Minggu, 03 Mei 2020


Perspektif Hukum Administrasi Negara Pelaksanaan
 Fungsi Pemerintah di Bidang Kepabeanan
oleh: Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.

Disampaikan dalam FGD " Pemantapan Tertib Administasi untuk Mewujudkan
Kepastian Hukum dan Profesionalisme Pegawai KPU Bea dan Cukai Tipe A
Tanjung Priok dalam Perspektif Hukum Tata Usaha Negara"
Jakarta, 26 Maret 2014


Tiga Dimensi Hukum Adminiatrasi Negara
      Urusan pemerintah (bestuurszorg) di bidang kepabeanan, merupakan salah satu varian dari kompleksitas urusan pemerintah yang paling penting untuk diselenggarakan oleh pemerintah. Dalam interaksinya dengan rakyat, pemerintah guna melaksanakan fungsinya harus memperhatikan 3 (tiga) dimensi utama, yaitu:

- dimensi pelaksanaan fungsi pemerintah (sturende functie)
- dimensi perlindungan hukum (rechtsbescherming)
- dimensi partisipasi yang metodenya bisa melalui hak untuk mengajukan keberatan atau gugatan (inspraak) atau penasihatan oleh komisi penasihat (adviesering)

      Dalam melaksanakan fungsi pemerintah (sturende functie), pemerintah diberikan wewenang untuk menggunakan sarana-sarana hukum administrasi negara (bestuursmiddelen) yang meliputi: sarana yuridis (peraturan perundang-undangan, Keputusan Tata Usaha Negara, peraturan kebijaksanaan, sarana hukum perdata), sarana non yuridis (kepegawaian, keuangan negara dan materiil/benda-benda milik negara).
      Pelaksanaan fungsi pemerintah (sturende functie) oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang merupakan salah satu unit pemerintahan di bawah Kementerian Keuangan dilaksanakan di ranah empat peran yang penting sebagai perwujudan tugas negara, antara lain; mengumpulkan dan mengamankan penerimaan negara dari sektor pabean dan cukai (revenue collector), mendukung terciptanya penciptaan iklim usaha yang kondusif dengan pemberian berbagai fasilitas di bidang kepabeanan dan cukai (industrial assistance), memfasilitasi kegiatan perdagangan internasional (trade facilitator), dan mencegah dan mengawasi masuknya barang-barang yang dilarang atau dibatasi yang dapat menimbulkan efek negatif bagi keamanan masyarakat dan negara (community protector).
    Dalam melaksanakan keempat peran ini, DJBC memiliki kewenangan-kewenangan sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007. Di antara banyak kewenangan tersebut, ada kewenangan-kewenangan yang bersifat administatif (directive) yang tersebar dalam pasal 3, 4, 5, 8, 9, 10, 11, 13, 14, 15, 16, 17, 20, 23, 25, 26, 27, 28, 29, 32, 36, 37, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50,  dan 51 Undang-Undang Kepabeanan, dan pasal 7, 8, 9, 10, 12, 14, 16, 17, 26, 27, 33, 35, 40a, 41, dan 62 Undang-Undang Cukai.
      Kewenangan pelaksanaan fungsi pemerintah di bidang kepabeanan tersebut dilengkapi dengan kewenangan untuk melaksanakan penegakan hukum di bidang kepabeanan melalui sanksi-sanksi dalam hukum administrasi negara (handhaving van het administratieve recht). Dalam hukum adminitrasi negara, badan atau pejabat tata usaha negara memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi HAN berupa paksaan administratif (bestuursdwang), pencabutan Keputusan TUN, denda administratif (administratieve boete) maupun uang paksa (dwangsom). Jika menilik kewenangan yang melekat pada jabatan tata usaha negara di bidang kepabeanan, terlihat adanya kewenangan ganda (dual function), yaitu kewenangan di bidang hukum afministrasi negara, sekaligus kewenangan penyidikan yang kazimnya terletak di ranah hukum acara pidana (Pasal 112 UU Kepabeanan). Kewenangan penyidikan itu merupakan kewenangan khusus yang diberikan kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.Tidak berlakunya asas nebis in idem dalam hal penjatuhan sanksi pidana bersamaan dengan sanksi hukum administrasi memungkinkan dijatuhkannya sanksi pidana bersamaan dengan sanksi admibustratif terhadap pelanggaran hukum di bidang kepabeanan, yang ditujukan untuk nengefektifkan fungsi pemerintah di bidang kepabeanan. Namun, dalam penegakan hukum administrasi negara, harus tetap diperhatikan prinsip bahwa sanksi yang bersifat sejenis tidak bisa diterapkan bersama-sama (asas nebis vexari). Misalnya, sanksi paksaan administratif (bestuursdwang) tidak boleh diterapkan bersama-sama dengan uang paksa (dwangsom), karena sifatnya yang substitutif.
      Dimensi perlindungan hukum terkait dengan pelaksanaan fungsi pemerintah diwujudkan melalui pengaturan mengenai perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif bersifat mencegah terjadinya tindakan hukum administrasi negara (administrative handeling) yang berpotensi menimbulkan kerugian terhadap rakyat misalnya melalui pengawasan hierarkis sebelum suatu keputusan tata usaha negara ditetapkan. Pengembangan keterbukaan informasi melalui UU Keterbukaan Informasi (Openbaarheidswet) seperti UU KIP, merupakan salah satu sarana untuk melaksanakan perlindungan hukum preventif. Fungsi pengawasan pabean juga tercakup dalam dimensi perlindungan hukum yang bersifat preventif ini. Menurut Colin Vassarotti, tujuan pengawasan Pabean adalah memastikan semua pergerakan barang, kapal, pesawat terbang, kendaraan dan orang-orang yang melintas perbatasan Negara berjalan dalam kerangka hukum, peraturan dan prosedur pabean yang ditetapkan (lihat Colin Vassarotti, Risk Management A Customs Prespective, hal.19) . Untuk menjaga dan memastikan agar semua barang, sarana pengangkut dan orang yang keluar/masuk dari dan ke suatu negara mematuhi semua ketentuan kepabeanan. Yang dimaksud dengan sarana pengangkut, adalah kapal laut, pesawat udara, mobil, dan kereta api. Sedangkan yang dimaksud pengangkut untuk kapal laut adalah nakoda, pesawat udara adalah pilot, mobil adalah sopir, dan kereta api adalah masinis.
      Setiap administrasi pabean harus melakukan kegiatan pengawasan. Kegiatan pengawasan pabean meliputi seluruh pelaksanaan wewenang yang dimiliki oleh petugas pabean dalam perundang-undangannya yaitu memeriksa sarana pengangkut, barang, penumpang, dokumen, pembukuan, melakukan penyitaan, penangkapan, penyegelan, dan lain-lain. Dalam modul pencegahan pelanggaran kepabeanan yang dibuat oleh World Customs Organization (WCO) disebutkan bahwa pengawasan pabean adalah salah satu metode untuk mencegah dan mendeteksi pelanggaran kepabeanan. Berdasarkan modul WCO tersebut dinyatakan bahwa pengawasan Bea Cukai yang mampu mendukung pendeteksian dan pencegahan penyelundupan paling tidak harus mencakup kegiatan penelitian dokumen, pemeriksaan fisik, dan audit pasca-impor. Kewenangan bea dan cukai berupa patroli juga termasuk kegiatan pengawasan, pelaksanaan patroli di darat, laut, dan udara yang bertujuan untuk mencegah, menindak dan melakukan penyidikan tindak pidana kepabeanan, di samping itu kegiatan patroli juga merupakan pengawasan Bea Cukai untuk mencegah penyelundupan. Pengawasan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari penindakan, saling terkait dan saling mengisi. Pengawasan merupakan kegiatan untuk meyakinkan bahwa sesuatu berjalan sebagaimana mestinya. Pengawasan lebih cenderung kepada upaya-upaya pencegahan yang bersifat preventif dan persuasif daripada tindakan yang bersifat represif.
      Dimensi perlindungan hukum represif, diwujudkan melalui pembatalan atas Keputusan Tata Usaha Negara yang dinilai merugikan rakyat melalui mekanisme executive review maupun judicial review oleh Peradilan Tata Usaha Negara, termasuk oleh Peradilan Pajak dalam sengketa tata usaha negara di bidang kepabeanan. Dimensi perlindungan hukum tersebut dalam UU Kepabeanan (UU Kepabeanan No. 10 Tahun 1995 jo UU No. 17 Tahun 2006), misalnya tercermin dari Pasal 93 - 95 yang jika dilakukan kajian atas norm (nilai) yang terkandung di dalamnya melalui statute approach mengandung prinsip perlindungan hukum (rechtsbescherming) terhadap subjek hukum yang dituju oleh Keputusan TUN di bidang kepabeanan yang dikeluarkan pejabat kepabeanan.
      Dimensi partisipasi dalam hukum administrasi diwujudkan melalui hak untuk mengajukan keberatan (inspraak) bagi subjek hukum yang merasa dirugikan hak administratifnya di bidang kepabeanan untuk mendapatkan keadilan administratif (administrative justice). Hak inspraak di bidang kepabeanan diatur dalam Pasal 93 - 95 UU Kepabeanan nengenai hak bagi subjek hukum untuk mengajukan keberatan (administratieve bezwaar) dan banding administratif (administratieve beroep).
      Dalam pelaksanaan fungsi pemerintah, harus diperhatikan asas legalitas yang terwujud dalam asas keabsahan pemerintahan (rechtsmatigheid van het bestuur), yaitu keharusan bagi setiap tindakan pemerintah agar tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (prosedur, substantif, wewenang) maupun asa-asas pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur).

Kewenangan Hukum Administrasi Penetapan Keputusan Tata Usaha Negara (Beschikking) di Bidang Kepabeanan dan Cukai

    Perspektif Hukum Administrasi Negara kewenangan mengeluarkan penetapan di bidang bea dan cukai termasuk dalam klasifikasi kewenangan Hukum Administrasi Sektoral (bijzondere administratiieve recht). Kriteria suatu tindakan yang dilakukan oleh badan atau pejabat tata usaha negara merupakan suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat ditentukan berdasarkan Pasal 1 angka (3) UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo Pasal 1 angka (8) UU No. 51 Tahun 2009 yang meliputi:
1. Penetapan tertulis
2. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
3. Berisi tindakan hukum tata usaha negara
4. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
5. Bersifat konkrit, individual dan final
6. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Seluruh elemen kriteria Keputusan Tata Usaha Negara di atas bersifat kumulatif, sehingga apabila suatu tindakan hukum yang dilakukan oleh badan atau pejabat tata usaha negara mengandung elemen-elemen tersebut di atas dikategorikan sebagai tindakan hukum administrasi yang keabsahannya harus didasarkan atas parameter-parameter pengujian suatu keputusan tata usaha negara sebagaimana diatur pada Pasal 53 ayat (2) UU No.9 Tahun 2004.

Karakter Tindakan Hukum Administrasi Negara
    Dalam kepustakaan Hukum Administrasi Negara Belanda (Nederlandse Bestuursrecht), CJN. Versteden dalam buku 'Inleiding Algemeen Bestuursrecht' (1984) menyatakan bahwa:

    Zo geeft het bestuursrecht het bestuur veelvuldig bevoegdheden om hem eenzijdig (dus ook zonder dat betrokkene daaraan behoeft mee te werken) te dwingen iets te doen of te laten. Een bestuursorgan kan de hem als zodanig toekomende bevoegheden hebben gekregen d.m.v. attributie, delegatie of mandaat. Deze begrippen zullen hierna nog nader uit de doeken wirden gedaan. Legitimatie van het bestuur vindt bijvoorbeeld plaats in alle bepalingen waarin bepaalde handelingen enz. verboden worden behoudens vergunning, ontheffing en andere beschikkingen.

     Karakter suatu Keputusan Tata Usaha sebagai suatu perbuatan hukum administrasi negara yang bersifat sepihak (eenzijdig) lazimnya dilengkapi dengan kewenangan memaksakan untuk dilakukan atau tidak dilakukannya sesuatu hal tertentu. Penilaian terhadap kewenangan hukum administrasi negara dalam pelaksanaan tindakan hukum administrasi negara oleh badan atau pejabat tata usaha negara harus dikembalikan pada sifat wewenang pemerintahan tersebut dalam bentuk: atribusi, delegasi dan mandat. Oleh karena itu, untuk menentukan karakter hukum administrasi negara dari suatu tindakan pemerintah, harus ditelusuri dari sifat kewenangan yang diberikan melalui 3 (tiga) sumber kewenangan tersebut.
      Terkait dengan sifat kewenangan hukum administrasi negara suatu tindakan pemerintah perlu ditelusuri pula dari makna hukum administrasi negara. Francisco Esparraga dan Ian Ellis-Jones (2011) mengatakan:

      Administrative law is:
      * a branch of 'public law'
      * primarily concerned with the functions, powers and obligations of the executive arm of government, including the administration, and certain non-governmental bodies, known as 'domestic tribunals'.

Berdasarkan pemahaman makna hukum administrasi negara tersebut dapat ditelusuri karakter suatu tindakan hukum pemerintah sebagai suatu tindakan hukum administrasi negara yang berkaitan dengan fungsi, kekuasaan dan berbagai kewajiban dari organ pemerintah. Esparraga dan Ian Ellis-Jones melanjutkan bahwa: " However, what is 'administrative' will include, for example, the application of a general policy or rule to particular cases...." Oleh karena itu, dengan menelusuri makna dan hakikat dari hukum administrasi negara, dapat diketahui bahwa terhadap suatu tindakan hukum afministrasi negara terlebih dahulu harus diterapkan parameter keabsahan dalam perspektif peraturan perundang-undangan di bidang tata usaha negara maupun asas-asas umum pemerintahan yang baik. Hal itu disebabkan suatu tindakan hukum administrasi negara selalu dapat diuji legalitasnya karena merupakan produk kewenangan jabatan tata usaha negara.

Tanggung Gugat Jabatan Tata Usaha Negara
      Berdasarkan ketentuan hukum, pejabat hanya menjalankan fungsi dan wewenang, karena pejabat tidak memiliki wewenang. Yang memiliki dan dilekati wewenang adalah jabatan. Dalam kaitan ini, Logemann mengatakan bahwa, berdasarkan Hukum Tata Negara, jabatanlah yang dibebani dengan kewajiban, yang diberi wewenang untuk melakukan perbuatan hukum. Logemann mengatakan bahwa Negara dan organisasi jabatan de staat is ambtenorganisatie (Logemann, 1854:88) dan dalam suatu Negara itu ada jabatan pemerintahan, yakni lingkungan pekerjaan tetap yang dilekati dengan wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, yakni semua tugas-tugas kenegaraan selain bidang pembuatan undang-undang dan peradilan, elke werkzaamheid van de overheid, welke niet als wetgeving of als rechtspraak is aan te merken C.J.N.Versteden,1984:13). Tugas dan wewenang yang melekat pada jabatan ini dijalankan oleh manusia (natuurlijke persoon), yang bertindak selaku wakil jabatan dan disebut pemangku jabatan atau pejabat (F.R.Bothlingk,1954:32). Hak dan Kewajiban berjalan terus, tidak peduli dengan pergantian pejabat (Logemann, 1958:89). Karena kewenangan itu melekat pada jabatan, sementara tanggungjawab dalam bidang hukum publik itu terkait dengan kewenangan, maka beban tanggungjawab itu pada dasarnya juga melekat pada jabatan. Tanggungjawab jabatan ini berkenaan dengan keabsahan tindakan hukum pemerintahan yang dilakukan oleh pejabat untuk dan atas nama jabatan (ambtshalve).
      Sehubungan dengan analisis tersebut, jika terjadi dugaan adanya tindakan maladministrasi terlebih dahulu yang harus diuji adalah keabsahan tindakan hukum administrasi negara yang dilakukan oleh pejabat tata usaha negara tersebut dalam koridor hukum administrasi negara. Tindakan hukum yang dilakukan oleh pejabat tata usaha negara yang dituangkan dalam suatu Keputusan Tata Usaha Negara merupakan kompetensi dari Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Pajak atau jika terkait dengan pelayanan publik, hal itu merupakan kewenangan dari Ombudsman.
      Maladministrasi berasal dari bahasa Latin malum (jahat, buruk, jelek) dan administrare (to manage, mengurus, atau melayani), Maladministrasi berarti pelayanan atau pengurusan yang buruk atau jelak. Berdasarkan pasal 1 angka (3) UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, yang dimaksud Maladministrasi adalah Perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial masyarakat dan orang perseorangan. 
      Jika terjadi perdebatan seputar keabsahan tindakan hukum pejabat tata usaha negara yang di dalam peraturan perundang-undangan yang mendasari tindakan jabatan tata usaha negara tersebut dinisbatkan sebagai tindakan hukum administrasi negara, harus digunakan parameter keabsahan (rechtsmatigheid) terhadap tindakan hukum tersebut. Jika ada tuduhan dilakukannya penyalahgunaan kewenangan jabatan tata usaha negara sejauh didasarkan atas kewenangan atributif, delegasi atau mandat dalam norma yang berkarakter Hukum Administrasi Negara, yang diukur adalah keabsahan tindakan jabatan tata usaha negara itu ditinjau dari sudut hukum administrasi negara, bukan diarahkan pertama-tama kepada persoon pejabat-nya. Pengujian keabsahan (rechtsmatigheid toetsing) terhadap tindakan pejabat tata usaha negara harus ditelusuri ruang lingkupnya dari dimensi kewenangan, prosedur dan substansinya dengan mengukur koherensi isi dan tujuan peraturan dasarnya dengan isi dan tujuan Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) yang dikeluarkan oleh pejabat tata usaha negara tersebut. Hal itu merupakan konsekuensi dari eksistensi salah satu unsur dari negara hukum (rechtsstaat) yaitu prinsip pemerintahan menurut hukum (rectsmatigheid van het bestuur).


Perspektif Yuridis Keputusan Tata Usaha Negara di Bidang Kepabeanan
      Polemik seputar karakter dari penetapan KTUN vide Pasal 17 UU Kepabeanan perlu dtelusuri dari sifat KTUN tersebut. Pasal 17 UU Kepabeanan mengatrur:

(1) Direktur  Jenderal  dapat menetapkan kembali tarif dan nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean.
(2) Dalam hal penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbeda dengan penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Direktur Jenderal memberitahukan secara tertulis kepada importir untuk: a. melunasi bea masuk yang kurang dibayar; atau b. mendapatkan pengembalian bea masuk yang lebih dibayar.
(3). Bea masuk yang kurang dibayar atau pengembalian bea masuk yang lebih dibayar       sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibayar sesuai dengan penetapan kembali.
(4) Penetapan  kembali  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (2), apabila diakibatkan oleh adanya kesalahan nilai transaksi yang diberitahukan sehingga mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk, dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang kurang dibayar dan paling banyak 1000% (seribu persen) dari bea masuk yang kurang dibayar.

      Berkaitan dengan upaya hukum yang dapat dilakukan terkait dengan penetapan sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 ayat (2),  diatur adanya hak untuk mengajukan keberatan (administratieve bezwaar) sebagaimana diatur pada Pasal 95 UU Kepabeanan. Pasal 95 UU Kepabeanan mengatur bahwa orang yang berkeberatan terhadap penetapan Direktur Jenderal atas tarif dan nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), keputusan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2), Pasal 93A ayat (4), atau Pasal 94 ayat (2) dapat mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan atau tanggal keputusan, setelah pungutan yang terutang dilunasi.
      Jika mencermati ketentuan-ketentuan tersebut, terlihat dengan jelas karakter tindakan hukum yang dilakukan pejabat pemerintah dengan mendasarkan pada Pasal 17 UU Kepabeanan merupakan tindakan hukum administrasi negara pejabat pemerintah. Maka, jika ada keberatan terkait penetapan pejabat pemerintah penilaian mengenai dimensi kewenangan, prosedur dan substansi yang terkait dengannya, merupakan isu legalitas dan harus diuji berdasarkan norma-norma hukum administrasi negara (bestuursnorm).
      Rumusan ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU Kepabeanan tersebut menggunakan kata "dapat" dalam ketentuan yang menyatakan: Direktur  Jenderal  dapat menetapkan kembali tarif dan nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean. Tipologi norma semacam itu dalam Hukum Administrasi Negara dikategorikan sebagai norma yang memberikan kebebasan penilaian (beoordelingsvrijheid) kepada pejabat tata usaha negara. Dengan mempertimbangkan kondisi yang dihadapi pejabat pemerintah diberikan wewenang secara eksklusif untuk mempertimbangkan penetapan Keputusan TUN vide Pasal 17 ayat (2). Kewenangan diskresioner semacam itu mengharuskan adanya penghormatan dari hakim dan aparat penegak hukum untuk tidak mempersoalkannya, sejauh dipenuhi syarat-syarat penggunaan wewenang diskresi, yaitu: (1) Tidak melanggar undang-undang dan (2) Tidak bertentangan dengan kepentingan umum (publieke belang).
      Dakam teori hukum adminustrasi negara, dikenal adagium "kebijakan tidak dapat diadili". Hal itu berarti adanya jaminan imunitas dari tindakan uji materiil (judicial review) terhadap tindakan hukum yang dilakukan oleh badan atau pejabat pemerintah. Bahkan, sebagai komparasi, di Amerika Serikat, persoalan diskresi yang dilakukan pejabat pemerintah termasuk dalam kategori political question atau nonjusticiable issue. Artinya, pengadilan akan menahan diri untuk tidak melakukan intervensi (self restraint) atas kewenangan pemerintah yang bersifat tekhnikal dalam menggunakan kewenangan diskresi (discretionnaire power) tersebut.

Beberapa Catatan
1. Kewenangan hukum administrasi negara dalam pelaksanaan tindakan hukum administrasi negara oleh badan pejabat tata usaha negara harus dikembalikan dari sifat wewenang pemerintahan tersebut dalam bentuk: atribusi, delegasi dan mandat. Oleh karena itu, untuk menentukan karakter hukum administrasi negara dari suatu tindakan pemerintah,
2. Jika ada tuduhan dilakukannya penyalahgunaan kewenangan jabatan tata usaha negara sejauh didasarkan atas kewenangan atributif, delegasi atau mandat dalam norma yang berkarakter Hukum Administrasi Negara, yang diukur adalah keabsahan tindakan jabatan tata usaha negara itu ditinjau dari sudut hukum administrasi negara, bukan diarahkan pertama-tama kepada persoon pejabat-nya. Pengujian keabsahan (rechtsmatigheid toetsing) terhadap tindakan pejabat tata usaha negara harus ditelusuri ruang lingkupnya dari dimensi kewenangan, prosedur dan substansinya dengan mengukur koherensi isi dan tujuan peraturan dasarnya dengan isi dan tujuan Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) yang dikeluarkan oleh pejabat tata usaha negara tersebut.
3. Karakter tindakan hukum yang dilakukan pejabat pemerintah dengan mendasarkan pada Pasal 17 UU Kepabeanan merupakan tindakan hukum administrasi negara pejabat pemerintah. Maka, jika ada keberatan terkait penetapan pejabat pemerintah penilaian mengenai dimensi kewenangan, prosedur dan substansi terkait dengannya, merupakan isu legalitas yang harus diuji berdasarkan norma-norma hukum administrasi negara (bestuursnorm).
4. Rumusan ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU Kepabeanan tersebut menggunakan kata "dapat" dalam ketentuan yang menyatakan: Direktur  Jenderal  dapat menetapkan kembali tarif dan nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean. Tipologi norma semacam itu dalam Hukum Administrasi Negara dikategorikan sebagai norma yang memberikan kebebasan penilaian (beoordelingsvrijheid) kepada pejabat tata usaha negara. Dengan mempertimbangkan kondisi yang dihadapi pejabat pemerintah diberikan wewenang secara eksklusif untuk mempertimbangkan penetapan Keputusan TUN vide Pasal 17 ayat (2). Kewenangan diskresioner semacam itu mengharuskan adanya penghormatan dari hakim dan aparat penegak hukum untuk tidak mempersoalkannya, sejauh dipenuhi syarat-syarat penggunaan wewenang diskresi, yaitu: (1) Tidak melanggar undang-undang dan (2) Tidak bertentangan dengan kepentingan umum (publieke belang).
    
Daftar Pustaka

Bambang Semedi, 2011, Modul Pengawasan dan Penindakan di Bidang Kepabeanan, Pusdiklat Bea dan Cukai, Kemenkeu RI
Esparraga, Francisco, et.al., 2011, Administrative Law-Guidebook, Oxford University Press, Australia & New Zealand.
Haan, P. de, et.al., 1986, Bestuursrecht in de Sociale Rechtsstat Deel 1 Ontwikkeling, Organisatie, Instrumentarium, Kluwer, Deventer, Nederland.
Versteden, CJN., 1984, Inleiding Algemeen Bestuursrecht, Samsom HD Tjeenk Willinkm Alphen den Rijn, Vuga Boekerij 's Gravenhage.
W. Riawan Tjandra, 2012, Demokrasi Melawan Kekuasaan Melalui PTUN, Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta.




Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...