Minggu, 03 Mei 2020


Pilkada: Legislasi, Kontestasi dan Pertaruhan Konstitusi
Oleh: Dr. W Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.

Pakar Hukum Kenegaraan dan Legislative Drafting

            RUU Pilkada sudah (terlanjur) disetujui oleh DPR RI dengan diwarnai resistensi publik yang kian meluas dan di dalam persidangan DPR terlihat diwarnai politik (simbolik) walk out-nya fraksi Partai Demokrat. Perdebatan soal isu pilkada langsung/tak lagsung (lewat DPRD) tak cukup hanya (sekadar) disederhanakan menjadi persoalan kontestasi politik elite di wilayah mekanisme (rule of procedure), karena isu tersebut tampaknya berbenturan dengan: (1) transisi demokrasi, (2) Paradigma bernegara-kelanjutan reformasi, (3) Kontestasi pascapilpres, (4) hidden agenda yang lebih besar dari beberapa kelompok kepentingan.
            Isu seputar pilkada langsung yang terus menguat bahkan pasca RUU Pilkada disetujui DPR karena adanya rumusan Pasal 18 ayat (4) UUD Negara RI 1945. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyebutkan bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Berarti prinsip dasarnya adalah kepala daerah dipilih secara demokratis, sehingga apakah kepala daerah dipilih langsung ataukah tidak langsung diatur dengan undang-undang. Namun harus diakui pemilihan langsung sesungguhnya merupakan tindak lanjut realisasi prinsip-prinsip demokrasi secara normatif yakni jaminan atas bekerjanya prinsip kebebasan individu dan persamaan, khususnya dalam hak politik. Smith, Dahl, maupun Mawhood mengatakan bahwa untuk mewujudkan apa yang disebut: local accountability, political equity, and local responsiveness, yang merupakan tujuan desentralisasi, di antara prasyarat yang harus dipenuhi untuk mencapainya adalah pemerintah daerah harus (1) memiliki teritorial kekuasaan yang jelas (legal territorial of power); (2) memiliki pendapatan daerah sendiri (local own income); (3) memiliki lembaga perwakilan rakyat (local representative body) yang berfungsi untuk mengontrol eksekutif daerah; dan (4) adanya kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh masyarakat melalui mekanisme pemilu (Syarif Hidayat, 2000). Maka, meskipun masih ada sejumlah kelemahan dalam regulasi dan pelaksanaannya, gagasan mengembalikan pilkada kepada anggota DPRD banyak dinilai merupakan set back dalam membangun demokrasi yang lebih substantif.
Sangat berbeda dengan pengaturan mengenai pemilihan Kepala Daerah, Pasal 6A UUD Negara RI 1945 dengan tegas mengatur bahwa: (1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat; (2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pilihan umum; (3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Konon, memang pembahasan mengenai pemilihan Kepala Daerah dalam Pasal 18 ayat (4) terbentur pada keberragaman model pengisian Kepala Daerah yang ada di Indonesia dan belum sempat diselaraskan dengan Pasal 6A UUD Negara RI 1945 karena sempitnya ruang dan tahapan pembahasan secara komprehensif atas ketentuan itu dalam rangkaian tahapan amandemen UUD 1945 yang lalu. Di sisi lain, langkah sebagian fraksi di DPR yang memainkan isu pembahasan tatib yang menimbulkan kesan ingin mevitalisasi posisi MPR seperti di era Orde Baru dan gerakan untuk menyapu habis kursi-kursi parlemen di Pusat maupun Daerah di bawah kendali Koalisi Merah Putih banyak menimbulkan tanda tanya mengenai agenda tersembunyi apa yang sesungguhnya sedang disiapkan? Pertanyaan itu cukup sahid, karena ternyata setelah menghapus pemilihan langsung oleh rakyat, Koalisi Merah Putih menggulirkan wacana mengembalikan pemilihan presiden ke Majelis Permusyawaratan Rakyat. Wakil Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional, Herman Kadir, beralasan pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat memecah belah masyarakat. Di DPR, dia juga pernah mengusulkan amendemen Undang-Undang Dasar 1945 soal pemilihan presiden agar kembali lewat MPR. “Saya salah satu yang paling keras mengusulkan, tapi tidak disepakati,” kata Herman Kadir. Demikian juga, salah satu anggota Fraksi Partai Demokrat, Hayono Isman, menilai peluang presiden kembali dipilih oleh MPR terbuka lebar. Menurut Haryono “Kalau Koalisi Merah Putih bisa menguasai DPRD dan kepala daerah, menguasai MPR pun bisa. Maka, melakukan amendemen mudah sekali.” (Tempo, 29/11/2014).

Koalisi dan Legislasi (Bermasalah)
            Jika format sistem demokrasi perwakilan di tubuh DPR semakin mengarah pada konstelasi checks and balances sejati dengan adanya kontrol kritis parlemen terhadap pemerintah secara konstruktif, sesungguhnya negeri ini semakin berkembang memenuhi watak negara demokrasi modern. Namun, realitasnya, arah peta koalisi dalam tubuh DPR yang akhir-akhir ini tak lagi berkembang secara konstruktif dan justru lebih kentara sebagai arena permainan kekuasaan (power game) yang berlari kian menjauhi konstitusi dan abai terhadap proses konstituensi.
            Tengoklah hadir-hadirnya pasal-pasal konyol dalam substansi UU No. 17 Tahun 2014 yang merupakan amandemen dari UU No. 27 Tahun 2009. Pola pemilihan pimpinan DPR yang tak lagi mengakomodasi tampilnya ketua dari kubu partai pemenang pemlu dan harus dipilih ulang oleh DPR, sangat kentara menimbulkan aroma bagi-bagi kekuasaan dan mengabaikan hasil pemilu legislatif yang telah dilakukan. Idealnya, figure yang duduk sebagai pimpinan tertinggi dalam tubuh DPR sejalan dengan trend mayoritas suara rakyat yang tercermin dari jumlah partai pemenang pemilu. Oleh karena itu, perubahan pasal dalam UU No. 17 Tahun 2014 terkait hal tersebut, sejatinya telah mengkhianati amanah rakyat dengan membangun hegemoni kuasa koalisi fraksi yang memotong garis linier aspirasi rakyat. Akibatnya, DPR telah memutus siklus demokrasi langsung dan menjadikan suara rakyat hanya sekadar menjadi komoditas transaksi politik. Sangat kentara bahwa hal ini telah memotong konstitusioalitas sistem perwakilan dan menggantinya menjadi sistem kartel politik. Pola semacam ini telah mengubah DPR menjadi entitas politik yang terpisah dari konstituen/suara pemilihnya dan menjelma menjadi komunitas wakil  tanpa rakyat.
            Upaya menghidupkan perangkat forum privilegiatum dengan memunculkan pasal-pasal yang mengatur keharusan adanya mekanisme ijin dari Majelis Kehormatan DPR (MKD) dari penyidik dalam hal dilakukan proses penyidikan terhadap anggota DPR yang melanggar tindak pidana terkait pelanggaran fungsi dan kewenangan anggota DPR bisa mengalami bias implementasi yang bisa mengarah pada perluasan ruang lingkup proteksi DPR terhadap kasus-kasus yang melibatkan anggota DPR dalam korupsi politik. Bahkan, tak adanya ijin dari MKD terhadap permohonan penyidikan tersebut oleh UU No. 17 Tahun 2014 dinyatakan bisa menggugurkan proses penyidikan terhadap anggota DPR.. Konstruksi pasal-pasal konyol semacam ini bisa menjadi mekanisme perlindungan diri dari DPR terhadap perilaku korup oknum anggota DPR yang bertentangan dengan agenda semesta pemberantasan korupsi. Alhasil, beberapa elemen masyararkat kini tengah menguji materiil pasal-pasal bermasalah tersebut ke MK.
            Belum cukup “bermain api” dengan amandemen UU MD3, kini sebagian fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) tengah berupaya memutar arah reformasi 1998 dan demokrasi melalui isu pemilihan para Kepala Daerah yang akan dilakukan melalui DPRD. Mereka telah memutilasi makna Pasal 18 ayat (4) UUD Negara RI 1945 yang menyatakan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Upaya memaknai kata “dipilih secara demokratis” sejatinya harus ditafsirkan secara historis berpegang pada naskah komprehensif yang menjadi latar belakang pembahasan ketentuan tersebut sambil mengaitkan pemaknaannya dengan menggunakan tasfir sistematik guna mencermati koherensi maknanya dengan seluruh pasal-pasal lain dalam UUD Negara RI 1945 pascaamandemen yang menghendaki derajat tertinggi sistem demokrasi yang diterapkan. Derajat tertinggi sistem demokrasi yang harus menjadi rujukan dan bersifat linear pemaknaannya dengan konstitusi adalah mengacu pada teori kedaulatan rakyat yang dianut oleh UUD Negara RI 1945 dengan memberikan ruang seluas-luasnya bagi rakyat dalam turut menentukan kepala pemerintahan yang dikehendakinya, baik di pusat (Presiden) maupun di daerah (Kepala Daerah). Tak mungkin suatu konstitusi bertentangan dengan dirinya sendiri dan menganut dualisme pandangan preskriptif melalui pasal-pasal dalam substansi konstitusi itu sendiri. Di titik inilah, pasal krusial yang akan diputuskan melalui musyawarah ataupun voting dalam Rapat Paripurna DPR yang konon akan digelar pada tanggal 25 September 2014 nanti akan menentukan kelanjutan komitmen negeri ini (khususnya para wakil rakyat) dalam menuntaskan agenda-agenda reformasi.
            Dalam perspektif teori legislasi, menurut cara pandang teori tahapan kebijakan sinoptik memandang proses pembentukan  legislasi sebagai suatu proses pengambilan keputusan yang dikelola dan diarahkan dengan baik, kesemuanya dengan tujuan mengarahkan  perkembangan masyarakat. Dengan demikian, seharusnya proses legislasi untuk menghasilkan norma undang-undang tak boleh bersifat ahistoris dan harus sejalan dengan perkembangan masyarakat.
            Ditinjau dari filsafat legislasi, teori yang esensial untuk menentukan legitmasi suatu norma hukum adalah teori pengakuan (annerkenungstheorie). Menurut teori ini, dasar epistemologis berlakunya suatu norma hukum dalam produk legislasi adalah keharusan adanya penerimaan dari masyarakat di wilayah berlakunya norma hukum tersebut. Salah satu hasil survei dari Charta politika sebagai salah satu lembaga survei independen yang diakui baik reputasinya, menunjukkan bahwa 74% responden tetap menginginkan Pilkada secara langsung oleh masyarakat. Hanya 18% responden yang ingin kepala daerah dipilih oleh DPRD. Sisanya tak mempermasalahkan apakah Pilkada dipilih langsung atau melalui DPRD. Fakta tersebut menunjukkan bahwa mayoritas kehendak rakyat masih menghendaki digunakannya sistem pilkada langsung dalam RUU Pilkada. Ratusan kepala daerah yang tergabung dalam dalam Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Kamis (11/9/2014), dengan tegas menolak rancangan undang-undang Pilkada tentang pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD. Efek bola salju dari pengunduran diri Ahok Wagub DKI Jakarta dari partai yang mengusungnya dalam pilkada DKI sebelumnya terkait perbedaan pandangan dirinya dengan Partai Gerindra yang menjadi bagian dari KMP pengusung isu pilkada lewat DPRD, telah membawa pengaruh terhadap sejumlah kepala daerah yang rela menentang partainya masing-masing yang mengusung isu pilkada melalui DPRD dalam RUU Pilkada.
            Dalam pandangan filsuf Slavoj Zizek, isu pilkada melalui DPRD yang diusung koalisi fraksi yang sebagian berasal dari KMP telah menjadi bumerang dan menimbulkan keretakan struktur bagi koalisi itu sendiri. Simbol yang diusung tersebut dalam bentuk pilkada melalui DPRD dengan berbagai argumentasi pengusungnya, dalam pandangan Zizek, telah merevitalisasi cara pandang totaliter dengan keinginan menghasilkan logika kepenuhan maksimum (baca: keinginan elite KMP) untuk melampiaskan syahwat kuasa dan emosi politik melalui permainan simbol dalam isu pilkada melalui DPRD dalam perdebatan RUU Pilkada. Cara pemaksaan ide dari koalisi pendukung pilkada lewat DPRD dalam RUU Pilkada dalam pandangan Charles Jencks memanfaatkan pengkodean ganda (double coding), menampilkan klaim kesahihan ide tersebut atas nama efisiensi anggaran pilkada dan mencegah kerusuhan dalam pilkada langsung, namun menyembunyikan “akal bulus” untuk menguasai kepala-kepala daerah guna melampiaskan syahwat berkuasa KMP dengan cara “mengepung” kursi istana yang telah gagal diraihnya. Di titik inilah, sejatinya kedaulatan rakyat telah dikooptasi oleh kartel politik!





Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...