Reformasi
Regulasi Dalam Penguatan Kelembagaan yang Terkait Dengan Peraturan Perundang-undangan
W. Riawan Tjandra
Fakultas Hukum
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Jl Mrican Baru Baru No.
28 Yogyakarta 55281
Latar
Belakang Masalah
Desain reformasi sistem regulasi di Indonesia sangat
berkaitan dengan beberapa variabel utama: sistem kelembagaan, kerangka hukum
kebijakan regulasi, hubungan kewenangan antara pemerintah dengan DPR dan sistem
perencanaan kebijakan regulasi. Tulisan ini hanya membahas sistem kelembagaan
dalam rangka reformasi regulasi di Indonesia, meskipun tidak akan lepas
kaitannya dengan variabel yang lain di atas. Kelemahan mendasar dalam penataan
kebijakan peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah sistem kelembagaan
yang tersebar di berbagai sektor pemerintahan sebagai dampak dari
departemenisasi (departemenization)
yang merupakan metode untuk melakukan distribusi kewenangan sektoral untuk
melaksanakan berbagai fungsi pemerintahan sektoral/khusus.
Dalam teori Hukum Administrasi Negara, memang pola
distribusi kewenangan pemerintahan tak terhindarkan akan dilakukan secara
tersebar mengingat banyaknya cakupan ruang lingkup pemerintahan sektoral yang
harus ditangani oleh pemerintah. Namun, hal itu justru berkonsekuensi
terjadinya sektoralisme kekuasaan pemerintah ke tangan-tangan kementerian yang
dibentuk sesuai dengan kebijakan pembentukan kabinet dalam kurun waktu tertentu
masa jabatan presiden. Rupanya pemerintah menyadari adanya kelemahan dalam
sistem kelembagaan tersebut sehingga dibentuk kelembagaan pemerintahan khusus
yang dimaksudkan untuk dapat melakukan sinkronisasi kebijakan di bidang
regulasi. Hal itu terlihat dari lahirnya revisi UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang pada Pasal 26 mengatur bahwa: (1) Perencanaan
penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dikoordinasikan oleh menteri atau
kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan; dan (2) Perencanaan penyusunan Peraturan
Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan
Presiden.
Dalam Hukum Administrasi Negara, memang dikenal konsep
bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan dilakukan secara bertingkat yang
meliputi Hukum Administrasi Negara Heteronom dan Hukum Administrasi Negara
Otonom. Hukum Administrasi Negara Heteronom pada intinya dalah norma-norma
Hukum Administrasi Negara yang dibentuk untuk mengatura seluk beluk penggunaan
wewenang dan fungsi dari administrasi negara.
Hukum ini mengatur seluk beluk organisasi dan fungsi
administrasi negara dan tidak boleh dilawan, dilanggar dan tidak boleh diubah
oleh administrasi negara. HAN Heteronom ini mencakup aturan tentang[1] :
1. Dasar-dasar dan
prinsip umum administrasi negara
2. Oraginasasi
administrasi negara, termasuk juga pengertian dekonsentrasi dan desentralisasi
3. Berbagai aktifitas
dari administrasi negara
4. Seluruh sarana
administrasi negara
5. Badan peradilan
administrasi.
Hukum Administrasi Negara
Otonom adalah norma-norma Hukum Administrasi Negara yang dibentuk/diciptakan
oleh administrasi negara sebagai pelaksanaan dari Norma Hukum Administrasi
Negara Heteronom. Hukum ini merupakan hukum operasional yang diciptakan oleh
pemerintah dan administrasi negara sendiri. Oleh karna itu dapat diubah setiap
waktu bila perlu dengan tidak melanggar asas kepastian hukum dan asas
kepentingan umum[2].
Dalam
teori Hukum Administrasi Negara, terbentuknya kewenangan sektoral merupakan
sesuatu yang tak terhindarkan. Hal itu disebabkan memang Hukum Administrasi
Negara dapat diklasifikasikan atas Hukum Administrasi Negara Umum dan Hukum
Administrasi Negara sektoral/khusus. Hukum Administrasi Negara Umum adalah
Hukum Administrasi Negara yang dibentuk dan mengikat terhadap seluruh aparat
administrasi negara, misalnya UU Administrasi Pemerintahan dan UU Peradilan
Tata Usaha Negara. Sedangkan Hukum Administrasi Negara sektoral adalah Hukum
Administasi Negara yang dibentuk dan mengikat terhadap aparat administrasi
negara sektoral karena dikaitkan dengan kebijakan sektoral tertentu dari
Pemerintah, misalnya UU Minerba, UU di bidang pendidikan, UU yang mengatur
lingkungan, dan lain-lain.
Rumusan Masalah
Permasalahan yang dihadapi terkait reformasi
regulasi dalam desain sistem Hukum Ketatanegaraan dan sistem Hukum Administrasi
Negara sebagian besar terkait dengan desain kelembagaan yang tepat dan relasi kewenangan
dalam desain kelembagaan tersebut. Kelembagaan yang dibentuk dalam rangka
memperkuat sistem kebijakan peraturan perundang-undangan harus dikaitkan teori
kelembagaaan yang tepat untuk menopang kewenangan dan fungsi pembentukan
peraturan perundang-undangan berdasarkan asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik.
Metode Analisa
Pembahasan mengenai kelembagaan
yang terkait dengan peraturan perundang-undangan dalam tulisan ini menggunakan
pendekatan peraturan perundang-undangan (statute
approach) yang didukung dengan analisis kelembagaan yang diperlukan untuk
memperkuat sistem regulasi. Selain itu, juga digunakan pendekatan perbandingan
hukum (comparatative law) guna
mempertajam analisis untuk menghasilkan solusi yang memadai guna memberikan
solusi terkait dengan permasalahan yang dihadapi.
Pembahasan
dan Solusi
1.
Asas-asas
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik
Asas-asas pembentukan peraturan
perundangundangan yang baik menurut I.C. van der Vlies dalam bukunya yang
berjudul Handboek van Wetgeving dibagi dalam dua kelompok
yaitu: Pertama, asas-asas
formil yang meliputi: 1) Asas
tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling), yakni
setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan dan
manfaat yang jelas untuk apa dibuat; 2) Asas organ/lembaga yang
tepat (beginsel van het juiste orgaan), yakni setiap jenis
peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga atau organ pembentuk
peraturan perundang-undangan yang berwenang; peraturan perundangundangan
tersebut dapat dibatalkan (vernietegbaar)atau batal demi
hukum (vanrechtswege nieteg), bila dibuat oleh lembaga atau organ
yang tidak berwenang; 3) Asas perlunya pembuatan peraturan (het
noodzakelijkheidsbeginsel); 4)Asas dapat dilaksanakan (het
beginsel van uitvoerbaarheid), yakni setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan harus didasarkan pada perhitungan bahwa peraturan
perundang-undangan yang dibentuk nantinya dapat berlaku secara efektif di
masyarakat karena telah mendapat dukungan baik secara filosofis, yuridis,
maupun sosiologis sejak tahap penyusunannya; 5) Asas
konsensus (het beginsel van de consensus).
Kedua,
Asas-asas materiil yang meliputi: 1) Asas terminologi dan
sistematika yang benar (het beginsel van duidelijke terminologie en
duidelijke systematiek); 2) Asas dapat
dikenali (het beginsel van de kenbaarheid); 3) Asas
perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijkheidsbeginsel); 4) Asas
kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel); 5) Asas pelaksanaan hukum
sesuai dengan keadaan individual (het beginsel van de individuele
rechtsbedeling).
Asas-asas
tersebut dapat dibandingkan dengan asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur pada Pasal 5 UU No. 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur bahwa dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan
harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
yang baik, yang meliputi: a. kejelasan tujuan; b. kelembagaan atau pejabat
pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan;
dan g. keterbukaan. Sedangkan terkait dengan materi muatannya, Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2011 mengatur bahwa
materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas: a.
pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan.
Diperlukannya asas-asas dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan juga dikaitkan dengan pembentukan undang-undang
merupakan sarana komunikasi (legislative
drafting as a means of communication). Vrac Crabbe pernah mengatakan bahwa:
“an act of Parliement expresses legal relationship. It is also a form of
communication. It lays down our rights and our obligations, our powers, our
privileges and our duties. In this tells us what to do and what not to do. It
is a command to others.”[3]
Ditinjau
dari asas-asas sebagaimana dikemukakan oleh IC van der Vlies tersebut,
disebutkan salah satunya perlunya eksistensi kelembagaan atau organ yang tepat
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (beginsel van het juiste
orgaan). Salah satu unsur yang penting dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan adalah desain kelembagaan yang tepat untuk dapat
menghasilkan peraturan perundang-undangan yang baik dan tepat sesuai dengan tujuan
dan perencanaan dalam sistem legislasi.
Menyadari
urgensi atas keberadaan kelembagaan yang tepat guna menopang sistem legislasi
yang baik, pembentuk undang-undang dalam merevisi UU No. 12 Tahun 2011 telah
memberikan pilihan mengenai desain kelembagaan yang akan diberi tugas dalam
sistem perencanaan penyusunan peraturan pemerintah yaitu menteri atau kepala
lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Ketentuan tersebut membuka peluang untuk dibentuknya
kelembagaan khusus yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Memang, kunci dalam implementasi
peraturan perundang-undangan dimulai dari harus adanya Peraturan Pemerintah
yang memiliki koherensi secara vertikal dengan berbagi undang-undang di atasnya
dan secara horizontal memiiki sinkronisasi dengan peraturan perundang-undangan
yang setingkat, meskipun berada pada sektor-sektor pemerintahan yang berbeda.
Sinyalemen terjadinya obesitas regulasi terjadi karena tidak adanya sistem
perencanaan yang baik dan ditopang oleh sistem kelembagaan yang tepat.
Kegagalan dalam fungsi legislasi pada umumnya memang disebabkan tidak adanya
kewenangan dan fungsi organ pemerintah yang mampu menjaga dan memantau
sinkronisasi dan harmonisasi antar produk peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan yang
diderivasi dari undang-undang sektoral yang berbeda seringkali berbenturan satu
dengan yang lain dan saling menegasikan. Hal itu juga di satu sisi adanya
ketidakjelasan kategori khusus yang dilekatkan pada satu undang-undang.
Misalnya, mengenai karakter keuangan negara pada BUMN dengan UU Keuangan Negara
yang masing-masing mengklaim bersifat khusus. Akibatnya, terjadi disharmoni
dalam pengaturan yang berujung pada diskursus mengenai status keuangan yang dikelola
oleh BUMN sebagai bentuk pemisahan kekayaan negara. Hal itu tidak bisa serta
merta diselesaikan dengan asas lex
specialis derrogat legi generali, jika masing-masing undang-undang
mengklaim sebagai bersifat lebih khusus dibandingkan dari yang lainnya.
2.
Desain
Kelembagaan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Jika
dicermati secara komprehensif, pembentukan peraturan perundang-undangan dalam
sistem pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia bergerak secara
horizontal (kewenangan lembaga yang setingkat) misalnya antara DPR dan Presiden
dalam pembentukan undang-undang, antar Kementerian yang setingkat dan/atau
kelembagaan pemerintah non kementerian, dan lain-lain. Masing-masing lembaga
tersebut seharusnya melakukan koordinasi, namun, realitasnya sering terjadi
kompetisi/kontestasi dan bahkan disharmoni akibat terjadinya konflik kewenangan
(conflict of authority). Produk yang
dihasilkan antar kelembagaan pemerintah seringkali saling mengeksklusi atau
bahkan saling menegasi. Sistem pembentukan peraturan perundang-undangan di
Indonesia juga bergerak secara vertikal dan hal ini terjadi karena setiap
undang-undang membutuhkan derivasi atau implementasi yang dilakukan melalui
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Suatu peraturan perundang-undangan
juga dijabarkan secara hierarkhis bertingkat yang menghasilkan sistem hierarkhi
peraturan perundang-undangan. Misalnya,
suatu undang-undang akan berjalan dengan efektif manakala dilaksanakan melalui
Peraturan Pemerintah, Peraturan Persiden, Peraturan Menteri dan seterusnya.
Dengan demikian, sejumlah aktor mengambil peranan sesuai dengan ranah
kewenangan yang ditentukan bagi setiap aktor kebijakan.
Bagan 1
Aktor-aktor Kebijakan Dalam Sistem Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia
AKTOR
|
PERAN DAN WEWENANG
|
MPR
|
|
Presiden
|
|
DPR
DPD
|
Membentuk
Undang-Undang dengan persetujuan bersama
Presiden
Mengusulkan RUU tertentu
kepada DPR
Ikut membahas RUU
Mengawasi implementasi
RUU tertentu
|
Pemerintah
|
Undang-Undang (UU)
|
Menteri
|
Membentuk Peraturan Menteri (Permen)
|
Lembaga Pemerintah Non Kementerian
|
Membentuk peraturan-peraturan yang bersifat
teknis, yaitu
peraturan pelaksanaan dari perundangan yang
lebih tinggi derajatnya.
|
|
|
Direktorat Jenderal (Dirjen)
|
Menetapkan/mengeluarkan
peraturan-peraturan pelaksanaan yang
bersifat teknis dibidangnya
masing-masing.
|
Badan-Badan Negara lainnya
|
Mengeluarkan/menetapkan
peraturan-peraturan pelaksanaan yang berisi perincian dari
ketentuan-ketentuan perundangan yang mengatur di bidang tugas
dan fungsinya masing-masing.
|
Pemerintah Provinsi
|
Menetapkan Peraturan Daerah
Provinsi (Perda Provinsi) dengan persetujuan DPRD Provinsi
|
DPRD Provinsi
|
Menetapkan Peraturan Daerah
Provinsi (Perda Provinsi) bersama-sama dengan Pemerintah Daerah Provinsi
|
Pemerintah Kabupaten/Kota
|
Menetapkan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota (Perda Kabupaten/Kota) dengan Persetujuan DPRD Kabupaten/Kota
|
DPRD Kabupaten/Kota
|
Menetapkan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota bersama-sama Pemerintah daerah Kabupaten/Kota
|
Skema 1
Aktor
–aktor Kebijakan Publik
Gambar
1
Relasi
State-Privat-Civil Society
Dalam sistem presidensil,
secara umum fungsi legislasi memiliki karakter umum sebagai berikut:[4]
1. The legislature tends to have broad
power to amend any legislation. Lack of sources, and other factor may act to
blunt this power. 2. The potential for legislative assertiveness is greater in
presidential sistem, but the actual realization (and staffing up for
assertiveness) depends on the presence of other condition 3. Legislature in
presidential system are more likely to have specialized and permanent standing
committees and subcommittees with a number of professional staff to half draft,
review and amend legislation. 4. Via the committee system, the legislature has
exstensif power to call expert witnesses, members of cabinet, presidential
advisors, etc. for public or private hearing before the legislature. 5.
President can veto legislation, which can only be overridden by a 2/3 vote in
the legislature.
Ditinjau secara lebih luas,
aktor-aktor kebijakan publik sesungguhnya jauh lebih luas dari sekadar
eksekutif dan legislatif. Dengan demikian, pembentukan peraturan
perundang-undangan dapat melibatkan sejumlah aktor/para pemangku kepentingan (stake holders). Kegagalan dalam fungsi
legislasi misalnya, dapat saja diperbaiki/dilengkapi melalui sistem
yurisprudensi yang bertitik tolak dari fungsi lembaga peradilan. Seringkali
juga dapat saja terjadi interaksi antara lembaga peradilan (Mahkamah
Konstitusi) dengan lembaga pembentuk undang-undang (pemerintah dan DPR) dalam
desain checks and balances. Dampak
dari kegagalan fungsi legislasi dapat dikontrol oleh lembaga peradilan
(Mahkamah Konstitusi untuk pengujian konstitusionalitas undang-undang dan
Mahkamah Agung untuk menguji legalitas peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang). Tak jarang Mahkamah Agung mengambil posisi untuk
mengharmonisasikan produk undang-undang satu dengan lainnya dalam menguji
konstitusionalitas undang-undang terhadap UUD.
Konstelasi
kekuasaan dalam proses legislasi dengan demikian sebenarnya akan memperlihatkan
irisan kewenangan antar lembaga-lembaga tinggi negara dan antar lembaga
pemerintah yang setingkat. Maka, desain kelembagaan yang tepat dalam melakukan
penataan fungsi legislasi pada hakikatnya juga harus mampu untuk mengelola pola
interaksi maupun kontestasi antar institusi yang berdampak terhadap produk
perturan perundang-undangan yang dihasilkannya.
Jika dibandingkan dengan di
Jerman, pembentukan undang-undang di Jerman melibatkan 3 (tiga) pihak, yaitu: The Federal Government, Bundestag, dan Bundesrat. Federal Government paling sering mengajukan rancangan undang-undang
dan sekitar dua pertiga undang-undang di Jerman merupakan inisiatif dari
Federal Government. Bundesrat juga dapat berinisiatif dalam mengajukan
undang-undang. Suatu undang-undang harus mendapat persetujuan dari Bundesrat sebagai perwakilan dari 16
Negara Bagian di Jerman. Inisiatif undang-undang yang berasal dari Bundesrat
harus terlebih dahulu disampaikan kepada Pemerintah Pusat Jerman untuk
diteruskan kepada Bundestag. Jika inisiatif berasal dari Pemerintah Pusat
harus terlebih dahulu dikaji oleh Bundesrat
yang selanjutnya diajukan kepada Bundesrat.
Pola yang agak berbeda terjadi
dalam penyusunan UU di Belanda. Rancangan UU harus dikaji secara mendalam dulu
oleh Raad van Staten sebelum dibahas.
Raad van Staten ibarat lembaga DPA di
Indonesia di masa berlakunya UUD 1945 asli dulu yang diberi otoritas untuk
memberikan pertimbangan. Pemerintah juga menyampaikan RUU kepada Staten General sebelum diproses lebih
lanjut, termasuk juga untuk perubahan UU harus menempuh prosedur yang sama.
Pasal 73 ayat (1) Nederlands Grondwet
mengatur bahwa jika jika sebuah RUU akan disahkan terlebih dahulu harus
dikonsultasikan kepada Staten General
atau divisi dari Staten General
tersebut. Staten General merupakan
parlemen Belanda yang keanggotaannya berasal dari perwakilan seluruh warga
negara Belanda yang strukturnya terdiri dari Eerste Kamer dan Tweede Kamer.
Anggota-anggota dari Tweede Kamer
dipilih langsung oleh rakyat Belanda, sedangkan anggota-anggota dari Eerste Kamer dipilih oleh Negara-negara
Bagian.
Proses pembentukan undang-undang diatur dalam
Undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan diatur pada Pasal 16 sampai 23, Pasal 43 sampai 51 dan Pasal
65 sampai dengan Pasal 74. Berdasar ketentuan tersebut proses pembentukan
sebuah undang-undang sebagai berikut:1.Sebuah RUU bisa berasal dari Presiden,
DPR atau DPD; 2. RUU yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau
pimpinan lembaga terkait; 3. RUU kemudian dimasukkan ke dalam Program Legislasi
Nasional (prolegnas) oleh Badan Legislasi DPR untuk jangka waktu 5 tahun; 4.
RUU yang diajukan harus dilengkapi dengan Naskah Akademik kecuali untuk RUU
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), RUU penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) menjadi UU, serta RUU pencabutan UU
atau pencabutan Perpu; 5. Pimpinan DPR mengumumkan adanya usulan RUU yang masuk
dan membagikan ke seluruh anggota dewan dalam sebuah rapat paripurna; 6. Di
rapat paripurna berikutnya diputuskan apakah sebuah RUU disetujui, disetujui
dengan perubahan atau ditolak untuk pembahasan lebih lanjut; 7. Jika disetujui
untuk dibahas, RUU akan ditindaklanjuti dengan dua tingkat pembicaraan; 8.
Pembicaraan tingkat pertama dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan
komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus;
9. Pembicaraan tingkat II dilakukan di rapat paripurna yang berisi: penyampaian
laporan tentang proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil
Pembicaraan Tingkat I; pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap
fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan
pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya; 10.
Apabila tidak tercapai kata sepakat melalui musyawarah mufakat, keputusan
diambil dengan suara terbanyak;
11. Bila RUU mendapat persetujuan bersama DPR
dan wakil pemerintah, maka kemudian diserahkan ke Presiden untuk dibubuhkan
tanda tangan. Dalam UU ditambahkan kalimat pengesahan serta diundangkan dalam
lembaga Negara Republik Indonesia; 12 Dalam hal RUU tidak ditandatangani oleh
Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak RUU
disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib
diundangkan.
Gambar 2
Proses Pembuatan
Undang-Undang
Manakala kelembagaan yang dianggap tepat untuk
melaksanakan sinkronisasi dan harmonisasi hanya bertumpu pada satu menteri atau
Kepala Lembaga yang mengurusi urusan pemerintahan di bidang pembentukan
peraturan perundang-undangan maka jangkauan kewenangan dari menteri atau
lembaga tersebut akan dihadapkan pada keterbatasan kewenangan jika melihat
sudah semakin jauhnya sektoralisme yang dicerminkan dari beragam peraturan
perundang-undangan sektoral yang tidak selalu memiliki sinkronisasi yang baik
satu dengan yang lainnya.Selain itu, juga dikaitkan dengan dinamika internal
perkembangan sistem demokrasi di tubuh DPR dan DPD.
Kebutuhan adanya lembaga atau
institusi yang berkewenangan dalam mengelola reformasi regulasi telah
diidentifikasi dalam Laporan OECD Review
of Regulatory Reform Indonesia Tahun 2012. Laporan tersebut
merekomendasikan pembentukan lembaga yang mempunyai kewenangan berkaitan dengan
peningkatan kualitas peraturan perundang-undangan[5].
Lebih lanjut, dikatakan bahwa OECD merekomendasikan bentuk lembaga yang
dimaksud sebagai independent institution.
Tentu bentuk lembaga tersebut independent atau berada di bawah presiden (executive power) dalam konteks Indonesia
masih bisa dilakukan pendalaman lagi. Akan tetapi, yang perlu dipertimbangkan
adalah fungsi dari lembaga tersebut yang memang dibutuhkan untuk mendukung
perbaikan kualitas regulasi di Indonesia. OECD dalam laporan tersebut juga
menyarankan sejumlah kewenangan yang dapat dimiliki oleh lembaga atau institusi
khusus dalam perbaikan kualitas regulasi[6].
Dampak
dari suatu putusan peradilan yang menguji suatu norma seringkali menghendaki
dilakukan perubahan kebijakan legislasi sebagai dampak pengujian norma hukum
tersebut. Dalam hal ini, menteri atau Ketua Lembaga yang bertugas untuk
mengatur lebih lanjut dampak putusan tersebut melalui sistem legislasi yang
sesuai dengan pertimbangan dan amar putusan pengadilan. Kelembagaan tersebut
harus sungguh-sungguh mampu menjalankana fungsi harmonisasi peraturan
perundang-undangan, baik harmonisasi vertikal maupun harmonisasi horizontal[7].
Selain berfungsi membentuk
peraturan perundang-undangan yang saling terkait dan tergantung serta membentuk
suatu kebulatan yang utuh, harmonisasi vertikal peraturan perundangundangan
berfungsi sebagai tindakan preventif guna mencegah terjadinya Judicial Review suatu peraturan
perundang-undangan karena jika hal ini terjadi maka akan timbul berbagai macam
kerugian baik dari segi biaya, waktu, maupun tenaga. Dari segi biaya peraturan
perundang-undangan tersebut dalam penyusunannya dibiayai dari dana APBN yang
tidak sedikit, dari segi waktu proses penyusunannya membutuhkan waktu yang
tidak sebentar bahkan dapat memakan waktu bertahun-tahun, sedangkan dari segi
tenaga dalam penyusunan peraturan perundang-undangan dibutuhkan banyak energi,
konsentrasi, dan koordinasi dari pembuat peraturan perundang-undangan
tersebut. Dengan adanya proses
harmonisasi vertikal peraturan perundang-undangan yang baik maka potensi
berbagai kerugian di atas dapat dicegah. Di samping harmonisasi vertikal
tersebut di atas di dalam penyusunan peraturan perundang-undangan harus
diperhatikan pula harmonisasi yang dilakukan terhadap peraturan
perundang-undangan dalam struktur hierarki yang sama atau sederajat. Jenis
harmonisasi ini disebut dengan Harmonisasi Horisontal peraturan
perundang-undangan. Harmonisasi horisontal berangkat dari asas lex posterior delogat legi priori yang
artinya adalah suatu peraturan perundang-undangan yang baru mengesampingkan/
mengalahkan peraturan perundang-undangan yang lama dan asas lex specialis derrogat legi generali
yang berarti suatu peraturan perundangundangan yang bersifat khusus
mengenyampingkan/mengalahkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum.
Harmonisasi Horisontal peraturan perundang-undangan yang dilandasi kedua asas
tersebut sangat penting artinya dalam penyusunan suatu peraturan
perundang-undangan dikarenakan pada hakikatnya suatu peraturan
perundang-undangan merupakan bentuk pengaturan yang lintas sektoral dan tidak
dapat berdiri sendiri. Di dalam peraturan perundang-undangan tersebut terdapat berbagai
sektor dan bidang hukum yang berbeda-beda namun saling kait mengkait dan
terhubung satu sama lain sehingga dibutuhkan suatu pengaturan yang
komprehensif, bulat dan utuh[8].
Kelembagaan yang dibutuhkan
untuk melakukan penyusunan produk peraturan perundang-undangan memang sebaiknya
dilakukan oleh sebuah lembaga/badan yang mandiri dan diberikan otoritas penuh
untuk mampu menyiapkan sebuah rancangan produk hukum secara profesional dan
partisipatif. Idealnya, kelembagaan itu yang juga selanjutnya mengawal proses
pembahasan RUU di tubuh DPR, mampu mengkomunikasikan secara efektif naskah
akademik dan RUU yang diusulkan pemerintah kepada DPR, sebaliknya juga
berwenang untuk mengkaji secara mendalam naskah akademik dan RUU inisiatif DPR
yang disampaikan kepada Pemerintah termasuk RUU usulan dari DPD. Kelembagaan
tersebut juga diberi kewenangan untuk menginiasi proses derivasi undang-undang
ke dalam peraturan pelaksanaan. Dengan
demikian, secara vertikal kelembagaan tersebut memiliki pertanggungjawaban
kepada Presiden selaku Kepala Negara dan secara horizontal memiliki kewenangan
untuk terlibat dalam penyusunan RUU dengan DPR dan DPD. Kelembagaan tersebut
harus ditopang oleh para perancang undang-undang yang handal dan memiliki
jaringan yang luas di dalam maupun luar negeri untuk dapat menyiapkan rancangan
undang-undang yang berkualitas dilengkapi dengan kajian impact, cost benfit analysis
dan kajian sosiologis yang baik.
Penutup
Kesimpulan
1.
Salah satu
unsur yang penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan guna
mewujudkan asas organ/lembaga yang tepat (beginsel
van het juiste orgaan) adalah
desain kelembagaan yang tepat untuk dapat menghasilkan peraturan
perundang-undangan yang baik dan tepat sesuai dengan tujuan dan perencanaan
dalam sistem legislasi. Kelembagaan itu juga dapat memastikan terpenuhinya
asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
2.
Kelembagaan yang dibutuhkan untuk melakukan
penyusunan produk peraturan perundang-undangan memang sebaiknya dilakukan oleh
sebuah lembaga/badan yang mandiri dan diberikan otoritas penuh untuk mampu
menyiapkan sebuah rancangan produk hukum secara profesional dan partisipatif.
Idealnya, kelembagaan itu yang juga selanjutnya mengawal proses pembahasan RUU
di tubuh DPR, mampu mengkomunikasikan secara efektif naskah akademik dan RUU
yang diusulkan pemerintah kepada DPR, sebaliknya juga berwenang untuk mengkaji
secara mendalam naskah akademik dan RUU inisiatif DPR yang disampaikan kepada
Pemerintah termasuk RUU usulan dari DPD. Kelembagaan tersebut juga diberi
kewenangan untuk menginiasi proses derivasi undang-undang ke dalam peraturan
pelaksanaan.
Rekomendasi
1.
Diperlukan adanya kualitas kelembagaan
pembentukan peraturan perundang-undangan yang sungguh-sungguh secara efektif
mampu menjadi saluran perwujudkan asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik.
2.
Kelembagaan yang seharusnya dibentuk guna
mendorong terwujudnya sistem legislasi yang baik merupakan lembaga yang mandiri,
namun mampu memiliki relasi vertikal dan horizontal yang baik dengan
lembaga-lembaga negara pembentuk undang-undang.
Daftar
Pustaka
Buku
dan Jurnal
M. Nur Sholiki, Penataan Kelembagaan Untuk Menjalankan
Reformasi Regulasi di Indonesia, Jurnal Hukum & Pasar Modal. Vol. VIII.
Ed. 15/2018.
Saldi
Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi -
Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Vrac Crabbe, 1993, Legislative Drafting, Cavendish
Publishing Limited, London, UK.
W.
Riawan Tjandra, 2018, Hukum Administrasi
Negara, Sinar Grafika, Jakarta.
Sumber-sumber
dari Internet
Setio
Sapto Nugroho, 2009, Harmonisasi
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Jakarta (Makalah) dapat diakses
di file:///C:/Users/hp/Downloads/586130112%20(1).pdf
Biodata Singkat
Dr.
W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum., dosen pada Fakultas Hukum dan Magister
Ilmu Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta (sejak 1 Desember 1993-sekarang). Lahir di Madiun, Jawa Timur
16 Mei 1969. Lulus cumlaude dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang pada
tahun 1993 dan lulus cumlaude dari
magister hukum Bidang Konsentrasi Hukum Kenegaraan, Program Pascasarjana,
Universitas Gadjah Mada pada tahun 2003. Doktor Ilmu Hukum dengan spesialisasi
bidang Hukum Administrasi Negara ini lulus cumlaude
dari Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Tahun 2009
di bawah bimbingan Prof. Dr. Muchsan, S.H. (promotor) dan Prof. Dr. Nurhasan
Ismail, S.H., M.Si. (co-promotor). Beberapa pelatihan yang pernah diikuti,
antara lain, Lokakarya Class Action yang diselenggarakan oleh YLBHI - LBH
Jakarta pada tahun 2000,
Kursus Perizinan Lingkungan yang diselenggarakan oleh BKPSL dan Lemlit,
Universitas Airlangga pada tahun 2000, Comparative Administrative Law Course
kerjasama Maastricht University dan FH UGM (2006). Sewaktu kuliah di S1 aktif
sebagai aktivis mahasiswa intra, dan ekstrauniversitas serta LSM. Selain
mengajar pada Fakultas Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta sejak tahun
1993, juga berprofesi sebagai advokat serta konsultan hukum. Pernah menjabat
sebagai Sekretaris Pusat Bantuan dan Konsultasi Hukum (PBKH) FH Universitas
Atma Jaya Yogyakarta (1999 -2001), Direktur Pasca Sarjana Universitas Atma Jaya
Yogyakarta (2010-2012), Ketua Bagian Hukum Acara FH Universitas Atma Jaya
Yogyakarta (2014-2018), Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara FH Universitas
Atma Jaya Yogyakarta (2018-). Penulis aktif menulis buku-buku, antara lain,
Hukum Acara PTUN (UAJY), Litis Domini Principle (UAJY), Dinamika Peran
Pemerintah dalam Perspektif Hukum Administrasi (UAJY), Demokrasi melawan
Kekuasaan melaui PTUN (UAJY). Penulis juga Ketua Litbang Asosiasi Pengajar HTN
dan HAN Wilayah DIY periode 2005 – 2009 dan Wakil Sekjen Pengurus Pusat
Asosiasi Pengajar HTN HAN.
[2]
Ibid
[3]
Vrac Crabbe, 1993, Legislative Drafting, Cavendish Publishing Limited, London,
UK, hal 27.
[4]
Anonim, Governing System and Executive-Legislative Relation; Presidential,
Parliamentary, and Hybrid System, dalam Saldi Isra, Pergeseran Fungsi
Legislasi; Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial
Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
[5] M.
Nur Sholiki, Penataan Kelembagaan Untuk
Menjalankan Reformasi Regulasi di Indonesia, Jurnal Hukum & Pasar
Modal. Vol. VIII. Ed. 15/2018.
[6]
Ibid.
[7]
Setio Sapto Nugroho, 2009, Harmonisasi
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Jakarta (Makalah) dapat diakses
di file:///C:/Users/hp/Downloads/586130112%20(1).pdf
[8]
Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar