Hubungan
Kekayaan Negara Dikuasai dengan Keuangan Negara
oleh:
Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.[2]
a.
Landasan
Pemikiran
Konsep penguasaan
negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam
sistem hukum ketatanegaraan di Indonesia sejatinya tak terlepas dari konsep encompassing all/embracing all (Negara mencakup semua) yang
diatur dalam sistem konstitusi RI. Pasal 33 ayat (2) UUD Negara RI 1945 menegaskan
bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Ketentuan konstitusional tersebut
senafas dengan rangkaian ketentuan berikutnya, yaitu pada ayat (3) yang
mengatur bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Jika dikaitkan dengan UU No. 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, maka, ruh dari makna dan ruang lingkup keuangan negara sebagaimana
diatur pada Pasal 1 dan Pasal 2 UU No. 17 Tahun 2003 harus diletakkan di atas
filosofi yang terkandung dalam Pasal 33 UUD Negara RI 1945 tersebut. Pasal 33
ayat (2) UUD Negara RI 1945 diturunkan dari Pembukaan UUD Negara RI 1945 yang
diantaranya menyatakan bahwa tujuan didirikannya Negara Kesatuan RI
adalah: “..membentuk suatu Pemerintah
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum..”. Dengan demikian
filosofi yang mengandung nilai kewajiban negara yang melindungi (the protectional state) dan negara yang
mewujudkan kesejahteraan umum (bonum
commune) menjadi landasan nilai yang terkandung pada Pasal 33 UUD Negarai
RI 1945. Hal itulah yang menunjukkan karakter negara kesejahteraan (welfare state) dari NKRI, bukan karakter
negara liberal (liberal state) atau
negara komunis.
Derivat dari filosofi dan norma konstitusional tersebut
terlihat dari beberapa ketentuan UU sektoral.
Misalnya, pada Pasal 2 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) diatur bahwa : “Atas dasar ketentuan dalam
pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam
pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat.” Selanjutnya,
pada Pasal 2 ayat (2) dan (3) UUPA diatur bahwa: “(2) Hak menguasai
dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk : a.
mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. (3)
Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat 2
pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti
kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum
Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.”
Masih berkaitan dengan pengaturan mengenai hak menguasai
negara terhadap SDA, butir a Bab Menimbang dari UU No. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara juga memperlihatkan derivasi dari Pasal 33
UUD Negara RI 1945 dengan menyatakan bahwa: “ bahwa mineral dan batubara yang
terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam
tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan
penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya
harus dikuasai oleh Negara untuk member nilai tambah secara nyata bagi
perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat
secara berkeadilan.” Selanjutnya, konsiderans tersebut dituangkan dalam Pasal 4
UU No. 4 Tahun 2009 yang mengatur bahwa: “(1) Mineral dan batubara sebagai
sumber daya dan yang tak terbarukan rnerupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh
negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat. (2) Penguasaan mineral dan
batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.” Ketentuan-ketentuan
tersebut di atas menegaskan konsep Hak Menguasai Negara terhadap Sumber Daya
Alam (SDA) di Indonesia.
b.
Konsep
Propertas Sebagai Landasan Valuasi dan Neraca
Pasal
1 angka 1 UU No. 17 Tahun 2003 mengatur bahwa keuangan Negara adalah semua hak
dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik
berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung
dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Konsep makna keuangan negara
tersebut menegaskan sifat luas-komprehensif dari keuangan negara dengan
menggunakan kata “hak” dan “kewajiban”. Jika dikaitkan dengan rangkaian
ketentuan-ketentuan tersebut di atas yang mengatur mengenai hak menguasai
negara, terlihat bahwa konsep “hak” sebagaimana digunakan dalam pemaknaan
keuangan negara di atas pararel dengan konsep Hak Menguasai Negara. Logika
tersebut dapat dikaitkan dengan gagasan untuk melakukan valuasi terhadap Sumber
Daya Alam dan Lingkungan sebagai dasar penyusunan neraca sumber daya alam dan
lingkungan. Hal itu juga
berkaitan dengan konsep klasik mengenai publiek
domein (kepemilikan publik) oleh pemerintah terhadap benda-benda yang
dimanfaatkan untuk kepentingan publik. Ditinjau secara filosofis, Kasper dan Streit pernah mengemukakan
bahwa hubungan antara manusia sebagai subyek hukum dengan propertas (property) atau benda (barang dan jasa),
termasuk sumber daya sebagai obyek hukum menimbulkan pola hubungan hukum. Pola
hubungan hukum tersebut terselenggara antara pemangku ataupun pemegang hak atas
suatu propertas sebagai subyek hak dan
propertas itu sendiri sebagai obyek hak. Propertas itu bisa dikategorikan
menjadi propertas privat (private
property) dan propertas publik (public
property).
Propertas
privat (private property) adalah propertas yang membatasi hak akses
pihak lain terhadapnya, sehingga menjadi milik pribadi suatu subyek hukum atau
pemangku kepentingan. Propertas publik (public property) terdapat pada obyek hak
yang memungkinkan pihak lain untuk dapat mengaksesnya, sehingga memunculkan 3 (tiga)
kemungkinan, yaitu: benda bebas (free
good), benda publik murni (pure
public good) dan propertas umum (common
property). Dalam skema konstitusi, Hak Menguasai Negara tersebut pada
hakikatnya meliputi kedua kategori hak tersebut. Meskipun, negara juga mengakui
adanya propertas privat. Terhadap cabang-cabang produksi yang penting dan
menguasai hajat hidup orang banyak diterapkan sepenuhnya konsep hak menguasai
negara berdasarkan konsep encompassing
all atau
embracing all yang
menempatkan obyek hak tersebut merupakan propertas akses terkendali (controlled access property). Terhadap
benda-benda publik yang diletakkan di bawah controlled access property,
terdapat pembatasan masukan (input restriction) maupun pembatasan keluaran (output restriction). Dalam hal
pembatasan masukan, negara mengatur siapa saja yang berhak memperoleh manfaat
atau nilai tambah dari propertas yang bersangkutan. Sedangkan terhadap
pembatasan atas keluaran, negara mengatur apa yang dapat dimanfaatkan dari
propertas yang bersangkutan dan seberapa banyak atau seberapa besar manfaat
atau nilai tambah dari propertas yang bersangkutan dapat diambil. Dalam hal ini negara juga mengatur, untuk apa
saja propertas yang bersangkutan dapat dimanfaatkan. Propertas negara berkaitan
dengan negara untuk menguasai dan
mengatur sumber daya alam atau propertas yang bersangkutan guna kesejahteraan
bersama (bonum commune).
Berdasarkan
konsep-konsep tersebut, valuasi terhadap sumber daya alam dapat diletakkan di
atas konsep “hak” dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 17 Tahun 2003 yang menjadi
elemen dari makna keuangan negara. Valuasi terhadap sumber daya alam justru
akan menegaskan konsekuensi “kewajiban” negara dalam makna keuangan negara yang
menegaskan tanggung jawab negara untuk melaksanakan filosofi Pembukaan UUD
Negara RI 1945 sebagai sebuah protectional
state sekaligus sebagai welfare state.
Pengelolaan secara salah terhadap propertas negara juga dengan demikian dapat
dilekatkan status menimbulkan “kerugian negara” yang justru konsisten dengan UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
karena dengan valuasi tersebut menegaskan terjadinya kerugian terhadap
perekonomian negara. Ditinjau dari
perspektif pengelolasn SDA dan lingkungan, neraca SDA dapat memastikan
terwujudnya gagasan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Dalam buku: “Source Book on Environmental
Law” yang disusun oleh Maurice Sunkin,
dkk (edsl) (1998: 45) dikatakan bahwa: “sustainable development’ is
the general principle that human development and use of natural resources must
take place in a sustainable manner (Sands (1995)
198).”Selanjutnyal
dikatakan bahwa: “The successful application of this principle would require
not merely legal measures, but also economic and policy instruments in order to
bring it about.”
Pola penyusunan neraca SDA yang terpusat di tangan
suatu Kementerian dhi Kementerian Keuangan justru menegaskan sifat tak
terbaginya Hak Menguasai Negara. Pola sektoralisme dalam pengelolaan SDA selain
menyebabkan kerumitan birokrasi juga bertentangan dengan sifat kesatuan (eenheid beginsel) keuangan negara
sebagai sebuah hak dan sekaligus kewajiban negara. Memang, harus diakui asas
spesialitas (specialiteit beginsel)
juga menghendaki pembentukan kewenangan sektoral. Namun, dengan valuasi SDA dan
lingkungan Neraca SDA dapat diketakkan pada satu tangan dalam pembinaannya, Pola
penyatuan pembinaan Neraca SDA tersebut dapat dilihat sebagai mekanisme
institusional dalam mengatasi permasalahan keuangan negaral Anwar Shah (2007: 32)
mengatakan bahwa: “The common pool problem of public finances can be reduced
through institutional mechanisms that force the actors in the process to take a
comprehensive view of the costs and benefits of all public policies.This shift
can be achieved if strong agenda-setting powers in the budgeting process are
delegated to the minister of finance (the delegation approach) or if the process
is focused on a set of numerical fiscal targets negotiated at the outset (the
contracts approach).” Apalagi, BPK dalam laporan reviu pelaksanaan transparansi
fiskal Pemerintah Pusat tahun 2012 dan 2013 merekomendasikan agar pemerintah
perlu menyajikan jumlah dan kondisi SDA di Indonesia, penguasaannya secara
hukum, termasuk nilai ekonomisnya dalam satu laporan yang komprehensif. Demikian
pula, DPR dalam pertanggungjawaban pelaksanaan APBN tahun anggaran 2014 juga
merekomendasikan bahwa dalam rangka perbaikan intern pengelolaan keuangan
negara, Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah yang terstruktur dalam
rangka penyajian informasi SDA. Pencatatan jumlah, kondisi dan nilai SDA juga
memperoleh dukungan dari KPK, melalui rangkaian kegiatan monitoring dan
evaluasi “Gerakan Nasional Penyelamatan SDA” Indonesia.
c.
Neraca SDA dan Tipologi SDA
Tujuan utama dari akuntansi atau neraca adalah untuk
memberikan informasi ekonomi. Rumah tangga, bisnis dan pemerintah tertarik pada
informasi ekonomi untuk mengukur keragaan mereka dan sebagai persiapan untuk
mengambil keputusan. Umumnya, neraca dibagi ke dalam neraca pendapatan yang
mencatat nilai dari input dan output selama waktu tertentu,dan neraca kekayaan
yang menggambarkan nilai dari kekayaan atau aset dan kewajiban yang harus
dibayar pada suatu waktu tertentu. Dengan penyatuan pembinaan neraca SDA di
satu otoritas menegaskan kepastian nilai dalam valuasi SDA dan mempermudah
penerapan prinsip akuntabilitas dalam pengelokaan neraca SDA.
Standar Akuntansi Pemerintahan di negara kita telah
menetapkan definisi yang tegas tentang aset. Dalam Kerangka Konseptual
Akuntansi Pemerintahan paragraf 60 (a) dan 61 diuraikan dengan jelas tentang
definisi aset, yaitu sebagai berikut: Aset adalah sumber daya ekonomi yang
dikuasai dan/atau dimiliki oleh
pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat
ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh
pemerintah maupun masyarakat, serta dapat
diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya nonkeuangan yang diperlukan
untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang
dipelihara karena alasan sejarah dan budaya.
Tujuan utama dari manajemen aset adalah membantu
organisasi pemerintah agar dapat memenuhi tujuan penyediaan pelayanan secara efektif
dan efisien. Manajemen aset yang efektif juga:
1. Memperbesar manfaat aset dengan memastikan bahwa aset digunakan
dan dipelihara secara layak;
2. Mengurangi kebutuhan aset baru dan menghemat uang
melalui teknik manajemen kebutuhan dan pilihan manfaat non-aset (seperti
leasing, dan sebagainya);
3. Memperoleh nilai uang yang lebih besar melalui
penilaian ekonomis atas opsi yang diambil dalam perkiraan siklus hidup dan
biaya penuh, teknik manajemen nilai, dan keterlibatan sektor swasta;
4. Mengurangi
pengadaan aset yang tidak perlu dengan membuat organisasi (pemerintah)
menyadari, dan mensyaratkan mereka agar membayar, seluruh biaya yang timbul
atas perolehan dan penggunaan aset; dan
5. Memfokuskan
perhatian pada hasil dengan memberikan pembebanan tanggung jawab,
akuntabilitas, dan keperluan pelaporan secara jelas.
Dengan dilakukannya sistem neraca
tunggal SDA akan mendorong terwujudnya sistem informasi dan pelaporan aset SDA
terpadu yang bersifat komprehensif. Dalam pedoman
ini, sistem pendekatan terpadu yang diajukan menggabungkan dan me mperluas kerangka
dan kinerja pengelolaan aset sebelumnya, dengan beberapa unsur-unsur baru yang
harus dipertimbangkan (Sistem Terpadu Pengelolalaan Aset Strategis, 2012):
▪ Lingkungan: Apresiasi
yang lebih besar pada interaksi antara aset yang diadakan dan lingkungan alam.
▪ Keberlanjutan (Sustainability):
Memastikan bahwa kebutuhan sosial, ekonomi, dan lingkungan suatu masyarat
terpenuhi dan dipelihara secara sehat untuk generasi masa depan (Sustainability
Victoria 2010).
▪ Ketahanan: Peningkatan
penekanan pada aset, lingkungan dan masyarakat untuk merespon dan pulih dari
dampak-dampak eksternal.
▪ Pengelolaan Aset
secara keseluruhan: Keputusan dan tindakan mengenai aset dipertimbangkan
secara satu kesatuan proses, dimulai dari awal perencanaan sampai dengan akhir pembuangan.
▪ Peningkatan tuntutan
masyarakat: Kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi yang selalu
berevolusi berujung pada harapan warga negara yang lebih tinggi dalam hal
penyediaan jasa lokal yang bersifant instan. Keterkaitan dalam kebijakan-kebijakan,
sumber daya alam, dan proyek yang bersangkutan akan menghasilkan pengadaan aset
yang lebih berkualitas, efisien, dan tepat waktu.
▪ Pengelolaan Informasi: Kebutuhan informasi dan kemampuan
yang lebih menuntut dan kompleks.
· Tata Kelola Pemerintahan yang Diperluas: Kepemilikan, pengaturan, dan operasi dari suatu aset sekarang
tidak lagi ditentukan oleh suatu individu; namun telah diperluas menjadi
jaringan individu yang bersangkutan. Oleh karena itu, selain tata cara
pemerintahan (governance) yang konvensional, terdapat berbagai macam
bentuk model hibrida seperiti kemitraan sektor publik (pemerintah) dan swasta (public-private
partnership), aliansi, dan kontrak kerja ke pihak ketiga. Hal ini
memerlukan pendekatan tata cara pemerintahan (governance) yang lebih
inovatif dan bervariasi., agar model-model diatas dapat mengelola berbagai
macam resiko dan oportunitas yang terkait dengan kinerja aset tersebut.
Dengan demikian, sistem neraca SDA tunggal yang dikelola oleh satu tangan
Kementerian dhi Kementerian Keuangan RI menghendaki adanya sistem terpadu
pengelolaan aset SDA. Keunggulan dari model tersebut akan meningkatkan
efektivitas dan akuntablitas sistem pelaporan keuangan. Namun, ha tersebut
menghendaki integrasi sistem organisasi sektoral karena objek pelaporan
tersebut terletak di ranah kementerian yang berbeda. UU No. 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan dapat dipergunakan sebagai sistem pendukung
untuk memungkinkan terlaksanakannya gagasan tersebut. Pasal 35 UU Administrasi
Pemerintahan mengatur adanya landasan hukum mengenai bantuan kedinasan yang
dapat dipergunakan dalam penyusunan neraca SDA. Menurut Pasal 35 UU
Administrasi Pemerintahan:
(1) Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan dapat memberikan Bantuan Kedinasan kepada Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang meminta dengan syarat:
a. Keputusan dan/atau Tindakan tidak
dapat dilaksanakan sendiri oleh Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan yang meminta bantuan;
b. penyelenggaraan pemerintahan tidak
dapat dilaksanakan sendiri oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan karena
kurangnya tenaga dan fasilitas yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan;
c. dalam hal melaksanakan penyelenggaraan
pemerintahan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak memiliki pengetahuan
dan kemampuan untuk melaksanakannya sendiri;
d. apabila untuk menetapkan Keputusan dan
melakukan kegiatan pelayanan publik, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
membutuhkan surat keterangan dan berbagai dokumen yang diperlukan dari Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan lainnya; dan/atau
e. jika penyelenggaraan pemerintahan
hanya dapat dilaksanakan dengan biaya, peralatan, dan fasilitas yang besar dan
tidak mampu ditanggung sendiri oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
tersebut.
(2) Dalam hal pelaksanaan Bantuan
Kedinasan menimbulkan biaya, maka beban yang ditimbulkan ditetapkan bersama
secara wajar oleh penerima dan pemberi bantuan dan tidak menimbulkan pembiayaan
ganda.
Pasal 49 UU Administrasi Pemerintahan
juga mengamatkan dibuatnya Standar Operasional Prosedur (SOP) oleh pejabat
pemerintahan. UU No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian
Kesesuaian juga mengamanatkan penyusunan SOP yang dapat mendukung efektivitas
dan efisiensi pelaksanaan administrasi pemerintahan yang dalam hal ini
diarahkan untuk mengefektitkan kebijakan
sistem neraca tunggal SDA berdasarkan sistem valuasi aset SDA baik yang
bersifat renewable natural resources
maupun non renewable natural resources.yang
kredibel. Sesuatu dikatakan SDA apabila memenuhi 3 syarat yaitu : 1) sesuatu
itu ada, 2) dapat diambil, dan 3) bermanfaat. Dengan demikian, pengertian SDA
mempunyai sifat dinamis, dalam arti peluang sesuatu benda menjadi sumberdaya
selalu terbuka. Pemahaman mengenai SDA akan semakin jelas jika dilihat menurut
jenisnya. Berdasarkan wujud fisiknya, SDA dapat dibedakan menjadi 4 klasifikasi
yaitu :
• Sumberdaya Lahan
• Sumberdaya Hutan
• Sumberdaya Air
• Sumberdaya Mineral
Sedangkan berdasarkan
proses pemulihannya, SDA dibedakan menjadi 3 klasifikasi (Alen, 1959), yaitu :
• Sumberdaya alam yang tidak dapat habis (inexhaustible
natural resources), seperti : udara, energy matahari, dan air hujan.
• Sumberdaya alam
yang dapat diganti atau diperbaharui dan dipelihara (renewable resources ),
seperti : air didanau/ sungai, kualitas tanah, hutan, dan margasatwa.
·
Sumberdaya
alam yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable resources/
irreplaceable atau stock natural resources ), seperti : batubara,
minyak bumi, dan logam.
Dalam
penggunaannya, SDA yang dapat diperbaharui dan tidak dapat diperbaharui dapat
saling melengkapi (komplementer), saling menggantikan (substitusi) atau dapat
bersifat netral.Kajian tentang hubungan di antara berbagai penggunaan SDA ini akan sangat bermanfaat
pada saat membahas masalah kebijaksanaan dalam pengelolaan SDA. Ruang lingkup SDA mencakup semua pemberian
alam di bawah atau di atas bumi baik yang hidup maupun yang tidak hidup.
Pengertian SDA meliputi semua sumberdaya dan sistem yang bermanfaat bagi
manusia dalam hubungannya dengan teknologi, ekonomi, dan keadaan sosial tertentu.
Sistem Neraca tunggal SDA juga menghendaki konvergensi sistem sektoral yang
beragam. Namun, dengan adanya Neraca tunggal SDA pengambilan kebijakan yang
berkaitan dengan pemanfaatan SDA akan didukung basis data yang jelas dengan
implikasi dapat terbentuknya knowledge
based policy yang lebih baik.
Kejelasan
dan kepastian mengenai kondisi ketersediaan atau berkurangnya SDA dapat menjadi
kondisi yang diperlukan dalam pengambilan kebijakan pembangunan yang berwawasan
lingkungan. “Brundtland Report“, Our Common Future (WCED,
1987) yaitu : Pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan yang
memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengurangi kemampuan
generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa pembangunan yang berkelanjutan merupakan suatu proses perubahan dalam
mana eksploitasi sumberdaya, arah investasi, orientasi pengembangan teknologi,
perubahan institusi adalah semua berada dalam keselarasan dan meningkatkan
potensi masa kini dan yang akan datang untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan manusia.
Dalam hal ini, pembangunan ekonomi harus berjalan selaras dengan kepentingan
lainnya sehingga
pertumbuhan ekonomi
tidak hanya memenuhi kepentingan generasi sekarang tetapi juga generasi yang
akan datang. Kelangkaan sumberdaya baik SDA yang tidak bisa diperbaharui maupun
SDA yang bisa diperbaharui pada dasarnya bisa diperkirakan melalui indikator
fisik dan indikator ekonomi (Tietenberg, 1992). Indikator fisik adalah
menyangkut ketersediaan sumberdaya secara fisik. Jika secara fisik,
ketersediaan SDA melimpah, maka SDA tersebut dikatakan belum langka.
Sebaliknya, jika ketersediaan fisiknya sedikit, maka SDA tersebut langka
adanya. Sedangkan Indikator ekonomi ditentukan oleh 4 kriteria yaitu : 1) harga
sumberdaya, 2) nilai kelangkaan marjinal (scarcity rent ), 3) Biaya
penemuan marjinal, dan 4) biaya ekstraksi marjinal. Indikator-indikator
tersebut perlu dipertimbangkan sebagai input dalam penyusunan Neraca Sumber
Daya Alam. Neraca SDA perlu didukung inventarisasi SDA secara menyuluruh dengan
kerjasama antarsektor. Kegiatan inventarisasi
SDA adalah salah satu aktivitas untuk mengetahui data dan informasi mengenai
jenis, potensi dan sebaran SDA di suatu daerah tertentu. Dengan kata lain, kegiatan
inventarisasi SDA merupakan langkah awal dalam rangka melakukan evaluasi SDA.
Ketersediaan
data dan informasi mengenai keberadaan SDA tersebut sangat diperlukan sebagai
bahan input bagi perencana didalam mengelola SDA demi terjaminnya pembangunan
daerah secara berkelanjutan. Untuk memperoleh data dan informasi yang akurat
mengenai jenis, potensi dan sebaran SDA tersebut diperlukan kerjasama seluruh
dinas/ instansi yang terkait dalam pengelolaan SDA sehingga merupakan suatu
kegiatan yang terpadu.
Neraca
SDA merupakan penegasan konsep pendekatan keuangan negara ditinjau dari sisi
obyek. Ditinjau dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi
semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk
kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan
negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa
barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban tersebut.
d.
Dukungan Organisasi
Ditinjau
dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua
hak dan kewajiban
negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang
fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala
sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik
negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Mengacu pada
pendekatan subyek, penyusunan Neraca SDA yang terintegrasi dapat dilaksanakan
oleh Kemenkeu RI. Dalam perspektif Pasal 28 Perpres No. 28 Tahun 2015 Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara diberikan delegasi kewenangan untuk menyelenggarakan
perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang barang milik negara, kekayaan
negara dipisahkan, kekayaan negara lain-lain, penilaian, piutang negara, dan
lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara menyelenggarakan fungsi: a. perumusan kebijakan di bidang
barang milik negara, kekayaan negara dipisahkan, kekayaan negara lain-lain,
penilaian, piutang negara, dan lelang; b. pelaksanaan kebijakan di bidang
barang milik negara, kekayaan negara dipisahkan, kekayaan negara lain-lain,
penilaian, piutang negara, dan lelang; c. penyusunan norma, standar, prosedur,
dan kriteria di bidang barang milik negara, kekayaan negara dipisahkan,
kekayaan negara lain-lain, penilaian, piutang negara, dan lelang; d. pemberian
bimbingan teknis dan supervisi di bidang barang milik negara, kekayaan negara
dipisahkan, kekayaan negara lain-lain, penilaian, piutang negara, dan lelang;
e. pelaksanaan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang barang milik
negara, kekayaan negara dipisahkan, kekayaan negara lain-lain, penilaian,
piutang negara, dan lelang; f. pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara; dan g. pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.
Sistem Neraca SDA menghendaki adanya
integrasi dan reorganisasi fungsi-fungsi sektoral terkait. Apakah Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara yang diberikan delegasi wewenang penyusunan Necara SDA
mampu melaksanakan amanah yang menjadi elemen dari tugas pokok dan fungsinya?
Guna menjawab hal tersebut diusulkan untuk dilakukannya terlebih dahulu
pengukuran kinerja organisasi publik. Bruijn
( 2002: 580-581 ), mengemukakan berbagai dampak positif pengukuran kinerja
organisasi publik yang pada akhirnya membawa implikasi pada penguatan manajemen
strategisnya sebagai berikut: 1. Pengukuran kinerja membawa ke arah
transparansi. Pengukuran kinerja memberikan wawasan bagi organisasi tentang
produk utama, besarnya biaya, dan juga bagaimana aktivitas organisasi atau
bagian tertentu dari organisasi dalam memberikan kontribusi pada output.
Transparansi dapat menghasilkan berbagai bentuk rasionalisasi, dia mungkin
dapat memicu berbagai diskusi internal tentang bagaimana berbagai aktivitas
dapat meningkatkan kinerja organisasi Juga terdapat pedoman yang jelas
bagaimana menilai suatu struktur atau prosedur yang baru terutama bagaimana
mereka dapat memberikan kontribusi pada peningkatan kinerja organisasi.
Rasionalisasi dan proses pengembangan dapat mulai bersamaan seiring jalan
dengan waktu ketika organisasi dapat mengukur keberadaan output-nya (Osborne Gaebler 1992). 2. Pengukuran kinerja adalah
insentif bagi output Pada awalnya
pengukuran kinerja memberikan dampak pada output,
dan selanjutnya hal tersebut pada akhirnya akan memberikan sumbangan kepada
kinerja organisasi. Beberapa hasil penelitian yang menggambarkan adanya
hubungan antara pengenalan pengukuran kinerja dengan peningkatan output telah
dilakukan misalnya pada suatu pemerintah kota (Osborne dan Plastrik, 1997) dan
pada lembaga pendidikan tinggi ( In’t Veld, 1996). 3. Pengukuran kinerja
merupakan cara yang elegan untuk menciptakan akuntabilitas Ketika tugas
organisasi publik menjadi semakin kompleks, maka wacana otonomi menjadi penting
dan ketika otonomi diberikan maka implikasinya adalah pada akuntabilitas,
mempertanggungjawabkan kinerjanya. Informasi tentang kinerja diukur secara
sistimatis dan dihitung, sehingga menambah kemampuan beberapa periode
tertentu.informasi juga mudah dikomunikasikan, dan informasi dapat disediakan
secara periodik setiap tahun.
e.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan
sebagai berikut:
a.
Konsep
penguasaan negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dalam sistem hukum ketatanegaraan di Indonesia sejatinya tak terlepas dari
konsep encompassing all/embracing all (Negara mencakup semua) yang diatur dalam
sistem konstitusi RI, yaitu pada Pasal 33 UUD Negara RI 1945. Jika dikaitkan
dengan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, maka, ruh dari makna dan
ruang lingkup keuangan negara sebagaimana diatur pada Pasal 1 dan Pasal 2 UU
No. 17 Tahun 2003 harus diletakkan di atas filosofi yang terkandung dalam Pasal
33 UUD Negara RI 1945 tersebut.
b.
Konsep
makna keuangan negara sebagaimana diatur pada Pasal 1 angka 1 UU No. 17 Tahun
2003 menegaskan sifat luas-komprehensif dari keuangan negara dengan menggunakan
kata “hak” dan “kewajiban”. Jika dikaitkan dengan rangkaian ketentuan-ketentuan
tersebut di atas yang mengatur mengenai hak menguasai negara, terlihat bahwa
konsep “hak” sebagaimana digunakan dalam pemaknaan keuangan negara di atas
pararel dengan konsep Hak Menguasai Negara. Logika tersebut dapat dikaitkan
dengan gagasan untuk melakukan valuasi terhadap Sumber Daya Alam dan Lingkungan
sebagai dasar penyusunan neraca sumber daya alam dan lingkungan.
c.
Tujuan utama dari
akuntansi atau neraca adalah untuk memberikan informasi ekonomi. Pola
penyusunan neraca SDA yang terpusat di tangan suatu Kementerian dhi Kementerian
Keuangan justru menegaskan sifat tak terbaginya Hak Menguasai Negara. Pola
sektoralisme dalam pengelolaan SDA selain menyebabkan kerumitan birokrasi juga bertentangan
dengan sifat kesatuan (eenheid beginsel)
keuangan negara sebagai sebuah hak dan sekaligus kewajiban negara.
d.
Sistem
Neraca SDA menghendaki adanya integrasi dan reorganisasi fungsi-fungsi sektoral
terkait. Kewenangan penyusunan Necara SDA yang didelegasikan oleh Perpres No.
28 Tahun 2015 kepada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara vide Pasal 6 huruf f
Perpres No. 28 Tahun 2015 perlu dilaksanakan melalui integrasi dan reorganisasi fungsi-fungsi
sektoral serta didasarkan pengukuran kinerja organisasi.
[1] Makalah
dalam Focus Group Discussion (FGD)
“Penjelasan tentang Hubungan Kekayaan Negara Dikuasai dengan Keuangan Negara
dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yanga
diselenggarakan oleh Direktorat Piutang dan Kekayaan Negara Lain-lain Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian
Keuangan RI.
[2] Staf
Pengajar Tetap bidang Hukum Administrasi Negara pada Fakultas Hukum universitas
Atma Jaya Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar