Minggu, 03 Mei 2020


Hubungan Kekayaan Negara Dikuasai dengan Keuangan Negara
dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara[1]
oleh: Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.[2]
a.           Landasan Pemikiran
            Konsep penguasaan negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam sistem hukum ketatanegaraan di Indonesia sejatinya tak terlepas dari konsep encompassing all/embracing all (Negara mencakup semua) yang diatur dalam sistem konstitusi RI. Pasal 33 ayat (2) UUD Negara RI 1945 menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Ketentuan konstitusional tersebut senafas dengan rangkaian ketentuan berikutnya, yaitu pada ayat (3) yang mengatur bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
            Jika dikaitkan dengan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, maka, ruh dari makna dan ruang lingkup keuangan negara sebagaimana diatur pada Pasal 1 dan Pasal 2 UU No. 17 Tahun 2003 harus diletakkan di atas filosofi yang terkandung dalam Pasal 33 UUD Negara RI 1945 tersebut. Pasal 33 ayat (2) UUD Negara RI 1945 diturunkan dari Pembukaan UUD Negara RI 1945 yang diantaranya menyatakan bahwa tujuan didirikannya Negara Kesatuan RI adalah:  “..membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum..”. Dengan demikian filosofi yang mengandung nilai kewajiban negara yang melindungi (the protectional state) dan negara yang mewujudkan kesejahteraan umum (bonum commune) menjadi landasan nilai yang terkandung pada Pasal 33 UUD Negarai RI 1945. Hal itulah yang menunjukkan karakter negara kesejahteraan (welfare state) dari NKRI, bukan karakter negara liberal (liberal state) atau negara komunis.
            Derivat dari filosofi dan norma konstitusional tersebut terlihat dari beberapa ketentuan UU sektoral.  Misalnya, pada Pasal 2 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) diatur bahwa : “Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.”  Selanjutnya, pada Pasal 2 ayat (2) dan (3) UUPA diatur bahwa: “(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk : a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. (3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.”
            Masih berkaitan dengan pengaturan mengenai hak menguasai negara terhadap SDA, butir a Bab Menimbang dari UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara juga memperlihatkan derivasi dari Pasal 33 UUD Negara RI 1945 dengan menyatakan bahwa: “ bahwa mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk member nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan.” Selanjutnya, konsiderans tersebut dituangkan dalam Pasal 4 UU No. 4 Tahun 2009 yang mengatur bahwa: “(1) Mineral dan batubara sebagai sumber daya dan yang tak terbarukan rnerupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat. (2) Penguasaan mineral dan batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.”  Ketentuan-ketentuan tersebut di atas menegaskan konsep Hak Menguasai Negara terhadap Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia.
b.           Konsep Propertas Sebagai Landasan Valuasi dan Neraca
Pasal 1 angka 1 UU No. 17 Tahun 2003 mengatur bahwa keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Konsep makna keuangan negara tersebut menegaskan sifat luas-komprehensif dari keuangan negara dengan menggunakan kata “hak” dan “kewajiban”. Jika dikaitkan dengan rangkaian ketentuan-ketentuan tersebut di atas yang mengatur mengenai hak menguasai negara, terlihat bahwa konsep “hak” sebagaimana digunakan dalam pemaknaan keuangan negara di atas pararel dengan konsep Hak Menguasai Negara. Logika tersebut dapat dikaitkan dengan gagasan untuk melakukan valuasi terhadap Sumber Daya Alam dan Lingkungan sebagai dasar penyusunan neraca sumber daya alam dan lingkungan. Hal itu juga berkaitan dengan konsep klasik mengenai publiek domein (kepemilikan publik) oleh pemerintah terhadap benda-benda yang dimanfaatkan untuk kepentingan publik. Ditinjau secara filosofis, Kasper dan Streit pernah mengemukakan bahwa hubungan antara manusia sebagai subyek hukum dengan propertas (property) atau benda (barang dan jasa), termasuk sumber daya sebagai obyek hukum menimbulkan pola hubungan hukum. Pola hubungan hukum tersebut terselenggara antara pemangku ataupun pemegang hak atas suatu propertas sebagai subyek hak  dan propertas itu sendiri sebagai obyek hak. Propertas itu bisa dikategorikan menjadi propertas privat (private property) dan propertas publik (public property).
