Pilkada: Legislasi, Kontestasi dan Pertaruhan Konstitusi
Oleh: Dr. W Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.
Pakar Hukum Kenegaraan dan Legislative Drafting
RUU
Pilkada sudah (terlanjur) disetujui oleh DPR
RI dengan diwarnai resistensi
publik yang kian meluas dan di dalam persidangan DPR terlihat diwarnai politik
(simbolik) walk out-nya fraksi Partai Demokrat. Perdebatan soal isu pilkada
langsung/tak lagsung (lewat DPRD) tak cukup hanya (sekadar) disederhanakan
menjadi persoalan kontestasi politik elite di wilayah mekanisme (rule of procedure), karena isu tersebut
tampaknya berbenturan dengan: (1) transisi demokrasi, (2) Paradigma
bernegara-kelanjutan reformasi, (3) Kontestasi pascapilpres, (4) hidden agenda yang lebih besar dari
beberapa kelompok kepentingan.
Isu seputar
pilkada langsung yang terus menguat bahkan pasca RUU Pilkada disetujui DPR
karena adanya rumusan Pasal 18 ayat (4) UUD Negara RI 1945. Pasal 18 ayat (4)
UUD 1945 menyebutkan bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing
sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Berarti
prinsip dasarnya adalah kepala daerah dipilih secara demokratis, sehingga
apakah kepala daerah dipilih langsung ataukah tidak langsung diatur dengan
undang-undang. Namun harus diakui pemilihan langsung sesungguhnya merupakan
tindak lanjut realisasi prinsip-prinsip demokrasi secara normatif yakni jaminan
atas bekerjanya prinsip kebebasan individu dan persamaan, khususnya dalam hak
politik. Smith, Dahl, maupun Mawhood mengatakan bahwa untuk mewujudkan apa yang
disebut: local accountability, political equity, and local
responsiveness, yang merupakan tujuan desentralisasi, di antara prasyarat
yang harus dipenuhi untuk mencapainya adalah pemerintah daerah harus (1)
memiliki teritorial kekuasaan yang jelas (legal territorial of power);
(2) memiliki pendapatan daerah sendiri (local own income); (3) memiliki lembaga
perwakilan rakyat (local representative body) yang berfungsi untuk mengontrol
eksekutif daerah; dan (4) adanya kepala daerah yang dipilih secara langsung
oleh masyarakat melalui mekanisme pemilu (Syarif Hidayat, 2000). Maka, meskipun
masih ada sejumlah kelemahan dalam regulasi dan pelaksanaannya, gagasan
mengembalikan pilkada kepada anggota DPRD banyak dinilai merupakan set back dalam membangun demokrasi yang
lebih substantif.
Sangat berbeda dengan pengaturan
mengenai pemilihan Kepala Daerah, Pasal 6A UUD Negara RI 1945 dengan tegas
mengatur bahwa: (1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat; (2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan
pilihan umum; (3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara
lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya
dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah
provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Konon,
memang pembahasan mengenai pemilihan Kepala Daerah dalam Pasal 18 ayat (4)
terbentur pada keberragaman model pengisian Kepala Daerah yang ada di Indonesia
dan belum sempat diselaraskan dengan Pasal 6A UUD Negara RI 1945 karena
sempitnya ruang dan tahapan pembahasan secara komprehensif atas ketentuan itu
dalam rangkaian tahapan amandemen UUD 1945 yang lalu. Di sisi lain, langkah
sebagian fraksi di DPR yang memainkan isu pembahasan tatib yang menimbulkan
kesan ingin mevitalisasi posisi MPR seperti di era Orde Baru dan gerakan untuk menyapu
habis kursi-kursi parlemen di Pusat maupun Daerah di bawah kendali Koalisi
Merah Putih banyak menimbulkan tanda tanya mengenai agenda tersembunyi apa yang
sesungguhnya sedang disiapkan? Pertanyaan itu cukup sahid, karena ternyata setelah
menghapus pemilihan langsung oleh rakyat, Koalisi Merah Putih menggulirkan
wacana mengembalikan pemilihan presiden ke Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional, Herman Kadir, beralasan
pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat memecah belah masyarakat. Di
DPR, dia juga pernah mengusulkan amendemen Undang-Undang Dasar 1945 soal
pemilihan presiden agar kembali lewat MPR. “Saya salah satu yang paling keras
mengusulkan, tapi tidak disepakati,” kata Herman Kadir. Demikian juga, salah
satu anggota Fraksi Partai Demokrat, Hayono Isman, menilai peluang presiden
kembali dipilih oleh MPR terbuka lebar. Menurut Haryono “Kalau Koalisi Merah
Putih bisa menguasai DPRD dan kepala daerah, menguasai MPR pun bisa. Maka, melakukan
amendemen mudah sekali.” (Tempo, 29/11/2014).
Koalisi dan Legislasi (Bermasalah)
Jika
format sistem demokrasi perwakilan di tubuh DPR semakin mengarah pada
konstelasi checks and balances sejati
dengan adanya kontrol kritis parlemen terhadap pemerintah secara konstruktif,
sesungguhnya negeri ini semakin berkembang memenuhi watak negara demokrasi
modern. Namun, realitasnya,
arah peta koalisi dalam tubuh DPR yang akhir-akhir ini tak lagi berkembang
secara konstruktif dan justru lebih kentara sebagai arena permainan kekuasaan (power game) yang berlari kian menjauhi
konstitusi dan abai terhadap proses konstituensi.
Tengoklah
hadir-hadirnya pasal-pasal konyol dalam substansi UU No. 17 Tahun 2014 yang
merupakan amandemen dari UU No. 27 Tahun 2009. Pola pemilihan pimpinan DPR yang
tak lagi mengakomodasi tampilnya ketua dari kubu partai pemenang pemlu dan
harus dipilih ulang oleh DPR, sangat kentara menimbulkan aroma bagi-bagi
kekuasaan dan mengabaikan hasil pemilu legislatif yang telah dilakukan.
Idealnya, figure yang duduk sebagai pimpinan tertinggi dalam tubuh DPR sejalan
dengan trend mayoritas suara rakyat
yang tercermin dari jumlah partai pemenang pemilu. Oleh karena itu, perubahan
pasal dalam UU No. 17 Tahun 2014 terkait hal tersebut, sejatinya telah
mengkhianati amanah rakyat dengan membangun hegemoni kuasa koalisi fraksi yang
memotong garis linier aspirasi rakyat. Akibatnya, DPR telah memutus siklus
demokrasi langsung dan menjadikan suara rakyat hanya sekadar menjadi komoditas
transaksi politik. Sangat kentara bahwa hal ini telah memotong
konstitusioalitas sistem perwakilan dan menggantinya menjadi sistem kartel
politik. Pola semacam ini telah mengubah DPR menjadi entitas politik yang
terpisah dari konstituen/suara pemilihnya dan menjelma menjadi komunitas wakil tanpa rakyat.
Upaya
menghidupkan perangkat forum
privilegiatum dengan memunculkan pasal-pasal yang mengatur keharusan adanya
mekanisme ijin dari Majelis Kehormatan DPR (MKD) dari penyidik dalam hal
dilakukan proses penyidikan terhadap anggota DPR yang melanggar tindak pidana
terkait pelanggaran fungsi dan kewenangan anggota DPR bisa mengalami bias
implementasi yang bisa mengarah pada perluasan ruang lingkup proteksi DPR
terhadap kasus-kasus yang melibatkan anggota DPR dalam korupsi politik. Bahkan,
tak adanya ijin dari MKD terhadap permohonan penyidikan tersebut oleh UU No. 17
Tahun 2014 dinyatakan bisa menggugurkan proses penyidikan terhadap anggota
DPR.. Konstruksi pasal-pasal konyol semacam ini bisa menjadi mekanisme
perlindungan diri dari DPR terhadap perilaku korup oknum anggota DPR yang
bertentangan dengan agenda semesta pemberantasan korupsi. Alhasil, beberapa
elemen masyararkat kini tengah menguji materiil pasal-pasal bermasalah tersebut
ke MK.
Belum
cukup “bermain api” dengan amandemen UU MD3, kini sebagian fraksi yang
tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) tengah berupaya memutar arah
reformasi 1998 dan demokrasi melalui isu pemilihan para Kepala Daerah yang akan
dilakukan melalui DPRD. Mereka telah memutilasi makna Pasal 18 ayat (4) UUD
Negara RI 1945 yang menyatakan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota
masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota
dipilih secara demokratis. Upaya memaknai kata “dipilih secara demokratis”
sejatinya harus ditafsirkan secara historis berpegang pada naskah komprehensif
yang menjadi latar belakang pembahasan ketentuan tersebut sambil mengaitkan
pemaknaannya dengan menggunakan tasfir sistematik guna mencermati koherensi
maknanya dengan seluruh pasal-pasal lain dalam UUD Negara RI 1945 pascaamandemen
yang menghendaki derajat tertinggi sistem demokrasi yang diterapkan. Derajat
tertinggi sistem demokrasi yang harus menjadi rujukan dan bersifat linear
pemaknaannya dengan konstitusi adalah mengacu pada teori kedaulatan rakyat yang
dianut oleh UUD Negara RI 1945 dengan memberikan ruang seluas-luasnya bagi
rakyat dalam turut menentukan kepala pemerintahan yang dikehendakinya, baik di
pusat (Presiden) maupun di daerah (Kepala Daerah). Tak mungkin suatu konstitusi
bertentangan dengan dirinya sendiri dan menganut dualisme pandangan preskriptif
melalui pasal-pasal dalam substansi konstitusi itu sendiri. Di titik inilah,
pasal krusial yang akan diputuskan melalui musyawarah ataupun voting dalam Rapat Paripurna DPR yang
konon akan digelar pada tanggal 25 September 2014 nanti akan menentukan
kelanjutan komitmen negeri ini (khususnya para wakil rakyat) dalam menuntaskan
agenda-agenda reformasi.
Dalam
perspektif teori legislasi, menurut cara pandang teori tahapan kebijakan
sinoptik memandang proses pembentukan legislasi
sebagai suatu proses pengambilan keputusan yang dikelola dan diarahkan dengan
baik, kesemuanya dengan tujuan mengarahkan
perkembangan masyarakat. Dengan demikian, seharusnya proses legislasi
untuk menghasilkan norma undang-undang tak boleh bersifat ahistoris dan harus
sejalan dengan perkembangan masyarakat.
Ditinjau
dari filsafat legislasi, teori yang esensial untuk menentukan legitmasi suatu
norma hukum adalah teori pengakuan (annerkenungstheorie).
Menurut teori ini, dasar epistemologis berlakunya suatu norma hukum dalam
produk legislasi adalah keharusan adanya penerimaan dari masyarakat di wilayah
berlakunya norma hukum tersebut. Salah satu hasil survei dari Charta politika
sebagai salah satu lembaga survei independen yang diakui baik reputasinya,
menunjukkan bahwa 74% responden
tetap menginginkan Pilkada secara langsung oleh masyarakat. Hanya 18% responden
yang ingin kepala daerah dipilih oleh DPRD. Sisanya tak mempermasalahkan apakah
Pilkada dipilih langsung atau melalui DPRD. Fakta tersebut menunjukkan bahwa
mayoritas kehendak rakyat masih menghendaki digunakannya sistem pilkada
langsung dalam RUU Pilkada. Ratusan kepala daerah yang tergabung dalam dalam
Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia
(Apkasi) dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia
(Apeksi) di Hotel Grand Sahid, Jakarta ,
Kamis (11/9/2014), dengan tegas menolak rancangan undang-undang Pilkada tentang
pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD. Efek bola salju dari pengunduran
diri Ahok Wagub DKI Jakarta dari partai yang mengusungnya dalam pilkada DKI
sebelumnya terkait perbedaan pandangan dirinya dengan Partai Gerindra yang
menjadi bagian dari KMP pengusung isu pilkada lewat DPRD, telah membawa
pengaruh terhadap sejumlah kepala daerah yang rela menentang partainya masing-masing
yang mengusung isu pilkada melalui DPRD dalam RUU Pilkada.
Dalam
pandangan filsuf Slavoj Zizek, isu pilkada melalui DPRD yang diusung koalisi
fraksi yang sebagian berasal dari KMP telah menjadi bumerang dan menimbulkan
keretakan struktur bagi koalisi itu sendiri. Simbol yang diusung tersebut dalam
bentuk pilkada melalui DPRD dengan berbagai argumentasi pengusungnya, dalam
pandangan Zizek, telah merevitalisasi cara pandang totaliter dengan keinginan
menghasilkan logika kepenuhan maksimum (baca: keinginan elite KMP) untuk
melampiaskan syahwat kuasa dan emosi politik melalui permainan simbol dalam isu
pilkada melalui DPRD dalam perdebatan RUU Pilkada. Cara pemaksaan ide dari
koalisi pendukung pilkada lewat DPRD dalam RUU Pilkada dalam pandangan Charles
Jencks memanfaatkan pengkodean ganda (double
coding), menampilkan klaim kesahihan ide tersebut atas nama efisiensi
anggaran pilkada dan mencegah kerusuhan dalam pilkada langsung, namun
menyembunyikan “akal bulus” untuk menguasai kepala-kepala daerah guna melampiaskan
syahwat berkuasa KMP dengan cara “mengepung” kursi istana yang telah gagal
diraihnya. Di titik inilah, sejatinya kedaulatan rakyat telah dikooptasi oleh
kartel politik!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar