Negara Yang Hadir dan Melindungi Melalui Kerangka Hukum Kebijakan
Penanganan Corona
Virus Disease 2019 (Covid-19)
oleh:
Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.
1. Pendahuluan
Bencana nonalam
sebagai akibat pandemi global Corona
Virus Disease 2019 (Covid 19) telah mengubah arah kebijakan struktural di
banyak negara yang terdampak, termasuk Indonesia. Penanganan virus corona jenis baru atau SARS-CoV-2
harus beradu cepat dengan waktu. Ahli kesehatan masyarakat Nadia Nurul mengungkapkan, peningkatan
kasus hari ke hari menunjukkan penyebaran virus penyebab Covid-19 tak bisa dianggap
enteng.[1]
Di samping dampaknya terhadap
kesehatan masyarakat, Pandemi Covid-19
di Indonesia memiliki dampak multi sektor, dari pendidikan, sosial, ekonomi,
hingga aktivitas beribadah di masyarakat. Dampak pada sektor-sektor tersebut
kian hari mulai dirasakan masyarakat. Hal ini disebabakan menyangkut persoalan
kesejahteraan sosial masyarakat.[2]
Sehubungan dengan situasi yang
berkembang pasca merebaknya Covid – 19 di tanah air, Presiden Joko Widodo, pada
tanggal 31 Maret 2020 telah menetapkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 11
Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona
Virus Disease 2019 (Covid-19). Sehubungan dengan kebijakan
tersebut diiterbitkan pula Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan
Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona
Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka
Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas
Sistem Keuangan. Sejumlah hal diatur dalam Perppu 1/2020 antara lain, pelaksanaan
kebijakan di bidang keuangan daerah, perpajakan, program pemulihan ekonomi
nasional, kebijakan keuangan negara, dan lainnya.
Menghadapi kondisi pandemi global Covid-19 yang berdampak sangat serius
pada negeri ini, meski sempat menimbulkan pro dan kontra di kalangan
masyarakat, harus diakui bahwa respons
Pemerintah cukup cepat dan tepat. Pemerintahan Jokowi segera merespons
perkembangan situasi yang kian mengkhawatirkan di tengah kepanikan masyarakat
melihat korban berjatuhan yang terus bertambah akibat wabah Covid-19 mengeluarkan paket regulasi
yang meliputi pertama, PP No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala
Besar (PSBB) Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease-2019 (Covid-19)
yang merupakan implementasi dari UU No. 6 Tahun 2018 Kekarantinaan Kesehatan
yang dipadukan dengan UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan UU
No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Kedua, Perppu No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara
Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19 Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan
Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan. Selain itu, di ranah
konkrit ditetapkan Keppres RI No. 11 Tahun 2020 Tentang Penetapan Keadaan
Kedaruratan Masyakarat Covid-19 yang
pada intinya menetapkan 2 (dua) hal penting, pertama, menyangkut obyek, menetapkan Covid-19 sebagai jenis penyakit yang menimbulkan Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat. Kedua,
menyangkut keadaan faktual yang dihadapi, menetapkan Kedaruratan Kesehatan
Masyarakat Covid-19 di lndonesia yang
wajib dilakukan upaya penanggulangan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Peta sebaran Covid-19 di Indonesia dan DKI Jakarta merupakan konsiderasi faktual
pada saat diambil serangkaian kebijakan dalam penanganan Covid-19.
Gambar 1
Peta Sebaran Kasus Covid-19 Di Indonesia per Tanggal 30
Maret 2020[3]
Gambar 2
Peta Sebaran Kasus Covid-19 Di DKI Jakarta[4]
2. Paket
Regulasi
Paket
regulasi dalam menghadapi situasi darurat saat ini sesungguhnya merupakan
respons yang bisa dikatakan sebagai kebijakan yang mengambil jalan keluar yang
strategis namun terukur disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi di Indonesia
saat ini sesuai dengan landasan konstitusional (UUD Negara RI 1945) dan UU yang
dimiliki (UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan). Secara
konstitusional, landasan kewenangan untuk menetapkan kebijakan dalam keadaan
darurat merupakan derivat dari norma dalam UUD Negara RI 1945 yang terdapat
pada Pasal 5 (executive power) dan Pasal 22 (extraordinary power) yang keduanya melekat pada presiden dalam
sistem pemerintahan presidensial.
Ditinjau secara normatif, kebijakan yang diambil oleh Presiden dalam
bentuk PSBB memang merupakan jalan keluar yang dimungkinkan dalam menghadapi
kondisi darurat kesehatan masyarakat. PSBB sendiri menurut UU Kekarantinaan
Kesehatan dimaknai sebagai pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu
wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa
untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi. Otoritas
kekarantinaan wilayah tetap diletakkan pada kewenangan profesional dari
otoritas yang berwenang di bidang kesehatan, meskipun tentu saja kebijakan
pembatasan akses masuk ke wilayah secara nasional maupun lokal ada di ranah
kewenangan pemerintah pusat dengan dukungan pemerintah daerah. PP No. 21 Tahun
2020 ingin menerapkan asas spesialitas dan profesionalitas yang sudah sangat
lama dikenal dalam Hukum Administrasi Negara untuk memfokuskan pada kedua
sasaran yang sudah dibidik melalui Keppres No.11 Tahun 2020 menyangkut obyek
yang dihadapi (covid-19) dan keadaan yang harus ditetapkan mengatasi ekses dari
obyek tersebut (kedaruratan kesehatan masyarakat). Hukum Administrasi Negara
memiliki fungsi pemerintahan dan pengendalian. Dengan fungsinya yang pertama,
Hukum Administrasi Negara memungkinkan pemerintah menyelenggarakan tugas-tugas
pemerintahan (bestuurstaak). Hal itu dilakukan dengan cara menyediakan
sarana-sarana pemerintahan yang mendukung pelaksanaan fungsi pemerintahan
secara efektif. Sebaliknya, Hukum Administrasi Negara juga memiliki fungsi
pengendalian agar pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan oleh pemerintah selalu
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[5]
Akibat
dari respons atas kondisi darurat kesehatan masyarakat akibat Covid-19 tentunya membutuhkan dukungan
anggaran darurat yang bersumber dari APBN/D. Maka, Perppu No. 1 Tahun 2020
diperlukan untuk melakukan langkah refocusing
anggaran, realokasi dan relaksasasi sejumlah kebijakan fiskal menghadapi
kondisi darurat kesehatan masyarakat yang bisa sangat menyulitkan kondisi
anggaran. Kondisi darurat dan permasalahan fiskal tersebut juga melanda
sejumlah negara-negara lain di lebih dari 180 negara yang terkena dampak Covid-19. Maka, sesungguhnya substansi
dari Perppu No. 1 Tahun 2020 yang telah memenuhi alasan kegentingan yang
memaksa sebagaimana dimaksud oleh
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009. Berdasarkan UU No. 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan kondisi yang dihadapi pemerintah saat
ini juga telah memenuhi 4 (empat) alasan
penggunaan diskresi kebijakan yang berdampak terhadap diskresi penggunaan
anggaran, yaitu: a. melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; b. mengisi
kekosongan hukum; c. memberikan kepastian hukum; dan d. mengatasi stagnasi
pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
Diskresi adalah Keputusan dan/atau
Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk
mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan
dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur,
tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.
Peran pemerintah dalam sociale rechtsstaat diperlukan untuk
menyelenggarakan bestuurszorg. Prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang
dipergunakan dalam negara hukum modern adalah prinsip doelmatigheid van het bestuur. Hal tersebut diatas sejalan dengan
konsep verzorgingsstaat yang meliputi
semua aspek dari kehidupan manusia (alle
aspecten van het menselijk leven). Pemikiran negara hukum modern lebih
menekankan doelstelling dan beleid. Dalam penyelenggaraan
pemerintahan seringkali diperlukan penggunaan kewenangan diskresi untuk dapat
melaksanakan fungsi pemerintahan secaa efektif.[6]
Diskresi pejabat pemerintahan meliputi:
a.pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan Keputusan dan/atau Tindakan;
b. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan perundang-undangan
tidak mengatur; c. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan
perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas; dan d. pengambilan Keputusan
dan/atau Tindakan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang
lebih luas. Pejabat Pemerintahan yang menggunakan Diskresi harus memenuhi
syarat-syarat berikut: a. sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 ayat (2) UU Administrasi Pemerintahan; b. tidak bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. sesuai dengan AUPB; d.
berdasarkan alasan-alasan yang objektif; e. tidak menimbulkan Konflik
Kepentingan; dan f. dilakukan dengan iktikad baik. Penggunaan Diskresi yang berpotensi
mengubah alokasi anggaran wajib memperoleh persetujuan dari Atasan Pejabat
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Persetujuan itu dilakukan
apabila penggunaan Diskresi berdasarkan ketentuan Pasal 23 huruf a, huruf b,
dan huruf c UU Administrasi Pemerintahan serta menimbulkan akibat hukum yang
berpotensi membebani keuangan negara. Dalam hal penggunaan Diskresi menimbulkan
keresahan masyarakat, keadaan darurat, mendesak dan/atau terjadi bencana alam,
Pejabat Pemerintahan wajib memberitahukan kepada Atasan Pejabat sebelum
penggunaan Diskresi dan melaporkan kepada Atasan Pejabat setelah penggunaan
Diskresi. Pemberitahuan sebelum penggunaan Diskresi tersebut dilakukan apabila
penggunaan Diskresi berdasarkan ketentuan dalam Pasal 23 huruf d yang
berpotensi menimbulkan keresahan masyarakat. Pelaporan setelah penggunaan
Diskresi itu dilakukan apabila penggunaan Diskresi berdasarkan ketentuan dalam
Pasal 23 huruf d UU Administrasi Pemerintahan yang terjadi dalam keadaan
darurat, keadaan mendesak, dan/atau terjadi bencana alam. Pejabat yang menggunakan Diskresi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) UU Administrasi
Pemerintahan wajib menguraikan maksud, tujuan, substansi, serta dampak
administrasi dan keuangan. Pejabat yang menggunakan Diskresi itu wajib
menyampaikan permohonan persetujuan secara tertulis kepada Atasan Pejabat.
Dalam waktu 5 (lima) hari kerja setelah berkas permohonan diterima, Atasan
Pejabat menetapkan persetujuan, petunjuk perbaikan, atau penolakan. Apabila
Atasan Pejabat tersebut melakukan penolakan, Atasan Pejabat tersebut harus
memberikan alasan penolakan secara tertulis.
Penggunaan Diskresi dikategorikan
melampaui Wewenang apabila: a. bertindak melampaui batas waktu berlakunya
Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan; b.
bertindak melampaui batas wilayah berlakunya Wewenang yang diberikan oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau c. tidak sesuai dengan
ketentuan Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28 UU Administrasi Pemerintahan. Akibat hukum dari penggunaan Diskresi itu
menjadi tidak sah.
Penggunaan Diskresi dikategorikan
mencampuradukkan Wewenang apabila: a. menggunakan Diskresi tidak sesuai dengan
tujuan Wewenang yang diberikan; b. tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 26,
Pasal 27, dan Pasal 28 UU Administrasi Pemerintahan; dan/atau c. bertentangan
dengan AUPB. Akibat hukum dari penggunaan Diskresi itu dapat dibatalkan.Penggunaan
Diskresi dikategorikan sebagai tindakan sewenang-wenang apabila dikeluarkan
oleh pejabat yang tidak berwenang. Akibat hukum dari penggunaan Diskresi itu
menjadi tidak sah.
Perppu No. 1 Tahun 2020 tersebut justru
merespons secara tepat ekses dari kondisi darurat yang dihadapi sebagai akibat Covid-19 yang bisa menimbulkan
permasalahan ekonomi yang (sudah mulai) dialami masyarakat, khususnya
masyarakat kecil dan UMKM. Perppu tersebut telah mengatur sinergi dari
kebijakan darurat yang harus diambil oleh otoritas fiskal pemerintah, Bank
Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dan KSSK. Sesungguhnya, sinergi peranan dari
lembaga-lembaga tersebut sangat diperlukan sebagai implikasi struktural dari
penetapan keadaan kedaruratan kesehatan masyarakat akibat Covid-19.
Gambar 3
Proyeksi
Permodelan Covid-19 Oleh ITB[7]
3. Justifikasi
Konstitusional
Pengaturan dalam paket regulasi
tersebut tentu saja lebih mudah untuk ditelusuri justifikasinya secara
konstitusional maupun normatif, daripada sekadar secara latah mengikuti
kebijakan yang diambil oleh sejumlah negara lain termasuk di Wuhan China yang paling
awal mengambil langkah lockdown. Lockdown secara faktual sering dimakani sebagai situasi yang
melarang warga untuk masuk ke suatu tempat karena kondisi darurat. Lockdown juga bisa berarti negara yang
menutup perbatasannya, agar tidak ada orang yang masuk atau keluar dari
negaranya. Kebijakan pemerintah yang menutup akses penerbangan dari sejumlah
negara asing sesungguhnya sudah dekat dengan makna lockdown tersebut. PSBB sendiri sejatinya secara esensial bisa
memenuhi kondisi yang diharapkan yang tidak kurang derajat kualitatifnya
dibandingkan dengan lockdown, dengan
pemerintah saat ini secara tegas melaksanakan cakupan kebijakan PSBB yang
diatur dalam UU Kekarantinaan Kesehatan seperti peliburan sekolah dan tempat
kerja, pembatasan kegiatan keagamaan dan/atau pembatasan kegiatan di tempat
atau fasilitas umum. Di sisi lain, upaya paksa dengan tegas dari aparat penegak
hukum dalam memantau implementasi PSBB diikuti dengan kepatuhan sosial dari
masyarakat akan mementukan keberhasilan untuk mencapai tujuan dari PSBB. Sinergi dengan kebijakan di daerah untuk
melakukan langkah-langkah darurat kesehatan dalam menghadapi sejumlah warga
masyarakat yang masih memaksa mudik ke daerah di saat diterapkan PSBB misalnya
melalui kewajiban isolasi bagi pemudik dan karantina wilayah memang menjadi
problem serius yang bisa mementahkan PSBB jika gagal dilaksanakan secara
efektif oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah. Di saat itulah, pemerintah berpendapat
bahwa dapat diterapkan kondisi kedaruratan sipil sebagaimana diatur dalam
Perppu No. 23 Tahun 1959 jika ketidakpatuhan sosial bisa menimbulkan anomali
sosial yang mengancam keamanan negara.
4.
Analisis Terhadap Kerangka Hukum
Kebijakan Penanganan Covid-19
Berikut ini diuraikan dan dianalisis
kerangka hukum pokok kebijakan penanganan Covid-19 berikut ringkasan
substansinya dan implikasi dari pengaturannya dengan menggunakan pendekatan Regulatory Impact Assesment.
Tabel 1
Regulatory Impact Assesment Terhadap
Kerangka Hukum Kebijakan Penanganan Covid-19
No
|
Dasar Hukum
|
Ringkasan Substansi
|
Implikasi Pengaturan
|
1
|
Perppu No. 1 Tahun 2020 tentang
Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan
Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi
Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem
Keuangan
|
Kebijakan dan langkah-langkah luar
biasa Pemerintah dan lembaga terkait dalam rangka penyelamatan perekonomian
nasional dan stabilitas sistem keuangan melalui berbagai kebijakan relaksasi
yang berkaitan dengan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) khususnya dengan melakukan peningkatan belanja untuk kesehatan,
pengeluaran untuk jaring pengaman sosial (social
safety net), dan pemulihan perekonomian, serta memperkuat kewenangan
berbagai lembaga dalam sektor keuangan.
|
1. Pemerintah berwenang menetapkan batasan defisit anggaran;
melakukan penyesuaian besaran belanja wajib (mandatory spending) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan terkait; melakukan pergeseran anggaran antarunit
organisasi, antarfungsi, dan /atau antarprogram; melakukan tindakan yang
berakibat pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN), yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia
atau tidak cukup tersedia, serta menentukan proses dan metode pengadaan
barang ljasa
melakukan tindakan yang berakibat
pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang
anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia atau tidak cukup
tersedia, serta menentukan proses dan metode pengadaan barang/jasa;
menggunakan anggaran yang bersumber dari: 1. Sisa Anggaran Lebih (SAL); 2.
dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan; 3. dana yang dikuasai negara
dengan kriteria tertentu; 4. dana yang dikelola oleh Badan Layanan Umum;
dan/atau 5. dana yang berasal dari pengurangan Penyertaan Modal Negara pada
Badan Usaha Milik Negara (BUMN); menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau
Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka
pandemi Corona Virus Disease 2019
(COVID-l9) untuk dapat dibeli oleh Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara
(BUMN), investor korporasi, danf atau investor ritel; menetapkan
sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalam dan/atau luar
negeri; memberikan pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan; melakukan
pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), penyesuaian alokasi,
dan/atau pemotongan/ penundaan penyaluran anggaran Transfer ke Daerah dan
Dana Desa, dengan kriteria tertentu; memberikan hibah kepada Pemerintah
Daerah; dan/atau melakukan penyederhanaan mekanisme dan simplifikasi dokumen
di bidang keuangan negara.
2. Dalam rangka pelaksanaan kebijakan di bidang keuangan
daerah, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk melakukan pengutamaan
penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), perubahan alokasi, dan penggunaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah.
3. Dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan di
tengah-tengah kondisi terjadinya pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
dan/atau untuk menghadapi ancaman krisis ekonomi danf atau stabilitas sistem
keuangan, perlu menetapkan kebijakan stabilitas sistem keuangan.
4. Untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka
penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia diberikan
kewenangan tertentu.
5. Untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka
penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan
diberikan kewenangan tertentu.
6. Untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka
penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan, Otoritas Jasa Keuangan
diberikan kewenangan tertentu.
|
2.
|
UU No. 6 Tahun 2018 tentang
Kekarantinaan Kesehatan
|
UU ini menjadi landasan hukum bagi
upaya untuk melakukan cegah tangkal atas penyakit dan faktor risiko kesehatan
yang komprehensif dan terkoordinasi, serta membutuhkan sumber daya, peran
serta masyarakat, dan kerja sama internasional sebagai respons terhadap kemajuan
teknologi transportasi dan era perdagangan bebas dapat berisiko menimbulkan
gangguan kesehatan dan penyakit baru atau penyakit lama yang muncul kembali
dengan penyebaran yang lebih cepat dan berpotensi menimbulkan kedaruratan
kesehatan masyarakat.
sebagai bagian dari masyarakat dunia,
Indonesia berkomitmen melakukan upaya untuk mencegah terjadinya kedaruratan
kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia sebagaimana yang diamanatkan dalam
regulasi internasional di bidang kesehatan, dan dalam melaksanakan amanat ini
Indonesia harus menghormati sepenuhnya martabat, hak asasi manusia,
dasar-dasar kebebasan seseorang, dan penerapannya secara universal;
|
Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah bertanggung jawab melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit
dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat melalui penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan.
Pemerintah Pusat menetapkan dan mencabut Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
Pemerintah Pusat diberikan kewenangan atributif untuk menetapkan dan mencabut
penetapan Pintu Masuk dan/atau wilayah di dalam negeri yang Terjangkit
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Sebelum menetapkan Kedaruratan Kesehatan
Masyarakat, Pemerintah Pusat terlebih dahulu menetapkan jenis penyakit dan
faktor risiko yang dapat menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Dalam rangka melakukan tindakan mitigasi faktor risiko di
wilayah pada situasi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dilakukan Karantina
Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, atau pembatasan Sosial
Berskala Besar oleh pejabat Karantina Kesehatan. Karantina Rumah, Karantina
Wilayah, Karantina Rumah Sakit, atau Pembatasan Sosial Berskala Besar harus
didasarkan pada pertimbangan epidemiologis, besarnya ancaman, efektifitas,
dukungan sumber daya, teknis operasional, pertimbangan ekonomi, sosial,
budaya, dan keamanan.
|
3.
|
PP
No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Dalam
Rangka Percepatan Penanganan Corona
Virus Disease 2019 (Covid-19)
|
Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dengan jumlah kasus dan/atau
jumlah kematian telah meningkat dan meluas lintas wilayah dan lintas negara
dan berdampak pada aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan
keamanan, serta kesejahteraan masyarakat di Indonesia. Dampak penyebaran Corona
Virus Disease 2019 (COVID-19) telah mengakibatkan terjadinya keadaan
tertentu sehingga perlu dilakukan upaya penanggulangan, salah satunya dengan
tindakan pembatasan sosial berskala besar
|
Dengan persetujuan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, Pemerintah Daerah
dapat melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau pembatasan terhadap
pergerakan orang dan barang untuk satu provinsi atau kabupaten/ kota
tertentu. Pembatasan Sosial Berskala Besar harus didasarkan pada pertimbangan
epidemiologis, besarnya ancaman, efektifitas, dukungan sumber daya, teknis
operasional, pertimbangan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan
keamanan.
Pembatasan Sosial Berskala Besar
harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a. jumlah kasus danlatau jumlah
kematian akibat penyakit meningkat dan menyebar secara signifikan dan cepat
ke beberapa wilayah; dan b. terdapat kaitan epidemiologis dengan kejadian
serupa di wilayah atau negara lain. Pembatasan
Sosial Berskala Besar paling sedikit meliputi: a. peliburan sekolah dan
tempat kerja; b. pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau c. pembatasan
kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Pembatasan kegiatan harus tetap
mempertimbangkan kebutuhan pendidikan, produktivitas kerja, dan ibadah
penduduk. Pembatasan kegiatan dilakukan dengan memperhatikan pemenuhan
kebutuhan dasar penduduk.
|
4.
|
Keppres No. 11 Tahun 2020 tentang
Penetapan Kedaruratan Masyarakat Corona
Virus Disease 2019 (Covid-19)
|
Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang bersifat luar biasa
ditandai dengan jumlah kasus dan/atau jumlah kematian telah meningkat dan
meluas lintas wilayah dan lintas negara dan berdampak pada aspek politik,
ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan kearnanan, serta kesejahteraaan
masyarakat di Indonesia. Presiden menetapkan Keputusan Presiden tentang
Penetapan Kcdaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Kedaruratan Kesehatan
Masyarakat Covid-19 di lndonesia
wajib dilakukan upaya penanggulangan sesuai dengan ketentuan peiaturan
perundang-undangan.
|
Ditetapkan kondisi Darurat Kesehatan
Masyarakat Covid-19 yang berlaku di seluruh wilayah NKRI.
|
5.
|
Keppres No. 12 Tahun 2020 Tentang
Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona
Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional
|
Bencana nonalam yang disebabkan oleh
penyebaran Corona Virus Disease 2019
(COVID-19) telah berdampak meningkatnya jumlah korban dan kerugian harta
benda, meluasnya cakupan wilayah yang terkena bencana, serta menimbulkan
implikasi pada aspek sosial ekonomi yang luas di Indonesia. World Health Organization (WHO) telah
menyatakan COVID-19 sebagai Global
Pandemic tanggal 11 Maret 2O2O. Hal itu menjadi landasan bagi ditetapkannya
Keputusan Presiden tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Vints
Disease 2019 (COVID l9) Sebagai Bencana Nasional
|
Ditetapkannya bencana nonalam yang
diakibatkan oleh penyebaran Corona
Virus Disease 2019 (COVID-19) dengan status sebagai bencana nasional.
Penanggulangan bencana nasional yang diakibatkan oleh penyebaran Corona Virus
Dsease 2019 (COVID-19) dilaksanakan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas
Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagaimana telah
diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang Perubahan atas
Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan
Penanganan Corona Virus Disease 2019
(COVID-19) melalui sinergi antar kementerian/lembaga dan pemerintah
daerah.
Gubernur, bupati, dan walikota
sebagai Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan:. Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di daerah, dalam menetapkan
kebijakan di daerah masing-masing harus memperhatikan kebijakan Pemerintah
Pusat
|
6.
|
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 612/Menkes/SK/V/2010
tentang Pedoman Penyelenggaraan Karantina Kesehatan Pada Penanggulangan
Kedaruratan Kesehatan Kesehatan Masyarakat Yang Meresahkan Dunia
|
Perlunya peningkatan pelaksanaan
tindakan kekarantinaan di pintu masuk negara dan wilayah melalui perumusan
kebijakan teknis, prosedur dan pedoman dalam rangka pelaksanaan International
Health Regulation (IHR) 2005 guna mencegah penularan dan penyebaran penyakit
potensial wabah yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehataan masyarakat
yang meresahkan dunia.
|
Adanya pedoman penyelenggaraan
kekarantinaan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia. Pedoman tersebut
menjadi acuan bagi para petugas kesehatan dalam pelaksanaan kekarantinaan
baik di pintu masuk negara maupun di wilayah ketika terjadi kedaruratan
kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia.
|
7.
|
Permenhub No. PM 18 Tahun 2020
Tentang Pengendalian Transportasi Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona
Virus Disease 2019 (Covid-19)
|
Dengan adanya penetapan Presiden RI
tentang Status Kedaruratan Masyarakat Covid-19 di Indonesia dan PP No. 21
Tahun 2020 guna menekan penyebaran Covid-19 Kementerian Perhubungan berwenang
melakukan pembatasan moda transportasi sesuai dengan Permenkes No. 9 Tahun
2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Penanganan
Covid-19.
|
Kementerian Perhubungan diberikan
kewenangan untuk melakukan pengendalian transportasi yang mengangkut
penumpang dan dapat dilakukan dilakukan pada saat: a. persiapan perjalanan;
b. selama perjalanan; dan c. sampai tujuan atau kedatangan. Pemerintah juga
dapat melakukan pengendalian transportasi pada wilayah yang ditetapkan
sebagai Pembatasan Sosial Berskala Besar yang dilakukan terhadap transportasi yang
mengangkut penumpang dan logistik/barang.
|
8.
|
Permenhub No. PM 25 Tahun 2020
Tentang Pengendalian Transportasi Selama Mudik Idul Fitri Tahun 1441 Hijriah
Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona
Virus Disease 2019 (Covid-19)
|
Dalam rangka pencegahan penyebaran
covid-19 dan untuk melaksanakan kebijakan pemerintah di bidang transportasi,
dilakukan langkah-langkah pengendalian arus transportasi selama masa mudik
indul fitri tahun 1441 Hijriah. Hal itu dilakukan dengan cara melakukan
larangana sementara penggunaan sarana transportasi. Larangan sementara penggunaan
sarana transportasi darat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 berlaku untuk
sarana transportasi dengan tujuan keluar dan/atau masuk wilayah: a.
pembatasan sosial berskala besar; b. zona merah penyebaran corona virus disease 2019 (covid19);
dan c. aglomerasi yang telah ditetapkan sebagai wilayah pembatasan sosial
berskala besar. Sarana transportasi darat itu terdiri
atas: a. kendaraan bermotor umum, dengan jenis mobil bus dan mobil
penumpang; b. kendaraan bermotor
perseorangan, dengan jenis mobil penumpang, mobil bus, dan sepeda motor; c.
kapal angkutan penyeberangan; dan d. kapal angkutan sungai dan danau.
Larangan sementara penggunaan sarana transportasi perkeretaapian berlaku
untuk: a. perjalanan kereta api antarkota; dan b. perjalanan kereta api perkotaan.
Larangan sementara penggunaan sarana
transportasi laut berlaku untuk semua kapal penumpang. Larangan sementara penggunaan transportasi
udara merupakan larangan kepada setiap warga negara melakukan perjalanan di
dalam negeri melalui bandar udara dari dan ke wilayah yang ditetapkan sebagai
pembatasan sosial berskala besar dan/atau zona merah penyebaran corona virus disease 2019 (covid-19)
baik dengan menggunakan transportasi umum maupun transportasi pribadi.
|
Pengendalian transportasi selama masa
mudik idul fitri tahun 1441 Hijriah dalam rangka pencegahan penyebaran corona virus disease 2019 (covid-19)
dilakukan melalui larangan sementara penggunaan sarana transportasi. Larangan sementara penggunaan sarana
transportasi berlaku untuk: a. transportasi darat; b. transportasi
perkeretaapian; c. transportasi laut; dan d. transportasi udara. Larangan sementara penggunaan sarana
transportasi mulai berlaku pada tanggal 24 April 2020 sampai dengan tanggal
31 Mei 2020. Namun, dalam hal pencegahan penyebaran corona virus disease 2019
(covid-19) masih harus dilakukan, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang.
|
9.
|
Permenkes No. 9 Tahun 2020 Tentang
Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona
Virus Disease 2019 (Covid-19)
|
Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID19) dengan jumlah kasus dan/atau
jumlah kematian telah meningkat dan meluas lintas wilayah dan lintas negara
dan berdampak pada aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan
keamanan, serta kesejahteraan masyarakat di Indonesia. Dalam upaya menekan
penyebaran Corona Virus Disease 2019
(COVID-19) semakin meluas, Menteri Kesehatan dapat menetapkan pembatasan
sosial berskala besar
|
Menteri Kesehatan berwenang menetapkan
Pembatasan Sosial Berskala Besar di suatu wilayah berdasarkan permohonan
gubernur/bupati/walikota. Permohonan dari gubernur tersebut berlaku untuk
lingkup satu provinsi atau kabupaten/kota tertentu. Permohonan dari
bupati/walikota tersebut berlaku untuk lingkup satu kabupaten/kota. Untuk
dapat ditetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar, suatu wilayah
provinsi/kabupaten/kota harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a. jumlah
kasus dan/atau jumlah kematian akibat penyakit meningkat dan menyebar secara
signifikan dan cepat ke beberapa wilayah; dan b. terdapat kaitan
epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain. Selain diusulkan oleh gubernur/bupati/walikota, Ketua
Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID19) dapat mengusulkan kepada
Menteri untuk menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar di wilayah tertentu
berdasarkan pada kriteria yang ditentukan.
|
10.
|
Permendes PDT dan Transmigrasi No. 6
Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Permendes PDT dan Transmigrasi No. 11 Tahun
2019 Tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020.
|
Penyebaran Corona Virus Disease
2019 (COVID19) telah berdampak bagi kehidupan sosial,
ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat Desa, Berdasarkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan untuk
Penanganan dan Penyebaran Pandemi Corona Virus
Disease 2019 (COVID-19) di
Desa melalui penggunaan Dana Desa dapat digunakan untuk bantuan langsung
tunai kepada penduduk miskin di Desa, perlu penyesuaian beberapa ketentuan
dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
Nomor 11 Tahun 2019 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020
|
Penanganan dampak pandemi COVID-19 dapat
berupa BLT-Dana Desa kepada keluarga miskin di Desa sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Keluarga miskin yang menerima BLT-Dana Desa
merupakan keluarga yang kehilangan mata pencaharian atau pekerjaan, belum
terdata menerima Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai
(BPNT), dan kartu pra kerja, serta yang mempunyai anggota keluarga yang
rentan sakit menahun/kronis
|
Serangkaian kebijakan yang
dilaksanakan berdasarkan kerangka hukum di atas memperlihatkan alur pikir sebagai
berikut:
Skema 1
Alur Pikir Kebijakan
Pasca
Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2020 Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan
Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus
Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang
Membahayakan Perekonomian Nasional
Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan, ditetapkan 2 (dua) landasan hukum yang
memberlakukan keadaan hukum kedaruratan kesehatan masyarakat dan penetapan
keadaan bencana nasional sebagai akibat bencana nonalam penyebaran Covid-19
melalui 2 (dua) Keppres, yaitu: Keppres No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan
Kedaruratan Masyarakat Corona Virus
Disease 2019 (Covid-19) dan Keppres No. 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan
Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus
Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional. Instrumen hukum utama
yang digunakan untuk menopang pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah dalam
kondisi tersebut dapat diklasifikasikan terdiri dari: sistem hukum
transportasi, sistem hukum kesehatan, sistem hukum keuangan negara dan sistem
hukum perbankan serta yang berkaitan dengannya
Berkaitan
dengan pelaksanaan PSBB yang dilaksanakan berdasarkan UU No. 6 Tahun 2018
tentang Kekarantinaan Kesehatan dengan pelaksanaannya melalui PP No. 21 Tahun
2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Dalam Rangka Percepatan
Penanganan Corona Virus Disease 2019
(Covid-19), dapat dikatakan memberlakukan 2 (dua) kondisi hukum sekaligus:
1. Memberlakukan rezim hukum sektoral yang bersifat reguler (nondarurat) karena
sesungguhnya PP No. 21 Tahun 2020 merupakan pelaksanaan dari UU No. 6 Tahun
2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang memang harus dibuat sebagai
pelaksanaan dari UU tersebut, terlepas apakah Pemerintah memberlakukan status
hukum keadaan darurat kesehatan atau tidak. Pada konsiderans yuridis, digunakan
3 (tiga) dasar undang-undang, yaitu: Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit
Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3273); Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2OO7 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2OO7 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723);
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6236). Hanya saja pembuatan PP No. 21 Tahun 2020 tersebut yang
dilakukan pasca dikeluarkan Perppu No. 1 Tahun 2020 menimbulkan kesan bahwa PP
No. 21 Tahun 2020 merupakan implementasi dari Perppu tersebut. Padahal, secara
normatif landasan dari PP No. 21 Tahun 2020 adalah ketiga undang-undang
tersebut di atas.
2. Memberlakukan rezim hukum darurat berdasarkan
3 (tiga) landasan hukum, yaitu: Perppu No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara
Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka
Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas
Sistem Keuangan, Keppres No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan
Masyarakat Corona Virus Disease 2019
(Covid-19); dan Keppres No. 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Nonalam
Penyebaran Corona Virus Disease 2019
(Covid-19) Sebagai Bencana Nasional.
Analisa tersebut diatas berimplikasi terhadap
kedudukan dari Perppu No. 1 Tahun 2020 yang tidak dapat diidentikkan begitu
saja dengan keharusan penyusunan bangunan hierarkhis rezim hukum sektoral di
lingkungan UU No. No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Hal ini
menjelaskan bahwa wilayah hukum diskresi kebijakan dalam perspektif Hukum
Administrasi Negara hanya diterapkan pada cakupan ruang lingkup pengaturan
Perppu No. 1 Tahun 2020. Di luar hal-hal yang diatur dalam Perppu No. 1 Tahun
2020, tetap berlaku hukum sektoral reguler (non darurat). Hal ini berarti
penggunaan wewenang di luar yang diatur dalam Perppu No. 1 Tahun 2020 tidak
diberlakukan rezim hukum darurat.
Sehubungan
dengan analisis tersebut, perlu ditelaah lebih dalam subtansi dari Perppu No. 1
Tahun 2020 secara komprehensif serta implikasi dari pengaturannya.
Tabel 2
Analisis
Substantif Perppu No. 1 Tahun 2020
No
|
Ruang
Lingkup Kebijakan
|
Pengaturan
Hal-hal Pokok
|
Implikasi
|
1.
|
Kebijakan
Keuangan Negara
|
Dalam
rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara, Pemerintah berwenang untuk: a.
menetapkan batasan defisit anggaran, dengan ketentuan sebagai berikut: 1.
melampaui 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa
penanganan Corona Virus Disease 2019
(COVID-19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan
perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai
dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022; 2. sejak Tahun Anggaran 2023 besaran
defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% (tiga persen) dari
Produk Domestik Bruto (PDB); dan 3. penyesuaian besaran defisit sebagaimana
dimaksud pada angka 1 menjadi sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan
secara bertahap. b. melakukan penyesuaian besaran belanja wajib (mandatory spending) sebagaimana diatur
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan terkait; c. melakukan pergeseran
anggaran antarunit organisasi, antarfungsi, dan / atau antarprogram ; d.
melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN), yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut
belum tersedia atau tidak cukup tersedia, serta menentukan proses dan metode
pengadaan barang ljasa; e. menggunakan anggaran yang bersumber dari: 1. Sisa
Anggaran Lebih (SAL); 2. dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan; 3.
dana yang dikuasai negara dengan kriteria tertentu; 4. dana yar,g dikelola
oleh Badan Layanan Umum; dan/atau 5. dana yang berasal dari pengurangan
Penyertaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN); f. menerbitkan
Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan
tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona
Virus Disease 2019 (COVID-19) untuk dapat dibeli oleh Bank Indonesia,
Badan Usaha Milik Negara (BUMN), investor korporasi, danf atau investor
ritel; g. menetapkan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari
dalam dan/atau luar negeri; h. memberikan pinjaman kepada Lembaga Penjamin
Simpanan; i. melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan
tertentu (refoansing), penyesuaian alokasi, dan/atau pemotongan/ penundaan
penyaluran anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa, dengan kriteria
tertentu; j. memberikan hibah kepada Pemerintah Daerah; dan/atau k. melakukan
penyederhanaan mekanisme dan simplifikasi dokumen di bidang keuangan negara.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan keuangan negara tersebut, diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan.
|
Pemerintah
diberikan kewenangan diskresi untuk menetapkan batasan defisit anggaran
dengan persyaratan tertentu (diskresi terikat); melakukan penyesuaian besaran
belanja wajib (mandatory spending);
pergeseran anggaran; melakukan tindakan pengeluaran atas beban APBN yang
belum tersedia anggaran dan menentukan proses dan metode pengadaan barang dan
jasa (mengubah implementasi dari Perpres No. 16 Tahun 2018); menggunakan
anggaran yang bersumber dari: 1. Sisa Anggaran Lebih (SAL); 2. dana abadi dan
akumulasi dana abadi pendidikan; 3. dana yang dikuasai negara dengan kriteria
tertentu; 4. dana yang dikelola oleh Badan Layanan Umum; dan/atau 5. dana yang
berasal dari pengurangan Penyertaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik
Negara (BUMN); menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah
Negara dengan tujuan tertentu untuk dapat dibeli oleh Bank Indonesia, Badan
Usaha Milik Negara (BUMN), investor korporasi, danf atau investor ritel; menetapkan
sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalam dan/atau luar
negeri; memberikan pinjaman kepada
Lembaga Penjamin Simpanan; melakukan
pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing),
penyesuaian alokasi, dan/atau pemotongan/ penundaan penyaluran anggaran
Transfer ke Daerah dan Dana Desa, dengan kriteria tertentu; memberikan hibah
kepada Pemerintah Daerah; dan/atau melakukan penyederhanaan mekanisme dan
simplifikasi dokumen di bidang keuangan negara. Hal ini berarti kewenangan
diskresi terkait pelaksanaan UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara dan
regulasi di bidang penjaminan simpanan serta perbankan.
|
2.
|
Kebijakan
di Bidang Keuangan Daerah
|
Dalam
rangka pelaksanaan kebijakan di bidang keuangan daerah, Pemerintah Daerah
diberikan kewenangan untuk melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran
untuk kegiatan tertentu (refocusing),
perubahan alokasi, dan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Ketentuan
mengenai pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), perubahan alokasi, dan
penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tersebut, diatur dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri.
|
Pemerintah
Daerah dengan mengacu pedoman dari Mendagri diberikan kewenangan untuk
melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), perubahan alokasi, dan
penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Ketentuan
mengenai pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), perubahan alokasi, dan
penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
|
3.
|
Kebijakan
di Bidang Perpajakan
|
Kebijakan
di bidang perpajakan itu meliputi: penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib
Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap; b. perlakuan perpajakan
dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE); c. perpanjangan
waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan; dan d. pemberian
kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan
berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan kondisi
darurat serta pemulihan dan penguatan ekonomi nasional.
|
Pemerintah
berwenang untuk melakukan kebijakan diskresi di bidang perpajakan dalam
bentuk: penyesuaian tarif pajak WP Badan DN dan BUT; perlakuan perpajakan
dalam kegiatan PMSE; perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan
kewajiban perpajakan; pemberian kewenangan kepada Menkeu untuk memberikan
fasilitas kepabeanan (pembebasan/keringanan) terhadap kegiatan tertentu.
|
4.
|
Pelaksanaan
Program Pemulihan Ekonomi Nasional
|
Dalam
rangka mendukung kebijakan keuangan negara dan guna melakukan penyelamatan
ekonomi nasional, Pemerintah menjalankan program pemulihan ekonomi nasional. Program
tersebut bertujuan untuk melindungi, mempertahankan dan meningkatkan
kemampuan ekonomi para pelaku usaha dari sektor riil dan sektor keuangan dalam
menjalankan usahanya. Program pemulihan ekonomi nasional dapat dilaksanakan
melalui Penyertaan Modal Negara, penempatan dana danf atau investasi
Pemerintah, dan/atau kegiatan penjaminan dengan skema yang ditetapkan oleh
Pemerintah.
|
Dilakukan
langkah-langkah untuk melindungi, mempertahankan dan meningkatkan kemampuan
ekonomi para pelaku usaha dari sektor riil dan sektor keuangan dalam
menjalankan usahanya.
|
5.
|
Kebijakan
Stabilitas Sistem Keuangan
|
Dalam
rangka pelaksanaan kebijakan stabilitas sistem keuangan, Komite Stabilitas
Sistem Keuangan yang selanjutnya disebut KSSK, diberikan kewenangan untuk
merumuskan dan menetapkan langkah-langkah penanganan permasalahan stabilitas
sistem keuangan dan menetapkan skema pemberian dukungan oleh Pemerintah untuk
penanganan permasalahan lembaga jasa keuangan dan stabilitas sistem keuangan
yang membahayakan perekonomian nasional.
Pelaksanaan
kebijakan diatribusikan untuk dilaksanakan oleh BI, Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Pemerintah. Masing-masing diberikan
kewenangan mengatur lebih lanjut melalui peraturan masing-masing.
|
Perubahan
sejumlah kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga tersebut sesuai
dengan peraturan perundang-undangan guna mendukung kebijakan stabilitas
sistem keuangan
|
Mencermati pembahasan di atas, dapat
disimpulkan bahwa kerangka hukum dalam penanganan covid-19 tetap dilakukan
dengan mengefektifkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan sektoral,
terutama di bidang kesehatan dan perhubungan/transportasi. Kebijakan darurat
hanya diambil melalui Perppu secara khusus di bidang pengelolaan keuangan
negara/daerah, perpajakan, sistem perbankan dan perekonomian.
Skema 2
Kebijakan Darurat dan Reguler
Landasan hukum
bagi penetapan Perppu terdapat pada UUD maupun UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI 1945 mengaatur
bahwa: “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan
peraturan pemerintah pengganti undang-undang.” Penetapan Perppu yang
dilakukan oleh Presiden ini juga diatur dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi: “Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden
dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.” Sedangkan kriteria obyektif untuk
dikeluarkannya Perppu oleh Presiden dirumuskan dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Berdasarkan Putusan MK tersebut, ada
3 (tiga) syarat sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa”
bagi Presiden untuk menetapkan Perppu, yaitu:
1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk
menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga
terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara
membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang
cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk
diselesaikan;
Hakikat
lahirnya Perpu adalah untuk antisipasi keadaan yang “genting dan memaksa”. Jadi
ada unsur paksaan keadaan untuk segera diantisipasi tetapi masih dalam koridor
hukum yakni melalui Perpu, dan Perpu tersebut harus segera dibahas
dipersidangan berikutnya untuk disetujui atau tidak menjadi undang-undang. Jika
Perpu tidak disetujui dalam persidangan DPR maka Perpu tersebut harus dicabut.[8]
Tidak diatur kriteria bidang yang
boleh diatur melalui Perppu, namun, hanya terdapat syarat keadaan dan kriteria
obyektif untuk ditetapkannya Perppu oleh Presiden. Dengan demikian, kriteria
bidang yang perlu untuk diatur melalui Perppu diserahkan kepada pertimbangan
subyektif Presiden dengan mengacu pada syarat keadaan/kondisional yang
terjadi. Maka, menghadapi pandemi Covid-19 presiden memiliki kewenangan
konstitusional maupun normatif untuk menetapkan bahwa bidang yang dianggap
perlu diatur melalui Perppu adalah kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan
untuk penanganan pandemi Corona Virus
Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang
membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.
Bahwa
terhadap tiga syarat di atas adalah syarat adanya “kegentingan yang memaksa”
sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian
pengertian kegentingan yang memaksa tidak dimaknai sebatas hanya adanya keadaan
bahaya sebagaimana dimaksud oleh Pasal 12 UUD 1945. Memang benar bahwa keadaan
bahaya sebagaimana dimaksud oleh Pasal 12 UUD 1945 dapat menyebabkan proses
pembentukan Undang-Undang secara biasa atau normal tidak dapat dilaksanakan,
namun keadaan bahaya bukanlah satu-satunya keadaan yang menyebabkan timbulnya
kegentingan memaksa sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Pasal
22 ayat (1) UUD 1945 menyatakan. ”Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa,
Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti
undang-undang”. Dari rumusan kalimat tersebut jelas bahwa peraturan pemerintah
yang dimaksud pada pasal tersebut adalah sebagai pengganti UndangUndang, yang
artinya seharusnya materi tersebut diatur dalam wadah Undang-Undang tetapi
karena kegentingan yang memaksa, UUD 1945 memberikan hak kepada Presiden untuk
menetapkan Perpu dan tidak memberikan hak kepada DPR untuk membuat peraturan
sebagai pengganti Undang-Undang. Apabila pembuatan peraturan tersebut
diserahkan kepada DPR maka proses di DPR memerlukan waktu yang cukup lama
karena DPR sebagai lembaga perwakilan, pengambilan putusannya ada di tangan
anggota, yang artinya untuk memutuskan sesuatu hal harus melalui rapat-rapat
DPR sehingga kalau harus menunggu keputusan DPR kebutuhan hukum secara cepat
mungkin tidak dapat terpenuhi. Di samping itu, dengan disebutnya ”Presiden
berhak” terkesan bahwa pembuatan Perpu menjadi sangat subjektif karena menjadi
hak dan tergantung sepenuhnya kepada Presiden. Pembuatan Perpu memang di tangan
Presiden yang artinya tergantung kepada penilaian subjektif Presiden, namun
demikian tidak berarti bahwa secara absolut tergantung kepada penilaian
subjektif Presiden karena sebagaimana telah diuraikan di atas penilaian
subjektif Presiden tersebut harus didasarkan kepada keadaan yang objektif yaitu
adanya tiga syarat sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa”.[9]
Tetap
digunakannya UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan ternyata
disebabkan bahwa UU tersebut sudah mengatur pada Bab V perihal kedaruratan
kesehatan masyarakat pada Pasal 10 sebagai berikut:
(1)
Pemerintah Pusat menetapkan dan
mencabut Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
(2)
Pemerintah Pusat menetapkan dan mencabut
penetapan Pintu Masuk dan/atau wilayah di dalam negeri yang Terjangkit Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat.
(3)
Sebelum menetapkan Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat, Pemerintah Pusat terlebih dahulu menetapkan jenis
penyakit dan faktor risiko yang dapat menimbulkan Kedaruratan Kesehatan
Masyarakat.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara penetapan dan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan pemerintah.
Ketentuan
itulah yang digunakan sebagai rujukan dari ditetapkannya Keppres No. 11 Tahun 2020 tentang
Penetapan Kedaruratan Masyarakat Corona
Virus Disease 2019 (Covid-19). Keppres No. 11 Tahun 2020 menyebutkan dua
hal pokok: (1) Menetapkan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai jenis penyakit yang
menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan (2) Menetapkan Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease
2019 (COVID-19) di lndonesia yang wajib dilakukan upaya penanggulangan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Maka, sifat kedaruratan masyarakat
sebagai landasan kebijakan penanganan Covid-19
sudah disediakan dalam UU No. 16 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
sebagai regulasi sektoral yang sudah mengatur sistem penanganan kondisi
kedaruratan masyarakat berdasarkan seperangkat kriteria, metode dan proses
dalam pelaksanaan kebijakan terkait.
Diterbitkannya Keppres RI No. 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana
Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease
2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional memiliki rujukan yang berbeda
dengan Keppres RI No. 11 Tahun 2020, karena bersumber dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang
Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3273) dan Undang-Undang Nomor
'24 Tahun 2007 tentang Penarrggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lemharan Negara Republik Indonesia
Nomor 4723). Hal itu diatur pada Pasal 7 ayat (1) huruf c UU No. 24 Tahun 2007
yang mengatur bahwa Pemerintah berwenang menetapkan status dan tingkatan
bencana nasional dan daerah. Penetapan
status dan tingkat bencana nasional dan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c
memuat indikator yang meliputi:
a. jumlah korban; b.
kerugian harta benda; c. kerusakan prasarana dan sarana; d. cakupan luas wilayah yang terkena bencana;
dan e. dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan. Bencana
adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan, baik
oleh faktor alam
dan/atau faktor nonalam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis (Pasal 1 angka 1). Adapun yang dimaksud dengan Bencana
Nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa
nonalam yang antara
lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah
penyakit (Pasal 1 angka 3).
Berdasarkan
analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa penetapan status keadaan kedaruratan
kesehatan masyarakat Covid-19
berdasarkan Keppres No. 11 Tahun 2020 memiliki landasan hukum yang berbeda
dengan penetapan status keadaan bencana nonalam penyebaran covid-19. Sumber
pembiayaan dari UU sektoral yang berbeda memungkinkan terjadinya perbedaan
sumber dalam pembiayaan dari rekening Kementerian/Lembaga yang berbeda, namun
dapat juga dilakukan pembiayaan bersama sejauh tidak terjadi double budget atau pembiayaan ganda dari
sumber rekening Kementerian/Lembaga yang berbeda, namun digunakan untuk
melakukan pembiayaan atas program/kegiatan yang sama. Hal inilah yang harus
tetap menjadi pedoman dalam pembiayaan atas penanganan covid-19 dan dampak yang ditimbulkannya.
Pada
pembahasan di atas juga telah diuraikan bahwa Pandemi Covid-19 di Indonesia memiliki dampak multisektor, dari pendidikan,
sosial, ekonomi, hingga aktivitas beribadah di masyarakat. Perppu No. 1 Tahun
2020 dipersiapkan sebagai kerangka hukum bagi kebijakan pemerintah untuk
mengatasi dampak multisektor dari pandemi Covid-19
(Periksa tabel analisis Substansi Perppu No. 1 Tahun 2020 di atas). Maka, dapat
disimpulkan bahwa kerangka hukum bagi landasan kebijakan Pemerintah untuk
mengatasi Covid-19 beserta dampak yang ditimbulkannya, memperlihatkan sebuah
kebijakan darurat yang bersifat komprehensif dan dipersiapkan untuk mampu
mengatasi dampak multisektor yang ditimbulkan oleh penyebaran Covid-19.
Skema 3
Siklus Kebijakan
Kerangka hukum sebagai landasan
hukum penanganan covid-19 dapat diletakkan di ranah policy formulation dalam siklus kebijakan publik. Luasnya dampak
sosial, ekonomi dan kesehatan sebagai akibat covid-19 mengharuskan peran multisektor untuk bersinergi dalam
penanganannya. Maka, untuk mengantisipasi kegagalan dalam implementasinya
diperlukan pengawasan efektif terhadap pelaksanaannya dan evaluasi atas
implementasinya. Diperlukan adanya sistem pengawasan yang memadai terhadap
implementasi kebijakan penanganan covid-19. Pasal 28 Perppu No. 1 Tahun 2020 mengatur
pengecualian bagi berlakunya hal-hal yang diatur dalam Perppu dengan tidak
memberlakukan sejumlah peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan,
keuangan negara, perbendaharaan negara, perbankan, LPS, perimbangan keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, kesehatan, desa, pemerintahan daerah,
MD3, pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan dan APBN. Hal tersebut
telah memberikan kewenangan preferensi terhadap subtansi Perppu baik menyangkut
obyek, subyek maupun sejumlah kewenangan yang diatur didalamnya. Hal ini
berpotensi untuk menyebabkan terjadinya penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dalam implementasi
Perppu No. 1 Tahun 2020 maupun kerangka hukum yang berkaitan dengan
implementasi Perppu tersebut.
UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan mengatur berikut ini. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang
menyalahgunakan Wewenang. Larangan penyalahgunaan Wewenang tersebut meliputi:
a. larangan melampaui Wewenang; b. larangan mencampuradukkan Wewenang; dan/atau
c. larangan bertindak sewenang-wenang. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
dikategorikan melampaui Wewenang apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang
dilakukan: a. melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya Wewenang; b.
melampaui batas wilayah berlakunya Wewenang; dan/atau c. bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan mencampuradukkan Wewenang apabila
Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan: a. di luar cakupan bidang atau
materi Wewenang yang diberikan; dan/atau b. bertentangan dengan tujuan Wewenang
yang diberikan. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan bertindak
sewenang-wenang apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan: a. tanpa
dasar Kewenangan; dan/atau b. bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap.
Ada
beberapa ketentuan dalam Perppu No. 1 Tahun 2020 yang penting untuk dicermati,
yaitu yang diatur pada Pasal 27. Pasal
27 ayat (1) mengatur bahwa biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau
lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara
termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk
kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas
sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari
biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan
kerugian negara. Ketentuan ini merupakan konsekuensi dari pemberian preferensi
atas hal-hal yang diatur dalam Perppu No. 1 Tahun 2020 dengan mengesampingkan
berlakunya sejumlah peraturan perundang-undangan terkait, mengingat karakter
dari Perppu.
Pasal
27 ayat (2) Perppu No. 1 Tahun 2020 mengatur bahwa Anggota KSSK, Sekretaris
KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan,
Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan
pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun
pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini mengatur mengenai privilege terbatas/bersyarat bagi subyek
norma yang diatur dalam Perppu tersebut. Syarat untuk tidak dapat dituntut baik
secara perdata maupun pidana adalah jika dipenuhi persyaratan yaitu: (1) dalam
melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan (2) sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Maka, pada hakikatnya, pengaturan mengenai privilege bagi pengambil kebijakan dalam
Perppu tersebut tetap didasarkan atas Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik
maupun prinsip-prinsip good governance.
Pasal
27 ayat (3) mengatur bahwa segala tindakan termasuk keputusan yang diambil
berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan
objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara. Logika
hukum di balik pengaturan ini adalah berkaitan dengan batasan waktu penggunaan
anggaran yang bersumber dari APBN/D yang dibatasi oleh tahun fiskal yang
disamakan dengan tahun kalender. Manakala, terhadap keputusan yang diambil
dapat diajukan gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara yang penyelesaiannya juga
memungkinkan untuk dilakukan upaya hukum sampai ke Mahkamah Agung, maka, akan
menyebabkan terganggunya pelaksanaan kebijakan darurat yang diambil oleh
sejumlah pengambil kebijakan yang diberi kewenangan dalam Perppu yang justru
menyebabkan tidak tercapainya tujuan yang ingin dicapai melalui Perppu.
Dengan
demikian, pengawasan yang dilakukan atas implementasi kebijakan melalui Perppu
No. 1 Tahun 2020 dan sejumlah peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan
dengannya tetap dapat dilakukan melalui sistem pengawasan internal dan
pencegahan terhadap terjadinya potensi penyalahgunaan wewenang dalam
pelaksanaan Perppu No. 1 Tahun 2020 dan peraturan perundang-undangan terkait.
Maka, jika penyalahgunaan wewenang dilakukan berkaitan dengan peraturan
perundang-undangan di luar hal-hal yang diatur dalam Perppu tetap dapat
digunakan perangkat hukum biasa dalam mengatasinya, termasuk dalam hal
dilakukan tindak pidana korupsi. Namun, terkait dengan pengaturan mengenai
status kerugian negara, yang dikecualikan sebagai kerugian negara dalam Perppu
No. 1 Tahun 2020 adalah biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau
lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara
termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk
kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas
sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional karena ditetapkan
sebagai bagian dari biaya ekonomi untuk
penyelamatan perekonomian dari krisis. Namun, jika dalam pelaksanaan kebijakan
terkait dengan penggunaan biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari
krisis dilakukan penyalahgunaan wewenang di luar tujuan yang ditentukan dalam
Perppu tentunya tetap dapat dilakukan proses hukum untuk meminta
pertanggungjawaban atas penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan/penggunaan
keuangan negara untuk pembiayaan ekononomi tersebut. Apalagi jika pejabat yang
berwenang melakukan tindakan yang bertentangan dengan kriteria yang diatur pada
Pasal 27 ayat (2) yaitu: (1). tidak didasarkan atas iktikad baik dan (2).
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain,
Perppu No. 1 Tahun 2020 tetap didasarkan atas Asas-asas Umum Pemerintahan yang
baik dan prinsip-prinsip good governance,
meskipun tetap memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap pengambil
kebijakan apabila dalam mengambil kebijakan memenuhi kriteria Pasal 27 ayat (2)
Perppu No. 1 Tahun 2020.
5. Penutup
(Simpulan)
a.
Menghadapi
kondisi pandemi global Covid-19 yang
berdampak sangat serius pada negeri ini, meski sempat menimbulkan pro dan
kontra di kalangan masyarakat, harus diakui bahwa respons Pemerintah cukup cepat dan tepat.
Pemerintahan Jokowi segera merespons perkembangan situasi yang kian mengkhawatirkan
di tengah kepanikan masyarakat melihat korban berjatuhan yang terus bertambah
akibat wabah Covid-19.
b.
Akibat
dari respons atas kondisi darurat kesehatan masyarakat akibat Covid-19 tentunya
membutuhkan dukungan anggaran darurat yang bersumber dari APBN/D. Maka, Perppu
No. 1 Tahun 2020 diperlukan untuk melakukan langkah refocusing anggaran, realokasi dan relaksasasi sejumlah kebijakan
fiskal menghadapi kondisi darurat kesehatan masyarakat yang bisa sangat
menyulitkan kondisi anggaran.
c.
Pengawasan
yang dilakukan atas implementasi kebijakan melalui Perppu No. 1 Tahun 2020 dan
sejumlah peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengannya tetap dapat
dilakukan melalui sistem pengawasan internal dan pencegahan terhadap terjadinya
potensi penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan Perppu No. 1 Tahun 2020 dan
peraturan perundang-undangan terkait.
d.
Perppu
No. 1 Tahun 2020 tetap didasarkan atas Asas-asas Umum Pemerintahan yang baik
dan prinsip-prinsip good governance,
meskipun tetap memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap pengambil
kebijakan apabila dalam mengambil kebijakan memenuhi kriteria Pasal 27 ayat (2)
Perppu No. 1 Tahun 2020.
Daftar Pustaka
Buku-buku, Jurnal, dan Lain-lain
Menko
Bidang Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI, Rakor Tingkat Menteri
Karantina Wilayah, 31 Maret 2020, Bahan Paparan.
Ni’matul Huda,
2005, Negara Hukum, Demokrasi dan
Judicial Review, UII Press, Yogyakarta.
Riawan
Tjandra, W., 2016, Hukum Administrasi
Negara, Sinar Grafika, Jakarta.
________________, 2019,
Hukum Sarana Pemerintahan, Cahaya
Atma Pustaka, Yogyakarta
Achmad Edi Subiyanto, Menguji Konstitusionalitas
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, artikel yanag ditulis dalam Lex Jurnalica Volume 11 Nomor 1, April
2014, hal. 9, diakses dari https://media.neliti.com/media/publications/17998-ID-menguji-konstitusionalitas-peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang.pdf,
tanggal 3 Mei 2020, Pukul 07.00-08.00 WIB.
Internet
https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20200320141854-255-485327/adu-cepat-penanganan-pemerintah-dengan-kerja-virus-covid-19 diakses
tanggal 1 Mei 2020 pkl 12.00 – 13.00
WIB.
https://kolom.tempo.co/read/1326074/covid-19-kerentanan-sosial-dan-gagalnya-physical-distancing, diakses
tanggal 1 Mei 2020 Pukul 12.00 – 13.00 WIB.
Peraturan
Perundang-undangan
UU No. 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana Alam
UU No. 6 Tahun 2018 tentang
Kekarantinaan Kesehatan
UU No. 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan
Perppu No. 1 Tahun 2020 tentang
Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan
Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi
Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem
Keuangan.
PP No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan
Sosial Berskala Besar (PSBB) Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)
Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
612/Menkes/SK/V/2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Karantina Kesehatan Pada
Penanggulangan Kedaruratan Kesehatan Kesehatan Masyarakat Yang Meresahkan Dunia.
Permendes PDT dan Transmigrasi No. 6
Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Permendes PDT dan Transmigrasi No. 11 Tahun
2019 Tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020.
Permenkes No. 9 Tahun 2020 Tentang
Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona
Virus Disease 2019 (Covid-19).
Permenhub No. PM 18 Tahun 2020 Tentang
Pengendalian Transportasi Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus
Disease 2019 (Covid-19).
Biodata Singkat Penulis
Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum. adalah
pengajar bidang Hukum Administrasi Negara pada Fakultas Hukum dan Magister Ilmu
Hukum (Kenegaraan) Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan menjadi dosen tidak
tetap pada beberapa perguruan tinggi di Yogyakarta, yaitu di Progam S2 dan
S3 Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana FH
UGM, Magister Ilmu Hukum Program Pasca
Sarjana FH Universitas Islam Indonesia (UII), Magister Ilmu Hukum Program Pasca
Sarjana FH Universitas Janabadra, dan STIE YKPN. Pendidikan penulis sebagai
berikut: lulus cumlaude dari Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya Malang pada tahun 1993 . lulus cumlaude dari
Magister Hukum Bidang Konsentrasi Hukum Kenegaraan Program Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada pada tahun 2003; dan lulus cumlaude dari Program
Doktor Ilmu Hukum Bidang Hukum Administrasi Negara UGM tahun 2009 di bawah bimbingan
Promotor Prof. Dr. Muchsan, S.H. dan Co-promotor Prof. Dr. Nurhasan Ismail,
S.H., M.Si. Penulis pernah mengikuti beberapa pelatihan di antaranya: Pelatihan
Bantuan Hukum LBH UII (1998); Lokakarya Class
Action yang diselenggarakan oleh YLBHI – LBH Jakarta pada tahun 2000;
Kursus Perijinan Lingkungan yang diselenggarakan oleh BKPSL & Lemlit
Universitas Airlangga Surabaya pada tahun 2000; Kursus Comparative
Administrative Law UGM-Maastricht (2006); Training of Materials Budget
Oversight LGSP-USAID (2009) dan sejumlah Kursus bidang Pengadaan Barang dan
Jasa yang diselenggarakan oleh Lembaga Konsultasi dan Pengembangan Nasional
(terakreditasi A dari LKPP). Penulis pernah bekerja sebagai Konsultan Lembaga
Donor, seperti USAID, AUSAID dan JICA serta pernah aktif sebagai mitra dari
beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat seperti Lappera, IRE, ICEL, LBH Jakarta,
USC Satunama, dan WALHI. Penulis juga pernah menduduki beberapa jabatan
struktural di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, yaitu: Sekretaris pada Pusat
Bantuan dan Konsultasi Hukum FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Direktur
Program Pasca Sarjana Universitas Atma Jaya Yogyakarta (2010-2012), Ketua
Bagian Hukum Acara FH UAJY dan Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara pada FH
UAJY. Sejumlah riset pernah dilakukan penulis di Kemenkeu (Riset DPID/DPPID);
Riset kelembagaan di BNPT, BNN dan Perpusnas; Riset Indeks Persepsi Korupsi di
Pemkot Balikpapan; Riset Desain Kelembagaan Pemprov DKI Jakarta. Penulis
menjadi ahli bidang Hukum Administrasi Negara, Hukum Keuangan Negara/Daerah,
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, dan Hukum Pengadaan Barang dan Jasa di
berbagai peradilan, yaitu: PN Tipikor, PTUN, Arbitrase, Mahkamah Konstitusi,
Mahkamah Agung dan DKPP. Beberapa kasus yang pernah ditangani sebagai ahli
diantaranya: kasus korupsi Dana Operasional Menteri, kasus korupsi KTP
elektronik, kasus korupsi di Kementerian Agama, Kasus korupsi BUMN, dan
sebagainya. Pernah menulis banyak artikel di media massa seperti Kompas, Media
Indonesia, Koran Sindo, Suara Pembaruan, Republika, dan SKH Kedaulatan Rakyat.
Penulis juga telah menghasilkan banyak buku, beberapa di antara: Hukum Keuangan
Negara (Grasindo), Teori dan Praktik Peradilan Tata Usaha Negara (Cahaya Atma
Pustaka), dan Hukum Administrasi Negara (Sinar Grafika)
[1]
https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20200320141854-255-485327/adu-cepat-penanganan-pemerintah-dengan-kerja-virus-covid-19
diakses tanggal 1 Mei 2020 pkl 12.00 –
13.00 WIB
[2]
https://kolom.tempo.co/read/1326074/covid-19-kerentanan-sosial-dan-gagalnya-physical-distancing,
diakses tanggal 1 Mei 2020 Pukul 12.00 – 13.00 WIB
[3]
Sumber : Menko Bidang Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI, Rakor
Tingkat Menteri Karantina Wilayah, 31 Maret 2020.
[4]
Ibid.
[5] W.
Riawan Tjandra, 2018, Hukum Administrasi Negara, Sinar Grafika, Jakarta, hlm
37.
[6] W.
Riawan Tjandra, 2019, Hukum Sarana Pemerintahan, Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta, hal. 37.
[7]
ibid
[8]
Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, UII Press,
Yogyakarta, 2005, Hlm. 60.
[9]
Achmad Edi Subiyanto, Menguji Konstitusionalitas Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang, artikel yanag ditulis dalam Lex Jurnalica Volume 11 Nomor 1,
April 2014, hal. 9, diakses dari https://media.neliti.com/media/publications/17998-ID-menguji-konstitusionalitas-peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang.pdf,
tanggal 3 Mei 2020, Pukul 07.00-08.00 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar