Pemerintahan Pasca Covid-19
Oleh:
W. RIAWAN TJANDRA
Pengajar Hukum Administrasi Negara
FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Pandemi Covid-19 memaksa banyak
kalangan untuk beradaptasi sekaligus berinovasi sambil melakukan sejumlah
langkah pencegahan agar tak terpapar virus asal Wuhan itu. Berbagai regulasi
dan kebijakan yang dikeluarkan oleh sektor publik sejatinya menjadi penanda
dimulainya era baru pengelolaan aktivitas pemerintahan baik pada tataran
regulasi maupun implementasi.
Dikeluarkannya Perppu No. 1 Tahun
2020 yang telah disetujui DPR dan pada tanggal 16 Mei 1969 disahkan menjadi UU
No. 2 Tahun 2020, sesungguhnya menghadirkan sejumlah inspirasi dan inovasi.
Pertama, pentingnya sinergi antarelemen sektor publik, dalam UU No. 2 Tahun
2020 disebutkan elemen-elemen tersebut adalah Pemerintah (Pusat/Daerah), Bank
Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Komite Stabilitas Sistem Keuangan dan
Lembaga Penjamin Simpanan. Sinergi kebijakan fiskal dan moneter dalam mengatasi
kondisi krisis ekonomi dinilai menjadi kunci bagi pemulihan kondisi
perekonomian nasional sebagai akibat bencana nonalam. Kedua, integrasi konsep
tentang mitigasi resiko dalam desain penganggaran dan pembiayaan selanjutnya
harus menjadi acuan dalam setiap penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA).
Kedua, integrasi protokol kesehatan dalam sejumlah kebijakan penganggaran,
pengadaan barang/jasa, moneter, fiskal, perdagangan dan lain-lain.
Pengalaman mengelola pemerintahan di
masa pandemi Covid-19 ini oleh para ahli filsafat Yunani digolongkan sebagai
pengalaman yang diperoleh melalui panca indera dan bersifat aktif, karena
diperoleh secara intelektual dengan melibatkan pengalaman serta observasi. Hal
ini berbeda dengan pengalaman sejati yang diperoleh melalui akal budi yang
bersifat pasif (Van Peursen: 1991). Pengalaman yang diperoleh secara empiris
melalui panca indera seringkali tak beraturan, berbeda dengan pengalaman yang
diolah melalui akal budi yang relatif stabil. Mengelola pemerintahan di masa
pandemi Covid-19 telah mengubah cara-cara mengelola pemerintahan, tidak hanya
di Indonesia, tetapi juga di banyak
negara terdampak, bahwa pemerintah bisa saja menghadapi kondisi yang berubah
secara cepat dan mendadak sehingga membutuhkan kemampuan untuk beradaptasi dan
melakukan sejumlah inovasi.
Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Gehebreyesus, pernah mengingatkan bahwa
perkembangan pandemi Covid-19 di seluruh dunia saat ini masih jauh dari berakhir dan
bisa berlangsung cukup lama (28/4/2020).
Sinyalemen itu mengharuskan setiap negara, termasuk Indonesia, untuk
bisa mengambil langkah-langkah antisipatif dan kreatif. Perubahan dalam sistem
penyelenggaraan pemerintahan perlu dilakukan baik di ranah struktur organisasi,
kebijakan maupun tata kerja organisasi. Di ranah struktur organisasi, perlunya integrasi
protokol kesehatan tentunya mengharuskan perubahan pada desain struktur
organisasi agar menjadi efektif, efisien epat mengambil mengambil keputusan dan
responsif terhadap persyaratan protokol kesehatan. Pada level kebijakan,
pengambilan kebijakan publik pada batas-batas tertentu perlu melibatkan para
ahli kesehatan dan gugus tugas Covid-19 yang telah dibentuk di pusat maupun
daerah. Tata kerja organisasi juga harus beradaptasi dengan melakukan sejumlah
inovasi. Misalnya, ketika terkait dengan pengadaan barang/jasa oleh Unit Kerja
Pengadaan Barang/Jasa di setiap kementerian, lembaga maupun pemerintahan daerah,
protokol kesehatan harus diintegrasikan dalam hal memberikan batasan relasi fisik
antara pengguna (sektor publik) dan penyedia (swasta/BUMN), penggunaan dan
pemeriksaan dokumen fisik dan lain-lain.
Dalam
menghadapi kondisi pandemi Covid-19 setiap subyek harus mengambil jarak dari
kondisi yang mengancam dirinya. Hal itu akan menjadikannya untuk mengambil
sikap hening dan reflektif agar mampu membuka diri pada pikiran-pikiran baru
yang kreatif. Manusia selama ini telah menggeser paradigma kosmosentris yang
menempatkan manusia sebagai bagian dari kosmos yang dipandang sakral, menjadi
antroposentris yang hanya mengandalkan subyektivitas dan akal budinya, sehingga
menyebabkan pola relasi antara manusia dengan alam cenderung bersifat
subordinatif/dominatif. Kini, manusia dipaksa untuk memposisikan dirinya kembali
sebagai elemen dari kosmos/alam. Sejumlah perubahan “radikal” perlu dilakukan
dalam mengelola sistem pemerintahan di era pasca Covid-19 melalui sejumlah
inovasi di hulu dan hilir kebijakan pada sektor publik. Covid-19 seharusnya tak
hanya menjadi bencana, tetapi mengubah paradigma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar