Perspektif Hukum Administrasi Negara Pelaksanaan
Fungsi
Pemerintah di Bidang Kepabeanan
oleh: Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.
Disampaikan dalam FGD " Pemantapan Tertib Administasi untuk Mewujudkan
Kepastian Hukum dan Profesionalisme Pegawai KPU Bea dan Cukai Tipe A
Tanjung Priok dalam Perspektif Hukum Tata Usaha Negara"
Jakarta, 26 Maret 2014
Tiga Dimensi Hukum Adminiatrasi
Negara
Urusan
pemerintah (bestuurszorg) di bidang kepabeanan,
merupakan salah satu varian dari kompleksitas urusan pemerintah yang paling penting
untuk diselenggarakan oleh pemerintah. Dalam interaksinya dengan rakyat, pemerintah
guna melaksanakan fungsinya harus memperhatikan 3 (tiga) dimensi utama, yaitu:
- dimensi pelaksanaan fungsi pemerintah (sturende functie)
- dimensi perlindungan hukum (rechtsbescherming)
- dimensi partisipasi
yang metodenya bisa melalui hak untuk mengajukan keberatan atau gugatan (inspraak) atau penasihatan oleh komisi penasihat
(adviesering)
Dalam melaksanakan fungsi pemerintah (sturende functie), pemerintah diberikan wewenang
untuk menggunakan sarana-sarana hukum administrasi negara (bestuursmiddelen) yang
meliputi: sarana yuridis (peraturan perundang-undangan, Keputusan Tata Usaha Negara,
peraturan kebijaksanaan, sarana hukum perdata), sarana non yuridis (kepegawaian,
keuangan negara dan materiil/benda-benda milik negara).
Pelaksanaan fungsi pemerintah (sturende functie) oleh Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang merupakan salah satu unit pemerintahan di
bawah Kementerian Keuangan dilaksanakan di ranah empat peran yang penting sebagai
perwujudan tugas negara, antara lain; mengumpulkan dan mengamankan penerimaan
negara dari sektor pabean dan cukai (revenue
collector), mendukung terciptanya penciptaan iklim usaha yang kondusif dengan
pemberian berbagai fasilitas di bidang kepabeanan dan cukai (industrial assistance), memfasilitasi
kegiatan perdagangan internasional (trade
facilitator), dan mencegah dan mengawasi masuknya barang-barang yang
dilarang atau dibatasi yang dapat menimbulkan efek negatif bagi keamanan
masyarakat dan negara (community
protector).
Dalam melaksanakan keempat peran ini, DJBC
memiliki kewenangan-kewenangan sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor
17 tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007. Di antara banyak kewenangan
tersebut, ada kewenangan-kewenangan yang bersifat administatif (directive) yang tersebar dalam pasal 3,
4, 5, 8, 9, 10, 11, 13, 14, 15, 16, 17, 20, 23, 25, 26, 27, 28, 29, 32, 36, 37,
41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50,
dan 51 Undang-Undang Kepabeanan, dan pasal 7, 8, 9, 10, 12, 14, 16, 17,
26, 27, 33, 35, 40a, 41, dan 62 Undang-Undang Cukai.
Kewenangan pelaksanaan fungsi pemerintah di bidang
kepabeanan tersebut dilengkapi dengan kewenangan untuk melaksanakan penegakan hukum
di bidang kepabeanan melalui sanksi-sanksi dalam hukum administrasi negara (handhaving van het administratieve recht).
Dalam hukum adminitrasi negara, badan atau pejabat tata usaha negara memiliki kewenangan
untuk menjatuhkan sanksi HAN berupa paksaan administratif (bestuursdwang), pencabutan Keputusan TUN, denda administratif (administratieve
boete) maupun uang paksa (dwangsom). Jika menilik kewenangan yang melekat pada jabatan
tata usaha negara di bidang kepabeanan, terlihat adanya kewenangan ganda (dual function), yaitu kewenangan di bidang
hukum afministrasi negara, sekaligus kewenangan penyidikan yang kazimnya terletak
di ranah hukum acara pidana (Pasal 112 UU Kepabeanan). Kewenangan penyidikan itu
merupakan kewenangan khusus yang diberikan kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu
di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.Tidak berlakunya asas nebis in idem
dalam hal penjatuhan sanksi pidana bersamaan dengan sanksi hukum administrasi memungkinkan
dijatuhkannya sanksi pidana bersamaan dengan sanksi admibustratif terhadap pelanggaran
hukum di bidang kepabeanan, yang ditujukan untuk nengefektifkan fungsi pemerintah
di bidang kepabeanan. Namun, dalam penegakan hukum administrasi negara, harus tetap
diperhatikan prinsip bahwa sanksi yang bersifat sejenis tidak bisa diterapkan bersama-sama
(asas nebis vexari). Misalnya, sanksi paksaan administratif (bestuursdwang) tidak boleh diterapkan bersama-sama
dengan uang paksa (dwangsom), karena sifatnya
yang substitutif.
Dimensi perlindungan hukum terkait dengan pelaksanaan
fungsi pemerintah diwujudkan melalui pengaturan mengenai perlindungan hukum preventif
dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif bersifat mencegah
terjadinya tindakan hukum administrasi negara (administrative handeling) yang berpotensi menimbulkan kerugian terhadap
rakyat misalnya melalui pengawasan hierarkis sebelum suatu keputusan tata usaha
negara ditetapkan. Pengembangan keterbukaan informasi melalui UU Keterbukaan Informasi
(Openbaarheidswet) seperti UU KIP, merupakan
salah satu sarana untuk melaksanakan perlindungan hukum preventif. Fungsi pengawasan
pabean juga tercakup dalam dimensi perlindungan hukum yang bersifat preventif ini.
Menurut Colin Vassarotti, tujuan pengawasan Pabean adalah memastikan semua
pergerakan barang, kapal, pesawat terbang, kendaraan dan orang-orang yang
melintas perbatasan Negara berjalan dalam kerangka hukum, peraturan dan
prosedur pabean yang ditetapkan (lihat Colin Vassarotti, “Risk Management –
A Customs Prespective”, hal.19) .
Untuk menjaga dan memastikan agar semua barang, sarana pengangkut dan orang
yang keluar/masuk dari dan ke suatu negara mematuhi semua ketentuan kepabeanan.
Yang dimaksud dengan sarana pengangkut, adalah kapal laut, pesawat udara,
mobil, dan kereta api. Sedangkan yang dimaksud pengangkut untuk kapal laut
adalah nakoda, pesawat udara adalah pilot, mobil adalah sopir, dan kereta api
adalah masinis.
Setiap administrasi pabean harus melakukan
kegiatan pengawasan. Kegiatan pengawasan pabean meliputi seluruh pelaksanaan
wewenang yang dimiliki oleh petugas pabean dalam perundang-undangannya yaitu
memeriksa sarana pengangkut, barang, penumpang, dokumen, pembukuan, melakukan penyitaan,
penangkapan, penyegelan, dan lain-lain. Dalam modul pencegahan pelanggaran
kepabeanan yang dibuat oleh World Customs
Organization (WCO) disebutkan bahwa pengawasan pabean adalah salah satu
metode untuk mencegah dan mendeteksi pelanggaran kepabeanan. Berdasarkan modul
WCO tersebut dinyatakan bahwa pengawasan Bea Cukai yang mampu mendukung
pendeteksian dan pencegahan penyelundupan paling tidak harus mencakup kegiatan
penelitian dokumen, pemeriksaan fisik, dan audit pasca-impor. Kewenangan bea
dan cukai berupa patroli juga termasuk kegiatan pengawasan, pelaksanaan patroli
di darat, laut, dan udara yang bertujuan untuk mencegah, menindak dan melakukan
penyidikan tindak pidana kepabeanan, di samping itu kegiatan patroli juga
merupakan pengawasan Bea Cukai untuk mencegah penyelundupan. Pengawasan adalah
bagian yang tidak terpisahkan dari penindakan, saling terkait dan saling
mengisi. Pengawasan merupakan kegiatan untuk meyakinkan bahwa sesuatu berjalan
sebagaimana mestinya. Pengawasan lebih cenderung kepada upaya-upaya pencegahan
yang bersifat preventif dan persuasif daripada tindakan yang bersifat represif.
Dimensi perlindungan hukum represif, diwujudkan
melalui pembatalan atas Keputusan Tata Usaha Negara yang dinilai merugikan rakyat
melalui mekanisme executive review maupun
judicial review oleh Peradilan Tata Usaha
Negara, termasuk oleh Peradilan Pajak dalam sengketa tata usaha negara di bidang
kepabeanan. Dimensi perlindungan hukum tersebut dalam UU Kepabeanan (UU Kepabeanan
No. 10 Tahun 1995 jo UU No. 17 Tahun 2006), misalnya tercermin dari Pasal 93 - 95
yang jika dilakukan kajian atas norm (nilai)
yang terkandung di dalamnya melalui statute
approach mengandung prinsip perlindungan hukum (rechtsbescherming) terhadap subjek hukum yang dituju oleh Keputusan
TUN di bidang kepabeanan yang dikeluarkan pejabat kepabeanan.
Dimensi partisipasi dalam hukum administrasi diwujudkan
melalui hak untuk mengajukan keberatan (inspraak)
bagi subjek hukum yang merasa dirugikan hak administratifnya di bidang kepabeanan
untuk mendapatkan keadilan administratif (administrative
justice). Hak inspraak di bidang kepabeanan
diatur dalam Pasal 93 - 95 UU Kepabeanan nengenai hak bagi subjek hukum untuk mengajukan
keberatan (administratieve bezwaar) dan
banding administratif (administratieve beroep).
Dalam pelaksanaan fungsi pemerintah, harus diperhatikan
asas legalitas yang terwujud dalam asas keabsahan pemerintahan (rechtsmatigheid van het bestuur), yaitu keharusan
bagi setiap tindakan pemerintah agar tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku (prosedur, substantif, wewenang) maupun asa-asas pemerintahan yang
baik (algemene beginselen van behoorlijk
bestuur).
Kewenangan Hukum
Administrasi Penetapan Keputusan Tata Usaha Negara (Beschikking) di Bidang Kepabeanan dan Cukai
Perspektif Hukum
Administrasi Negara kewenangan mengeluarkan penetapan di bidang bea dan cukai
termasuk dalam klasifikasi kewenangan Hukum Administrasi Sektoral (bijzondere administratiieve recht).
Kriteria suatu tindakan yang dilakukan oleh badan atau pejabat tata usaha
negara merupakan suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat ditentukan berdasarkan
Pasal 1 angka (3) UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo
Pasal 1 angka (8) UU No. 51 Tahun 2009 yang meliputi:
1. Penetapan tertulis
2. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
3. Berisi tindakan hukum tata usaha negara
4. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
5. Bersifat konkrit, individual dan final
6. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata.
Seluruh elemen kriteria Keputusan Tata Usaha Negara di atas
bersifat kumulatif, sehingga apabila suatu tindakan hukum yang dilakukan oleh
badan atau pejabat tata usaha negara mengandung elemen-elemen tersebut di atas
dikategorikan sebagai tindakan hukum administrasi yang keabsahannya harus
didasarkan atas parameter-parameter pengujian suatu keputusan tata usaha negara
sebagaimana diatur pada Pasal 53 ayat (2) UU No.9 Tahun 2004.
Karakter Tindakan
Hukum Administrasi Negara
Dalam kepustakaan
Hukum Administrasi Negara Belanda (Nederlandse
Bestuursrecht), CJN. Versteden dalam buku 'Inleiding Algemeen
Bestuursrecht' (1984) menyatakan bahwa:
Zo geeft het bestuursrecht het bestuur
veelvuldig bevoegdheden om hem eenzijdig (dus ook zonder dat betrokkene daaraan
behoeft mee te werken) te dwingen iets te doen of te laten. Een bestuursorgan
kan de hem als zodanig toekomende bevoegheden hebben gekregen d.m.v.
attributie, delegatie of mandaat. Deze begrippen zullen hierna nog nader uit de
doeken wirden gedaan. Legitimatie van het bestuur vindt bijvoorbeeld plaats in
alle bepalingen waarin bepaalde handelingen enz. verboden worden behoudens
vergunning, ontheffing en andere beschikkingen.
Karakter suatu
Keputusan Tata Usaha sebagai suatu perbuatan hukum administrasi negara yang
bersifat sepihak (eenzijdig) lazimnya
dilengkapi dengan kewenangan memaksakan untuk dilakukan atau tidak dilakukannya
sesuatu hal tertentu. Penilaian terhadap kewenangan hukum administrasi negara
dalam pelaksanaan tindakan hukum administrasi negara oleh badan atau pejabat
tata usaha negara harus dikembalikan pada sifat wewenang pemerintahan tersebut
dalam bentuk: atribusi, delegasi dan mandat. Oleh karena itu, untuk menentukan
karakter hukum administrasi negara dari suatu tindakan pemerintah, harus
ditelusuri dari sifat kewenangan yang diberikan melalui 3 (tiga) sumber
kewenangan tersebut.
Terkait dengan
sifat kewenangan hukum administrasi negara suatu tindakan pemerintah perlu
ditelusuri pula dari makna hukum administrasi negara. Francisco Esparraga dan
Ian Ellis-Jones (2011) mengatakan:
Administrative law is:
* a branch of 'public law'
* primarily concerned with the functions,
powers and obligations of the executive arm of government, including the
administration, and certain non-governmental bodies, known as 'domestic
tribunals'.
Berdasarkan pemahaman makna hukum administrasi negara
tersebut dapat ditelusuri karakter suatu tindakan hukum pemerintah sebagai
suatu tindakan hukum administrasi negara yang berkaitan dengan fungsi,
kekuasaan dan berbagai kewajiban dari organ pemerintah. Esparraga dan Ian
Ellis-Jones melanjutkan bahwa: " However, what is 'administrative' will
include, for example, the application of a general policy or rule to particular
cases...." Oleh karena itu, dengan menelusuri makna dan hakikat dari hukum
administrasi negara, dapat diketahui bahwa terhadap suatu tindakan hukum afministrasi
negara terlebih dahulu harus diterapkan parameter keabsahan dalam perspektif
peraturan perundang-undangan di bidang tata usaha negara maupun asas-asas umum
pemerintahan yang baik. Hal itu disebabkan suatu tindakan hukum administrasi
negara selalu dapat diuji legalitasnya karena merupakan produk kewenangan
jabatan tata usaha negara.
Tanggung Gugat
Jabatan Tata Usaha Negara
Berdasarkan
ketentuan hukum, pejabat hanya menjalankan fungsi dan wewenang, karena pejabat
tidak memiliki wewenang. Yang memiliki dan dilekati wewenang adalah jabatan.
Dalam kaitan ini, Logemann mengatakan bahwa, berdasarkan Hukum Tata Negara,
jabatanlah yang dibebani dengan kewajiban, yang diberi wewenang untuk melakukan
perbuatan hukum. Logemann mengatakan bahwa Negara dan organisasi jabatan “de staat is ambtenorganisatie” (Logemann, 1854:88) dan dalam
suatu Negara itu ada jabatan pemerintahan, yakni lingkungan pekerjaan tetap
yang dilekati dengan wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, yakni
semua tugas-tugas kenegaraan selain bidang pembuatan undang-undang dan
peradilan, ”elke
werkzaamheid van de overheid, welke niet als wetgeving of als rechtspraak is
aan te merken”
C.J.N.Versteden,1984:13). Tugas dan wewenang yang melekat pada jabatan ini
dijalankan oleh manusia (natuurlijke
persoon), yang bertindak selaku wakil jabatan dan disebut pemangku jabatan
atau pejabat (F.R.Bothlingk,1954:32). Hak dan Kewajiban berjalan terus, tidak
peduli dengan pergantian pejabat (Logemann, 1958:89). Karena kewenangan itu
melekat pada jabatan, sementara tanggungjawab dalam bidang hukum publik itu
terkait dengan kewenangan, maka beban tanggungjawab itu pada dasarnya juga
melekat pada jabatan. Tanggungjawab jabatan ini berkenaan dengan keabsahan
tindakan hukum pemerintahan yang dilakukan oleh pejabat untuk dan atas nama
jabatan (ambtshalve).
Sehubungan
dengan analisis tersebut, jika terjadi dugaan adanya tindakan maladministrasi
terlebih dahulu yang harus diuji adalah keabsahan tindakan hukum administrasi
negara yang dilakukan oleh pejabat tata usaha negara tersebut dalam koridor
hukum administrasi negara. Tindakan hukum yang dilakukan oleh pejabat tata
usaha negara yang dituangkan dalam suatu Keputusan Tata Usaha Negara merupakan
kompetensi dari Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Pajak atau jika terkait
dengan pelayanan publik, hal itu merupakan kewenangan dari Ombudsman.
Maladministrasi
berasal dari bahasa Latin malum (jahat, buruk, jelek) dan administrare (to
manage, mengurus, atau melayani), Maladministrasi berarti pelayanan atau
pengurusan yang buruk atau jelak. Berdasarkan pasal 1 angka (3) UU No. 37 Tahun
2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, yang dimaksud Maladministrasi adalah
“Perilaku atau perbuatan
melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari
yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian
kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh
penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil
dan/atau immaterial masyarakat dan orang perseorangan”.
Jika terjadi
perdebatan seputar keabsahan tindakan hukum pejabat tata usaha negara yang di
dalam peraturan perundang-undangan yang mendasari tindakan jabatan tata usaha
negara tersebut dinisbatkan sebagai tindakan hukum administrasi negara, harus
digunakan parameter keabsahan (rechtsmatigheid) terhadap tindakan hukum
tersebut. Jika ada tuduhan dilakukannya penyalahgunaan kewenangan jabatan tata
usaha negara sejauh didasarkan atas kewenangan atributif, delegasi atau mandat
dalam norma yang berkarakter Hukum Administrasi Negara, yang diukur adalah
keabsahan tindakan jabatan tata usaha negara itu ditinjau dari sudut hukum
administrasi negara, bukan diarahkan pertama-tama kepada persoon pejabat-nya.
Pengujian keabsahan (rechtsmatigheid toetsing) terhadap tindakan pejabat tata
usaha negara harus ditelusuri ruang lingkupnya dari dimensi kewenangan,
prosedur dan substansinya dengan mengukur koherensi isi dan tujuan peraturan
dasarnya dengan isi dan tujuan Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) yang dikeluarkan oleh
pejabat tata usaha negara tersebut. Hal itu merupakan konsekuensi dari
eksistensi salah satu unsur dari negara hukum (rechtsstaat) yaitu prinsip pemerintahan menurut hukum (rectsmatigheid van het bestuur).
Perspektif Yuridis
Keputusan Tata Usaha Negara di Bidang Kepabeanan
Polemik seputar
karakter dari penetapan KTUN vide Pasal 17 UU Kepabeanan perlu dtelusuri dari
sifat KTUN tersebut. Pasal 17 UU Kepabeanan mengatrur:
(1)
Direktur Jenderal dapat menetapkan kembali tarif dan nilai
pabean untuk penghitungan bea masuk dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung
sejak tanggal pemberitahuan pabean.
(2) Dalam hal penetapan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berbeda dengan penetapan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16, Direktur Jenderal memberitahukan secara tertulis kepada importir
untuk: a. melunasi bea masuk yang kurang dibayar; atau b. mendapatkan
pengembalian bea masuk yang lebih dibayar.
(3). Bea
masuk yang kurang dibayar atau pengembalian bea masuk yang lebih dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dibayar sesuai dengan penetapan kembali.
(4)
Penetapan kembali sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), apabila
diakibatkan oleh adanya kesalahan nilai transaksi yang diberitahukan sehingga
mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk, dikenai sanksi administrasi
berupa denda paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang kurang
dibayar dan paling banyak 1000% (seribu persen) dari bea masuk yang kurang
dibayar.
Berkaitan dengan
upaya hukum yang dapat dilakukan terkait dengan penetapan sebagaimana dimaksud
pada Pasal 17 ayat (2), diatur adanya
hak untuk mengajukan keberatan (administratieve
bezwaar) sebagaimana diatur pada Pasal 95 UU Kepabeanan. Pasal 95 UU
Kepabeanan mengatur bahwa orang yang berkeberatan terhadap penetapan Direktur
Jenderal atas tarif dan nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(2), keputusan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2),
Pasal 93A ayat (4), atau Pasal 94 ayat (2) dapat mengajukan permohonan banding
kepada Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal
penetapan atau tanggal keputusan, setelah pungutan yang terutang dilunasi.
Jika mencermati
ketentuan-ketentuan tersebut, terlihat dengan jelas karakter tindakan hukum
yang dilakukan pejabat pemerintah dengan mendasarkan pada Pasal 17 UU
Kepabeanan merupakan tindakan hukum administrasi negara pejabat pemerintah.
Maka, jika ada keberatan terkait penetapan pejabat pemerintah penilaian mengenai
dimensi kewenangan, prosedur dan substansi yang terkait dengannya, merupakan
isu legalitas dan harus diuji berdasarkan norma-norma hukum administrasi negara
(bestuursnorm).
Rumusan
ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU Kepabeanan tersebut menggunakan kata "dapat"
dalam ketentuan yang menyatakan: Direktur
Jenderal dapat menetapkan kembali
tarif dan nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dalam jangka waktu 2 (dua)
tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean. Tipologi norma semacam itu
dalam Hukum Administrasi Negara dikategorikan sebagai norma yang memberikan
kebebasan penilaian (beoordelingsvrijheid) kepada pejabat tata usaha negara.
Dengan mempertimbangkan kondisi yang dihadapi pejabat pemerintah diberikan
wewenang secara eksklusif untuk mempertimbangkan penetapan Keputusan TUN vide
Pasal 17 ayat (2). Kewenangan diskresioner semacam itu mengharuskan adanya
penghormatan dari hakim dan aparat penegak hukum untuk tidak mempersoalkannya,
sejauh dipenuhi syarat-syarat penggunaan wewenang diskresi, yaitu: (1) Tidak
melanggar undang-undang dan (2) Tidak bertentangan dengan kepentingan umum
(publieke belang).
Dakam teori
hukum adminustrasi negara, dikenal adagium "kebijakan tidak dapat
diadili". Hal itu berarti adanya jaminan imunitas dari tindakan uji
materiil (judicial review) terhadap
tindakan hukum yang dilakukan oleh badan atau pejabat pemerintah. Bahkan,
sebagai komparasi, di Amerika Serikat, persoalan diskresi yang dilakukan
pejabat pemerintah termasuk dalam kategori political
question atau nonjusticiable issue. Artinya,
pengadilan akan menahan diri untuk tidak melakukan intervensi (self restraint)
atas kewenangan pemerintah yang bersifat tekhnikal dalam menggunakan kewenangan
diskresi (discretionnaire power)
tersebut.
Beberapa Catatan
1. Kewenangan
hukum administrasi negara dalam pelaksanaan tindakan hukum administrasi negara
oleh badan pejabat tata usaha negara harus dikembalikan dari sifat wewenang
pemerintahan tersebut dalam bentuk: atribusi, delegasi dan mandat. Oleh karena
itu, untuk menentukan karakter hukum administrasi negara dari suatu tindakan
pemerintah,
2. Jika ada
tuduhan dilakukannya penyalahgunaan kewenangan jabatan tata usaha negara sejauh
didasarkan atas kewenangan atributif, delegasi atau mandat dalam norma yang
berkarakter Hukum Administrasi Negara, yang diukur adalah keabsahan tindakan
jabatan tata usaha negara itu ditinjau dari sudut hukum administrasi negara,
bukan diarahkan pertama-tama kepada persoon pejabat-nya. Pengujian keabsahan
(rechtsmatigheid toetsing) terhadap tindakan pejabat tata usaha negara harus
ditelusuri ruang lingkupnya dari dimensi kewenangan, prosedur dan substansinya
dengan mengukur koherensi isi dan tujuan peraturan dasarnya dengan isi dan
tujuan Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) yang dikeluarkan oleh pejabat
tata usaha negara tersebut.
3. Karakter
tindakan hukum yang dilakukan pejabat pemerintah dengan mendasarkan pada Pasal
17 UU Kepabeanan merupakan tindakan hukum administrasi negara pejabat
pemerintah. Maka, jika ada keberatan terkait penetapan pejabat pemerintah
penilaian mengenai dimensi kewenangan, prosedur dan substansi terkait
dengannya, merupakan isu legalitas yang harus diuji berdasarkan norma-norma
hukum administrasi negara (bestuursnorm).
4. Rumusan
ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU Kepabeanan tersebut menggunakan kata
"dapat" dalam ketentuan yang menyatakan: Direktur Jenderal
dapat menetapkan kembali tarif dan nilai pabean untuk penghitungan bea
masuk dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan
pabean. Tipologi norma semacam itu dalam Hukum Administrasi Negara
dikategorikan sebagai norma yang memberikan kebebasan penilaian
(beoordelingsvrijheid) kepada pejabat tata usaha negara. Dengan
mempertimbangkan kondisi yang dihadapi pejabat pemerintah diberikan wewenang
secara eksklusif untuk mempertimbangkan penetapan Keputusan TUN vide Pasal 17
ayat (2). Kewenangan diskresioner semacam itu mengharuskan adanya penghormatan
dari hakim dan aparat penegak hukum untuk tidak mempersoalkannya, sejauh
dipenuhi syarat-syarat penggunaan wewenang diskresi, yaitu: (1) Tidak melanggar
undang-undang dan (2) Tidak bertentangan dengan kepentingan umum (publieke
belang).
Daftar Pustaka
Bambang Semedi, 2011, Modul Pengawasan dan Penindakan di Bidang
Kepabeanan, Pusdiklat Bea dan Cukai, Kemenkeu RI
Esparraga, Francisco, et.al., 2011, Administrative Law-Guidebook, Oxford
University Press, Australia & New Zealand.
Haan, P. de, et.al., 1986, Bestuursrecht in de Sociale Rechtsstat Deel
1 Ontwikkeling, Organisatie, Instrumentarium, Kluwer, Deventer, Nederland.
Versteden, CJN., 1984, Inleiding Algemeen Bestuursrecht, Samsom
HD Tjeenk Willinkm Alphen den Rijn, Vuga Boekerij 's Gravenhage.
W. Riawan Tjandra, 2012, Demokrasi Melawan Kekuasaan Melalui PTUN,
Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar