Minggu, 03 Mei 2020


Reformasi Regulasi Dalam Penguatan Kelembagaan yang Terkait Dengan Peraturan Perundang-undangan
W. Riawan Tjandra
Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Jl Mrican Baru Baru No. 28 Yogyakarta 55281

Latar Belakang Masalah
            Desain reformasi sistem regulasi di Indonesia sangat berkaitan dengan beberapa variabel utama: sistem kelembagaan, kerangka hukum kebijakan regulasi, hubungan kewenangan antara pemerintah dengan DPR dan sistem perencanaan kebijakan regulasi. Tulisan ini hanya membahas sistem kelembagaan dalam rangka reformasi regulasi di Indonesia, meskipun tidak akan lepas kaitannya dengan variabel yang lain di atas. Kelemahan mendasar dalam penataan kebijakan peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah sistem kelembagaan yang tersebar di berbagai sektor pemerintahan sebagai dampak dari departemenisasi (departemenization) yang merupakan metode untuk melakukan distribusi kewenangan sektoral untuk melaksanakan berbagai fungsi pemerintahan sektoral/khusus.
            Dalam teori Hukum Administrasi Negara, memang pola distribusi kewenangan pemerintahan tak terhindarkan akan dilakukan secara tersebar mengingat banyaknya cakupan ruang lingkup pemerintahan sektoral yang harus ditangani oleh pemerintah. Namun, hal itu justru berkonsekuensi terjadinya sektoralisme kekuasaan pemerintah ke tangan-tangan kementerian yang dibentuk sesuai dengan kebijakan pembentukan kabinet dalam kurun waktu tertentu masa jabatan presiden. Rupanya pemerintah menyadari adanya kelemahan dalam sistem kelembagaan tersebut sehingga dibentuk kelembagaan pemerintahan khusus yang dimaksudkan untuk dapat melakukan sinkronisasi kebijakan di bidang regulasi. Hal itu terlihat dari lahirnya revisi UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang pada Pasal 26 mengatur bahwa: (1) Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam    Pasal 25 dikoordinasikan oleh menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan (2) Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.  
            Dalam Hukum Administrasi Negara, memang dikenal konsep bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan dilakukan secara bertingkat yang meliputi Hukum Administrasi Negara Heteronom dan Hukum Administrasi Negara Otonom. Hukum Administrasi Negara Heteronom pada intinya dalah norma-norma Hukum Administrasi Negara yang dibentuk untuk mengatura seluk beluk penggunaan wewenang dan fungsi dari administrasi negara.  Hukum ini mengatur seluk beluk organisasi dan fungsi administrasi negara dan tidak boleh dilawan, dilanggar dan tidak boleh diubah oleh administrasi negara. HAN Heteronom ini mencakup aturan tentang[1] :
1.      Dasar-dasar dan prinsip umum administrasi negara
2.      Oraginasasi administrasi negara, termasuk juga pengertian dekonsentrasi dan desentralisasi
3.      Berbagai aktifitas dari administrasi negara
4.      Seluruh sarana administrasi negara
5.      Badan peradilan administrasi.

Hukum Administrasi Negara Otonom adalah norma-norma Hukum Administrasi Negara yang dibentuk/diciptakan oleh administrasi negara sebagai pelaksanaan dari Norma Hukum Administrasi Negara Heteronom. Hukum ini merupakan hukum operasional yang diciptakan oleh pemerintah dan administrasi negara sendiri. Oleh karna itu dapat diubah setiap waktu bila perlu dengan tidak  melanggar asas kepastian hukum dan asas kepentingan umum[2].
            Dalam teori Hukum Administrasi Negara, terbentuknya kewenangan sektoral merupakan sesuatu yang tak terhindarkan. Hal itu disebabkan memang Hukum Administrasi Negara dapat diklasifikasikan atas Hukum Administrasi Negara Umum dan Hukum Administrasi Negara sektoral/khusus. Hukum Administrasi Negara Umum adalah Hukum Administrasi Negara yang dibentuk dan mengikat terhadap seluruh aparat administrasi negara, misalnya UU Administrasi Pemerintahan dan UU Peradilan Tata Usaha Negara. Sedangkan Hukum Administrasi Negara sektoral adalah Hukum Administasi Negara yang dibentuk dan mengikat terhadap aparat administrasi negara sektoral karena dikaitkan dengan kebijakan sektoral tertentu dari Pemerintah, misalnya UU Minerba, UU di bidang pendidikan, UU yang mengatur lingkungan, dan lain-lain.  
Rumusan Masalah
Permasalahan yang dihadapi terkait reformasi regulasi dalam desain sistem Hukum Ketatanegaraan dan sistem Hukum Administrasi Negara sebagian besar terkait dengan desain kelembagaan yang tepat dan relasi kewenangan dalam desain kelembagaan tersebut. Kelembagaan yang dibentuk dalam rangka memperkuat sistem kebijakan peraturan perundang-undangan harus dikaitkan teori kelembagaaan yang tepat untuk menopang kewenangan dan fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Metode Analisa
Pembahasan mengenai kelembagaan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan dalam tulisan ini menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) yang didukung dengan analisis kelembagaan yang diperlukan untuk memperkuat sistem regulasi. Selain itu, juga digunakan pendekatan perbandingan hukum (comparatative law) guna mempertajam analisis untuk menghasilkan solusi yang memadai guna memberikan solusi terkait dengan permasalahan yang dihadapi.
Pembahasan dan Solusi
1.   Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik
Asas-asas pembentukan peraturan perundangundangan yang baik menurut I.C. van der Vlies dalam bukunya yang berjudul Handboek van Wetgeving dibagi dalam dua kelompok yaitu:  Pertama, asas-asas formil yang meliputi:  1)   Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling), yakni setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan dan manfaat yang jelas untuk apa dibuat; 2)   Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan), yakni setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga atau organ pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang; peraturan perundangundangan tersebut dapat dibatalkan (vernietegbaar)atau batal demi hukum (vanrechtswege nieteg), bila dibuat oleh lembaga atau organ yang tidak berwenang; 3) Asas perlunya pembuatan peraturan (het noodzakelijkheidsbeginsel); 4)Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid), yakni setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus didasarkan pada perhitungan bahwa peraturan perundang-undangan yang dibentuk nantinya dapat berlaku secara efektif di masyarakat karena telah mendapat dukungan baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis sejak tahap penyusunannya; 5)   Asas konsensus (het beginsel van de consensus).
Kedua, Asas-asas materiil yang meliputi:  1)   Asas terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van duidelijke terminologie en duidelijke systematiek); 2)   Asas dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid); 3)   Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijkheidsbeginsel); 4)   Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel); 5)   Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual (het beginsel van de individuele rechtsbedeling).
Asas-asas tersebut dapat dibandingkan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur pada Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur bahwa  dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi: a. kejelasan tujuan; b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan. Sedangkan terkait dengan materi muatannya,  Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2011 mengatur bahwa materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas: a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhinneka tunggal ika; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Diperlukannya asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan juga dikaitkan dengan pembentukan undang-undang merupakan sarana komunikasi (legislative drafting as a means of communication). Vrac Crabbe pernah mengatakan bahwa: “an act of Parliement expresses legal relationship. It is also a form of communication. It lays down our rights and our obligations, our powers, our privileges and our duties. In this tells us what to do and what not to do. It is a command to others.”[3]
Ditinjau dari asas-asas sebagaimana dikemukakan oleh IC van der Vlies tersebut, disebutkan salah satunya perlunya eksistensi kelembagaan atau organ yang tepat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (beginsel van het juiste orgaan). Salah satu unsur yang penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah desain kelembagaan yang tepat untuk dapat menghasilkan peraturan perundang-undangan yang baik dan tepat sesuai dengan tujuan dan perencanaan dalam sistem legislasi.
Menyadari urgensi atas keberadaan kelembagaan yang tepat guna menopang sistem legislasi yang baik, pembentuk undang-undang dalam merevisi UU No. 12 Tahun 2011 telah memberikan pilihan mengenai desain kelembagaan yang akan diberi tugas dalam sistem perencanaan penyusunan peraturan pemerintah yaitu menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ketentuan tersebut membuka peluang untuk dibentuknya kelembagaan khusus yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Memang, kunci dalam implementasi peraturan perundang-undangan dimulai dari harus adanya Peraturan Pemerintah yang memiliki koherensi secara vertikal dengan berbagi undang-undang di atasnya dan secara horizontal memiiki sinkronisasi dengan peraturan perundang-undangan yang setingkat, meskipun berada pada sektor-sektor pemerintahan yang berbeda. Sinyalemen terjadinya obesitas regulasi terjadi karena tidak adanya sistem perencanaan yang baik dan ditopang oleh sistem kelembagaan yang tepat. Kegagalan dalam fungsi legislasi pada umumnya memang disebabkan tidak adanya kewenangan dan fungsi organ pemerintah yang mampu menjaga dan memantau sinkronisasi dan harmonisasi antar produk peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan yang diderivasi dari undang-undang sektoral yang berbeda seringkali berbenturan satu dengan yang lain dan saling menegasikan. Hal itu juga di satu sisi adanya ketidakjelasan kategori khusus yang dilekatkan pada satu undang-undang. Misalnya, mengenai karakter keuangan negara pada BUMN dengan UU Keuangan Negara yang masing-masing mengklaim bersifat khusus. Akibatnya, terjadi disharmoni dalam pengaturan yang berujung pada diskursus mengenai status keuangan yang dikelola oleh BUMN sebagai bentuk pemisahan kekayaan negara. Hal itu tidak bisa serta merta diselesaikan dengan asas lex specialis derrogat legi generali, jika masing-masing undang-undang mengklaim sebagai bersifat lebih khusus dibandingkan dari yang lainnya.
2.   Desain Kelembagaan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Jika dicermati secara komprehensif, pembentukan peraturan perundang-undangan dalam sistem pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia bergerak secara horizontal (kewenangan lembaga yang setingkat) misalnya antara DPR dan Presiden dalam pembentukan undang-undang, antar Kementerian yang setingkat dan/atau kelembagaan pemerintah non kementerian, dan lain-lain. Masing-masing lembaga tersebut seharusnya melakukan koordinasi, namun, realitasnya sering terjadi kompetisi/kontestasi dan bahkan disharmoni akibat terjadinya konflik kewenangan (conflict of authority). Produk yang dihasilkan antar kelembagaan pemerintah seringkali saling mengeksklusi atau bahkan saling menegasi. Sistem pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia juga bergerak secara vertikal dan hal ini terjadi karena setiap undang-undang membutuhkan derivasi atau implementasi yang dilakukan melalui peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Suatu peraturan perundang-undangan juga dijabarkan secara hierarkhis bertingkat yang menghasilkan sistem hierarkhi peraturan perundang-undangan.  Misalnya, suatu undang-undang akan berjalan dengan efektif manakala dilaksanakan melalui Peraturan Pemerintah, Peraturan Persiden, Peraturan Menteri dan seterusnya. Dengan demikian, sejumlah aktor mengambil peranan sesuai dengan ranah kewenangan yang ditentukan bagi setiap aktor kebijakan.

Bagan 1
Aktor-aktor Kebijakan Dalam Sistem Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
AKTOR
PERAN DAN WEWENANG
MPR
  1. Menetapkan Undang-undang Dasar
  2. Menetapkan Tap MPR (past)
Presiden
  1. Membentuk Undang-Undang dengan Persetujuan bersama DPR
  2. Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang -Undang
DPR

DPD
Membentuk Undang-Undang  dengan persetujuan bersama
 Presiden
Mengusulkan RUU tertentu kepada DPR
Ikut membahas RUU
Mengawasi implementasi RUU tertentu
              Pemerintah
  1. Menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk melaksanakan
 Undang-Undang (UU)
Menteri
 Membentuk Peraturan Menteri (Permen)
Lembaga Pemerintah Non Kementerian
Membentuk peraturan-peraturan yang bersifat teknis, yaitu
peraturan pelaksanaan dari perundangan yang lebih tinggi derajatnya.



Direktorat Jenderal (Dirjen)
Menetapkan/mengeluarkan peraturan-peraturan pelaksanaan yang
bersifat teknis dibidangnya masing-masing.
Badan-Badan Negara lainnya
Mengeluarkan/menetapkan peraturan-peraturan pelaksanaan yang berisi perincian dari ketentuan-ketentuan perundangan yang mengatur di bidang tugas
dan fungsinya masing-masing.
Pemerintah Provinsi
Menetapkan Peraturan Daerah Provinsi (Perda Provinsi) dengan persetujuan DPRD Provinsi
DPRD Provinsi
Menetapkan Peraturan Daerah Provinsi (Perda Provinsi) bersama-sama dengan Pemerintah Daerah Provinsi
Pemerintah Kabupaten/Kota
Menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Perda Kabupaten/Kota) dengan Persetujuan DPRD Kabupaten/Kota
DPRD Kabupaten/Kota
Menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota bersama-sama Pemerintah daerah Kabupaten/Kota



Skema 1
Aktor –aktor Kebijakan Publik






Gambar 1
Relasi State-Privat-Civil Society



       Dalam sistem presidensil, secara umum fungsi legislasi memiliki karakter umum sebagai berikut:[4] 1. The legislature tends to have broad power to amend any legislation. Lack of sources, and other factor may act to blunt this power. 2. The potential for legislative assertiveness is greater in presidential sistem, but the actual realization (and staffing up for assertiveness) depends on the presence of other condition 3. Legislature in presidential system are more likely to have specialized and permanent standing committees and subcommittees with a number of professional staff to half draft, review and amend legislation. 4. Via the committee system, the legislature has exstensif power to call expert witnesses, members of cabinet, presidential advisors, etc. for public or private hearing before the legislature. 5. President can veto legislation, which can only be overridden by a 2/3 vote in the legislature.
Ditinjau secara lebih luas, aktor-aktor kebijakan publik sesungguhnya jauh lebih luas dari sekadar eksekutif dan legislatif. Dengan demikian, pembentukan peraturan perundang-undangan dapat melibatkan sejumlah aktor/para pemangku kepentingan (stake holders). Kegagalan dalam fungsi legislasi misalnya, dapat saja diperbaiki/dilengkapi melalui sistem yurisprudensi yang bertitik tolak dari fungsi lembaga peradilan. Seringkali juga dapat saja terjadi interaksi antara lembaga peradilan (Mahkamah Konstitusi) dengan lembaga pembentuk undang-undang (pemerintah dan DPR) dalam desain checks and balances. Dampak dari kegagalan fungsi legislasi dapat dikontrol oleh lembaga peradilan (Mahkamah Konstitusi untuk pengujian konstitusionalitas undang-undang dan Mahkamah Agung untuk menguji legalitas peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang). Tak jarang Mahkamah Agung mengambil posisi untuk mengharmonisasikan produk undang-undang satu dengan lainnya dalam menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap UUD.
       Konstelasi kekuasaan dalam proses legislasi dengan demikian sebenarnya akan memperlihatkan irisan kewenangan antar lembaga-lembaga tinggi negara dan antar lembaga pemerintah yang setingkat. Maka, desain kelembagaan yang tepat dalam melakukan penataan fungsi legislasi pada hakikatnya juga harus mampu untuk mengelola pola interaksi maupun kontestasi antar institusi yang berdampak terhadap produk perturan perundang-undangan yang dihasilkannya.
Jika dibandingkan dengan di Jerman, pembentukan undang-undang di Jerman melibatkan 3 (tiga) pihak, yaitu: The Federal Government, Bundestag, dan Bundesrat. Federal Government paling sering mengajukan rancangan undang-undang dan sekitar dua pertiga undang-undang di Jerman merupakan inisiatif dari Federal Government. Bundesrat juga dapat berinisiatif dalam mengajukan undang-undang. Suatu undang-undang harus mendapat persetujuan dari Bundesrat sebagai perwakilan dari 16 Negara Bagian di Jerman. Inisiatif undang-undang yang berasal dari Bundesrat harus terlebih dahulu disampaikan kepada Pemerintah Pusat Jerman untuk diteruskan kepada Bundestag.  Jika inisiatif berasal dari Pemerintah Pusat harus terlebih dahulu dikaji oleh Bundesrat yang selanjutnya diajukan kepada Bundesrat.
Pola yang agak berbeda terjadi dalam penyusunan UU di Belanda. Rancangan UU harus dikaji secara mendalam dulu oleh Raad van Staten sebelum dibahas. Raad van Staten ibarat lembaga DPA di Indonesia di masa berlakunya UUD 1945 asli dulu yang diberi otoritas untuk memberikan pertimbangan. Pemerintah juga menyampaikan RUU kepada Staten General sebelum diproses lebih lanjut, termasuk juga untuk perubahan UU harus menempuh prosedur yang sama. Pasal 73 ayat (1) Nederlands Grondwet mengatur bahwa jika jika sebuah RUU akan disahkan terlebih dahulu harus dikonsultasikan kepada Staten General atau divisi dari Staten General tersebut. Staten General merupakan parlemen Belanda yang keanggotaannya berasal dari perwakilan seluruh warga negara Belanda yang strukturnya terdiri dari Eerste Kamer dan Tweede Kamer. Anggota-anggota dari Tweede Kamer dipilih langsung oleh rakyat Belanda, sedangkan anggota-anggota dari Eerste Kamer dipilih oleh Negara-negara Bagian.
 Proses pembentukan undang-undang diatur dalam Undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan diatur pada Pasal 16 sampai 23, Pasal 43 sampai 51 dan Pasal 65 sampai dengan Pasal 74. Berdasar ketentuan tersebut proses pembentukan sebuah undang-undang sebagai berikut:1.Sebuah RUU bisa berasal dari Presiden, DPR atau DPD; 2. RUU yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga terkait; 3. RUU kemudian dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas) oleh Badan Legislasi DPR untuk jangka waktu 5 tahun; 4. RUU yang diajukan harus dilengkapi dengan Naskah Akademik kecuali untuk RUU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), RUU penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) menjadi UU, serta RUU pencabutan UU atau pencabutan Perpu; 5. Pimpinan DPR mengumumkan adanya usulan RUU yang masuk dan membagikan ke seluruh anggota dewan dalam sebuah rapat paripurna; 6. Di rapat paripurna berikutnya diputuskan apakah sebuah RUU disetujui, disetujui dengan perubahan atau ditolak untuk pembahasan lebih lanjut; 7. Jika disetujui untuk dibahas, RUU akan ditindaklanjuti dengan dua tingkat pembicaraan; 8. Pembicaraan tingkat pertama dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus; 9. Pembicaraan tingkat II dilakukan di rapat paripurna yang berisi: penyampaian laporan tentang proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil Pembicaraan Tingkat I; pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya; 10. Apabila tidak tercapai kata sepakat melalui musyawarah mufakat, keputusan diambil dengan suara terbanyak; 11. Bila RUU mendapat persetujuan bersama DPR dan wakil pemerintah, maka kemudian diserahkan ke Presiden untuk dibubuhkan tanda tangan. Dalam UU ditambahkan kalimat pengesahan serta diundangkan dalam lembaga Negara Republik Indonesia; 12 Dalam hal RUU tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak RUU disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.

Gambar 2
Proses Pembuatan Undang-Undang

      

Manakala kelembagaan yang dianggap tepat untuk melaksanakan sinkronisasi dan harmonisasi hanya bertumpu pada satu menteri atau Kepala Lembaga yang mengurusi urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan maka jangkauan kewenangan dari menteri atau lembaga tersebut akan dihadapkan pada keterbatasan kewenangan jika melihat sudah semakin jauhnya sektoralisme yang dicerminkan dari beragam peraturan perundang-undangan sektoral yang tidak selalu memiliki sinkronisasi yang baik satu dengan yang lainnya.Selain itu, juga dikaitkan dengan dinamika internal perkembangan sistem demokrasi di tubuh DPR dan DPD.
Kebutuhan adanya lembaga atau institusi yang berkewenangan dalam mengelola reformasi regulasi telah diidentifikasi dalam Laporan OECD Review of Regulatory Reform Indonesia Tahun 2012. Laporan tersebut merekomendasikan pembentukan lembaga yang mempunyai kewenangan berkaitan dengan peningkatan kualitas peraturan perundang-undangan[5]. Lebih lanjut, dikatakan bahwa OECD merekomendasikan bentuk lembaga yang dimaksud sebagai independent institution. Tentu bentuk lembaga tersebut independent atau berada di bawah presiden (executive power) dalam konteks Indonesia masih bisa dilakukan pendalaman lagi. Akan tetapi, yang perlu dipertimbangkan adalah fungsi dari lembaga tersebut yang memang dibutuhkan untuk mendukung perbaikan kualitas regulasi di Indonesia. OECD dalam laporan tersebut juga menyarankan sejumlah kewenangan yang dapat dimiliki oleh lembaga atau institusi khusus dalam perbaikan kualitas regulasi[6].
       Dampak dari suatu putusan peradilan yang menguji suatu norma seringkali menghendaki dilakukan perubahan kebijakan legislasi sebagai dampak pengujian norma hukum tersebut. Dalam hal ini, menteri atau Ketua Lembaga yang bertugas untuk mengatur lebih lanjut dampak putusan tersebut melalui sistem legislasi yang sesuai dengan pertimbangan dan amar putusan pengadilan. Kelembagaan tersebut harus sungguh-sungguh mampu menjalankana fungsi harmonisasi peraturan perundang-undangan, baik harmonisasi vertikal maupun harmonisasi horizontal[7].
Selain berfungsi membentuk peraturan perundang-undangan yang saling terkait dan tergantung serta membentuk suatu kebulatan yang utuh, harmonisasi vertikal peraturan perundangundangan berfungsi sebagai tindakan preventif guna mencegah terjadinya Judicial Review suatu peraturan perundang-undangan karena jika hal ini terjadi maka akan timbul berbagai macam kerugian baik dari segi biaya, waktu, maupun tenaga. Dari segi biaya peraturan perundang-undangan tersebut dalam penyusunannya dibiayai dari dana APBN yang tidak sedikit, dari segi waktu proses penyusunannya membutuhkan waktu yang tidak sebentar bahkan dapat memakan waktu bertahun-tahun, sedangkan dari segi tenaga dalam penyusunan peraturan perundang-undangan dibutuhkan banyak energi, konsentrasi, dan koordinasi dari pembuat peraturan perundang-undangan tersebut.  Dengan adanya proses harmonisasi vertikal peraturan perundang-undangan yang baik maka potensi berbagai kerugian di atas dapat dicegah. Di samping harmonisasi vertikal tersebut di atas di dalam penyusunan peraturan perundang-undangan harus diperhatikan pula harmonisasi yang dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan dalam struktur hierarki yang sama atau sederajat. Jenis harmonisasi ini disebut dengan Harmonisasi Horisontal peraturan perundang-undangan. Harmonisasi horisontal berangkat dari asas lex posterior delogat legi priori yang artinya adalah suatu peraturan perundang-undangan yang baru mengesampingkan/ mengalahkan peraturan perundang-undangan yang lama dan asas lex specialis derrogat legi generali yang berarti suatu peraturan perundangundangan yang bersifat khusus mengenyampingkan/mengalahkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum. Harmonisasi Horisontal peraturan perundang-undangan yang dilandasi kedua asas tersebut sangat penting artinya dalam penyusunan suatu peraturan perundang-undangan dikarenakan pada hakikatnya suatu peraturan perundang-undangan merupakan bentuk pengaturan yang lintas sektoral dan tidak dapat berdiri sendiri. Di dalam peraturan perundang-undangan tersebut terdapat berbagai sektor dan bidang hukum yang berbeda-beda namun saling kait mengkait dan terhubung satu sama lain sehingga dibutuhkan suatu pengaturan yang komprehensif, bulat dan utuh[8].
Kelembagaan yang dibutuhkan untuk melakukan penyusunan produk peraturan perundang-undangan memang sebaiknya dilakukan oleh sebuah lembaga/badan yang mandiri dan diberikan otoritas penuh untuk mampu menyiapkan sebuah rancangan produk hukum secara profesional dan partisipatif. Idealnya, kelembagaan itu yang juga selanjutnya mengawal proses pembahasan RUU di tubuh DPR, mampu mengkomunikasikan secara efektif naskah akademik dan RUU yang diusulkan pemerintah kepada DPR, sebaliknya juga berwenang untuk mengkaji secara mendalam naskah akademik dan RUU inisiatif DPR yang disampaikan kepada Pemerintah termasuk RUU usulan dari DPD. Kelembagaan tersebut juga diberi kewenangan untuk menginiasi proses derivasi undang-undang ke dalam peraturan pelaksanaan.  Dengan demikian, secara vertikal kelembagaan tersebut memiliki pertanggungjawaban kepada Presiden selaku Kepala Negara dan secara horizontal memiliki kewenangan untuk terlibat dalam penyusunan RUU dengan DPR dan DPD. Kelembagaan tersebut harus ditopang oleh para perancang undang-undang yang handal dan memiliki jaringan yang luas di dalam maupun luar negeri untuk dapat menyiapkan rancangan undang-undang yang berkualitas dilengkapi dengan kajian impact, cost benfit analysis dan kajian sosiologis yang baik.

Penutup
Kesimpulan
1.     Salah satu unsur yang penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan guna mewujudkan asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan) adalah desain kelembagaan yang tepat untuk dapat menghasilkan peraturan perundang-undangan yang baik dan tepat sesuai dengan tujuan dan perencanaan dalam sistem legislasi. Kelembagaan itu juga dapat memastikan terpenuhinya asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
2.     Kelembagaan yang dibutuhkan untuk melakukan penyusunan produk peraturan perundang-undangan memang sebaiknya dilakukan oleh sebuah lembaga/badan yang mandiri dan diberikan otoritas penuh untuk mampu menyiapkan sebuah rancangan produk hukum secara profesional dan partisipatif. Idealnya, kelembagaan itu yang juga selanjutnya mengawal proses pembahasan RUU di tubuh DPR, mampu mengkomunikasikan secara efektif naskah akademik dan RUU yang diusulkan pemerintah kepada DPR, sebaliknya juga berwenang untuk mengkaji secara mendalam naskah akademik dan RUU inisiatif DPR yang disampaikan kepada Pemerintah termasuk RUU usulan dari DPD. Kelembagaan tersebut juga diberi kewenangan untuk menginiasi proses derivasi undang-undang ke dalam peraturan pelaksanaan. 

Rekomendasi
1.     Diperlukan adanya kualitas kelembagaan pembentukan peraturan perundang-undangan yang sungguh-sungguh secara efektif mampu menjadi saluran perwujudkan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
2.     Kelembagaan yang seharusnya dibentuk guna mendorong terwujudnya sistem legislasi yang baik merupakan lembaga yang mandiri, namun mampu memiliki relasi vertikal dan horizontal yang baik dengan lembaga-lembaga negara pembentuk undang-undang.



Daftar Pustaka
Buku dan Jurnal
M. Nur Sholiki, Penataan Kelembagaan Untuk Menjalankan Reformasi Regulasi di Indonesia, Jurnal Hukum & Pasar Modal. Vol. VIII. Ed. 15/2018.

Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi - Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Vrac Crabbe, 1993, Legislative Drafting, Cavendish Publishing Limited, London, UK.
W. Riawan Tjandra, 2018, Hukum Administrasi Negara, Sinar Grafika, Jakarta.


Sumber-sumber dari Internet
Setio Sapto Nugroho, 2009, Harmonisasi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Jakarta (Makalah) dapat diakses di file:///C:/Users/hp/Downloads/586130112%20(1).pdf


Biodata Singkat

Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum., dosen pada Fakultas Hukum dan Magister Ilmu Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta (sejak 1 Desember  1993-sekarang). Lahir di Madiun, Jawa Timur 16 Mei 1969.  Lulus cumlaude dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang pada tahun 1993 dan lulus cumlaude dari magister hukum Bidang Konsentrasi Hukum Kenegaraan, Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada pada tahun 2003. Doktor Ilmu Hukum dengan spesialisasi bidang Hukum Administrasi Negara ini lulus cumlaude dari Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Tahun 2009 di bawah bimbingan Prof. Dr. Muchsan, S.H. (promotor) dan Prof. Dr. Nurhasan Ismail, S.H., M.Si. (co-promotor). Beberapa pelatihan yang pernah diikuti, antara lain, Lokakarya Class Action yang diselenggarakan oleh YLBHI - LBH Jakarta  pada tahun  2000,  Kursus Perizinan Lingkungan yang diselenggarakan oleh BKPSL dan Lemlit, Universitas Airlangga pada tahun 2000, Comparative Administrative Law Course kerjasama Maastricht University dan FH UGM (2006). Sewaktu kuliah di S1 aktif sebagai aktivis mahasiswa intra, dan ekstrauniversitas serta LSM. Selain mengajar pada Fakultas Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta sejak tahun 1993, juga berprofesi sebagai advokat serta konsultan hukum. Pernah menjabat sebagai Sekretaris Pusat Bantuan dan Konsultasi Hukum (PBKH) FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta (1999 -2001), Direktur Pasca Sarjana Universitas Atma Jaya Yogyakarta (2010-2012), Ketua Bagian Hukum Acara FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta (2014-2018), Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta (2018-). Penulis aktif menulis buku-buku, antara lain, Hukum Acara PTUN (UAJY), Litis Domini Principle (UAJY), Dinamika Peran Pemerintah dalam Perspektif Hukum Administrasi (UAJY), Demokrasi melawan Kekuasaan melaui PTUN (UAJY). Penulis juga Ketua Litbang Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Wilayah DIY periode 2005 – 2009 dan Wakil Sekjen Pengurus Pusat Asosiasi Pengajar HTN HAN.


[2] Ibid

[3] Vrac Crabbe, 1993, Legislative Drafting, Cavendish Publishing Limited, London, UK, hal 27.
[4] Anonim, Governing System and Executive-Legislative Relation; Presidential, Parliamentary, and Hybrid System, dalam Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi; Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
[5] M. Nur Sholiki, Penataan Kelembagaan Untuk Menjalankan Reformasi Regulasi di Indonesia, Jurnal Hukum & Pasar Modal. Vol. VIII. Ed. 15/2018.
[6] Ibid.
[7] Setio Sapto Nugroho, 2009, Harmonisasi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Jakarta (Makalah) dapat diakses di file:///C:/Users/hp/Downloads/586130112%20(1).pdf
[8] Ibid.

Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...