan MPR (TAP MPR) yang didasarkan pada Pasal 3 UUD 1945, yang mengatur bahwa MPR menetapkan UUD dan garis-garis besar daripada haluan negara. Pada saat dilakukan amandemen UUD 1945 dilaksanakan, sejalan dengan perubahan kedudukan dan kewenangan MPR yang hanya dijadikan suatu joint session dari DPR dan DPD, kewenangan MPR sebagaimana yang pernah dimiliki vide Pasal 3 UUD 1945 (naskah asli) diubah yang berimplikasi terhadap tiadanya lagi kewenangan menetapkan TAP MPR. Sebagai konsekuensinya, sistem perencanaan jangka panjang sebagai kebutuhan dalam penyelenggaraan pemerintahan dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) yang diatur melalui suatu undang-undang. Tentu saja, jika dicermati, eksistensi sistem perencanaan jangka panjang tersebut memiliki perbedaan dengan sistem GBHN. Ditinjau dari dasar hukumnya, jika semula GBHN memiliki landasan pembentukan secara konstitusional dalam UUD 1945 dan landasan eksistensial suatu TAP MPR, RPJP memiliki landasan undang-undang. Karena dasar hukumnya suatu undang-undang maka pembuatan RPJP hanya dihasilkan melalui proses legislasi reguler. Maka, nuansa politik dalam proses pembentukannya sebangun dengan proses pembentukan sebuah undang-undang, demikian pula dalam implementasinya. Maka, kerinduan terhadap hadirnya kembali sistem GBHN pada hakikatnya merupakan sebuah upaya untuk mengkritisi pola perencanaan model RPJP tersebut. Meskipun secara ketatanegaraan membutuhkan sebuah terobosan hukum (legal breakthrough), perlu diakui bahwa pemikiran tersebut perlu diberikan ruang akomodasi.
      Kedudukan TAP MPR tidak bisa dipisahkan dengan kedudukan dan kewenangan MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Amandemen UUD 1945 pasca reformasi membawa konsekuensi terhadap kedudukan serta kewenangan yang melekat kepada MPR. Salah satu perubahan penting dalam UUD 1945 yang mempengaruhi kedudukan dan kewenangan MPR adalah perubahan pada bagian bentuk dan kedaulatan Negara khususnya pada Pasal 1 ayat (2) UUD. Sebelum amandemen disebutkan bahwa, Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sedangkan setelah amandemen dirubah menjadi, Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang." Perubahan yang signifikan juga terlihat pada Pasal 3 UUD 1945. Jika sebelum amandemen MPR diberikan kewenangan untuk menetapkan Garis-Garis Besar daripada Haluan Negara (GBHN), maka pasca amandemen kewenangan tersebut sudah tidak diberikan lagi. Dimasa lalu, konsekuensi dari kedudukan dan kewenangan MPR untuk menetapkan Garis-Garis Besar daripada Haluan Negara (GBHN), mengakibatkan eksistensi TAP MPR(S) sebagai salah satu pengaturan perundang-undangan yang memuat pengaturan. Hal ini kemudian semakain dipertegas dengan adanya Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 yang menempatkan TAP MPR sebagai salah satu peraturan perundang-undangan yang memiliki derajat di bawah UUD. Namun menurut Mahfud MD, Pemosisian TAP MPR sebagai peraturan perundang-undangan dalam derajat kedua (di bawah UUD 1945) sebenarnya hanyalah tafsiran MPRS saja, sebab UUD sendiri tidak menyebutkan bahwa TAP MPR itu harus berisi pengaturan (regeling) dan berbentuk peraturan perundang-undangan. Menetapkan itu sebenarnya dapat hanya diartikan sebagai penetapan (beschikking) yang bersifat konkrit, individual.Secara umum, implikasi dari perubahan UUD 1945, tentu saja memberikan akibat perubahan kedudukan dan kewenangan MPR pula
    Di era reformasi, cukup banyak yang beranggapan bahwa TAP MPR merupakan perpanjangan tangan dari kekuasaan untuk membuat peraturan-peraturan tertentu yang menguntungkan atau melegitimasi kepentingan kekuasaan. Sempat berkembang istilah sunset clause, yakni upaya sedikit demi sedikit untuk menghapus TAP MPR sebagai sumber hukum dalam sistem perundang-undangan Indonesia. Logika ini yang kiranya mendasari proyek evaluasi yang disertai penghapusan secara besar-besaran terhadap TAP MPR(S) pada tahun 2003 melalui Sidang Umum (SU) MPR. Mahfud MD menyebut agenda ini sebagai Sapu Jagat, yakni TAP MPR yang menyapu semua TAP MPR(S) yang pernah ada untuk diberi status baru, Puncak dari agenda sunset clause dan sapu jagat ini adalah diterbitkannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang tidak memasukkan TAP MPR sebagai salah satu sumber hukum.
      Meskipun MPR tidak lagi berwenang membentuk Ketetapan, namun masih terdapat kategori TAP MPR yang masih tetap berlaku dan tidak dapat dicabut atau diganti dengan undang-undang, serta kategori TAP MPR yang dapat masih berlaku sepanjang belum diatur dalam UU.Ketetapan-ketetapan MPR yang masih tetap berlaku dan tidak dapat dicabut atau diganti dengan undang-undang adalah: TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia yang merupakan pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunis/Marxisme Lenisme.

TAP MPR versi UU No. 12 Tahun 2011
    Sebenarnya, sebagai dampak adanya kritik yang dialamatkan terhadap UU No. 10 Tahun 2004, TAP MPR kini dihadirkan kembali melalui Pasal 7 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Namun, penjelasan terhadap pasal itu menyatakan bahwa yang dimaksud "Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat" adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Padal 2 dan Pasal 3 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Tethadap Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003. Pilihan pembentuk UUD Negara RI 1945 pasca-amandemen untuk mengintegrasikan weak bicameralism dalam sistem parlemen telah mengubah konstelasi ketatanegaraan terkait kedudukan dan kewenangan MPR serta fungsi legislasi parlemen. Semula, perubahan sistem parlemen yang dianut tersebut dimaksudkan untuk memperkuat kedudukan parlemen sebagai representative assemblies (perwakilan) dan deliberative assemblies (pengawasan anggaran dan administrasi pemerintahan). Namun, kian menguatnya wacana untuk kembali memperkuat MPR yang mampu menghadirkan kembali TAP MPR sebagai haluan negara yang bersifat fundamental dan komprehensif, bisa mengawali diskursus seputar sistem parlemen 3 kamar (tricameralism), yang memang juga dikenal sebagai salah satu varian sistem parlemen dalam perspektif teori ketatanegaraan. Maka, gagasan mengenai perlunya GBHN merupakan sebuah isu konstitusional yang perlu direspons secara konstitusional.

TAP MPR dalam Tricameralisme
    Pemikiran untuk mengelaborasi sistem trikameral justru berangkat dari kelemahan yang terdapat pada penerapan sistem bikameral sebagaimana pernah dikemukakan oleh Tsebelus dan Money bahwa checks and balances sulit terwujud dalam relasi antar-kamar dalam sistem bikameral, jika: "in those cases where the upper house is merely consultative and the lower house has ultimate power of decision, bicameralism does not create a system of checks and balances". Giovanni Sartory mengemukakan 2 (dua) perbedaan pada pengaturan mengenai sistem bikameral, yaitu: equal-non equal power dan similarity - differentiation antara kedua kamar. UUD Negara RI 1945 bergerak di antara weak (assymetric) bicameralism dan strong (symmetric) bicameralism.
    Mulai menguatnya trikameralisme gagasan mengenai sistem parlemen yang dianut, menghendaki agar revitalisasi kedudukan dan kewenangan MPR dengan salah satu wewenangnya untuk membentuk TAP MPR dengan kekuatan hierarkhis dalam sistem legislasi dilakukan dengan atribusi sistem trikameral. Sistem trikameral merupakan sebuah varian sistem parlemen yang terdiri dari 3 (tiga) kamar, yang masing-masing memiliki kewenangan sesuai dengan fungsi dari parlemen (representative assemblies dan deliberative assemblies), memiliki anggota sendiri yang merupakan wakil dari warga negara dengan kategori tertentu dan memiliki kelembagaan tersendiri serta aturan tersendiri tentang prosedur dalam lembaga tersebut.
      GBHN dengan kekuatan hirarkis sebagai landasan hukum kebijakan merupakan salah satu kulminasi dari trikameralisme. Hadirnya TAP MPR RI dalam hirarki sistem legislasi menurut UU No. 12 Tahun 2011 bisa dielaborasi lebih jauh dari sebuah keinginan untuk adanya norma perencanaan yang bersifat fundamental-komprehensif dan mengandung visi kenegaraan jangka panjang. Contoh dari penerapan sistem trikameral terlihat dari negara Islamic Republic of Afganistan (Loya Jirga) dan Constitution of the Republic of China (National Assembly). Namun, kewenangan yang diatribusikan pada MPR RI jika dilakukan perbandingan dengan negara-begara yang menggunakan sistem trikameral terlihat bersifat anomali karena kewenangannya yang amat terbatas. Bahkan, memerlihatkan keraguan untuk memilih diantara sistem bikameral dan trikameral. Pengembalian kedaulatan legislasi MPR nerupakan bagian dari upaya purifikasi sistem trikameral.


Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...