Perppu No. 2 Tahun 2020: Mengayuh
Di Antara Demokrasi dan Pandemi
Oleh: Dr. W. Riawan Tjandra,
S.H.,M.Hum.
Pandemi
Covid-19 yang melanda lebih dari 213 negara di dunia telah berdampak terhadap
tidak berjalannya sistem demokrasi konstitusional yang bersifat normal. Demokrasi
konstitusional yang bersifat normal mengandaikan kondisi sosial masyarakat
tidak berada di tengah tekanan keadaan darurat, salah satunya seperti yang saat
ini dihadapi terjadinya kondisi bencana nonalam berupa pandemi Covid-19.
Demokrasi yang hendak dilaksanakan
di tengah pandemi justru berpotensi menjadi sebuah ancaman, bukan lagi prasyarat
bagi bekerjanya sistem demokrasi konstitusional yang menjadi amanah UUD Negara
RI 1945. Pasal 5 dan Pasal 20 UUD Negara RI 1945 yang mengatur baik kewenangan
pemerintahan maupun fungsi legislasi pemerintah dalam kondisi sosial normal
memiliki karakter sebagai bangunan sistem demokrasi konstitusional yang
bersifat normal dalam kaitannya dengan Pasal 18 ayat 4 (pemilihan kepala
daerah). Saat ini, dengan dikeluarkannya Perppu No. 2 Tahun 2020 tentang Perubahan
Ketiga Atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, yang
dilaksanakan adalah bangunan norma konstitusional yang bersifat darurat (extraordinary) karena Presiden
menggunakan Pasal 22 UUD Negara RI 1945.
Pandemi Covid-19 yang sampai saat
ini bersifat tak dapat diprediksi (unpredictable) telah menyebabkan subtansi
dari Perppu No. 2 Tahun 2020 terkesan bersifat ambigu. Di satu sisi, Pemerintah
ingin tetap memastikan kewenangan penyelenggaraan pemilihan serentak kepala
daerah berada di tangan KPU sesuai dengan prinsip yang ditentukan dalam Pasal
22E ayat (5) UUD Negara RI 1945, namun, di sisi lain Pemerintah juga berhadapan
dengan dilema menghadapi bencana nonalam Covid-19 yang masih tidak jelas
berakhirnya. Akibatnya, dimunculkanlah ketentuan Pasal 201A Perppu No. 2 Tahun
2020 yang membuka kemungkinan penundaan pelaksanaan pemilu serentak untuk dapat
dilaksanakan pada bulan Desember 2020. Namun, Pasal 201A ayat (3) masih membuka
ruang bagi penundaan kembali pemilu serentak manakala penundaan sampai pada
bulan Desember 2020 masih terhambat oleh belum berakhirnya bencana nonalam
Covid-19. Hal ini yang menimbulkan kesan adanya ketidakpastian mengenai saat
pelaksanaan pemilu serentak.
Penundaan pelaksanaan pemilu kepala
daerah serentak sesungguhnya juga berdampak secara serius terhadap desain
perencanaan dan kerangka kerja (framework)
bagi program dan kegiatan KPU/D. Ketidakpastian ini telah menempatkan demokrasi
lokal berada di ujung tanduk dan ketidakpastian.Di sisi lain, jika berhasil
dilaksanakan pada bulan Desember 2020 jika membutuhkan dukungan pembiayaan di
luar KPU/D yang diambil dari APBN/D telah cukup banyak mata anggaran bagi
program/kegiatan yang telah direncanakan dalam APBN/D dilakukan
pengalihan/penggeseran melalui mekanisme refocusing
dan realokasi anggaran berdasarkan Perppu No. 1 Tahun 2020 maupun Inpres No. 4
Tahun 2020. Masa pelaksanaan pemilu serentak pada bulan Desember 2020 juga
menyebabkan sangat berhimpitnya jarak waktu penggunaan anggaran untuk membiayai
pemilu serentak tersebut dengan batas waktu pertanggungjawaban bagi APBN/D pada
akhir bulan Desember guna penyusunan Pertanggungjawaban Anggaran Negara (PAN)
pada triwulan pertama tahun 2021. Hal ini juga memerlukan perhatian serius dan
kebijakan khusus untuk memberikan relaksasi bagi batas waktu pertanggungjawaban
anggaran jika pemilu serentak berhasil diselenggarakan pada bulan Desember
2020.
Apabila sampai pada bulan Desember
2020 masih belum dapat dilaksanakan akibat masih belum nornalnya kondisi sosial
karena Covid-19, penundaan pemilu sampai pada tahun 2021 juga mengharuskan
adanya kepastian batas waktu bagi pelaksanaan pemilu serentak tersebut
mengingat keharusan KPU/D untuk mendesain program kerja dan anggaran untuk
mengantisipasi penundaan kembali pemilu serentak tersebut. Hal ini terkait
dengan tahapan pemilu serentak yang relatif panjang mulai dari
sosialisasi/kampanye, penetapan pasangan calon, keberatan/gugatan, sampai pada
pelaksanaan pemilunya sendiri. Kondisi bencana nonalam yang menimbulkan
ketidakpastian demokrasi ini sesungguhnya menghendaki adanya inovasi dalam
penyelenggaraan pemilu yang memungkinkan sistem demokrasi tetap bisa berjalan
dengan mengintegrasikan protokol kesehatan. Hal itu bisa dipikirkan dengan
memperluas penerapan sistem demokrasi elektronik pada tahapan-tahapan pemilu
itu agar pemilu tidak terlalu lama tertunda tanpa mengabaikan ancaman kondisi
bencana nonalam Covid-19 yang memakan banyak korban jiwa di berbagai negara.
*)
Penulis adalah pengajar pada FH
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, konsultan sektor publik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar