Minggu, 03 Mei 2020


Ikhwal Subsidi di Negara Kesejahteraan
Oleh: W. Riawan Tjandra
Doktor Hukum Administrasi Negara,
Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
            Subsidi merupakan salah satu instrumen penting pemerintahan yang ditujukan untuk mencapai tujuan pemerintah tertentu. Subsidi sering dikaitkan dengan fungsi redistribusi dan realokasi anggaran negara yang dalam kerangka negara kesejahteraan (welfare state) digunakan untuk melayani kepentingan publik secara berkeadilan.
Tarik ulur rencana kebijakan pengurangan subsidi BBM kian menyeret nasib rakyat ke dalam pusaran politik transaksional. Jika mencermati Pasal 32 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2012 tentang APBN Tahun 2013, pemerintah dengan persetujuan DPR diberikan otoritas untuk melakukan penyesuaian APBN Tahun Anggaran 2013  salah satunya jika terjadi perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN Tahun Anggaran 2013.
Faktor utama yang mendorong pemerintah menggunakan ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU APBN tersebut menurut versi pemerintah adalah masalah asumsi harga minyak Indonesia (ICP) yang semula direncanakan 100 dollar AS per barel telah bergerak menjadi 111 dollar AS atau naik 11 persen. Kemudian, kurs dolar dari Rp 9.300 menjadi Rp 9.600-9.800,-. Fakta itulah yang menurut pemerintah menyebabkan pemerintah terdesak untuk mengajukan RAPBN-P. Pemerintah berargumen bahwa dengan menyusun RAPBN-P itu diharapkan dapat menjaga agar defisit tetap di bawah 3%. Substansi RAPBN 2013 tersebut antara lain adalah upaya pengurangan subsidi BBM guna menjaga laju defisit tersebut. Selain itu, juga memuat rencana pengurangan belanja kementerian dan lembaga. Dengan terjadinya defisit anggaran jika tidak dilakukan pengurangan subsidi  BBM, defisit itu bisa  menjadi Rp 353,6 triliun atau setara dengan 3,8% dari PDB, yang tentunya hal itu bisa dianggap melanggar Undang-Undang. Rapat paripurna dalam pembahasan RAPBN-P 2013 di tengah kepungan tak kurang dari 1000 demonstran mahasiswa dan buruh berjalan alot dan dihujani banyak interupsi. Selain itu, hampir di seluruh Indonesia juga terjadi aksi penolakan terhadap pengurangan subsidi BBM yang menjadi salah satu substansi pokok dalam RAPBN-P 2013. Di tengah menurunnya harga minyak dunia, karena kesalahan asumsi mengenai sebagian besar indikator ekonomi makro APBN 2013, pemerintah memaksakan kenaikan harga BBM dalam RAPBN-2013 untuk menutupi kesalahan-kesalahan dalam menentukan asumsi-asumsi dalam penyusunan APBN 2013.
            Sebenarnya, terkait dengan alternatif politik subsidi di atas sangat penting untuk dikaitkan dengan kebijakan penghematan di lingkungan kementerian/lembaga dan di daerah di lingkungan dinas/badan, efektivitas dan intensifikasi pemungutan pajak yang diimbangi dengan pembersihan berbagai modus penyimpangan tata kelola perpajakan di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, efisiensi alokasi anggaran negara yang kini semakin membengkak dengan adanya penambahan pos-pos Wakil Menteri, biaya perjalanan dinas pejabat dan sejenisnya.
Pengurangan subsidi BBM tersebut sejatinya merupakan adalah salah satu kesepakatan dalam pertemuan puncak 21 kepala negara anggota Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) di Honolulu, Hawai, Amerika Serikat (http://www.fajar.co.id/read-20111115011620-pemerintah-akan-hapus-subsidi-bbm). Forum itu merupakan upaya kerjasama dari 21 negara dengan tujuan meningkatkan perdagangan bebas di kawasan Asia-Pasifik. Dan Oktober nanti KTT APEC akan diadakan di Bali. Dan tidak ada kado yang paling indah untuk forum APEC selain kebijakan mencabut subsdi BBM secara bertahap. Selama BBM masih disubsidi maka korporasi multi nasional tidak bisa main di sektor hilir. Dengan demikian, penghapusan subsidi BBM tersebut jika dilacak secara kritis pada hakikatnya lebih pada sekadar pemenuhan kesepakatan perdagangan bebas. Berdasarkan hal tersebut,  Presiden harus berani membatalkan kebijakan pencabutan subsidi BBM secara bertahap
Selama ini diyakini oleh publik bahwa berbagai kebijakan politik ekonomi di negeri ini kian bersifat neoliberal dan semakin mengarah pada sistem pasar bebas. Berbagai kerangka hukum (legal framework) yang dikonstruksi oleh negara selama ini kian mengukuhkan sistem pasar bebas tersebut. Tengoklah berbagai regulasi di bidang sumber daya air, investasi, perbankan, energi, infrastruktur dan lain-lain menjadi wujud kasat mata dari semakin terserapnya sistem ekonomi negeri ini ke dalam pusaran tak berujung ekonomi pasar bebas.
Sah pula pertanyaan publik yang yang mempertanyakan secara kritis: ada apa di balik kompensasi kenaikan harga BBM melalui Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) tersebut yang ditetapkan menjelang adanya kontestasi elite dalam pemilu Presiden yang kian mendekat?  Karakter pemberian bantuan yang bersifat langsung sendiri selama ini dinilai banyak pihak tak bersifat mendidik. Ada yang mengusulkan lebih baik didesain ulang menjadi berbagai program padat karya yang akan menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan.
Politik subsidi yang semestinya diarahkan untuk mengoptimalkan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat, tak boleh dilekati oleh agenda tersembunyi (hidden agenda) yang sarat dengan muatan politik jangka pendek. Maka, subsidi harus dikembalikan kepada hakikatnya sebagai instrumen pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui redistribusi kesejahteraan (welfare redistribution) dan realokasi anggaran (budget realocation)  negara. Pemerintah harus bersikat responsif dan proaktif mendengar suara rakyat. Selama ini, rakyat hanya dihitung dengan kalkulasi angka, jarang suara mereka dipahami dengan hati. Apalagi jika citra politik adalah taruhannya. Dalam suatu negara kesejahteraan (welfare state) subsidi merupakan instrumen negara untuk merealisasikan amanat konstitusi dalam melindungi rakyatnya sejauh konsep subsidi itu sungguh-sungguh dikembalikan kepada hakikat fungsinya sebagai perlindungan sosial rakyat.


Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...