Hukum: Dari Alat Keadilan Sampai Alat Kekerasan Struktural
oleh: W. Riawan Tjandra
willyriawan@yahoo.com
1. Prolog
Agak berat
mengaitkan fenomena dunia pendidikan hukum dengan harapan positif terhadap
terwujudnya dunia hukum seperti yang menjadi impian the founding fathers and mothers, yaitu dunia hukum yang
berketuhanan yang maha esa hingga berkeadilan sosial. Dunia pendidikan hukum
yang didominasi cara berpikir dogmatis dan konservatif, lebih sering dianggap
tak mampu berbuat banyak menghadapi fenomena instrumentalisasi hukum yang
distimulasi oleh rasio instrumental aparatus hukum.
Hukum yang
seharusnya menjadi sarana pencerahan (enlightment
instrument), dalam persilangan kepentingan multipolar dan politik
transaksional telah bermertamorfosa menjadi sarana legitimasi kepentingan aktor
dan institusi yang sering menyebabkannya tercabut dari esensinya sebagai sarana
keadilan. Beberapa fenomena berikut kiranya menjadi eksplanasi dari tesis di
atas.
2. "Kudeta
Teks" terhadap Pemberantasan Korupsi (Dimodifikasi dari Opini Penulis
di Kompas)
Di saat
kampanye pemilu legislatif maupun pemilu presiden mayoritas kontestan selalu
menjadikan isu pemberantasan korupsi sebagai janji politik. Namun, di
penghujung berakhirnya jabatan legislatif maupun eksekutif menjelang pergantian
pemerintahan, publik justru dikejutkan dengan produk legislasi yang terkesan
menjadi antiklimaks di tengah gencarnya pemberantasan korupsi yang dilakukan
oleh para penegak hukum, khususnya KPK RI.
Salah
satu pasal dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah jo Perpu No.
2 Tahun 2014 (UU Pemda) yang menginisiasi apa yang disebut sebagai inovasi
daerah dalam Bab XIX Pasal 386 s/d 390 bisa menjadi "wilayah abu-abu"
yang dikhawatirkan berpotensi menjadikan agenda pemberantasan korupsi di level
pemerintahan daerah terdistorsi secara sistematis. Pasal 389 UU Pemda tersebut
tanpa didahului definisi stipulatif yang jelas dalam ketentuan umum tentang
makna "inovasi daerah" , mengatur bahwa dalam hal pelaksanaan inovasi
yang telah menjadi kebijakan Pemerintah Daerah dan inovasi daerah tersebut
tidak mencapai sasaran yang telah ditetapkan, aparatur daerah tidak dapat
dipidana. Munculnya rumusan ketentuan tersebut kiranya berangkat dari kecemasan
yang terjadi karena sampai saat ini, menurut data dari Ditjen Otonomi Daerah
Kemendagri, tak kurang dari 325 Kepala Daerah tersangkut kasus-kasus korupsi.
Pasal 386
ayat (1) UU Pemda. mengaitkan inovasi sebagai rangkaian upaya peningkatan
kinerja pemerintah daerah. Pasal 386 ayat (2) UU Pemda mengklasifikasikan
inovasi daerah tersebut sebagai semua bentuk pembaharuan dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Rumusan ketentuan itu lebih menyerupai sebuah argumentasi
daripada sebuah preskripsi yang lazimnya menjadi isi dari sebuah norma hukum.
Norma hukum sejatinya merupakan eksplisitas dari perilaku hukum yang menjadi
pedoman, bukan sebuah argumentasi atau wacana yang mengundang multitafsir atau
diskursus dalam memaknainya.
Ketentuan
yang melucuti jerat pidana terhadap kebijakan inovasi daerah bisa menjadi
sebuah bumerang bagi kelanjutan pemberantasan korupsi yang pasca era otonomi
kian marak terjadi di daerah. Bergesernya bandul kekuasaan ke daerah yang tak
diimbangi secara memadai dengan tersemaikannya prinsip-prinsip kepemerintahan
yang bersih dan baik (clean and good
governance), seakan-akan telah menampilkan para pejabat daerah menjadi
otoritas tunggal (a single totality)
dalam menentukan kebijakan-kebijakan di daerah. Berkaca pada berbagai modus
korupsi yang tejadi di daerah, siklus kontestasi modal di ranah pilkada sering
berlanjut di ranah kebijakan-kebijakan transaksional untuk menutup energi
ekonomi-politik para pejabat politik di daerah yang terkuras habis sebagai
pembiayaan politik pilkada. Di titik inilah, sangat riskan memberikan arena
baru yang dinisbahkan sebagai inovasi daerah dan menjadi norma untuk
mengabsahkan tindakan melucuti dari jerat pidana asalkan itu dilakukan secara
terbuka, untuk perbaikan kualitas pelayanan dan sejenisnya sebagaimana yang
diatur pada pasal 387 UU Pemda. Bukankah dengan ketentuan semacam itu selain
akan berpotensi melegalkan praktik-praktik koruptif asal dibingkai dengan
slogan inovasi daerah, juga akan mengabsahkan perilaku koruptif asalkan
dilakukan secara "terbuka/transparan" dan atas nama "perbaikan
kualitas pelayanan"?
Hal itu
mengingatkan terhadap hasil amandemen UU MD3 (UU No. 17 Tahun 2014) yang dengan
justifikasi merevitalisasi forum
privilegiatum, mengharuskan adanya prosedur perijinan dari Majelis
Kehormatan Dewan (MKD) jika ada upaya penyidikan anggota DPR yang terjerat
kasus pidana. Produk legislasi yang tak sensitif terhadap upaya pemberantasan
korupsi telah menjadikan produk-produk hukum tersebut ---- meminjam ungkapan
Paul Ricoeur----mengalami otonomisasi teks. Artinya, teks norma hukum tersebut
dilepaskan dari konteks dan maksud sang pemilik teks (rakyat) yang sedang giat
memerangi berbagai praktik koruptif dalam berbagai modusnya. Kudeta tekstologi
terhadap pemberantasan korupsi merupakan modus baru yang bermain di tataran
simbolik yang--- meminjam ungkapan Albert Camus---akan menjadikan upaya
pemberantasan korupsi memasuki era absurditas.
3. Bercermin pada
Negara Hukum yang Retak (Dimodifikasi dari Opini Penulis pada Koran Sindo)
Nyaris
terluput dari perhatian publik di tengah konflik (elite) berkepanjangan dan
kesibukan para elite menebar janji penuh pesona, ternyata masih ada anak bangsa
yang menjadi korban kriminalisasi hukum. Di Semarang, Jawa Tengah, Sri Mulyati
sempat mendekam di tahanan selama 13 bulan akibat tuduhan mempekerjakan anak di
bawah umur. Sri Mulyati sempat dijatuhi hukuman 8 bulan penjara oleh Pengadilan
Negeri (PN) Semarang yang dinaikkan menjadi 1 tahun penjara oleh Pengadilan
Tinggi (PT) Semarang, ditambah denda Rp 2 juta subsider 2 bulan penjara. Di
Mahkamah Agung, kemudian terbukti bahwa tuduhan itu tak berdasar dan Sri
Mulyati dibebaskan oleh MA dengan vonis bebas murni. Karena menghukum orang
tidak bersalah, negara dijatuhi denda sebesar Rp 5 juta.
Peristiwa
menyedihkan itu berawal di saat Sri Mulyati yang menjadi kasir di salah satu
tempat karaoke, ditangkap polisi dengan tuduhan berat memperkerjakan anak
di bawah umur. Polisi bukannya menahan pemilik atau pimpinan tempat karaoke
itu, melainkan Sri Mulyati yang bergaji Rp 750 ribu per bulan. Tragisnya, saat
polisi melakukan penggerebekan, Sri Mulyati justru sedang tidak bekerja. Di
saat itulah, manajer tempat karaoke itu menelepon Sri Mulyati dan memintanya
datang. Begitu sampai di tempat itu, Sri Mulyati langsung ditangkap dan
ditetapkan sebagai tersangka. Sri Mulyati dijerat dengan Pasal 8 UU
Perlindungan Anak dengan tuduhan melakukan eksploitasi anak. Ironisnya, konon
sang pemilik karaoke itu justru tak tersentuh oleh proses hukum.
Di masa
lalu, filsuf Rousseau, sempat memimpikan lahirnya sebuah negara hukum yang kini
juga dicanangkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Negara RI 1945. Dalam negara hukum
itu setiap warga negara tak boleh kehilangan kebebasan personalnya di saat ia
mematuhi hukum. Kewajiban setiap orang untuk mematuhi hukum harus merupakan
cerminan dari kehendak subyektifnya yang otentik. Apa yang dialami oleh Sri
Mulyati merupakan bagian dari litani kriminalisasi di negeri yang konstitusinya
mendeklarasikan negara hukum, namun warga negara yang tak punya daya ekonomi,
politik maupun sosial bisa tercederai oleh bekerjanya positivisme sistem hukum
kriminal (criminal justice system).
Hukum justru bisa menjadi sarana dominasi penuh muslihat yang melanggengkan
kuasa oligarki ekonomi-politik. Penegak hukum bisa tak berdaya di saat kuasa
politik-hukum yang dimilikinya terserap dalam rayuan libido ekonomi-politik.
Akhirnya, hukum justru tampil perkasa di hadapan subyek yang miskin secara
ekonomi-politik, namun, hukum akan lunglai berhadapan subyek yang punya kuasa
struktural maupun ekonomi.
Meminjam
tesis filsuf Bourdieu (1998), hukum sering bekerja di bawah kendali oknum yang
mampu mendikte makna bahasa yang tersurat dalam teks undang-undang, sehingga
praksis penegakan hukum justru telah melampaui makna linguistik bahasa teks
undang-undang karena ditawan oleh kuasa kepemilikan kapital, terutama kapital
simbolik. Sri Mulyati tentu tak punya kuasa membangun kuasa oposisi atas
ke(tidak)adilan hukum yang dialaminya seperti para elite yang mampu membangun
kekuatan oposisi untuk melakukan tawar-menawar terhadap kekuatan politik
rivalnya. Sri Mulyati telah menjadi korban kekerasan simbolik dan struktural
akibat idealitas kepastian hukum yang menurut Tebbit (2000) tak mampu
melepaskan diri dari formalisme hukum. Hukum prosedural telah kehilangan
rasionalitas dan mencabut makna substantif yang seharusnya digali oleh para
penegak hukum.
Suatu konsep
keadilan menurut Rawls tidak dapat bertumpu pada prinsip utilitas atau pun
prinsip intuisionis. Keadilan sebagai fairness sebagai alternatif
teori-teori keadilan kontemporer, menurut Rawls, memberikan prinsip-prinsip
keadilan sebagai patokan dalam mendistribusikan sumber-sumber daya sosial.
Prinsip-prinsip tersebut dipilih oleh orang-orang yang rasional dalam sebuah
kontrak sosial hipotesis, posisi asali (original
position). Posisi asali merupakan kondisi persamaan awal yang mengarah pada
dua prinsip keadilan sebagai fairness.
Keadilan prosedural dalam prosisi asali merupakan mekanisme pengawasan dan
menempatkan semua orang dalam keadaan setara sebagai person moral. Di titik
inilah peristiwa kriminalisasi yang dialami Sri Mulyati telah mengganggu
perwujudan prinsip fairness dalam penegakan hukum. Lazimnya, standar dalam
melakukan penahanan adalah harus adanya bukti permulaan yang cukup sesuai
dengan standar yang diatur dalam KUHAP. Sri Mulyarti telah mengalami
kriminalisasi masif seperti ternyata kemudian dari putusan MA yang mengabulkan
permohonan PK Sri Mulyati.
