Ikhwal
Subsidi di Negara Kesejahteraan
Oleh: W. Riawan Tjandra
Doktor Hukum Administrasi Negara,
Pengajar
pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Subsidi merupakan salah satu instrumen penting pemerintahan
yang ditujukan untuk mencapai tujuan pemerintah tertentu. Subsidi sering
dikaitkan dengan fungsi redistribusi dan realokasi anggaran negara yang dalam
kerangka negara kesejahteraan (welfare
state) digunakan untuk melayani kepentingan publik secara berkeadilan.
Tarik ulur rencana kebijakan pengurangan subsidi BBM kian menyeret nasib
rakyat ke dalam pusaran politik transaksional. Jika mencermati Pasal 32 ayat
(1) UU No. 19 Tahun 2012 tentang APBN Tahun 2013, pemerintah dengan persetujuan
DPR diberikan otoritas untuk melakukan penyesuaian APBN Tahun Anggaran 2013 salah satunya jika terjadi perkembangan
ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN Tahun
Anggaran 2013.
Faktor utama yang mendorong pemerintah menggunakan ketentuan Pasal 32
ayat (1) UU APBN tersebut menurut versi pemerintah adalah masalah asumsi harga minyak Indonesia (ICP) yang semula direncanakan
100 dollar AS per barel telah bergerak menjadi 111 dollar AS atau naik 11
persen. Kemudian, kurs dolar dari Rp 9.300 menjadi Rp 9.600-9.800,-. Fakta
itulah yang menurut pemerintah menyebabkan pemerintah terdesak untuk mengajukan
RAPBN-P. Pemerintah berargumen bahwa dengan menyusun RAPBN-P itu diharapkan dapat menjaga agar defisit tetap di bawah
3%. Substansi RAPBN 2013 tersebut antara lain adalah upaya pengurangan subsidi
BBM guna menjaga laju defisit tersebut. Selain itu, juga memuat rencana
pengurangan belanja kementerian dan lembaga. Dengan terjadinya defisit anggaran
jika tidak dilakukan pengurangan subsidi
BBM, defisit itu bisa menjadi Rp
353,6 triliun atau setara dengan 3,8% dari PDB, yang tentunya hal itu bisa
dianggap melanggar Undang-Undang. Rapat paripurna dalam pembahasan RAPBN-P 2013
di tengah kepungan tak kurang dari 1000 demonstran mahasiswa dan buruh berjalan
alot dan dihujani banyak interupsi. Selain itu, hampir di seluruh Indonesia juga
terjadi aksi penolakan terhadap pengurangan subsidi BBM yang menjadi salah satu
substansi pokok dalam RAPBN-P 2013. Di tengah menurunnya harga minyak dunia,
karena kesalahan asumsi mengenai sebagian besar indikator ekonomi makro APBN
2013, pemerintah memaksakan kenaikan harga BBM dalam RAPBN-2013 untuk menutupi
kesalahan-kesalahan dalam menentukan asumsi-asumsi dalam penyusunan APBN 2013.
Sebenarnya, terkait dengan alternatif
politik subsidi di atas sangat penting untuk dikaitkan dengan kebijakan
penghematan di lingkungan kementerian/lembaga dan di daerah di lingkungan
dinas/badan, efektivitas dan intensifikasi pemungutan pajak yang diimbangi
dengan pembersihan berbagai modus penyimpangan tata kelola perpajakan di
lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, efisiensi alokasi anggaran negara yang
kini semakin membengkak dengan adanya penambahan pos-pos Wakil Menteri, biaya
perjalanan dinas pejabat dan sejenisnya.
Pengurangan subsidi BBM tersebut sejatinya merupakan adalah salah
satu kesepakatan dalam pertemuan puncak 21 kepala negara anggota Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC)
di Honolulu, Hawai, Amerika Serikat (http://www.fajar.co.id/read-20111115011620-pemerintah-akan-hapus-subsidi-bbm).
Forum itu merupakan upaya kerjasama dari 21 negara dengan
tujuan meningkatkan perdagangan bebas di kawasan Asia-Pasifik. Dan Oktober nanti KTT
APEC akan diadakan di Bali. Dan tidak ada kado yang paling indah untuk forum
APEC selain kebijakan mencabut subsdi BBM secara bertahap. Selama BBM masih
disubsidi maka korporasi multi nasional tidak bisa main di sektor hilir. Dengan
demikian, penghapusan subsidi BBM tersebut jika dilacak secara kritis pada
hakikatnya lebih pada sekadar pemenuhan kesepakatan perdagangan bebas. Berdasarkan
hal tersebut, Presiden harus berani
membatalkan kebijakan pencabutan subsidi BBM secara bertahap
Selama ini diyakini oleh publik bahwa berbagai kebijakan
politik ekonomi di negeri ini kian bersifat neoliberal dan semakin mengarah
pada sistem pasar bebas. Berbagai kerangka hukum (legal framework) yang dikonstruksi oleh negara selama ini kian
mengukuhkan sistem pasar bebas tersebut. Tengoklah berbagai regulasi di bidang
sumber daya air, investasi, perbankan, energi, infrastruktur dan lain-lain
menjadi wujud kasat mata dari semakin terserapnya sistem ekonomi negeri ini ke
dalam pusaran tak berujung ekonomi pasar bebas.
Sah pula pertanyaan publik yang yang mempertanyakan secara
kritis: ada apa di balik kompensasi kenaikan harga BBM melalui Bantuan Langsung
Sementara Masyarakat (BLSM) tersebut yang ditetapkan menjelang adanya
kontestasi elite dalam pemilu Presiden yang kian mendekat? Karakter pemberian bantuan yang bersifat
langsung sendiri selama ini dinilai banyak pihak tak bersifat mendidik. Ada yang mengusulkan lebih
baik didesain ulang menjadi berbagai program padat karya yang akan menciptakan
lebih banyak lapangan pekerjaan.
Politik subsidi yang semestinya diarahkan untuk mengoptimalkan
upaya peningkatan kesejahteraan rakyat, tak boleh dilekati oleh agenda
tersembunyi (hidden agenda) yang
sarat dengan muatan politik jangka pendek. Maka, subsidi harus dikembalikan
kepada hakikatnya sebagai instrumen pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan
rakyat melalui redistribusi kesejahteraan (welfare
redistribution) dan realokasi anggaran (budget
realocation) negara. Pemerintah
harus bersikat responsif dan proaktif mendengar suara rakyat. Selama ini,
rakyat hanya dihitung dengan kalkulasi angka, jarang suara mereka dipahami
dengan hati. Apalagi jika citra politik adalah taruhannya. Dalam suatu negara
kesejahteraan (welfare state) subsidi
merupakan instrumen negara untuk merealisasikan amanat konstitusi dalam
melindungi rakyatnya sejauh konsep subsidi itu sungguh-sungguh dikembalikan
kepada hakikat fungsinya sebagai perlindungan sosial rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar