Minggu, 03 Mei 2020


Negara Yang Hadir dan Melindungi Melalui  Kerangka Hukum Kebijakan
Penanganan Corona Virus Disease 2019  (Covid-19)
oleh:
Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.
1.       Pendahuluan
Bencana nonalam sebagai akibat pandemi global Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) telah mengubah arah kebijakan struktural di banyak negara yang terdampak, termasuk Indonesia.  Penanganan virus corona jenis baru atau SARS-CoV-2 harus beradu cepat dengan waktu. Ahli kesehatan masyarakat Nadia Nurul mengungkapkan, peningkatan kasus hari ke hari menunjukkan penyebaran virus penyebab Covid-19 tak bisa dianggap enteng.[1]
Di samping dampaknya terhadap kesehatan masyarakat, Pandemi Covid-19 di Indonesia memiliki dampak multi sektor, dari pendidikan, sosial, ekonomi, hingga aktivitas beribadah di masyarakat. Dampak pada sektor-sektor tersebut kian hari mulai dirasakan masyarakat. Hal ini disebabakan menyangkut persoalan kesejahteraan sosial masyarakat.[2]
Sehubungan dengan situasi yang berkembang pasca merebaknya Covid – 19 di tanah air, Presiden Joko Widodo, pada tanggal 31 Maret 2020 telah menetapkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Sehubungan dengan kebijakan tersebut  diiterbitkan pula Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Sejumlah hal diatur dalam Perppu 1/2020 antara lain, pelaksanaan kebijakan di bidang keuangan daerah, perpajakan, program pemulihan ekonomi nasional, kebijakan keuangan negara, dan lainnya. 
Menghadapi kondisi pandemi global Covid-19 yang berdampak sangat serius pada negeri ini, meski sempat menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat, harus diakui bahwa respons  Pemerintah cukup cepat dan tepat. Pemerintahan Jokowi segera merespons perkembangan situasi yang kian mengkhawatirkan di tengah kepanikan masyarakat melihat korban berjatuhan yang terus bertambah akibat wabah Covid-19 mengeluarkan paket regulasi yang meliputi  pertama, PP No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease-2019 (Covid-19) yang merupakan implementasi dari UU No. 6 Tahun 2018 Kekarantinaan Kesehatan yang dipadukan dengan UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Kedua, Perppu No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19 Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan. Selain itu, di ranah konkrit ditetapkan Keppres RI No. 11 Tahun 2020 Tentang Penetapan Keadaan Kedaruratan Masyakarat Covid-19 yang pada intinya menetapkan 2 (dua) hal penting, pertama, menyangkut obyek, menetapkan Covid-19 sebagai jenis penyakit yang menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Kedua, menyangkut keadaan faktual yang dihadapi, menetapkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19 di lndonesia yang wajib dilakukan upaya penanggulangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Peta sebaran Covid-19 di Indonesia dan DKI Jakarta merupakan konsiderasi faktual pada saat diambil serangkaian kebijakan dalam penanganan Covid-19.

Gambar 1
Peta Sebaran Kasus Covid-19 Di Indonesia per Tanggal 30 Maret 2020[3]






Gambar 2
Peta Sebaran Kasus Covid-19 Di DKI Jakarta[4]




2.       Paket Regulasi
            Paket regulasi dalam menghadapi situasi darurat saat ini sesungguhnya merupakan respons yang bisa dikatakan sebagai kebijakan yang mengambil jalan keluar yang strategis namun terukur disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi di Indonesia saat ini sesuai dengan landasan konstitusional (UUD Negara RI 1945) dan UU yang dimiliki (UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan). Secara konstitusional, landasan kewenangan untuk menetapkan kebijakan dalam keadaan darurat merupakan derivat dari norma dalam UUD Negara RI 1945 yang terdapat pada Pasal 5 (executive power)  dan Pasal 22 (extraordinary power) yang keduanya melekat pada presiden dalam sistem pemerintahan presidensial.  Ditinjau secara normatif, kebijakan yang diambil oleh Presiden dalam bentuk PSBB memang merupakan jalan keluar yang dimungkinkan dalam menghadapi kondisi darurat kesehatan masyarakat. PSBB sendiri menurut UU Kekarantinaan Kesehatan dimaknai sebagai pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi. Otoritas kekarantinaan wilayah tetap diletakkan pada kewenangan profesional dari otoritas yang berwenang di bidang kesehatan, meskipun tentu saja kebijakan pembatasan akses masuk ke wilayah secara nasional maupun lokal ada di ranah kewenangan pemerintah pusat dengan dukungan pemerintah daerah. PP No. 21 Tahun 2020 ingin menerapkan asas spesialitas dan profesionalitas yang sudah sangat lama dikenal dalam Hukum Administrasi Negara untuk memfokuskan pada kedua sasaran yang sudah dibidik melalui Keppres No.11 Tahun 2020 menyangkut obyek yang dihadapi (covid-19) dan keadaan yang harus ditetapkan mengatasi ekses dari obyek tersebut (kedaruratan kesehatan masyarakat). Hukum Administrasi Negara memiliki fungsi pemerintahan dan pengendalian. Dengan fungsinya yang pertama, Hukum Administrasi Negara memungkinkan pemerintah menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan (bestuurstaak). Hal itu dilakukan dengan cara menyediakan sarana-sarana pemerintahan yang mendukung pelaksanaan fungsi pemerintahan secara efektif. Sebaliknya, Hukum Administrasi Negara juga memiliki fungsi pengendalian agar pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan oleh pemerintah selalu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[5]
            Akibat dari respons atas kondisi darurat kesehatan masyarakat akibat Covid-19 tentunya membutuhkan dukungan anggaran darurat yang bersumber dari APBN/D. Maka, Perppu No. 1 Tahun 2020 diperlukan untuk melakukan langkah refocusing anggaran, realokasi dan relaksasasi sejumlah kebijakan fiskal menghadapi kondisi darurat kesehatan masyarakat yang bisa sangat menyulitkan kondisi anggaran. Kondisi darurat dan permasalahan fiskal tersebut juga melanda sejumlah negara-negara lain di lebih dari 180 negara yang terkena dampak Covid-19. Maka, sesungguhnya substansi dari Perppu No. 1 Tahun 2020 yang telah memenuhi alasan kegentingan yang memaksa  sebagaimana dimaksud oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009. Berdasarkan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan kondisi yang dihadapi pemerintah saat ini  juga telah memenuhi 4 (empat) alasan penggunaan diskresi kebijakan yang berdampak terhadap diskresi penggunaan anggaran, yaitu: a. melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; b. mengisi kekosongan hukum; c. memberikan kepastian hukum; dan d. mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.
Peran pemerintah dalam sociale rechtsstaat diperlukan untuk menyelenggarakan bestuurszorg. Prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang dipergunakan dalam negara hukum modern adalah prinsip doelmatigheid van het bestuur. Hal tersebut diatas sejalan dengan konsep verzorgingsstaat yang meliputi semua aspek dari kehidupan manusia (alle aspecten van het menselijk leven). Pemikiran negara hukum modern lebih menekankan doelstelling dan beleid. Dalam penyelenggaraan pemerintahan seringkali diperlukan penggunaan kewenangan diskresi untuk dapat melaksanakan fungsi pemerintahan secaa efektif.[6]
Diskresi pejabat pemerintahan meliputi: a.pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan Keputusan dan/atau Tindakan; b. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak mengatur; c. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas; dan d. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas. Pejabat Pemerintahan yang menggunakan Diskresi harus memenuhi syarat-syarat berikut: a. sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) UU Administrasi Pemerintahan; b. tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. sesuai dengan AUPB; d. berdasarkan alasan-alasan yang objektif; e. tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan f. dilakukan dengan iktikad baik. Penggunaan Diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran wajib memperoleh persetujuan dari Atasan Pejabat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Persetujuan itu dilakukan apabila penggunaan Diskresi berdasarkan ketentuan Pasal 23 huruf a, huruf b, dan huruf c UU Administrasi Pemerintahan serta menimbulkan akibat hukum yang berpotensi membebani keuangan negara. Dalam hal penggunaan Diskresi menimbulkan keresahan masyarakat, keadaan darurat, mendesak dan/atau terjadi bencana alam, Pejabat Pemerintahan wajib memberitahukan kepada Atasan Pejabat sebelum penggunaan Diskresi dan melaporkan kepada Atasan Pejabat setelah penggunaan Diskresi. Pemberitahuan sebelum penggunaan Diskresi tersebut dilakukan apabila penggunaan Diskresi berdasarkan ketentuan dalam Pasal 23 huruf d yang berpotensi menimbulkan keresahan masyarakat. Pelaporan setelah penggunaan Diskresi itu dilakukan apabila penggunaan Diskresi berdasarkan ketentuan dalam Pasal 23 huruf d UU Administrasi Pemerintahan yang terjadi dalam keadaan darurat, keadaan mendesak, dan/atau terjadi bencana alam. Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) UU Administrasi Pemerintahan wajib menguraikan maksud, tujuan, substansi, serta dampak administrasi dan keuangan. Pejabat yang menggunakan Diskresi itu wajib menyampaikan permohonan persetujuan secara tertulis kepada Atasan Pejabat. Dalam waktu 5 (lima) hari kerja setelah berkas permohonan diterima, Atasan Pejabat menetapkan persetujuan, petunjuk perbaikan, atau penolakan. Apabila Atasan Pejabat tersebut melakukan penolakan, Atasan Pejabat tersebut harus memberikan alasan penolakan secara tertulis.
Penggunaan Diskresi dikategorikan melampaui Wewenang apabila: a. bertindak melampaui batas waktu berlakunya Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan; b. bertindak melampaui batas wilayah berlakunya Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau c. tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28 UU Administrasi Pemerintahan.  Akibat hukum dari penggunaan Diskresi itu menjadi tidak sah.
Penggunaan Diskresi dikategorikan mencampuradukkan Wewenang apabila: a. menggunakan Diskresi tidak sesuai dengan tujuan Wewenang yang diberikan; b. tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28 UU Administrasi Pemerintahan; dan/atau c. bertentangan dengan AUPB. Akibat hukum dari penggunaan Diskresi itu dapat dibatalkan.Penggunaan Diskresi dikategorikan sebagai tindakan sewenang-wenang apabila dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berwenang. Akibat hukum dari penggunaan Diskresi itu menjadi tidak sah.
Perppu No. 1 Tahun 2020 tersebut justru merespons secara tepat ekses dari kondisi darurat yang dihadapi sebagai akibat Covid-19 yang bisa menimbulkan permasalahan ekonomi yang (sudah mulai) dialami masyarakat, khususnya masyarakat kecil dan UMKM. Perppu tersebut telah mengatur sinergi dari kebijakan darurat yang harus diambil oleh otoritas fiskal pemerintah, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dan KSSK. Sesungguhnya, sinergi peranan dari lembaga-lembaga tersebut sangat diperlukan sebagai implikasi struktural dari penetapan keadaan kedaruratan kesehatan masyarakat akibat Covid-19.
Gambar 3
Proyeksi Permodelan Covid-19 Oleh ITB[7]


3.       Justifikasi Konstitusional
Pengaturan dalam paket regulasi tersebut tentu saja lebih mudah untuk ditelusuri justifikasinya secara konstitusional maupun normatif, daripada sekadar secara latah mengikuti kebijakan yang diambil oleh sejumlah negara lain termasuk di Wuhan China yang paling awal mengambil langkah lockdown.  Lockdown secara faktual sering dimakani sebagai situasi yang melarang warga untuk masuk ke suatu tempat karena kondisi darurat. Lockdown juga bisa berarti negara yang menutup perbatasannya, agar tidak ada orang yang masuk atau keluar dari negaranya. Kebijakan pemerintah yang menutup akses penerbangan dari sejumlah negara asing sesungguhnya sudah dekat dengan makna lockdown tersebut.  PSBB sendiri sejatinya secara esensial bisa memenuhi kondisi yang diharapkan yang tidak kurang derajat kualitatifnya dibandingkan dengan lockdown, dengan pemerintah saat ini secara tegas melaksanakan cakupan kebijakan PSBB yang diatur dalam UU Kekarantinaan Kesehatan seperti peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Di sisi lain, upaya paksa dengan tegas dari aparat penegak hukum dalam memantau implementasi PSBB diikuti dengan kepatuhan sosial dari masyarakat akan mementukan keberhasilan untuk mencapai tujuan dari PSBB.  Sinergi dengan kebijakan di daerah untuk melakukan langkah-langkah darurat kesehatan dalam menghadapi sejumlah warga masyarakat yang masih memaksa mudik ke daerah di saat diterapkan PSBB misalnya melalui kewajiban isolasi bagi pemudik dan karantina wilayah memang menjadi problem serius yang bisa mementahkan PSBB jika gagal dilaksanakan secara efektif oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah. Di saat itulah, pemerintah berpendapat bahwa dapat diterapkan kondisi kedaruratan sipil sebagaimana diatur dalam Perppu No. 23 Tahun 1959 jika ketidakpatuhan sosial bisa menimbulkan anomali sosial yang mengancam keamanan negara.

4.       Analisis Terhadap Kerangka Hukum Kebijakan Penanganan Covid-19
Berikut ini diuraikan dan dianalisis kerangka hukum pokok kebijakan penanganan Covid-19 berikut ringkasan substansinya dan implikasi dari pengaturannya dengan menggunakan pendekatan Regulatory Impact Assesment.
Tabel 1
Regulatory Impact Assesment Terhadap Kerangka Hukum Kebijakan Penanganan Covid-19
No
Dasar Hukum
Ringkasan Substansi
Implikasi Pengaturan
1
Perppu No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan
Kebijakan dan langkah-langkah luar biasa Pemerintah dan lembaga terkait dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan melalui berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) khususnya dengan melakukan peningkatan belanja untuk kesehatan, pengeluaran untuk jaring pengaman sosial (social safety net), dan pemulihan perekonomian, serta memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan.
1.     Pemerintah berwenang menetapkan batasan defisit anggaran; melakukan penyesuaian besaran belanja wajib (mandatory spending) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan terkait; melakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi, dan /atau antarprogram; melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia atau tidak cukup tersedia, serta menentukan proses dan metode pengadaan barang ljasa melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia atau tidak cukup tersedia, serta menentukan proses dan metode pengadaan barang/jasa; menggunakan anggaran yang bersumber dari: 1. Sisa Anggaran Lebih (SAL); 2. dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan; 3. dana yang dikuasai negara dengan kriteria tertentu; 4. dana yang dikelola oleh Badan Layanan Umum; dan/atau 5. dana yang berasal dari pengurangan Penyertaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN); menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-l9) untuk dapat dibeli oleh Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), investor korporasi, danf atau investor ritel; menetapkan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalam dan/atau luar negeri; memberikan pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan; melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), penyesuaian alokasi, dan/atau pemotongan/ penundaan penyaluran anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa, dengan kriteria tertentu; memberikan hibah kepada Pemerintah Daerah; dan/atau melakukan penyederhanaan mekanisme dan simplifikasi dokumen di bidang keuangan negara.
2.     Dalam rangka pelaksanaan kebijakan di bidang keuangan daerah, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), perubahan alokasi, dan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
3.     Dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan di tengah-tengah kondisi terjadinya pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau untuk menghadapi ancaman krisis ekonomi danf atau stabilitas sistem keuangan, perlu menetapkan kebijakan stabilitas sistem keuangan.
4.     Untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia diberikan kewenangan tertentu.
5.     Untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan diberikan kewenangan tertentu.
6.     Untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan, Otoritas Jasa Keuangan diberikan kewenangan tertentu.
2.        
UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
UU ini menjadi landasan hukum bagi upaya untuk melakukan cegah tangkal atas penyakit dan faktor risiko kesehatan yang komprehensif dan terkoordinasi, serta membutuhkan sumber daya, peran serta masyarakat, dan kerja sama internasional sebagai respons terhadap kemajuan teknologi transportasi dan era perdagangan bebas dapat berisiko menimbulkan gangguan kesehatan dan penyakit baru atau penyakit lama yang muncul kembali dengan penyebaran yang lebih cepat dan berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia berkomitmen melakukan upaya untuk mencegah terjadinya kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia sebagaimana yang diamanatkan dalam regulasi internasional di bidang kesehatan, dan dalam melaksanakan amanat ini Indonesia harus menghormati sepenuhnya martabat, hak asasi manusia, dasar-dasar kebebasan seseorang, dan penerapannya secara universal;
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat melalui penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan. Pemerintah Pusat menetapkan dan mencabut Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Pemerintah Pusat diberikan kewenangan atributif untuk menetapkan dan mencabut penetapan Pintu Masuk dan/atau wilayah di dalam negeri yang Terjangkit Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Sebelum menetapkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, Pemerintah Pusat terlebih dahulu menetapkan jenis penyakit dan faktor risiko yang dapat menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Dalam rangka melakukan tindakan mitigasi faktor risiko di wilayah pada situasi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dilakukan Karantina Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, atau pembatasan Sosial Berskala Besar oleh pejabat Karantina Kesehatan. Karantina Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, atau Pembatasan Sosial Berskala Besar harus didasarkan pada pertimbangan epidemiologis, besarnya ancaman, efektifitas, dukungan sumber daya, teknis operasional, pertimbangan ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan.
3.        
PP No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)
Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dengan jumlah kasus dan/atau jumlah kematian telah meningkat dan meluas lintas wilayah dan lintas negara dan berdampak pada aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, serta kesejahteraan masyarakat di Indonesia. Dampak penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah mengakibatkan terjadinya keadaan tertentu sehingga perlu dilakukan upaya penanggulangan, salah satunya dengan tindakan pembatasan sosial berskala besar
Dengan persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, Pemerintah Daerah dapat melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau pembatasan terhadap pergerakan orang dan barang untuk satu provinsi atau kabupaten/ kota tertentu. Pembatasan Sosial Berskala Besar harus didasarkan pada pertimbangan epidemiologis, besarnya ancaman, efektifitas, dukungan sumber daya, teknis operasional, pertimbangan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Pembatasan Sosial Berskala Besar harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a. jumlah kasus danlatau jumlah kematian akibat penyakit meningkat dan menyebar secara signifikan dan cepat ke beberapa wilayah; dan b. terdapat kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain. Pembatasan Sosial Berskala Besar paling sedikit meliputi: a. peliburan sekolah dan tempat kerja; b. pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau c. pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Pembatasan kegiatan harus tetap mempertimbangkan kebutuhan pendidikan, produktivitas kerja, dan ibadah penduduk. Pembatasan kegiatan dilakukan dengan memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar penduduk.
4.        
Keppres No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)
Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang bersifat luar biasa ditandai dengan jumlah kasus dan/atau jumlah kematian telah meningkat dan meluas lintas wilayah dan lintas negara dan berdampak pada aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan kearnanan, serta kesejahteraaan masyarakat di Indonesia. Presiden menetapkan Keputusan Presiden tentang Penetapan Kcdaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19 di lndonesia wajib dilakukan upaya penanggulangan sesuai dengan ketentuan peiaturan perundang-undangan.
Ditetapkan kondisi Darurat Kesehatan Masyarakat Covid-19 yang berlaku di seluruh wilayah NKRI.
5.        
Keppres No. 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional
Bencana nonalam yang disebabkan oleh penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah berdampak meningkatnya jumlah korban dan kerugian harta benda, meluasnya cakupan wilayah yang terkena bencana, serta menimbulkan implikasi pada aspek sosial ekonomi yang luas di Indonesia. World Health Organization (WHO) telah menyatakan COVID-19 sebagai Global Pandemic tanggal 11 Maret 2O2O. Hal itu menjadi landasan bagi ditetapkannya Keputusan Presiden tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Vints Disease 2019 (COVID l9) Sebagai Bencana Nasional
Ditetapkannya bencana nonalam yang diakibatkan oleh penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dengan status sebagai bencana nasional. Penanggulangan bencana nasional yang diakibatkan oleh penyebaran Corona Virus Dsease 2019 (COVID-19) dilaksanakan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) melalui sinergi antar kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Gubernur, bupati, dan walikota sebagai Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan:. Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di daerah, dalam menetapkan kebijakan di daerah masing-masing harus memperhatikan kebijakan Pemerintah Pusat
6.        
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 612/Menkes/SK/V/2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Karantina Kesehatan Pada Penanggulangan Kedaruratan Kesehatan Kesehatan Masyarakat Yang Meresahkan Dunia
Perlunya peningkatan pelaksanaan tindakan kekarantinaan di pintu masuk negara dan wilayah melalui perumusan kebijakan teknis, prosedur dan pedoman dalam rangka pelaksanaan International Health Regulation (IHR) 2005 guna mencegah penularan dan penyebaran penyakit potensial wabah yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehataan masyarakat yang meresahkan dunia.
Adanya pedoman penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia. Pedoman tersebut menjadi acuan bagi para petugas kesehatan dalam pelaksanaan kekarantinaan baik di pintu masuk negara maupun di wilayah ketika terjadi kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia.
7.        
Permenhub No. PM 18 Tahun 2020 Tentang Pengendalian Transportasi Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)
Dengan adanya penetapan Presiden RI tentang Status Kedaruratan Masyarakat Covid-19 di Indonesia dan PP No. 21 Tahun 2020 guna menekan penyebaran Covid-19 Kementerian Perhubungan berwenang melakukan pembatasan moda transportasi sesuai dengan Permenkes No. 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Penanganan Covid-19.
Kementerian Perhubungan diberikan kewenangan untuk melakukan pengendalian transportasi yang mengangkut penumpang dan dapat dilakukan dilakukan pada saat: a. persiapan perjalanan; b. selama perjalanan; dan c. sampai tujuan atau kedatangan. Pemerintah juga dapat melakukan pengendalian transportasi pada wilayah yang ditetapkan sebagai Pembatasan Sosial Berskala Besar yang  dilakukan terhadap transportasi yang mengangkut penumpang dan logistik/barang.
8.        
Permenhub No. PM 25 Tahun 2020 Tentang Pengendalian Transportasi Selama Mudik Idul Fitri Tahun 1441 Hijriah Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)
Dalam rangka pencegahan penyebaran covid-19 dan untuk melaksanakan kebijakan pemerintah di bidang transportasi, dilakukan langkah-langkah pengendalian arus transportasi selama masa mudik indul fitri tahun 1441 Hijriah. Hal itu dilakukan dengan cara melakukan larangana sementara penggunaan sarana transportasi. Larangan sementara penggunaan sarana transportasi darat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 berlaku untuk sarana transportasi dengan tujuan keluar dan/atau masuk wilayah: a. pembatasan sosial berskala besar; b. zona merah penyebaran corona virus disease 2019 (covid19); dan c. aglomerasi yang telah ditetapkan sebagai wilayah pembatasan sosial berskala besar. Sarana transportasi darat itu terdiri atas: a. kendaraan bermotor umum, dengan jenis mobil bus dan mobil penumpang;  b. kendaraan bermotor perseorangan, dengan jenis mobil penumpang, mobil bus, dan sepeda motor; c. kapal angkutan penyeberangan; dan d. kapal angkutan sungai dan danau. Larangan sementara penggunaan sarana transportasi perkeretaapian berlaku untuk: a. perjalanan kereta api antarkota; dan b. perjalanan kereta api perkotaan. Larangan sementara penggunaan sarana transportasi laut berlaku untuk semua kapal penumpang.  Larangan sementara penggunaan transportasi udara merupakan larangan kepada setiap warga negara melakukan perjalanan di dalam negeri melalui bandar udara dari dan ke wilayah yang ditetapkan sebagai pembatasan sosial berskala besar dan/atau zona merah penyebaran corona virus disease 2019 (covid-19) baik dengan menggunakan transportasi umum maupun transportasi pribadi.

Pengendalian transportasi selama masa mudik idul fitri tahun 1441 Hijriah dalam rangka pencegahan penyebaran corona virus disease 2019 (covid-19) dilakukan melalui larangan sementara penggunaan sarana transportasi.  Larangan sementara penggunaan sarana transportasi berlaku untuk: a. transportasi darat; b. transportasi perkeretaapian; c. transportasi laut; dan d. transportasi udara.  Larangan sementara penggunaan sarana transportasi mulai berlaku pada tanggal 24 April 2020 sampai dengan tanggal 31 Mei 2020. Namun, dalam hal pencegahan penyebaran corona virus disease 2019 (covid-19) masih harus dilakukan, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang.
9.        
Permenkes No. 9 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)
Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID19) dengan jumlah kasus dan/atau jumlah kematian telah meningkat dan meluas lintas wilayah dan lintas negara dan berdampak pada aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, serta kesejahteraan masyarakat di Indonesia. Dalam upaya menekan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) semakin meluas, Menteri Kesehatan dapat menetapkan pembatasan sosial berskala besar
Menteri Kesehatan berwenang menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar di suatu wilayah berdasarkan permohonan gubernur/bupati/walikota. Permohonan dari gubernur tersebut berlaku untuk lingkup satu provinsi atau kabupaten/kota tertentu. Permohonan dari bupati/walikota tersebut berlaku untuk lingkup satu kabupaten/kota. Untuk dapat ditetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar, suatu wilayah provinsi/kabupaten/kota harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a. jumlah kasus dan/atau jumlah kematian akibat penyakit meningkat dan menyebar secara signifikan dan cepat ke beberapa wilayah; dan b. terdapat kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain. Selain diusulkan oleh gubernur/bupati/walikota, Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID19) dapat mengusulkan kepada Menteri untuk menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar di wilayah tertentu berdasarkan pada kriteria yang ditentukan.

10.    
Permendes PDT dan Transmigrasi No. 6 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Permendes PDT dan Transmigrasi No. 11 Tahun 2019 Tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020.
Penyebaran Corona  Virus  Disease  2019  (COVID19)  telah berdampak bagi kehidupan sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat Desa, Berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan untuk Penanganan dan Penyebaran Pandemi Corona  Virus  Disease  2019 (COVID-19) di Desa melalui penggunaan Dana Desa dapat digunakan untuk bantuan langsung tunai kepada penduduk miskin di Desa, perlu penyesuaian beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 11 Tahun 2019 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020
Penanganan dampak pandemi COVID-19 dapat berupa BLT-Dana Desa kepada keluarga miskin di Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Keluarga miskin yang menerima BLT-Dana Desa merupakan keluarga yang kehilangan mata pencaharian atau pekerjaan, belum terdata menerima Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), dan kartu pra kerja, serta yang mempunyai anggota keluarga yang rentan sakit menahun/kronis

            Serangkaian kebijakan yang dilaksanakan berdasarkan kerangka hukum di atas memperlihatkan alur pikir sebagai berikut:


Skema 1
Alur Pikir Kebijakan

            Pasca Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2020 Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian  Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan, ditetapkan 2 (dua) landasan hukum yang memberlakukan keadaan hukum kedaruratan kesehatan masyarakat dan penetapan keadaan bencana nasional sebagai akibat bencana nonalam penyebaran Covid-19 melalui 2 (dua) Keppres, yaitu: Keppres No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan Keppres No. 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional. Instrumen hukum utama yang digunakan untuk menopang pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah dalam kondisi tersebut dapat diklasifikasikan terdiri dari: sistem hukum transportasi, sistem hukum kesehatan, sistem hukum keuangan negara dan sistem hukum perbankan serta yang berkaitan dengannya
            Berkaitan dengan pelaksanaan PSBB yang dilaksanakan berdasarkan UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dengan pelaksanaannya melalui PP No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), dapat dikatakan memberlakukan 2 (dua) kondisi hukum sekaligus:
1.       Memberlakukan rezim hukum sektoral yang  bersifat reguler (nondarurat) karena sesungguhnya PP No. 21 Tahun 2020 merupakan pelaksanaan dari UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang memang harus dibuat sebagai pelaksanaan dari UU tersebut, terlepas apakah Pemerintah memberlakukan status hukum keadaan darurat kesehatan atau tidak. Pada konsiderans yuridis, digunakan 3 (tiga) dasar undang-undang, yaitu: Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3273); Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2OO7 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OO7 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723); Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6236). Hanya saja pembuatan PP No. 21 Tahun 2020 tersebut yang dilakukan pasca dikeluarkan Perppu No. 1 Tahun 2020 menimbulkan kesan bahwa PP No. 21 Tahun 2020 merupakan implementasi dari Perppu tersebut. Padahal, secara normatif landasan dari PP No. 21 Tahun 2020 adalah ketiga undang-undang tersebut di atas.
2.       Memberlakukan rezim hukum darurat berdasarkan 3 (tiga) landasan hukum, yaitu: Perppu No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan, Keppres No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19); dan Keppres No. 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional.
Analisa tersebut diatas berimplikasi terhadap kedudukan dari Perppu No. 1 Tahun 2020 yang tidak dapat diidentikkan begitu saja dengan keharusan penyusunan bangunan hierarkhis rezim hukum sektoral di lingkungan UU No. No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Hal ini menjelaskan bahwa wilayah hukum diskresi kebijakan dalam perspektif Hukum Administrasi Negara hanya diterapkan pada cakupan ruang lingkup pengaturan Perppu No. 1 Tahun 2020. Di luar hal-hal yang diatur dalam Perppu No. 1 Tahun 2020, tetap berlaku hukum sektoral reguler (non darurat). Hal ini berarti penggunaan wewenang di luar yang diatur dalam Perppu No. 1 Tahun 2020 tidak diberlakukan rezim hukum darurat.
            Sehubungan dengan analisis tersebut, perlu ditelaah lebih dalam subtansi dari Perppu No. 1 Tahun 2020 secara komprehensif serta implikasi dari pengaturannya.
Tabel 2
Analisis Substantif Perppu No. 1 Tahun 2020
No
Ruang Lingkup Kebijakan
Pengaturan Hal-hal Pokok
Implikasi
1.        
Kebijakan Keuangan Negara
Dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara, Pemerintah berwenang untuk: a. menetapkan batasan defisit anggaran, dengan ketentuan sebagai berikut: 1. melampaui 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022; 2. sejak Tahun Anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB); dan 3. penyesuaian besaran defisit sebagaimana dimaksud pada angka 1 menjadi sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan secara bertahap. b. melakukan penyesuaian besaran belanja wajib (mandatory spending) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan terkait; c. melakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi, dan / atau antarprogram ; d. melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia atau tidak cukup tersedia, serta menentukan proses dan metode pengadaan barang ljasa; e. menggunakan anggaran yang bersumber dari: 1. Sisa Anggaran Lebih (SAL); 2. dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan; 3. dana yang dikuasai negara dengan kriteria tertentu; 4. dana yar,g dikelola oleh Badan Layanan Umum; dan/atau 5. dana yang berasal dari pengurangan Penyertaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN); f. menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) untuk dapat dibeli oleh Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), investor korporasi, danf atau investor ritel; g. menetapkan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalam dan/atau luar negeri; h. memberikan pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan; i. melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refoansing), penyesuaian alokasi, dan/atau pemotongan/ penundaan penyaluran anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa, dengan kriteria tertentu; j. memberikan hibah kepada Pemerintah Daerah; dan/atau k. melakukan penyederhanaan mekanisme dan simplifikasi dokumen di bidang keuangan negara. Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan keuangan negara tersebut, diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pemerintah diberikan kewenangan diskresi untuk menetapkan batasan defisit anggaran dengan persyaratan tertentu (diskresi terikat); melakukan penyesuaian besaran belanja wajib (mandatory spending); pergeseran anggaran; melakukan tindakan pengeluaran atas beban APBN yang belum tersedia anggaran dan menentukan proses dan metode pengadaan barang dan jasa (mengubah implementasi dari Perpres No. 16 Tahun 2018); menggunakan anggaran yang bersumber dari: 1. Sisa Anggaran Lebih (SAL); 2. dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan; 3. dana yang dikuasai negara dengan kriteria tertentu; 4. dana yang dikelola oleh Badan Layanan Umum; dan/atau 5. dana yang berasal dari pengurangan Penyertaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN); menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu untuk dapat dibeli oleh Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), investor korporasi, danf atau investor ritel; menetapkan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalam dan/atau luar negeri;  memberikan pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan;  melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), penyesuaian alokasi, dan/atau pemotongan/ penundaan penyaluran anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa, dengan kriteria tertentu; memberikan hibah kepada Pemerintah Daerah; dan/atau melakukan penyederhanaan mekanisme dan simplifikasi dokumen di bidang keuangan negara. Hal ini berarti kewenangan diskresi terkait pelaksanaan UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara dan regulasi di bidang penjaminan simpanan serta perbankan.
2.        
Kebijakan di Bidang Keuangan Daerah
Dalam rangka pelaksanaan kebijakan di bidang keuangan daerah, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), perubahan alokasi, dan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Ketentuan mengenai pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), perubahan alokasi, dan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tersebut, diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.
Pemerintah Daerah dengan mengacu pedoman dari Mendagri diberikan kewenangan untuk melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), perubahan alokasi, dan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Ketentuan mengenai pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), perubahan alokasi, dan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
3.        
Kebijakan di Bidang Perpajakan
Kebijakan di bidang perpajakan itu meliputi: penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap; b. perlakuan perpajakan dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE); c. perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan; dan d. pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan kondisi darurat serta pemulihan dan penguatan ekonomi nasional.
Pemerintah berwenang untuk melakukan kebijakan diskresi di bidang perpajakan dalam bentuk: penyesuaian tarif pajak WP Badan DN dan BUT; perlakuan perpajakan dalam kegiatan PMSE; perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan; pemberian kewenangan kepada Menkeu untuk memberikan fasilitas kepabeanan (pembebasan/keringanan) terhadap kegiatan tertentu.
4.        
Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional
Dalam rangka mendukung kebijakan keuangan negara dan guna melakukan penyelamatan ekonomi nasional, Pemerintah menjalankan program pemulihan ekonomi nasional. Program tersebut bertujuan untuk melindungi, mempertahankan dan meningkatkan kemampuan ekonomi para pelaku usaha dari sektor riil dan sektor keuangan dalam menjalankan usahanya. Program pemulihan ekonomi nasional dapat dilaksanakan melalui Penyertaan Modal Negara, penempatan dana danf atau investasi Pemerintah, dan/atau kegiatan penjaminan dengan skema yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Dilakukan langkah-langkah untuk melindungi, mempertahankan dan meningkatkan kemampuan ekonomi para pelaku usaha dari sektor riil dan sektor keuangan dalam menjalankan usahanya.
5.        
Kebijakan Stabilitas Sistem Keuangan
Dalam rangka pelaksanaan kebijakan stabilitas sistem keuangan, Komite Stabilitas Sistem Keuangan yang selanjutnya disebut KSSK, diberikan kewenangan untuk merumuskan dan menetapkan langkah-langkah penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan dan menetapkan skema pemberian dukungan oleh Pemerintah untuk penanganan permasalahan lembaga jasa keuangan dan stabilitas sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional.
Pelaksanaan kebijakan diatribusikan untuk dilaksanakan oleh BI, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Pemerintah. Masing-masing diberikan kewenangan mengatur lebih lanjut melalui peraturan masing-masing.
Perubahan sejumlah kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan guna mendukung kebijakan stabilitas sistem keuangan

            Mencermati pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kerangka hukum dalam penanganan covid-19 tetap dilakukan dengan mengefektifkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan sektoral, terutama di bidang kesehatan dan perhubungan/transportasi. Kebijakan darurat hanya diambil melalui Perppu secara khusus di bidang pengelolaan keuangan negara/daerah, perpajakan, sistem perbankan dan perekonomian.




Skema 2
Kebijakan Darurat dan Reguler














                    Landasan hukum bagi penetapan Perppu terdapat pada UUD maupun UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar  Negara RI 1945 mengaatur bahwa: Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.” Penetapan Perppu yang dilakukan oleh Presiden ini juga diatur dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi: “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.”  Sedangkan kriteria obyektif untuk dikeluarkannya Perppu oleh Presiden dirumuskan dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Berdasarkan Putusan MK tersebut, ada  3 (tiga) syarat sebagai parameter adanya kegentingan yang memaksa bagi Presiden untuk menetapkan Perppu, yaitu:
1.     Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
2.     Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
3.     Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan;

Hakikat lahirnya Perpu adalah untuk antisipasi keadaan yang “genting dan memaksa”. Jadi ada unsur paksaan keadaan untuk segera diantisipasi tetapi masih dalam koridor hukum yakni melalui Perpu, dan Perpu tersebut harus segera dibahas dipersidangan berikutnya untuk disetujui atau tidak menjadi undang-undang. Jika Perpu tidak disetujui dalam persidangan DPR maka Perpu tersebut harus dicabut.[8]
            Tidak diatur kriteria bidang yang boleh diatur melalui Perppu, namun, hanya terdapat syarat keadaan dan kriteria obyektif untuk ditetapkannya Perppu oleh Presiden. Dengan demikian, kriteria bidang yang perlu untuk diatur melalui Perppu diserahkan kepada pertimbangan subyektif Presiden dengan mengacu pada syarat keadaan/kondisional yang terjadi.  Maka, menghadapi pandemi Covid-19 presiden memiliki kewenangan konstitusional maupun normatif untuk menetapkan bahwa bidang yang dianggap perlu diatur melalui Perppu adalah kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.
            Bahwa terhadap tiga syarat di atas adalah syarat adanya “kegentingan yang memaksa” sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian pengertian kegentingan yang memaksa tidak dimaknai sebatas hanya adanya keadaan bahaya sebagaimana dimaksud oleh Pasal 12 UUD 1945. Memang benar bahwa keadaan bahaya sebagaimana dimaksud oleh Pasal 12 UUD 1945 dapat menyebabkan proses pembentukan Undang-Undang secara biasa atau normal tidak dapat dilaksanakan, namun keadaan bahaya bukanlah satu-satunya keadaan yang menyebabkan timbulnya kegentingan memaksa sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menyatakan. ”Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Dari rumusan kalimat tersebut jelas bahwa peraturan pemerintah yang dimaksud pada pasal tersebut adalah sebagai pengganti UndangUndang, yang artinya seharusnya materi tersebut diatur dalam wadah Undang-Undang tetapi karena kegentingan yang memaksa, UUD 1945 memberikan hak kepada Presiden untuk menetapkan Perpu dan tidak memberikan hak kepada DPR untuk membuat peraturan sebagai pengganti Undang-Undang. Apabila pembuatan peraturan tersebut diserahkan kepada DPR maka proses di DPR memerlukan waktu yang cukup lama karena DPR sebagai lembaga perwakilan, pengambilan putusannya ada di tangan anggota, yang artinya untuk memutuskan sesuatu hal harus melalui rapat-rapat DPR sehingga kalau harus menunggu keputusan DPR kebutuhan hukum secara cepat mungkin tidak dapat terpenuhi. Di samping itu, dengan disebutnya ”Presiden berhak” terkesan bahwa pembuatan Perpu menjadi sangat subjektif karena menjadi hak dan tergantung sepenuhnya kepada Presiden. Pembuatan Perpu memang di tangan Presiden yang artinya tergantung kepada penilaian subjektif Presiden, namun demikian tidak berarti bahwa secara absolut tergantung kepada penilaian subjektif Presiden karena sebagaimana telah diuraikan di atas penilaian subjektif Presiden tersebut harus didasarkan kepada keadaan yang objektif yaitu adanya tiga syarat sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa”.[9]
            Tetap digunakannya UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan ternyata disebabkan bahwa UU tersebut sudah mengatur pada Bab V perihal kedaruratan kesehatan masyarakat pada Pasal 10 sebagai berikut:
(1)     Pemerintah Pusat menetapkan dan mencabut Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
(2)     Pemerintah Pusat menetapkan dan mencabut penetapan Pintu Masuk dan/atau wilayah di dalam negeri yang Terjangkit Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
(3)     Sebelum menetapkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, Pemerintah Pusat terlebih dahulu menetapkan jenis penyakit dan faktor risiko yang dapat menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
(4)     Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan dan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan pemerintah.
Ketentuan itulah yang digunakan sebagai rujukan dari ditetapkannya Keppres No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Keppres No. 11 Tahun 2020 menyebutkan dua hal pokok: (1) Menetapkan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai jenis penyakit yang menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan (2) Menetapkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di lndonesia yang wajib dilakukan upaya penanggulangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Maka, sifat kedaruratan masyarakat sebagai landasan kebijakan penanganan Covid-19 sudah disediakan dalam UU No. 16 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan sebagai regulasi sektoral yang sudah mengatur sistem penanganan kondisi kedaruratan masyarakat berdasarkan seperangkat kriteria, metode dan proses dalam pelaksanaan kebijakan terkait.
Diterbitkannya Keppres RI No. 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional memiliki rujukan yang berbeda dengan Keppres RI No. 11 Tahun 2020, karena bersumber dari  Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3273) dan Undang-Undang Nomor '24 Tahun 2007 tentang Penarrggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lemharan Negara Republik Indonesia Nomor 4723). Hal itu diatur pada Pasal 7 ayat (1) huruf c UU No. 24 Tahun 2007 yang mengatur bahwa Pemerintah berwenang menetapkan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah.  Penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  huruf  c  memuat   indikator yang meliputi: a.  jumlah korban;  b.  kerugian harta benda;  c.  kerusakan prasarana dan sarana; d.  cakupan luas wilayah yang terkena bencana; dan e.  dampak  sosial ekonomi yang ditimbulkan. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat  yang  disebabkan,  baik  oleh   faktor   alam   dan/atau faktor nonalam maupun faktor  manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,  kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Pasal 1 angka 1). Adapun yang dimaksud dengan Bencana Nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian  peristiwa  nonalam  yang  antara  lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit (Pasal 1 angka 3).
Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa penetapan status keadaan kedaruratan kesehatan masyarakat Covid-19 berdasarkan Keppres No. 11 Tahun 2020 memiliki landasan hukum yang berbeda dengan penetapan status keadaan bencana nonalam penyebaran covid-19. Sumber pembiayaan dari UU sektoral yang berbeda memungkinkan terjadinya perbedaan sumber dalam pembiayaan dari rekening Kementerian/Lembaga yang berbeda, namun dapat juga dilakukan pembiayaan bersama sejauh tidak terjadi double budget atau pembiayaan ganda dari sumber rekening Kementerian/Lembaga yang berbeda, namun digunakan untuk melakukan pembiayaan atas program/kegiatan yang sama. Hal inilah yang harus tetap menjadi pedoman dalam pembiayaan atas penanganan covid-19 dan dampak yang ditimbulkannya.
Pada pembahasan di atas juga telah diuraikan bahwa Pandemi Covid-19 di Indonesia memiliki dampak multisektor, dari pendidikan, sosial, ekonomi, hingga aktivitas beribadah di masyarakat. Perppu No. 1 Tahun 2020 dipersiapkan sebagai kerangka hukum bagi kebijakan pemerintah untuk mengatasi dampak multisektor dari pandemi Covid-19 (Periksa tabel analisis Substansi Perppu No. 1 Tahun 2020 di atas). Maka, dapat disimpulkan bahwa kerangka hukum bagi landasan kebijakan Pemerintah untuk mengatasi Covid-19 beserta dampak yang ditimbulkannya, memperlihatkan sebuah kebijakan darurat yang bersifat komprehensif dan dipersiapkan untuk mampu mengatasi dampak multisektor yang ditimbulkan oleh penyebaran Covid-19.






Skema 3
Siklus Kebijakan



            Kerangka hukum sebagai landasan hukum penanganan covid-19 dapat diletakkan di ranah policy formulation dalam siklus kebijakan publik. Luasnya dampak sosial, ekonomi dan kesehatan sebagai akibat covid-19 mengharuskan peran multisektor untuk bersinergi dalam penanganannya. Maka, untuk mengantisipasi kegagalan dalam implementasinya diperlukan pengawasan efektif terhadap pelaksanaannya dan evaluasi atas implementasinya. Diperlukan adanya sistem pengawasan yang memadai terhadap implementasi kebijakan penanganan covid-19.  Pasal 28 Perppu No. 1 Tahun 2020 mengatur pengecualian bagi berlakunya hal-hal yang diatur dalam Perppu dengan tidak memberlakukan sejumlah peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, keuangan negara, perbendaharaan negara, perbankan, LPS, perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, kesehatan, desa, pemerintahan daerah, MD3, pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan dan APBN. Hal tersebut telah memberikan kewenangan preferensi terhadap subtansi Perppu baik menyangkut obyek, subyek maupun sejumlah kewenangan yang diatur didalamnya. Hal ini berpotensi untuk menyebabkan terjadinya penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dalam implementasi Perppu No. 1 Tahun 2020 maupun kerangka hukum yang berkaitan dengan implementasi Perppu tersebut.
 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan mengatur berikut ini. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan Wewenang. Larangan penyalahgunaan Wewenang tersebut meliputi: a. larangan melampaui Wewenang; b. larangan mencampuradukkan Wewenang; dan/atau c. larangan bertindak sewenang-wenang. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan melampaui Wewenang apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan: a. melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya Wewenang; b. melampaui batas wilayah berlakunya Wewenang; dan/atau c. bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.  Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan mencampuradukkan Wewenang apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan: a. di luar cakupan bidang atau materi Wewenang yang diberikan; dan/atau b. bertentangan dengan tujuan Wewenang yang diberikan. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan bertindak sewenang-wenang apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan: a. tanpa dasar Kewenangan; dan/atau b. bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Ada beberapa ketentuan dalam Perppu No. 1 Tahun 2020 yang penting untuk dicermati, yaitu yang diatur pada Pasal 27.  Pasal 27 ayat (1) mengatur bahwa biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara. Ketentuan ini merupakan konsekuensi dari pemberian preferensi atas hal-hal yang diatur dalam Perppu No. 1 Tahun 2020 dengan mengesampingkan berlakunya sejumlah peraturan perundang-undangan terkait, mengingat karakter dari Perppu.
Pasal 27 ayat (2) Perppu No. 1 Tahun 2020 mengatur bahwa Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini mengatur mengenai privilege terbatas/bersyarat bagi subyek norma yang diatur dalam Perppu tersebut. Syarat untuk tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana adalah jika dipenuhi persyaratan yaitu: (1) dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Maka, pada hakikatnya, pengaturan mengenai privilege bagi pengambil kebijakan dalam Perppu tersebut tetap didasarkan atas Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik maupun prinsip-prinsip good governance.
Pasal 27 ayat (3) mengatur bahwa segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara. Logika hukum di balik pengaturan ini adalah berkaitan dengan batasan waktu penggunaan anggaran yang bersumber dari APBN/D yang dibatasi oleh tahun fiskal yang disamakan dengan tahun kalender. Manakala, terhadap keputusan yang diambil dapat diajukan gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara yang penyelesaiannya juga memungkinkan untuk dilakukan upaya hukum sampai ke Mahkamah Agung, maka, akan menyebabkan terganggunya pelaksanaan kebijakan darurat yang diambil oleh sejumlah pengambil kebijakan yang diberi kewenangan dalam Perppu yang justru menyebabkan tidak tercapainya tujuan yang ingin dicapai melalui Perppu.
Dengan demikian, pengawasan yang dilakukan atas implementasi kebijakan melalui Perppu No. 1 Tahun 2020 dan sejumlah peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengannya tetap dapat dilakukan melalui sistem pengawasan internal dan pencegahan terhadap terjadinya potensi penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan Perppu No. 1 Tahun 2020 dan peraturan perundang-undangan terkait. Maka, jika penyalahgunaan wewenang dilakukan berkaitan dengan peraturan perundang-undangan di luar hal-hal yang diatur dalam Perppu tetap dapat digunakan perangkat hukum biasa dalam mengatasinya, termasuk dalam hal dilakukan tindak pidana korupsi. Namun, terkait dengan pengaturan mengenai status kerugian negara, yang dikecualikan sebagai kerugian negara dalam Perppu No. 1 Tahun 2020 adalah biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional karena ditetapkan sebagai  bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis. Namun, jika dalam pelaksanaan kebijakan terkait dengan penggunaan biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dilakukan penyalahgunaan wewenang di luar tujuan yang ditentukan dalam Perppu tentunya tetap dapat dilakukan proses hukum untuk meminta pertanggungjawaban atas penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan/penggunaan keuangan negara untuk pembiayaan ekononomi tersebut. Apalagi jika pejabat yang berwenang melakukan tindakan yang bertentangan dengan kriteria yang diatur pada Pasal 27 ayat (2) yaitu: (1). tidak didasarkan atas iktikad baik dan (2). bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, Perppu No. 1 Tahun 2020 tetap didasarkan atas Asas-asas Umum Pemerintahan yang baik dan prinsip-prinsip good governance, meskipun tetap memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap pengambil kebijakan apabila dalam mengambil kebijakan memenuhi kriteria Pasal 27 ayat (2) Perppu No. 1 Tahun 2020.
5.       Penutup (Simpulan)
a.              Menghadapi kondisi pandemi global Covid-19 yang berdampak sangat serius pada negeri ini, meski sempat menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat, harus diakui bahwa respons  Pemerintah cukup cepat dan tepat. Pemerintahan Jokowi segera merespons perkembangan situasi yang kian mengkhawatirkan di tengah kepanikan masyarakat melihat korban berjatuhan yang terus bertambah akibat wabah Covid-19.
b.             Akibat dari respons atas kondisi darurat kesehatan masyarakat akibat Covid-19 tentunya membutuhkan dukungan anggaran darurat yang bersumber dari APBN/D. Maka, Perppu No. 1 Tahun 2020 diperlukan untuk melakukan langkah refocusing anggaran, realokasi dan relaksasasi sejumlah kebijakan fiskal menghadapi kondisi darurat kesehatan masyarakat yang bisa sangat menyulitkan kondisi anggaran.
c.              Pengawasan yang dilakukan atas implementasi kebijakan melalui Perppu No. 1 Tahun 2020 dan sejumlah peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengannya tetap dapat dilakukan melalui sistem pengawasan internal dan pencegahan terhadap terjadinya potensi penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan Perppu No. 1 Tahun 2020 dan peraturan perundang-undangan terkait.
d.              Perppu No. 1 Tahun 2020 tetap didasarkan atas Asas-asas Umum Pemerintahan yang baik dan prinsip-prinsip good governance, meskipun tetap memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap pengambil kebijakan apabila dalam mengambil kebijakan memenuhi kriteria Pasal 27 ayat (2) Perppu No. 1 Tahun 2020.

Daftar Pustaka
Buku-buku, Jurnal, dan Lain-lain
Menko Bidang Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI, Rakor Tingkat Menteri Karantina Wilayah, 31 Maret 2020, Bahan Paparan.
Ni’matul Huda, 2005, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, UII Press, Yogyakarta.
Riawan Tjandra, W., 2016, Hukum Administrasi Negara, Sinar Grafika, Jakarta.
________________, 2019, Hukum Sarana Pemerintahan, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta
Achmad Edi Subiyanto, Menguji Konstitusionalitas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, artikel yanag ditulis dalam Lex Jurnalica Volume 11 Nomor 1, April 2014, hal. 9, diakses dari https://media.neliti.com/media/publications/17998-ID-menguji-konstitusionalitas-peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang.pdf, tanggal 3 Mei 2020, Pukul 07.00-08.00 WIB.

Internet



Peraturan Perundang-undangan

UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Alam

UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan

UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan

Perppu No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan.

PP No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)

Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 612/Menkes/SK/V/2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Karantina Kesehatan Pada Penanggulangan Kedaruratan Kesehatan Kesehatan Masyarakat Yang Meresahkan Dunia.
Permendes PDT dan Transmigrasi No. 6 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Permendes PDT dan Transmigrasi No. 11 Tahun 2019 Tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020.
Permenkes No. 9 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Permenhub No. PM 18 Tahun 2020 Tentang Pengendalian Transportasi Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Biodata Singkat Penulis


Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum. adalah pengajar bidang Hukum Administrasi Negara pada Fakultas Hukum dan Magister Ilmu Hukum (Kenegaraan) Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan menjadi dosen tidak tetap pada beberapa perguruan tinggi di Yogyakarta, yaitu di Progam S2 dan S3  Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana FH UGM, Magister  Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana FH Universitas Islam Indonesia (UII), Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana FH Universitas Janabadra, dan STIE YKPN. Pendidikan penulis sebagai berikut: lulus cumlaude dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang pada tahun 1993 . lulus cumlaude dari Magister Hukum Bidang Konsentrasi Hukum Kenegaraan Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada pada tahun 2003; dan lulus cumlaude dari Program Doktor Ilmu Hukum Bidang Hukum  Administrasi Negara UGM tahun 2009 di bawah bimbingan Promotor Prof. Dr. Muchsan, S.H. dan Co-promotor Prof. Dr. Nurhasan Ismail, S.H., M.Si. Penulis pernah mengikuti beberapa pelatihan di antaranya: Pelatihan Bantuan Hukum LBH UII (1998);  Lokakarya Class Action yang diselenggarakan oleh YLBHI – LBH Jakarta pada tahun 2000; Kursus Perijinan Lingkungan yang diselenggarakan oleh BKPSL & Lemlit Universitas Airlangga Surabaya pada tahun 2000; Kursus Comparative Administrative Law UGM-Maastricht (2006); Training of Materials Budget Oversight LGSP-USAID (2009) dan sejumlah Kursus bidang Pengadaan Barang dan Jasa yang diselenggarakan oleh Lembaga Konsultasi dan Pengembangan Nasional (terakreditasi A dari LKPP). Penulis pernah bekerja sebagai Konsultan Lembaga Donor, seperti USAID, AUSAID dan JICA serta pernah aktif sebagai mitra dari beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat seperti Lappera, IRE, ICEL, LBH Jakarta, USC Satunama, dan WALHI. Penulis juga pernah menduduki beberapa jabatan struktural di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, yaitu: Sekretaris pada Pusat Bantuan dan Konsultasi Hukum FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Atma Jaya Yogyakarta (2010-2012), Ketua Bagian Hukum Acara FH UAJY dan Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara pada FH UAJY. Sejumlah riset pernah dilakukan penulis di Kemenkeu (Riset DPID/DPPID); Riset kelembagaan di BNPT, BNN dan Perpusnas; Riset Indeks Persepsi Korupsi di Pemkot Balikpapan; Riset Desain Kelembagaan Pemprov DKI Jakarta. Penulis menjadi ahli bidang Hukum Administrasi Negara, Hukum Keuangan Negara/Daerah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, dan Hukum Pengadaan Barang dan Jasa di berbagai peradilan, yaitu: PN Tipikor, PTUN, Arbitrase, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dan DKPP. Beberapa kasus yang pernah ditangani sebagai ahli diantaranya: kasus korupsi Dana Operasional Menteri, kasus korupsi KTP elektronik, kasus korupsi di Kementerian Agama, Kasus korupsi BUMN, dan sebagainya. Pernah menulis banyak artikel di media massa seperti Kompas, Media Indonesia, Koran Sindo, Suara Pembaruan, Republika, dan SKH Kedaulatan Rakyat. Penulis juga telah menghasilkan banyak buku, beberapa di antara: Hukum Keuangan Negara (Grasindo), Teori dan Praktik Peradilan Tata Usaha Negara (Cahaya Atma Pustaka), dan Hukum Administrasi Negara (Sinar Grafika)






[3] Sumber : Menko Bidang Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI, Rakor Tingkat Menteri Karantina Wilayah, 31 Maret 2020.
[4] Ibid.
[5] W. Riawan Tjandra, 2018, Hukum Administrasi Negara, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 37.
[6] W. Riawan Tjandra, 2019, Hukum Sarana Pemerintahan, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, hal. 37.
[7] ibid
[8] Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, UII Press, Yogyakarta, 2005, Hlm. 60.
[9] Achmad Edi Subiyanto, Menguji Konstitusionalitas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, artikel yanag ditulis dalam Lex Jurnalica Volume 11 Nomor 1, April 2014, hal. 9, diakses dari https://media.neliti.com/media/publications/17998-ID-menguji-konstitusionalitas-peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang.pdf, tanggal 3 Mei 2020, Pukul 07.00-08.00 WIB.

Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...