Merekonstruksi Sistem Kepartaian
Oleh: W. Riawan Tjandra,
Pengajar
pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Terungkapnya sederet kasus korupsi yang
melibatkan partai-partai politik seharusnya bisa dijadikan momentum untuk
memulai pemikiran mengenai rekonstruksi sistem kepartaian di negeri ini. Makna
partai politik dalam UU Pemilu (UU No. 2 tahun 2008 jo UU No. 2 Tahun 2011)
pada intinya adalah organisasi nasional yang didirikan berdasarkan kesamaan kehendak
dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota,
masyarakat, bangsa dan negara serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kedudukan
partai politik pada hakikatnya sangat esensial dalam sistem negara demokrasi
konstitusional, karena partai politik menjadi menjadi penentu pembentukan
fraksi dalam tubuh DPR. Fraksi di DPR hanya dapat
dibentuk oleh partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara dalam
penentuan perolehan kursi DPR. Fraksi dapat
juga dibentuk oleh gabungan dari 2 (dua) atau lebih partai politik. Hal itu
berarti setiap anggota DPR harus menjadi anggota salah satu fraksi. Dengan kata
lain, fungsi rekrutmen politik yang selama ini dinisbatkan sebagai fungsi
generik partai politik menentukan kinerja dan kualitas DPR RI. Peraturan tata
tertib DPR RI menyebutkan bahwa fraksi dibentuk
dalam rangka optimalisasi dan keefektifan pelaksanaan tugas dan wewenang DPR,
serta hak dan kewajiban anggota.
Dalam bahasa Arab, mengacu pada
makna kata hizbun (partai)
dan siyasah (politik) dapat disebutkan bahwa
partai politik (hizbun siyasiy) merupakan suatu
kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi,
nilai-nilai, cita-cita dan tujuan yang sama dalam rangka mengurusi urusan
rakyat. Mengacu pada makna hakiki tersebut, partai politik sejatinya merupakan
kelompok yang berdiri di atas sebuah landasan ideologi yang diyakini oleh
anggota-anggotanya dan ingin mewujudkannya di tengah masyarakat.
Eksistensi partai politik dalam
sistem demokrasi konstitusional sangat penting bukan hanya karena disebutkan
dalam konstitusi, namun semestinya karena melalui partai politik diharapkan
setiap kebijakan publik yang dibuat oleh penguasa dapat dilakukan pengawasan oleh
partai politik baik secara langsung maupun melalui peran fraksi di DPR dan
diberi sentuhan ideologis atau nilai-nilai. Hal itu dimaksudkan agar setiap
kebijakan publik tidak tercabut dari dimensi aksiologis dan berpihak kepada
kepentingan masyarakat.
Rekonstruksi sistem kepartaian saat
ini perlu dilakukan dengan memperbaiki struktur kelembagaan setiap partai
politk mengacu pada masing-masing asas partai sebagai basis ideologis setiap
partai. Partai politik harus dikembalikan jatidirinya untuk mewujudkan tujuan
politik seperti yang pernah dipikirkan oleh al-Farabi yang membahas pencapaian
kebahagiaan melalui kehidupan politik dengan mensintesakan pemahaman Plato dan
hukum ilahiah Islam. Jika kebahagiaan menurut Plato puncaknya hanya dapat
diraih dalam negara (politeia), bagi
al-Farabi kesempurnaan dan kebahagiaan puncaknya hanya dapat diperoleh dalam
negara ideal yang sempurna pemerintahannya dan dipimpin oleh raja-filosof yang
identik dengan pemberi hukum dan imam.
Siklus pendanaan politik yang selama
ini penuh misteri perlu didorong agar semakin transparan dan akuntabel sambil
di saat yang sama membangun keadaban politik bersih. Hal itu hanya bisa
dilakukan jika dapat diwujudkan kesadaran kolektif melalui pendidikan politik
bagi rakyat untuk mengharamkan money
politic dalam pemilu/pemilukada. Pembenahan struktural sistem kepartaian
dan pemilu yang dipadukan dengan pencerahan bagi publik mengenai hakikat
politik bersih akan menentukan wajah politik di negeri yang sudah kumuh dengan
perilaku koruptif ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar