Minggu, 03 Mei 2020


Hukum: Dari Alat Keadilan Sampai Alat Kekerasan Struktural
oleh: W. Riawan Tjandra
willyriawan@yahoo.com

1. Prolog
       Agak berat mengaitkan fenomena dunia pendidikan hukum dengan harapan positif terhadap terwujudnya dunia hukum seperti yang menjadi impian the founding fathers and mothers, yaitu dunia hukum yang berketuhanan yang maha esa hingga berkeadilan sosial. Dunia pendidikan hukum yang didominasi cara berpikir dogmatis dan konservatif, lebih sering dianggap tak mampu berbuat banyak menghadapi fenomena instrumentalisasi hukum yang distimulasi oleh rasio instrumental aparatus hukum.
       Hukum yang seharusnya menjadi sarana pencerahan (enlightment instrument), dalam persilangan kepentingan multipolar dan politik transaksional telah bermertamorfosa menjadi sarana legitimasi kepentingan aktor dan institusi yang sering menyebabkannya tercabut dari esensinya sebagai sarana keadilan. Beberapa fenomena berikut kiranya menjadi eksplanasi dari tesis di atas.

2. "Kudeta Teks" terhadap Pemberantasan Korupsi (Dimodifikasi dari Opini Penulis di Kompas)
                Di saat kampanye pemilu legislatif maupun pemilu presiden mayoritas kontestan selalu menjadikan isu pemberantasan korupsi sebagai janji politik. Namun, di penghujung berakhirnya jabatan legislatif maupun eksekutif menjelang pergantian pemerintahan, publik justru dikejutkan dengan produk legislasi yang terkesan menjadi antiklimaks di tengah gencarnya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh para penegak hukum, khususnya KPK RI.
                Salah satu pasal dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah jo Perpu No. 2 Tahun 2014 (UU Pemda) yang menginisiasi apa yang disebut sebagai inovasi daerah dalam Bab XIX Pasal 386 s/d 390 bisa menjadi "wilayah abu-abu" yang dikhawatirkan berpotensi menjadikan agenda pemberantasan korupsi di level pemerintahan daerah terdistorsi secara sistematis. Pasal 389 UU Pemda tersebut tanpa didahului definisi stipulatif yang jelas dalam ketentuan umum tentang makna "inovasi daerah" , mengatur bahwa dalam hal pelaksanaan inovasi yang telah menjadi kebijakan Pemerintah Daerah dan inovasi daerah tersebut tidak mencapai sasaran yang telah ditetapkan, aparatur daerah tidak dapat dipidana. Munculnya rumusan ketentuan tersebut kiranya berangkat dari kecemasan yang terjadi karena sampai saat ini, menurut data dari Ditjen Otonomi Daerah Kemendagri, tak kurang dari 325 Kepala Daerah tersangkut kasus-kasus korupsi.
                Pasal 386 ayat (1) UU Pemda. mengaitkan inovasi sebagai rangkaian upaya peningkatan kinerja pemerintah daerah. Pasal 386 ayat (2) UU Pemda mengklasifikasikan inovasi daerah tersebut sebagai semua bentuk pembaharuan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Rumusan ketentuan itu lebih menyerupai sebuah argumentasi daripada sebuah preskripsi yang lazimnya menjadi isi dari sebuah norma hukum. Norma hukum sejatinya merupakan eksplisitas dari perilaku hukum yang menjadi pedoman, bukan sebuah argumentasi atau wacana yang mengundang multitafsir atau diskursus dalam memaknainya.
                Ketentuan yang melucuti jerat pidana terhadap kebijakan inovasi daerah bisa menjadi sebuah bumerang bagi kelanjutan pemberantasan korupsi yang pasca era otonomi kian marak terjadi di daerah. Bergesernya bandul kekuasaan ke daerah yang tak diimbangi secara memadai dengan tersemaikannya prinsip-prinsip kepemerintahan yang bersih dan baik (clean and good governance), seakan-akan telah menampilkan para pejabat daerah menjadi otoritas tunggal (a single totality) dalam menentukan kebijakan-kebijakan di daerah. Berkaca pada berbagai modus korupsi yang tejadi di daerah, siklus kontestasi modal di ranah pilkada sering berlanjut di ranah kebijakan-kebijakan transaksional untuk menutup energi ekonomi-politik para pejabat politik di daerah yang terkuras habis sebagai pembiayaan politik pilkada. Di titik inilah, sangat riskan memberikan arena baru yang dinisbahkan sebagai inovasi daerah dan menjadi norma untuk mengabsahkan tindakan melucuti dari jerat pidana asalkan itu dilakukan secara terbuka, untuk perbaikan kualitas pelayanan dan sejenisnya sebagaimana yang diatur pada pasal 387 UU Pemda. Bukankah dengan ketentuan semacam itu selain akan berpotensi melegalkan praktik-praktik koruptif asal dibingkai dengan slogan inovasi daerah, juga akan mengabsahkan perilaku koruptif asalkan dilakukan secara "terbuka/transparan" dan atas nama "perbaikan kualitas pelayanan"?
                Hal itu mengingatkan terhadap hasil amandemen UU MD3 (UU No. 17 Tahun 2014) yang dengan justifikasi merevitalisasi forum privilegiatum, mengharuskan adanya prosedur perijinan dari Majelis Kehormatan Dewan (MKD) jika ada upaya penyidikan anggota DPR yang terjerat kasus pidana. Produk legislasi yang tak sensitif terhadap upaya pemberantasan korupsi telah menjadikan produk-produk hukum tersebut ---- meminjam ungkapan Paul Ricoeur----mengalami otonomisasi teks. Artinya, teks norma hukum tersebut dilepaskan dari konteks dan maksud sang pemilik teks (rakyat) yang sedang giat memerangi berbagai praktik koruptif dalam berbagai modusnya. Kudeta tekstologi terhadap pemberantasan korupsi merupakan modus baru yang bermain di tataran simbolik yang--- meminjam ungkapan Albert Camus---akan menjadikan upaya pemberantasan korupsi memasuki era absurditas.

3. Bercermin pada Negara Hukum yang Retak (Dimodifikasi dari Opini Penulis pada Koran Sindo)

                Nyaris terluput dari perhatian publik di tengah konflik (elite) berkepanjangan dan kesibukan para elite menebar janji penuh pesona, ternyata masih ada anak bangsa yang menjadi korban kriminalisasi hukum. Di Semarang, Jawa Tengah, Sri Mulyati sempat mendekam di tahanan selama 13 bulan akibat tuduhan mempekerjakan anak di bawah umur. Sri Mulyati sempat dijatuhi hukuman 8 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri (PN) Semarang yang dinaikkan menjadi 1 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi (PT) Semarang, ditambah denda Rp 2 juta subsider 2 bulan penjara. Di Mahkamah Agung, kemudian terbukti bahwa tuduhan itu tak berdasar dan Sri Mulyati dibebaskan oleh MA dengan vonis bebas murni. Karena menghukum orang tidak bersalah, negara dijatuhi denda sebesar Rp 5 juta.
                Peristiwa menyedihkan itu berawal di saat Sri Mulyati yang menjadi kasir di salah satu tempat karaoke, ditangkap polisi dengan tuduhan berat memperkerjakan anak  di bawah umur. Polisi bukannya menahan pemilik atau pimpinan tempat karaoke itu, melainkan Sri Mulyati yang bergaji Rp 750 ribu per bulan. Tragisnya, saat polisi melakukan penggerebekan, Sri Mulyati justru sedang tidak bekerja. Di saat itulah, manajer tempat karaoke itu menelepon Sri Mulyati dan memintanya datang. Begitu sampai di tempat itu, Sri Mulyati langsung ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka. Sri Mulyati dijerat dengan Pasal 8 UU Perlindungan Anak dengan tuduhan melakukan eksploitasi anak. Ironisnya, konon sang pemilik karaoke itu justru tak tersentuh oleh proses hukum.
                Di masa lalu, filsuf Rousseau, sempat memimpikan lahirnya sebuah negara hukum yang kini juga dicanangkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Negara RI 1945. Dalam negara hukum itu setiap warga negara tak boleh kehilangan kebebasan personalnya di saat ia mematuhi hukum. Kewajiban setiap orang untuk mematuhi hukum harus merupakan cerminan dari kehendak subyektifnya yang otentik. Apa yang dialami oleh Sri Mulyati merupakan bagian dari litani kriminalisasi di negeri yang konstitusinya mendeklarasikan negara hukum, namun warga negara yang tak punya daya ekonomi, politik maupun sosial bisa tercederai oleh bekerjanya positivisme sistem hukum kriminal (criminal justice system). Hukum justru bisa menjadi sarana dominasi penuh muslihat yang melanggengkan kuasa oligarki ekonomi-politik. Penegak hukum bisa tak berdaya di saat kuasa politik-hukum yang dimilikinya terserap dalam rayuan libido ekonomi-politik. Akhirnya, hukum justru tampil perkasa di hadapan subyek yang miskin secara ekonomi-politik, namun, hukum akan lunglai berhadapan subyek yang punya kuasa struktural maupun ekonomi.
                Meminjam tesis filsuf Bourdieu (1998), hukum sering bekerja di bawah kendali oknum yang mampu mendikte makna bahasa yang tersurat dalam teks undang-undang, sehingga praksis penegakan hukum justru telah melampaui makna linguistik bahasa teks undang-undang karena ditawan oleh kuasa kepemilikan kapital, terutama kapital simbolik. Sri Mulyati tentu tak punya kuasa membangun kuasa oposisi atas ke(tidak)adilan hukum yang dialaminya seperti para elite yang mampu membangun kekuatan oposisi untuk melakukan tawar-menawar terhadap kekuatan politik rivalnya. Sri Mulyati telah menjadi korban kekerasan simbolik dan struktural akibat idealitas kepastian hukum yang menurut Tebbit (2000) tak mampu melepaskan diri dari formalisme hukum. Hukum prosedural telah kehilangan rasionalitas dan mencabut makna substantif yang seharusnya digali oleh para penegak hukum.
     Suatu konsep keadilan menurut Rawls tidak dapat bertumpu pada prinsip utilitas atau pun prinsip intuisionis. Keadilan sebagai fairness sebagai alternatif teori-teori keadilan kontemporer, menurut Rawls, memberikan prinsip-prinsip keadilan sebagai patokan dalam mendistribusikan sumber-sumber daya sosial. Prinsip-prinsip tersebut dipilih oleh orang-orang yang rasional dalam sebuah kontrak sosial hipotesis, posisi asali (original position). Posisi asali merupakan kondisi persamaan awal yang mengarah pada dua prinsip keadilan sebagai fairness. Keadilan prosedural dalam prosisi asali merupakan mekanisme pengawasan dan menempatkan semua orang dalam keadaan setara sebagai person moral. Di titik inilah peristiwa kriminalisasi yang dialami Sri Mulyati telah mengganggu perwujudan prinsip fairness dalam penegakan hukum. Lazimnya, standar dalam melakukan penahanan adalah harus adanya bukti permulaan yang cukup sesuai dengan standar yang diatur dalam KUHAP. Sri Mulyarti telah mengalami kriminalisasi masif seperti ternyata kemudian dari putusan MA yang mengabulkan permohonan PK Sri Mulyati.
      Perilaku yang terjadi dalam dunia  penegakan hukum (law enforcement) peradilan (the behaviour of court) di Indonesia  mengalami something wrong. Fakta empiris yang dialami Sri Mulyati tersebut melengkapi berbagai kasus-kasus sebelumnya yang pernah dialami oleh Mbok Minah, kasus pencuri Sandal, pencuri tebu, Prita Mulyasari dan sejenisnya yang menyajikan realitas kasat mata adanya ketidakadilan dalam  masyarakat dan perbedaan penanganan suatu perkara  yang mencolok antara si kaya dan si miskin atau si  penguasa dan si rakyat jelata, sudah menjadi gambaran  yang dianggap biasa terjadi. Tentu ditinjau dari segi  asas, hal ini bertentangan dengan prinsip equality before the law, bahkan bertentangan dengan harkat  dan martabat manusia itu sendiri.
      Padahal ditinjau dari segi kodratnya, sejak lahir masing-masing  manusia merupakan pribadi yang berpotensi untuk berkembang, sehingga mempunyai hak dan kewajiban  sebagai makhluk sosial dan warga negara. Guna memenuhi hak dan kewajiban itu, secara universal diakui adanya Hak Asasi Manusia (HAM), bahkan secara tekstual oleh PBB pada tahun 1948 telah dituangkan di norma yang  dinamakan Universal Declaration of Human Right. Beberapa oknum penegak hukum tak jarang kurang memiliki sensitivitas terhadap HAM. Padahal penegak hukum selalu  mendengungkan bahwa dalam penegakkan hukum harus berdasarkan irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan  Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahkan dalam memaknai keadilan, ada kewajiban untuk menghormati HAM masing-masing individu atau masyarakat. Moris Ginsberg (2003: 41) berpendapat bahwa keadilan bertentangan dengan: a. Pelanggaran hukum, penyimpangan, ketidaktetapan, ketidakpastian, keputusan yang tidak terduga, tidak dibatasi oleh aturan; b. Sikap memihak dalam menerapkan peraturan; dan c. Aturan yang sewenang-wenang, melibatkan diskriminasi yang tidak mendasar atau diskriminasi berdasarkan perbedaan yang tidak relevan.
                Peristiwa tragis yang dialami oleh Sri Mulyati tak boleh berulang lagi. Penegakan hukum di era supremasi hukum seharusnya mampu menjadi tindakan komunikatif yang sungguh-sungguh mampu menyuarakan keadilan substantif di balik bahasa teks hukum. Sri Mulyati hanyalah kasir sebuah karaoke, seorang buruh kecil, yang dipaksa untuk bercermin di hadapan negara hukum yang retak. Akibat kasus tersebut, tiga dari empat anaknya harus putus sekolah karena tidak mampu membayar biaya sekolah. Peristiwa ironis yang terjadi di saat para elite kini sibuk membangun koalisi dan membangun menara kata-kata serta menebar janji yang tak selalu dipenuhi di saat berkuasa!

4. Hukum di Mata Nenek Asiyani dan Kakek Harso
                Sebuah ironi sekaligus tragedi hukum yang terjadi untuk kesekian kalinya di negeri yang salah satu sila dari dasar negaranya ingin mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, ketika Asiyani, seorang nenek tua renta di Situbondo dan kakek Harso di Gunung Kidul harus menghadapi jeruji besi sebagai buah kriminalisasi. Nenek Asiyani adalah rakyat kecil yang berusia 63 tahun dan harus menghadapi tuduhan pencurian 7 (tujuh) batang kayu jati di lahan milik Perhutani. Ia ditahan sejak 15 Desember 2014 dan baru memperoleh penangguhan penahanan setelah mendapat jaminan dari Bupati Situbondo dan kasusnya diramaikan di ruang publik serta sering sakit-sakitan sekama berada di dalam tahanan. Sebelumnya, permohonan penangguhan penahanan yang diajukan kuasa hukumnya sempat ditolak oleh pengadilan. Kasus ini sejatinya telah terjadi 5 (lima) tahun yang silam, namun baru dilaporkan oleh Perhutani bulan Agustus 2014. Saat ini, kasus nenek Asiyani ini sedang disidangkan di PN Situbondo.
                Kasus yang nyaris serupa juga dialami oleh Harso Taruno, seorang kakek berusia 65 tahun di Kabupaten Gunung Kidul DIY. Sang kakek tersebut juga harus menghadapi kriminalisasi karena didakwa melakukan perusakan hutan konservasi di Hutan Paliyan. Kejadian itu bermula saat dia pergi ke ladang dan melihat ada sebatang kayu jati tergeletak di atas lahan yang ia sewa itu. Kemudian, kakek Harso berniat menyingkirkan kayu itu. Namun, karena kesulitan dalam menyingkirkan kayu tersebut, sehingga ia memutuskan untuk memotong kayu itu menjadi 3 (tiga) bagian. Bermula dari hal tersebut, sang kakek tersebut dijerat dengan Pasal 12 C Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Milik BKSDA Yogyakarta jo pasal 82 ayat (1) huruf C UU No. 18 tahun 2013. Dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut kakek Harso dengan ancaman hukuman 2 (dua) bulan penjara dan denda Rp 400 ribu, meskipun kini telah diputus bebas oleh majelis hakim PN Wonosari.
                Hukum dalam kedua kasus tersebut telah dilucuti dari hakikat eksistensialnya sebagai pemberi keadilan dan telah menjelma tak lebih dari sekadar alat kekerasan penguasa terhadap rakyat tak berdaya. Di satu sisi cukup banyak koruptor yang masih bisa melenggang bebas meski sudah jadi tersangka dan dihukum tak sebanding dengan jumlah trilyunan rupiah uang negara yang dikorupsinya. Di sisi lain, negara justru abai mewujudkan janjinya untuk memberikan keadilan sosial bagi rakyatnya. Jika konstitusi mengamanatkan bahwa fakir miskin dipelihara oleh negara, yang terjadi justru negara sibuk memenjarakan fakir miskin, di saat hukum didominasi oleh rasionalitas instrumental.
      Sejatinya, tragedi hukum yang dialami sang nenek dan kakek di atas justru memperlihatkan cara berpikir dogmatis. Cara berpikir tersebut telah memenjarakan akal sang penegak hukum sendiri meskipun secara lahiriah terlihat kedua warga negara papa tersebut yang mendekam di bui, di saat ia menggunakan hukum menjadi alat kekerasan yang kejam dan tajam menghunjam ke bawah, namun tumpul berhadapan dengan kuasa. Dalam pandangan filsuf Hannah Arendt, tragedi kriminalisasi yang dilakukan sang penegak hukum terhadap nenek Asiyani dan kakek Harso tersebut diibaratkan algojo yang telah kehilangan rasa kemanusiaannya dan tercabut dari realitasnya. Ketidakmampuan sang algojo untuk melakukan refleksi moral tersebut merupakan sebuah "kejahatan radikal" melalui strategi dehumanisasi menggunakan teknik yang menyebabkan ketakutan dan penderitaan permanen yang digambarkan Arendt sebagai "banalitas kejahatan struktural".
      Seharusnya, hukum yang merefleksikan cita hukum (rechtsidee) Pancasila dengan salah satu silanya bersendikan kemanusiaan yang adil dan beradab mampu mengukuhkan humanitas, bukan justru merayakan dehumanisasi ketika hukum hanya menjadi mesin yang mereproduksi kekerasan. Kasus kriminalisasi nenek Asiyani dan kakek Harso telah kesekian kalinya menjadi pertanda matinya hukum sebagai alat keadilan di tangan sang penegak hukum.





Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...