Propertas privat (private property) adalah propertas yang membatasi hak akses pihak lain terhadapnya, sehingga menjadi milik pribadi suatu subyek hukum atau pemangku kepentingan.  Propertas publik (public property) terdapat pada obyek hak yang memungkinkan pihak lain untuk dapat mengaksesnya, sehingga memunculkan 3 (tiga) kemungkinan, yaitu: benda bebas (free good), benda publik murni (pure public good) dan propertas umum (common property). Dalam skema konstitusi, Hak Menguasai Negara tersebut pada hakikatnya meliputi kedua kategori hak tersebut. Meskipun, negara juga mengakui adanya propertas privat. Terhadap cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak diterapkan sepenuhnya konsep hak menguasai negara berdasarkan konsep encompassing all atau embracing all yang menempatkan obyek hak tersebut merupakan propertas akses terkendali (controlled access property). Terhadap benda-benda publik yang diletakkan di bawah controlled access property, terdapat pembatasan masukan (input restriction) maupun pembatasan keluaran (output restriction). Dalam hal pembatasan masukan, negara mengatur siapa saja yang berhak memperoleh manfaat atau nilai tambah dari propertas yang bersangkutan. Sedangkan terhadap pembatasan atas keluaran, negara mengatur apa yang dapat dimanfaatkan dari propertas yang bersangkutan dan seberapa banyak atau seberapa besar manfaat atau nilai tambah dari propertas yang bersangkutan dapat diambil.  Dalam hal ini negara juga mengatur, untuk apa saja propertas yang bersangkutan dapat dimanfaatkan. Propertas negara berkaitan dengan negara untuk menguasai  dan mengatur sumber daya alam atau propertas yang bersangkutan guna kesejahteraan bersama (bonum commune).
Berdasarkan konsep-konsep tersebut, valuasi terhadap sumber daya alam dapat diletakkan di atas konsep “hak” dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 17 Tahun 2003 yang menjadi elemen dari makna keuangan negara. Valuasi terhadap sumber daya alam justru akan menegaskan konsekuensi “kewajiban” negara dalam makna keuangan negara yang menegaskan tanggung jawab negara untuk melaksanakan filosofi Pembukaan UUD Negara RI 1945 sebagai sebuah protectional state sekaligus sebagai welfare state. Pengelolaan secara salah terhadap propertas negara juga dengan demikian dapat dilekatkan status menimbulkan “kerugian negara” yang justru konsisten dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, karena dengan valuasi tersebut menegaskan terjadinya kerugian terhadap perekonomian negara. Ditinjau dari perspektif pengelolasn SDA dan lingkungan, neraca SDA dapat memastikan terwujudnya gagasan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Dalam buku: “Source Book on Environmental Law” yang disusun oleh  Maurice Sunkin, dkk (edsl) (1998: 45) dikatakan bahwa: “sustainable development’ is the general principle that human development and use of natural resources must take place in a sustainable manner (Sands (1995) 198).”Selanjutnyal dikatakan bahwa: “The successful application of this principle would require not merely legal measures, but also economic and policy instruments in order to bring it about.”
Pola penyusunan neraca SDA yang terpusat di tangan suatu Kementerian dhi Kementerian Keuangan justru menegaskan sifat tak terbaginya Hak Menguasai Negara. Pola sektoralisme dalam pengelolaan SDA selain menyebabkan kerumitan birokrasi juga bertentangan dengan sifat kesatuan (eenheid beginsel) keuangan negara sebagai sebuah hak dan sekaligus kewajiban negara. Memang, harus diakui asas spesialitas (specialiteit beginsel) juga menghendaki pembentukan kewenangan sektoral. Namun, dengan valuasi SDA dan lingkungan Neraca SDA dapat diketakkan pada satu tangan dalam pembinaannya, Pola penyatuan pembinaan Neraca SDA tersebut dapat dilihat sebagai mekanisme institusional dalam mengatasi permasalahan keuangan negaral Anwar Shah (2007: 32) mengatakan bahwa: “The common pool problem of public finances can be reduced through institutional mechanisms that force the actors in the process to take a comprehensive view of the costs and benefits of all public policies.This shift can be achieved if strong agenda-setting powers in the budgeting process are delegated to the minister of finance (the delegation approach) or if the process is focused on a set of numerical fiscal targets negotiated at the outset (the contracts approach).” Apalagi, BPK dalam laporan reviu pelaksanaan transparansi fiskal Pemerintah Pusat tahun 2012 dan 2013 merekomendasikan agar pemerintah perlu menyajikan jumlah dan kondisi SDA di Indonesia, penguasaannya secara hukum, termasuk nilai ekonomisnya dalam satu laporan yang komprehensif. Demikian pula, DPR dalam pertanggungjawaban pelaksanaan APBN tahun anggaran 2014 juga merekomendasikan bahwa dalam rangka perbaikan intern pengelolaan keuangan negara, Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah yang terstruktur dalam rangka penyajian informasi SDA. Pencatatan jumlah, kondisi dan nilai SDA juga memperoleh dukungan dari KPK, melalui rangkaian kegiatan monitoring dan evaluasi “Gerakan Nasional Penyelamatan SDA” Indonesia.
c.           Neraca SDA dan Tipologi SDA
Tujuan utama dari akuntansi atau neraca adalah untuk memberikan informasi ekonomi. Rumah tangga, bisnis dan pemerintah tertarik pada informasi ekonomi untuk mengukur keragaan mereka dan sebagai persiapan untuk mengambil keputusan. Umumnya, neraca dibagi ke dalam neraca pendapatan yang mencatat nilai dari input dan output selama waktu tertentu,dan neraca kekayaan yang menggambarkan nilai dari kekayaan atau aset dan kewajiban yang harus dibayar pada suatu waktu tertentu. Dengan penyatuan pembinaan neraca SDA di satu otoritas menegaskan kepastian nilai dalam valuasi SDA dan mempermudah penerapan prinsip akuntabilitas dalam pengelokaan neraca SDA.
Standar Akuntansi Pemerintahan di negara kita telah menetapkan definisi yang tegas tentang aset. Dalam Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan paragraf 60 (a) dan 61 diuraikan dengan jelas tentang definisi aset, yaitu sebagai berikut: Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki  oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta  dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya nonkeuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya.
Tujuan utama dari manajemen aset adalah membantu organisasi pemerintah agar dapat memenuhi tujuan penyediaan pelayanan secara efektif dan efisien. Manajemen aset yang efektif juga:
1.    Memperbesar manfaat aset dengan memastikan bahwa aset digunakan dan dipelihara secara layak;
2.    Mengurangi kebutuhan aset baru dan menghemat uang melalui teknik manajemen kebutuhan dan pilihan manfaat non-aset (seperti leasing, dan sebagainya);
3.    Memperoleh nilai uang yang lebih besar melalui penilaian ekonomis atas opsi yang diambil dalam perkiraan siklus hidup dan biaya penuh, teknik manajemen nilai, dan keterlibatan sektor swasta;
4.     Mengurangi pengadaan aset yang tidak perlu dengan membuat organisasi (pemerintah) menyadari, dan mensyaratkan mereka agar membayar, seluruh biaya yang timbul atas perolehan dan penggunaan aset; dan
5.     Memfokuskan perhatian pada hasil dengan memberikan pembebanan tanggung jawab, akuntabilitas, dan keperluan pelaporan secara jelas.
Dengan dilakukannya sistem neraca tunggal SDA akan mendorong terwujudnya sistem informasi dan pelaporan aset SDA terpadu yang bersifat komprehensif. Dalam pedoman ini, sistem pendekatan terpadu yang diajukan menggabungkan dan me mperluas kerangka dan kinerja pengelolaan aset sebelumnya, dengan beberapa unsur-unsur baru yang harus dipertimbangkan (Sistem Terpadu Pengelolalaan Aset Strategis, 2012):
Lingkungan: Apresiasi yang lebih besar pada interaksi antara aset yang diadakan dan lingkungan alam.
Keberlanjutan (Sustainability): Memastikan bahwa kebutuhan sosial, ekonomi, dan lingkungan suatu masyarat terpenuhi dan dipelihara secara sehat untuk generasi masa depan (Sustainability Victoria 2010).
Ketahanan: Peningkatan penekanan pada aset, lingkungan dan masyarakat untuk merespon dan pulih dari dampak-dampak eksternal.
Pengelolaan Aset secara keseluruhan: Keputusan dan tindakan mengenai aset dipertimbangkan secara satu kesatuan proses, dimulai dari awal perencanaan sampai dengan akhir pembuangan.
Peningkatan tuntutan masyarakat: Kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi yang selalu berevolusi berujung pada harapan warga negara yang lebih tinggi dalam hal penyediaan jasa lokal yang bersifant instan. Keterkaitan dalam kebijakan-kebijakan, sumber daya alam, dan proyek yang bersangkutan akan menghasilkan pengadaan aset yang lebih berkualitas, efisien, dan tepat waktu.
Pengelolaan Informasi: Kebutuhan informasi dan kemampuan yang lebih menuntut dan kompleks.
·   Tata Kelola Pemerintahan yang Diperluas: Kepemilikan, pengaturan, dan operasi dari suatu aset sekarang tidak lagi ditentukan oleh suatu individu; namun telah diperluas menjadi jaringan individu yang bersangkutan. Oleh karena itu, selain tata cara pemerintahan (governance) yang konvensional, terdapat berbagai macam bentuk model hibrida seperiti kemitraan sektor publik (pemerintah) dan swasta (public-private partnership), aliansi, dan kontrak kerja ke pihak ketiga. Hal ini memerlukan pendekatan tata cara pemerintahan (governance) yang lebih inovatif dan bervariasi., agar model-model diatas dapat mengelola berbagai macam resiko dan oportunitas yang terkait dengan kinerja aset tersebut.

Dengan demikian, sistem neraca SDA tunggal yang dikelola oleh satu tangan Kementerian dhi Kementerian Keuangan RI menghendaki adanya sistem terpadu pengelolaan aset SDA. Keunggulan dari model tersebut akan meningkatkan efektivitas dan akuntablitas sistem pelaporan keuangan. Namun, ha tersebut menghendaki integrasi sistem organisasi sektoral karena objek pelaporan tersebut terletak di ranah kementerian yang berbeda. UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dapat dipergunakan sebagai sistem pendukung untuk memungkinkan terlaksanakannya gagasan tersebut. Pasal 35 UU Administrasi Pemerintahan mengatur adanya landasan hukum mengenai bantuan kedinasan yang dapat dipergunakan dalam penyusunan neraca SDA. Menurut Pasal 35 UU Administrasi Pemerintahan:

(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat memberikan Bantuan Kedinasan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang meminta dengan syarat:

a.    Keputusan dan/atau Tindakan tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh Badan  dan/atau Pejabat Pemerintahan yang meminta bantuan;
b.    penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan karena kurangnya tenaga dan fasilitas yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan;
c.    dalam hal melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk melaksanakannya sendiri;
d.    apabila untuk menetapkan Keputusan dan melakukan kegiatan pelayanan publik, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan membutuhkan surat keterangan dan berbagai dokumen yang diperlukan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lainnya; dan/atau
e.    jika penyelenggaraan pemerintahan hanya dapat dilaksanakan dengan biaya, peralatan, dan fasilitas yang besar dan tidak mampu ditanggung sendiri oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tersebut.

(2) Dalam hal pelaksanaan Bantuan Kedinasan menimbulkan biaya, maka beban yang ditimbulkan ditetapkan bersama secara wajar oleh penerima dan pemberi bantuan dan tidak menimbulkan pembiayaan ganda.

Pasal 49 UU Administrasi Pemerintahan juga mengamatkan dibuatnya Standar Operasional Prosedur (SOP) oleh pejabat pemerintahan. UU No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian juga mengamanatkan penyusunan SOP yang dapat mendukung efektivitas dan efisiensi pelaksanaan administrasi pemerintahan yang dalam hal ini diarahkan untuk  mengefektitkan kebijakan sistem neraca tunggal SDA berdasarkan sistem valuasi aset SDA baik yang bersifat renewable natural resources maupun non renewable natural resources.yang kredibel. Sesuatu dikatakan SDA apabila memenuhi 3 syarat yaitu : 1) sesuatu itu ada, 2) dapat diambil, dan 3) bermanfaat. Dengan demikian, pengertian SDA mempunyai sifat dinamis, dalam arti peluang sesuatu benda menjadi sumberdaya selalu terbuka. Pemahaman mengenai SDA akan semakin jelas jika dilihat menurut jenisnya. Berdasarkan wujud fisiknya, SDA dapat dibedakan menjadi 4 klasifikasi yaitu :
• Sumberdaya Lahan
• Sumberdaya Hutan
• Sumberdaya Air
• Sumberdaya Mineral
Sedangkan berdasarkan proses pemulihannya, SDA dibedakan menjadi 3 klasifikasi (Alen, 1959), yaitu :

• Sumberdaya alam yang tidak dapat habis (inexhaustible natural resources), seperti : udara, energy matahari, dan air hujan.
• Sumberdaya alam yang dapat diganti atau diperbaharui dan dipelihara (renewable resources ), seperti : air didanau/ sungai, kualitas tanah, hutan, dan margasatwa.
·   Sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable resources/ irreplaceable atau stock natural resources ), seperti : batubara, minyak bumi, dan logam.
Dalam penggunaannya, SDA yang dapat diperbaharui dan tidak dapat diperbaharui dapat saling melengkapi (komplementer), saling menggantikan (substitusi) atau dapat bersifat netral.Kajian tentang hubungan di antara  berbagai penggunaan SDA ini akan sangat bermanfaat pada saat membahas masalah kebijaksanaan dalam pengelolaan SDA. Ruang lingkup SDA mencakup semua pemberian alam di bawah atau di atas bumi baik yang hidup maupun yang tidak hidup. Pengertian SDA meliputi semua sumberdaya dan sistem yang bermanfaat bagi manusia dalam hubungannya dengan teknologi, ekonomi, dan keadaan sosial tertentu. Sistem Neraca tunggal SDA juga menghendaki konvergensi sistem sektoral yang beragam. Namun, dengan adanya Neraca tunggal SDA pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan pemanfaatan SDA akan didukung basis data yang jelas dengan implikasi dapat terbentuknya knowledge based policy yang lebih baik.
Kejelasan dan kepastian mengenai kondisi ketersediaan atau berkurangnya SDA dapat menjadi kondisi yang diperlukan dalam pengambilan kebijakan pembangunan yang berwawasan lingkungan. “Brundtland Report“, Our Common Future (WCED, 1987) yaitu : Pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pembangunan yang berkelanjutan merupakan suatu proses perubahan dalam mana eksploitasi sumberdaya, arah investasi, orientasi pengembangan teknologi, perubahan institusi adalah semua berada dalam keselarasan dan meningkatkan potensi masa kini dan yang akan datang untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan manusia. Dalam hal ini, pembangunan ekonomi harus berjalan selaras dengan kepentingan lainnya sehingga
pertumbuhan ekonomi tidak hanya memenuhi kepentingan generasi sekarang tetapi juga generasi yang akan datang. Kelangkaan sumberdaya baik SDA yang tidak bisa diperbaharui maupun SDA yang bisa diperbaharui pada dasarnya bisa diperkirakan melalui indikator fisik dan indikator ekonomi (Tietenberg, 1992). Indikator fisik adalah menyangkut ketersediaan sumberdaya secara fisik. Jika secara fisik, ketersediaan SDA melimpah, maka SDA tersebut dikatakan belum langka. Sebaliknya, jika ketersediaan fisiknya sedikit, maka SDA tersebut langka adanya. Sedangkan Indikator ekonomi ditentukan oleh 4 kriteria yaitu : 1) harga sumberdaya, 2) nilai kelangkaan marjinal (scarcity rent ), 3) Biaya penemuan marjinal, dan 4) biaya ekstraksi marjinal. Indikator-indikator tersebut perlu dipertimbangkan sebagai input dalam penyusunan Neraca Sumber Daya Alam. Neraca SDA perlu didukung inventarisasi SDA secara menyuluruh dengan kerjasama antarsektor.  Kegiatan inventarisasi SDA adalah salah satu aktivitas untuk mengetahui data dan informasi mengenai jenis, potensi dan sebaran SDA di suatu daerah tertentu. Dengan kata lain, kegiatan inventarisasi SDA merupakan langkah awal dalam rangka melakukan evaluasi SDA.
Ketersediaan data dan informasi mengenai keberadaan SDA tersebut sangat diperlukan sebagai bahan input bagi perencana didalam mengelola SDA demi terjaminnya pembangunan daerah secara berkelanjutan. Untuk memperoleh data dan informasi yang akurat mengenai jenis, potensi dan sebaran SDA tersebut diperlukan kerjasama seluruh dinas/ instansi yang terkait dalam pengelolaan SDA sehingga merupakan suatu kegiatan yang terpadu.
Neraca SDA merupakan penegasan konsep pendekatan keuangan negara ditinjau dari sisi obyek. Ditinjau dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

d.    Dukungan Organisasi
Ditinjau dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua
hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Mengacu pada pendekatan subyek, penyusunan Neraca SDA yang terintegrasi dapat dilaksanakan oleh Kemenkeu RI. Dalam perspektif Pasal 28 Perpres No. 28 Tahun 2015 Direktorat Jenderal Kekayaan Negara diberikan delegasi kewenangan untuk menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang barang milik negara, kekayaan negara dipisahkan, kekayaan negara lain-lain, penilaian, piutang negara, dan lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara menyelenggarakan fungsi: a. perumusan kebijakan di bidang barang milik negara, kekayaan negara dipisahkan, kekayaan negara lain-lain, penilaian, piutang negara, dan lelang; b. pelaksanaan kebijakan di bidang barang milik negara, kekayaan negara dipisahkan, kekayaan negara lain-lain, penilaian, piutang negara, dan lelang; c. penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang barang milik negara, kekayaan negara dipisahkan, kekayaan negara lain-lain, penilaian, piutang negara, dan lelang; d. pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang barang milik negara, kekayaan negara dipisahkan, kekayaan negara lain-lain, penilaian, piutang negara, dan lelang; e. pelaksanaan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang barang milik negara, kekayaan negara dipisahkan, kekayaan negara lain-lain, penilaian, piutang negara, dan lelang; f. pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara; dan g. pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.
            Sistem Neraca SDA menghendaki adanya integrasi dan reorganisasi fungsi-fungsi sektoral terkait. Apakah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang diberikan delegasi wewenang penyusunan Necara SDA mampu melaksanakan amanah yang menjadi elemen dari tugas pokok dan fungsinya? Guna menjawab hal tersebut diusulkan untuk dilakukannya terlebih dahulu pengukuran kinerja organisasi publik.  Bruijn ( 2002: 580-581 ), mengemukakan berbagai dampak positif pengukuran kinerja organisasi publik yang pada akhirnya membawa implikasi pada penguatan manajemen strategisnya sebagai berikut: 1. Pengukuran kinerja membawa ke arah transparansi. Pengukuran kinerja memberikan wawasan bagi organisasi tentang produk utama, besarnya biaya, dan juga bagaimana aktivitas organisasi atau bagian tertentu dari organisasi dalam memberikan kontribusi pada output. Transparansi dapat menghasilkan berbagai bentuk rasionalisasi, dia mungkin dapat memicu berbagai diskusi internal tentang bagaimana berbagai aktivitas dapat meningkatkan kinerja organisasi Juga terdapat pedoman yang jelas bagaimana menilai suatu struktur atau prosedur yang baru terutama bagaimana mereka dapat memberikan kontribusi pada peningkatan kinerja organisasi. Rasionalisasi dan proses pengembangan dapat mulai bersamaan seiring jalan dengan waktu ketika organisasi dapat mengukur keberadaan output-nya (Osborne Gaebler 1992). 2. Pengukuran kinerja adalah insentif bagi output Pada awalnya pengukuran kinerja memberikan dampak pada output, dan selanjutnya hal tersebut pada akhirnya akan memberikan sumbangan kepada kinerja organisasi. Beberapa hasil penelitian yang menggambarkan adanya hubungan antara pengenalan pengukuran kinerja dengan peningkatan output telah dilakukan misalnya pada suatu pemerintah kota (Osborne dan Plastrik, 1997) dan pada lembaga pendidikan tinggi ( In’t Veld, 1996). 3. Pengukuran kinerja merupakan cara yang elegan untuk menciptakan akuntabilitas Ketika tugas organisasi publik menjadi semakin kompleks, maka wacana otonomi menjadi penting dan ketika otonomi diberikan maka implikasinya adalah pada akuntabilitas, mempertanggungjawabkan kinerjanya. Informasi tentang kinerja diukur secara sistimatis dan dihitung, sehingga menambah kemampuan beberapa periode tertentu.informasi juga mudah dikomunikasikan, dan informasi dapat disediakan secara periodik setiap tahun.

e.           Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.    Konsep penguasaan negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam sistem hukum ketatanegaraan di Indonesia sejatinya tak terlepas dari konsep encompassing all/embracing all (Negara mencakup semua) yang diatur dalam sistem konstitusi RI, yaitu pada Pasal 33 UUD Negara RI 1945. Jika dikaitkan dengan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, maka, ruh dari makna dan ruang lingkup keuangan negara sebagaimana diatur pada Pasal 1 dan Pasal 2 UU No. 17 Tahun 2003 harus diletakkan di atas filosofi yang terkandung dalam Pasal 33 UUD Negara RI 1945 tersebut.
b.    Konsep makna keuangan negara sebagaimana diatur pada Pasal 1 angka 1 UU No. 17 Tahun 2003 menegaskan sifat luas-komprehensif dari keuangan negara dengan menggunakan kata “hak” dan “kewajiban”. Jika dikaitkan dengan rangkaian ketentuan-ketentuan tersebut di atas yang mengatur mengenai hak menguasai negara, terlihat bahwa konsep “hak” sebagaimana digunakan dalam pemaknaan keuangan negara di atas pararel dengan konsep Hak Menguasai Negara. Logika tersebut dapat dikaitkan dengan gagasan untuk melakukan valuasi terhadap Sumber Daya Alam dan Lingkungan sebagai dasar penyusunan neraca sumber daya alam dan lingkungan.
c.    Tujuan utama dari akuntansi atau neraca adalah untuk memberikan informasi ekonomi. Pola penyusunan neraca SDA yang terpusat di tangan suatu Kementerian dhi Kementerian Keuangan justru menegaskan sifat tak terbaginya Hak Menguasai Negara. Pola sektoralisme dalam pengelolaan SDA selain menyebabkan kerumitan birokrasi juga bertentangan dengan sifat kesatuan (eenheid beginsel) keuangan negara sebagai sebuah hak dan sekaligus kewajiban negara.
d.    Sistem Neraca SDA menghendaki adanya integrasi dan reorganisasi fungsi-fungsi sektoral terkait. Kewenangan penyusunan Necara SDA yang didelegasikan oleh Perpres No. 28 Tahun 2015 kepada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara vide Pasal 6 huruf f Perpres No. 28 Tahun 2015 perlu dilaksanakan melalui  integrasi dan reorganisasi fungsi-fungsi sektoral serta didasarkan pengukuran kinerja organisasi.


[1] Makalah dalam Focus Group Discussion (FGD) “Penjelasan tentang Hubungan Kekayaan Negara Dikuasai dengan Keuangan Negara dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yanga diselenggarakan oleh Direktorat Piutang dan Kekayaan Negara Lain-lain  Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan RI.
[2] Staf Pengajar Tetap bidang Hukum Administrasi Negara pada Fakultas Hukum universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...