Perizinan Berusaha Terintegrasi
Oleh: W.Riawan Tjandra
Pengajar Hukum Administrasi Negara pada
FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Maraknya Operasi Tangkap Tangan
(OTT) KPK terhadap sejumlah pejabat daerah baik di lingkungan Pemerintah Daerah
maupun DPRD seperti yang beberapa saat berselang terjadi di Bekasi dengan melibatkan
Bupati, pejabat organisasi perangkat daerah dan oknum dari korporasi pengembang
properti, memperlihatkan rendahnya integritas sistem pelayanan publik di
daerah. Berbagai kasus korupsi yang menjerat para pejabat daerah pada umumnya
disebabkan suap/gratifikasi yang bersumber dari “perdagangan” perizinan di
daerah, jual beli jabatan maupun suap proyek pengadaan barang dan jasa.. Para
pejabat daerah yang menjadi ujung tombak otonomi daerah telah menyimpang jauh
dari amanah reformasi politik 1998 dan kepercayaan rakyat yang telah memilihnya
untuk menjadi pemimpin dan teladan bagi rakyat di daerah. Elite-elite politik
yang terpilih karena kapasitas politik maupun kepemimpinannya tak tahan atas
godaan untuk “memperdagangkan” kewenangan yang dimilikinya yang sejatinya harus
dipertanggungjawabkan kepada Tuhan dan rakyat pemilihnya.
Sebagai konsekuensi otonomi daerah,
sistem perizinan yang terletak di ranah urusan pemerintahan konkuren menurut UU
No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah didistribusikan secara bertingkat
antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Secara teoretis, di ranah
Hukum Administrasi Negara, izin merupakan instrumen pemerintahan yang paling
banyak dipergunakan sebagai sarana untuk mengatur/mengendalikan aktivitas
subyek hukum perorangan maupun korporasi (Spelt, dkk : 1993). Spelt dan ten
Berge (1993), sejatinya memaknai izin sebagai suatu tindakan pemerintah untuk
memperkenankan aktivitas dilakukan seseorang atau korporasi yang bertitiktolak
dari suatu ketentuan dalam undang-undang yang melarangnya. Pemaknaan izin
semacam itu sesungguhnya ingin menekankan bahwa izin merupakan sarana
pengawasan aktivitas masyarakat yang hanya boleh diterbitkan oleh pemerintah
melalui sejumlah kriteria dan persyaratan yang ketat. Izin sering dikaitkan
dengan proteksi atas lingkungan, mencegah gangguan sosial maupun dampak aktivitas
yang bisa menimbulkan bahaya bagi masyarakat.
Desain pembagian kewenangan yang
bersumber dari pembagian kewenangan konkuren antar satuan pemerintahan (pusat,
provinsi dan kabupaten/kota) meskipun oleh UU Pemda maupun UU Pelayanan Publik
diletakkan sebagai ujung tombak sistem pelayanan publik, ternyata justru
menjadi instrumen untuk “memperdagangkan” kewenangan publik dan pengaruh (trading in influence). Korporasi yang
terdesak oleh tuntutan efisiensi dan mengejar profit dalam siklus perputaran
modal, seringkali dipaksa (meskipun tak jarang juga memaksa) untuk menjadi
pihak dalam transaksi kewenangan dan pengaruh publik tersebut. Akibatnya,
terjadilah transaksi kewenangan publik dalam “memperdagangkan” perizinan
tersebut yang dibarter dengan uang pelicin untuk memperlancar terbitnya izin
lokasi, izin usaha dan berbagai jenis izin lainnya. Namun, memang harus dicatat
bahwa tak semua pejabat daerah mau dibeli dengan uang suap maupun
memperdagangkan kewenangan maupun pengaruh.
Fenomena maraknya kasus suap/gratifikasi
yang dilakukan oleh oknum-oknum pejabat di daerah maupun korporasi, tampaknya
memberikan momentum bagi implementasi efektif PP No. 24 Tahun 2018 tentang
Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik yang dilahirkan
dari konsep Online Single Submission
(OSS). Melalui OSS tersebut pelaku usaha diberikan ruang otonom untuk
mendaftarkan dan mengurus penerbitan izin usaha dan izin komersial/operasional
secara on line melalui sistem
perizinan terintegrasi. Sistem
OSS tersebut merupakan bagian dari langkah pemerintah untuk melaksanakan
reformasi sektoralisme perizinan berusaha. Menurut PP No. 24 Tahun 2018 tersebut, sistem OSS ingin dijadikan sebagai gerbang (gateway) dari sistem pelayanan perizinan
pemerintahan yang telah ada di Kementerian/lembaga dan Pemerintah Daerah.
Pemerintah diberikan tanggung jawab untuk membangun, mengembangkan dan
mengimplementasikan sistem OSS. Sistem OSS dinisbahkan untuk menjadi acuan
utama (single reference) dalam
pelaksanaan perizinan berusaha. Kementerian/lembaga maupun Pemerintah Daerah
diwajibkan untuk membentuk lembaga OSS sebagai semacam gugus tugas (task force) yang diberikan kewenangan
untuk mengelola sistem perizinan berusaha secara terintegrasi. Dengan sistem
perizinan melalui OSS diharapkan dapat mengurangi interaksi fisik antara
pemohon ijin (perorangan maupun korporasi) dengan pejabat pemerintah/daerah
yang selama ini sering menjadi pintu masuk bagi terjadinya “perdagangan” izin
maupun kewenangan publik antara oknum pejabat dengan pihak pemohon izin.
Akselerasi perizinan berusaha maupun
perizinan komersial/operasional melalui OSS tidak dimaksudkan untuk mengabaikan
sejumlah persyaratan pokok dalam perizinan tertentu seperti dokumen UKL-UPL
ataupun Amdal jika terkait dengan izin lingkungan. Dengan demikian OSS hanya
dimaksudkan untuk mempermudah proses bagi pihak pemohon izin dalam mendaftarkan
maupun mengurus izin karena Pemerintah telah mengintegrasikan sistem perizinan
sektoral tersebut yang dikelola oleh lembaga OSS. Namun, tidak mengurangi
kualitas dan tingkat kecermatan dalam melaksanakan pengawasan terhadap
aktivitas pemohon izin karena seluruh persyaratan yang diperlukan dalam
pengajuan izin tetap harus dipenuhi sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang mengaturnya selama ini.
Selama ini ternyata masih ada sejumlah
pejabat di kementerian/lembaga maupun Pemerintah Daerah yang belum cukup
memahami atau bahkan resisten jika kewenangannya diambilalih oleh lembaga OSS
yang dibentuk berdasarkan PP No. 24 Tahun 2018 tersebut. Masih ada pejabat yang
menduga bahwa lembaga OSS tersebut “mengambil paksa” kewenangan yang telah
diatribusikan melalui pembagian kewenangan konkuren maupun sektoral di berbagai
undang-undang, meskipun lampiran dari PP tersebut telah membuat klasifikasi
dari sejumlah kewenangan perizinan yang dikelola melalui sistem OSS. Pemerintah
perlu segera membuat road map implementasi
efektif dari sistem perizinan melalui OSS tersebut dengan melakukan bimbingan
tekhnis, sinkronisasi dan harmonisasi kewenangan antar institusi sektoral
maupun antar satuan pemerintahan. Kasus-kasus korupsi politik maupun
“perdagangan” kewenangan hanya bisa diatasi melalui revolusi mental, kultural
maupun institusional untuk memutus siklus gratifikasi dan rantai perdagangan
pengaruh publik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar