Sabtu, 16 Mei 2020


Perppu No. 2 Tahun 2020: Mengayuh Di Antara Demokrasi dan Pandemi
Oleh: Dr. W. Riawan Tjandra, S.H.,M.Hum.

                        Pandemi Covid-19 yang melanda lebih dari 213 negara di dunia telah berdampak terhadap tidak berjalannya sistem demokrasi konstitusional yang bersifat normal. Demokrasi konstitusional yang bersifat normal mengandaikan kondisi sosial masyarakat tidak berada di tengah tekanan keadaan darurat, salah satunya seperti yang saat ini dihadapi terjadinya kondisi bencana nonalam berupa pandemi Covid-19.
            Demokrasi yang hendak dilaksanakan di tengah pandemi justru berpotensi menjadi sebuah ancaman, bukan lagi prasyarat bagi bekerjanya sistem demokrasi konstitusional yang menjadi amanah UUD Negara RI 1945. Pasal 5 dan Pasal 20 UUD Negara RI 1945 yang mengatur baik kewenangan pemerintahan maupun fungsi legislasi pemerintah dalam kondisi sosial normal memiliki karakter sebagai bangunan sistem demokrasi konstitusional yang bersifat normal dalam kaitannya dengan Pasal 18 ayat 4 (pemilihan kepala daerah). Saat ini, dengan dikeluarkannya Perppu No. 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, yang dilaksanakan adalah bangunan norma konstitusional yang bersifat darurat (extraordinary) karena Presiden menggunakan Pasal 22 UUD Negara RI 1945.
            Pandemi Covid-19 yang sampai saat ini bersifat tak dapat diprediksi (unpredictable) telah menyebabkan subtansi dari Perppu No. 2 Tahun 2020 terkesan bersifat ambigu. Di satu sisi, Pemerintah ingin tetap memastikan kewenangan penyelenggaraan pemilihan serentak kepala daerah berada di tangan KPU sesuai dengan prinsip yang ditentukan dalam Pasal 22E ayat (5) UUD Negara RI 1945, namun, di sisi lain Pemerintah juga berhadapan dengan dilema menghadapi bencana nonalam Covid-19 yang masih tidak jelas berakhirnya. Akibatnya, dimunculkanlah ketentuan Pasal 201A Perppu No. 2 Tahun 2020 yang membuka kemungkinan penundaan pelaksanaan pemilu serentak untuk dapat dilaksanakan pada bulan Desember 2020. Namun, Pasal 201A ayat (3) masih membuka ruang bagi penundaan kembali pemilu serentak manakala penundaan sampai pada bulan Desember 2020 masih terhambat oleh belum berakhirnya bencana nonalam Covid-19. Hal ini yang menimbulkan kesan adanya ketidakpastian mengenai saat pelaksanaan pemilu serentak.
            Penundaan pelaksanaan pemilu kepala daerah serentak sesungguhnya juga berdampak secara serius terhadap desain perencanaan dan kerangka kerja (framework) bagi program dan kegiatan KPU/D. Ketidakpastian ini telah menempatkan demokrasi lokal berada di ujung tanduk dan ketidakpastian.Di sisi lain, jika berhasil dilaksanakan pada bulan Desember 2020 jika membutuhkan dukungan pembiayaan di luar KPU/D yang diambil dari APBN/D telah cukup banyak mata anggaran bagi program/kegiatan yang telah direncanakan dalam APBN/D dilakukan pengalihan/penggeseran melalui mekanisme refocusing dan realokasi anggaran berdasarkan Perppu No. 1 Tahun 2020 maupun Inpres No. 4 Tahun 2020. Masa pelaksanaan pemilu serentak pada bulan Desember 2020 juga menyebabkan sangat berhimpitnya jarak waktu penggunaan anggaran untuk membiayai pemilu serentak tersebut dengan batas waktu pertanggungjawaban bagi APBN/D pada akhir bulan Desember guna penyusunan Pertanggungjawaban Anggaran Negara (PAN) pada triwulan pertama tahun 2021. Hal ini juga memerlukan perhatian serius dan kebijakan khusus untuk memberikan relaksasi bagi batas waktu pertanggungjawaban anggaran jika pemilu serentak berhasil diselenggarakan pada bulan Desember 2020.
            Apabila sampai pada bulan Desember 2020 masih belum dapat dilaksanakan akibat masih belum nornalnya kondisi sosial karena Covid-19, penundaan pemilu sampai pada tahun 2021 juga mengharuskan adanya kepastian batas waktu bagi pelaksanaan pemilu serentak tersebut mengingat keharusan KPU/D untuk mendesain program kerja dan anggaran untuk mengantisipasi penundaan kembali pemilu serentak tersebut. Hal ini terkait dengan tahapan pemilu serentak yang relatif panjang mulai dari sosialisasi/kampanye, penetapan pasangan calon, keberatan/gugatan, sampai pada pelaksanaan pemilunya sendiri. Kondisi bencana nonalam yang menimbulkan ketidakpastian demokrasi ini sesungguhnya menghendaki adanya inovasi dalam penyelenggaraan pemilu yang memungkinkan sistem demokrasi tetap bisa berjalan dengan mengintegrasikan protokol kesehatan. Hal itu bisa dipikirkan dengan memperluas penerapan sistem demokrasi elektronik pada tahapan-tahapan pemilu itu agar pemilu tidak terlalu lama tertunda tanpa mengabaikan ancaman kondisi bencana nonalam Covid-19 yang memakan banyak korban jiwa di berbagai negara.
*) Penulis adalah pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta, konsultan sektor publik.

Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...