Minggu, 03 Mei 2020


Merekonstruksi Sistem Kepartaian
Oleh: W. Riawan Tjandra,
Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
             Terungkapnya sederet kasus korupsi yang melibatkan partai-partai politik seharusnya bisa dijadikan momentum untuk memulai pemikiran mengenai rekonstruksi sistem kepartaian di negeri ini. Makna partai politik dalam UU Pemilu (UU No. 2 tahun 2008 jo UU No. 2 Tahun 2011) pada intinya adalah organisasi nasional yang didirikan berdasarkan kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
            Kedudukan partai politik pada hakikatnya sangat esensial dalam sistem negara demokrasi konstitusional, karena partai politik menjadi menjadi penentu pembentukan fraksi dalam tubuh DPR. Fraksi di DPR hanya dapat dibentuk oleh partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara dalam penentuan perolehan kursi DPR. Fraksi dapat juga dibentuk oleh gabungan dari 2 (dua) atau lebih partai politik. Hal itu berarti setiap anggota DPR harus menjadi anggota salah satu fraksi. Dengan kata lain, fungsi rekrutmen politik yang selama ini dinisbatkan sebagai fungsi generik partai politik menentukan kinerja dan kualitas DPR RI. Peraturan tata tertib DPR RI menyebutkan bahwa fraksi dibentuk dalam rangka optimalisasi dan keefektifan pelaksanaan tugas dan wewenang DPR, serta hak dan kewajiban anggota.
            Dalam bahasa Arab, mengacu pada makna kata  hizbun (partai) dan  siyasah (politik) dapat disebutkan bahwa partai politik (hizbun siyasiy) merupakan suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, cita-cita dan tujuan yang sama dalam rangka mengurusi urusan rakyat. Mengacu pada makna hakiki tersebut, partai politik sejatinya merupakan kelompok yang berdiri di atas sebuah landasan ideologi yang diyakini oleh anggota-anggotanya dan ingin mewujudkannya di tengah masyarakat.
            Eksistensi partai politik dalam sistem demokrasi konstitusional sangat penting bukan hanya karena disebutkan dalam konstitusi, namun semestinya karena melalui partai politik diharapkan setiap kebijakan publik yang dibuat oleh penguasa dapat dilakukan pengawasan oleh partai politik baik secara langsung maupun melalui peran fraksi di DPR dan diberi sentuhan ideologis atau nilai-nilai. Hal itu dimaksudkan agar setiap kebijakan publik tidak tercabut dari dimensi aksiologis dan berpihak kepada kepentingan masyarakat.
            Rekonstruksi sistem kepartaian saat ini perlu dilakukan dengan memperbaiki struktur kelembagaan setiap partai politk mengacu pada masing-masing asas partai sebagai basis ideologis setiap partai. Partai politik harus dikembalikan jatidirinya untuk mewujudkan tujuan politik seperti yang pernah dipikirkan oleh al-Farabi yang membahas pencapaian kebahagiaan melalui kehidupan politik dengan mensintesakan pemahaman Plato dan hukum ilahiah Islam. Jika kebahagiaan menurut Plato puncaknya hanya dapat diraih dalam negara (politeia), bagi al-Farabi kesempurnaan dan kebahagiaan puncaknya hanya dapat diperoleh dalam negara ideal yang sempurna pemerintahannya dan dipimpin oleh raja-filosof yang identik dengan pemberi hukum dan imam.
            Siklus pendanaan politik yang selama ini penuh misteri perlu didorong agar semakin transparan dan akuntabel sambil di saat yang sama membangun keadaban politik bersih. Hal itu hanya bisa dilakukan jika dapat diwujudkan kesadaran kolektif melalui pendidikan politik bagi rakyat untuk mengharamkan money politic dalam pemilu/pemilukada. Pembenahan struktural sistem kepartaian dan pemilu yang dipadukan dengan pencerahan bagi publik mengenai hakikat politik bersih akan menentukan wajah politik di negeri yang sudah kumuh dengan perilaku koruptif ini.

Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...