Minggu, 03 Mei 2020


Perizinan Berusaha Terintegrasi
Oleh: W.Riawan Tjandra
Pengajar Hukum Administrasi Negara pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
            Maraknya Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap sejumlah pejabat daerah baik di lingkungan Pemerintah Daerah maupun DPRD seperti yang beberapa saat berselang terjadi di Bekasi dengan melibatkan Bupati, pejabat organisasi perangkat daerah dan oknum dari korporasi pengembang properti, memperlihatkan rendahnya integritas sistem pelayanan publik di daerah. Berbagai kasus korupsi yang menjerat para pejabat daerah pada umumnya disebabkan suap/gratifikasi yang bersumber dari “perdagangan” perizinan di daerah, jual beli jabatan maupun suap proyek pengadaan barang dan jasa.. Para pejabat daerah yang menjadi ujung tombak otonomi daerah telah menyimpang jauh dari amanah reformasi politik 1998 dan kepercayaan rakyat yang telah memilihnya untuk menjadi pemimpin dan teladan bagi rakyat di daerah. Elite-elite politik yang terpilih karena kapasitas politik maupun kepemimpinannya tak tahan atas godaan untuk “memperdagangkan” kewenangan yang dimilikinya yang sejatinya harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan dan rakyat pemilihnya.
            Sebagai konsekuensi otonomi daerah, sistem perizinan yang terletak di ranah urusan pemerintahan konkuren menurut UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah didistribusikan secara bertingkat antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Secara teoretis, di ranah Hukum Administrasi Negara, izin merupakan instrumen pemerintahan yang paling banyak dipergunakan sebagai sarana untuk mengatur/mengendalikan aktivitas subyek hukum perorangan maupun korporasi (Spelt, dkk : 1993). Spelt dan ten Berge (1993), sejatinya memaknai izin sebagai suatu tindakan pemerintah untuk memperkenankan aktivitas dilakukan seseorang atau korporasi yang bertitiktolak dari suatu ketentuan dalam undang-undang yang melarangnya. Pemaknaan izin semacam itu sesungguhnya ingin menekankan bahwa izin merupakan sarana pengawasan aktivitas masyarakat yang hanya boleh diterbitkan oleh pemerintah melalui sejumlah kriteria dan persyaratan yang ketat. Izin sering dikaitkan dengan proteksi atas lingkungan, mencegah gangguan sosial maupun dampak aktivitas yang bisa menimbulkan bahaya bagi masyarakat.
            Desain pembagian kewenangan yang bersumber dari pembagian kewenangan konkuren antar satuan pemerintahan (pusat, provinsi dan kabupaten/kota) meskipun oleh UU Pemda maupun UU Pelayanan Publik diletakkan sebagai ujung tombak sistem pelayanan publik, ternyata justru menjadi instrumen untuk “memperdagangkan” kewenangan publik dan pengaruh (trading in influence). Korporasi yang terdesak oleh tuntutan efisiensi dan mengejar profit dalam siklus perputaran modal, seringkali dipaksa (meskipun tak jarang juga memaksa) untuk menjadi pihak dalam transaksi kewenangan dan pengaruh publik tersebut. Akibatnya, terjadilah transaksi kewenangan publik dalam “memperdagangkan” perizinan tersebut yang dibarter dengan uang pelicin untuk memperlancar terbitnya izin lokasi, izin usaha dan berbagai jenis izin lainnya. Namun, memang harus dicatat bahwa tak semua pejabat daerah mau dibeli dengan uang suap maupun memperdagangkan kewenangan maupun pengaruh.
            Fenomena maraknya kasus suap/gratifikasi yang dilakukan oleh oknum-oknum pejabat di daerah maupun korporasi, tampaknya memberikan momentum bagi implementasi efektif PP No. 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik yang dilahirkan dari konsep Online Single Submission (OSS). Melalui OSS tersebut pelaku usaha diberikan ruang otonom untuk mendaftarkan dan mengurus penerbitan izin usaha dan izin komersial/operasional secara on line melalui sistem perizinan terintegrasi.             Sistem OSS tersebut merupakan bagian dari langkah pemerintah untuk melaksanakan reformasi sektoralisme perizinan berusaha. Menurut PP  No. 24 Tahun 2018 tersebut,  sistem OSS ingin dijadikan sebagai gerbang (gateway) dari sistem pelayanan perizinan pemerintahan yang telah ada di Kementerian/lembaga dan Pemerintah Daerah. Pemerintah diberikan tanggung jawab untuk membangun, mengembangkan dan mengimplementasikan sistem OSS. Sistem OSS dinisbahkan untuk menjadi acuan utama (single reference) dalam pelaksanaan perizinan berusaha. Kementerian/lembaga maupun Pemerintah Daerah diwajibkan untuk membentuk lembaga OSS sebagai semacam gugus tugas (task force) yang diberikan kewenangan untuk mengelola sistem perizinan berusaha secara terintegrasi. Dengan sistem perizinan melalui OSS diharapkan dapat mengurangi interaksi fisik antara pemohon ijin (perorangan maupun korporasi) dengan pejabat pemerintah/daerah yang selama ini sering menjadi pintu masuk bagi terjadinya “perdagangan” izin maupun kewenangan publik antara oknum pejabat dengan pihak pemohon izin.
            Akselerasi perizinan berusaha maupun perizinan komersial/operasional melalui OSS tidak dimaksudkan untuk mengabaikan sejumlah persyaratan pokok dalam perizinan tertentu seperti dokumen UKL-UPL ataupun Amdal jika terkait dengan izin lingkungan. Dengan demikian OSS hanya dimaksudkan untuk mempermudah proses bagi pihak pemohon izin dalam mendaftarkan maupun mengurus izin karena Pemerintah telah mengintegrasikan sistem perizinan sektoral tersebut yang dikelola oleh lembaga OSS. Namun, tidak mengurangi kualitas dan tingkat kecermatan dalam melaksanakan pengawasan terhadap aktivitas pemohon izin karena seluruh persyaratan yang diperlukan dalam pengajuan izin tetap harus dipenuhi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya selama ini.
            Selama ini ternyata masih ada sejumlah pejabat di kementerian/lembaga maupun Pemerintah Daerah yang belum cukup memahami atau bahkan resisten jika kewenangannya diambilalih oleh lembaga OSS yang dibentuk berdasarkan PP No. 24 Tahun 2018 tersebut. Masih ada pejabat yang menduga bahwa lembaga OSS tersebut “mengambil paksa” kewenangan yang telah diatribusikan melalui pembagian kewenangan konkuren maupun sektoral di berbagai undang-undang, meskipun lampiran dari PP tersebut telah membuat klasifikasi dari sejumlah kewenangan perizinan yang dikelola melalui sistem OSS. Pemerintah perlu segera membuat road map implementasi efektif dari sistem perizinan melalui OSS tersebut dengan melakukan bimbingan tekhnis, sinkronisasi dan harmonisasi kewenangan antar institusi sektoral maupun antar satuan pemerintahan. Kasus-kasus korupsi politik maupun “perdagangan” kewenangan hanya bisa diatasi melalui revolusi mental, kultural maupun institusional untuk memutus siklus gratifikasi dan rantai perdagangan pengaruh publik.

Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...