Perilaku yang terjadi dalam dunia penegakan hukum (law enforcement) peradilan (the behaviour of court) di
Indonesia mengalami something wrong.
Fakta empiris yang dialami Sri Mulyati tersebut melengkapi berbagai kasus-kasus
sebelumnya yang pernah dialami oleh Mbok Minah, kasus pencuri Sandal, pencuri
tebu, Prita Mulyasari dan sejenisnya yang menyajikan realitas kasat mata adanya
ketidakadilan dalam masyarakat dan
perbedaan penanganan suatu perkara yang
mencolok antara si kaya dan si miskin atau si
penguasa dan si rakyat jelata, sudah menjadi gambaran yang dianggap biasa terjadi. Tentu ditinjau
dari segi asas, hal ini bertentangan
dengan prinsip equality before the law,
bahkan bertentangan dengan harkat dan
martabat manusia itu sendiri.
Padahal ditinjau
dari segi kodratnya, sejak lahir masing-masing
manusia merupakan pribadi yang berpotensi untuk berkembang, sehingga
mempunyai hak dan kewajiban sebagai
makhluk sosial dan warga negara. Guna memenuhi hak dan kewajiban itu, secara
universal diakui adanya Hak Asasi Manusia (HAM), bahkan secara tekstual oleh PBB
pada tahun 1948 telah dituangkan di norma yang
dinamakan Universal Declaration of Human Right. Beberapa oknum penegak
hukum tak jarang kurang memiliki sensitivitas terhadap HAM. Padahal penegak
hukum selalu mendengungkan bahwa dalam
penegakkan hukum harus berdasarkan irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahkan dalam
memaknai keadilan, ada kewajiban untuk menghormati HAM masing-masing individu
atau masyarakat. Moris Ginsberg (2003: 41) berpendapat bahwa keadilan
bertentangan dengan: a. Pelanggaran hukum, penyimpangan, ketidaktetapan,
ketidakpastian, keputusan yang tidak terduga, tidak dibatasi oleh aturan; b.
Sikap memihak dalam menerapkan peraturan; dan c. Aturan yang sewenang-wenang,
melibatkan diskriminasi yang tidak mendasar atau diskriminasi berdasarkan
perbedaan yang tidak relevan.
Peristiwa
tragis yang dialami oleh Sri Mulyati tak boleh berulang lagi. Penegakan hukum
di era supremasi hukum seharusnya mampu menjadi tindakan komunikatif yang
sungguh-sungguh mampu menyuarakan keadilan substantif di balik bahasa teks
hukum. Sri Mulyati hanyalah kasir sebuah karaoke, seorang buruh kecil, yang
dipaksa untuk bercermin di hadapan negara hukum yang retak. Akibat kasus
tersebut, tiga dari empat anaknya harus putus sekolah karena tidak mampu
membayar biaya sekolah. Peristiwa ironis yang terjadi di saat para elite kini
sibuk membangun koalisi dan membangun menara kata-kata serta menebar janji yang
tak selalu dipenuhi di saat berkuasa!
4. Hukum di Mata
Nenek Asiyani dan Kakek Harso
Sebuah
ironi sekaligus tragedi hukum yang terjadi untuk kesekian kalinya di negeri
yang salah satu sila dari dasar negaranya ingin mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia, ketika Asiyani, seorang nenek tua renta di Situbondo
dan kakek Harso di Gunung Kidul harus menghadapi jeruji besi sebagai buah
kriminalisasi. Nenek Asiyani adalah rakyat kecil yang berusia 63 tahun dan
harus menghadapi tuduhan pencurian 7 (tujuh) batang kayu jati di lahan milik
Perhutani. Ia ditahan sejak 15 Desember 2014 dan baru memperoleh penangguhan
penahanan setelah mendapat jaminan dari Bupati Situbondo dan kasusnya
diramaikan di ruang publik serta sering sakit-sakitan sekama berada di dalam
tahanan. Sebelumnya, permohonan penangguhan penahanan yang diajukan kuasa
hukumnya sempat ditolak oleh pengadilan. Kasus ini sejatinya telah terjadi 5
(lima) tahun yang silam, namun baru dilaporkan oleh Perhutani bulan Agustus
2014. Saat ini, kasus nenek Asiyani ini sedang disidangkan di PN Situbondo.
Kasus
yang nyaris serupa juga dialami oleh Harso Taruno, seorang kakek berusia 65
tahun di Kabupaten Gunung Kidul DIY. Sang kakek tersebut juga harus menghadapi
kriminalisasi karena didakwa melakukan perusakan hutan konservasi di Hutan
Paliyan. Kejadian itu bermula saat dia pergi ke ladang dan melihat ada sebatang
kayu jati tergeletak di atas lahan yang ia sewa itu. Kemudian, kakek Harso
berniat menyingkirkan kayu itu. Namun, karena kesulitan dalam menyingkirkan
kayu tersebut, sehingga ia memutuskan untuk memotong kayu itu menjadi 3 (tiga)
bagian. Bermula dari hal tersebut, sang kakek tersebut dijerat dengan Pasal 12
C Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan Milik BKSDA Yogyakarta jo pasal 82 ayat (1) huruf C UU No. 18
tahun 2013. Dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut kakek Harso
dengan ancaman hukuman 2 (dua) bulan penjara dan denda Rp 400 ribu, meskipun
kini telah diputus bebas oleh majelis hakim PN Wonosari.
Hukum
dalam kedua kasus tersebut telah dilucuti dari hakikat eksistensialnya sebagai
pemberi keadilan dan telah menjelma tak lebih dari sekadar alat kekerasan
penguasa terhadap rakyat tak berdaya. Di satu sisi cukup banyak koruptor yang
masih bisa melenggang bebas meski sudah jadi tersangka dan dihukum tak
sebanding dengan jumlah trilyunan rupiah uang negara yang dikorupsinya. Di sisi
lain, negara justru abai mewujudkan janjinya untuk memberikan keadilan sosial
bagi rakyatnya. Jika konstitusi mengamanatkan bahwa fakir miskin dipelihara
oleh negara, yang terjadi justru negara sibuk memenjarakan fakir miskin, di saat
hukum didominasi oleh rasionalitas instrumental.
Sejatinya,
tragedi hukum yang dialami sang nenek dan kakek di atas justru memperlihatkan
cara berpikir dogmatis. Cara berpikir tersebut telah memenjarakan akal sang
penegak hukum sendiri meskipun secara lahiriah terlihat kedua warga negara papa
tersebut yang mendekam di bui, di saat ia menggunakan hukum menjadi alat
kekerasan yang kejam dan tajam menghunjam ke bawah, namun tumpul berhadapan
dengan kuasa. Dalam pandangan filsuf Hannah Arendt, tragedi kriminalisasi yang
dilakukan sang penegak hukum terhadap nenek Asiyani dan kakek Harso tersebut
diibaratkan algojo yang telah kehilangan rasa kemanusiaannya dan tercabut dari
realitasnya. Ketidakmampuan sang algojo untuk melakukan refleksi moral tersebut
merupakan sebuah "kejahatan radikal" melalui strategi dehumanisasi
menggunakan teknik yang menyebabkan ketakutan dan penderitaan permanen yang
digambarkan Arendt sebagai "banalitas kejahatan struktural".
Seharusnya,
hukum yang merefleksikan cita hukum (rechtsidee)
Pancasila dengan salah satu silanya bersendikan kemanusiaan yang adil dan
beradab mampu mengukuhkan humanitas, bukan justru merayakan dehumanisasi ketika
hukum hanya menjadi mesin yang mereproduksi kekerasan. Kasus kriminalisasi
nenek Asiyani dan kakek Harso telah kesekian kalinya menjadi pertanda matinya
hukum sebagai alat keadilan di tangan sang penegak hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar