Minggu, 03 Mei 2020


Analisis Terhadap Keputusan Gubernur Kepulauan Riau No. 752 Tahun 2012 tertanggal 06 Desember 2012 Tentang Penetapan Upah Minimum Kota (UMK) Batam Tahun 2013 Ditinjau dari Perspektif Hukum Administrasi Negara[1]

Oleh: Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.[2]

            Keputusan Gubernur Kepulauan Riau tertanggal 06 Desember 2012 No. 752 Tahun 2012 tentang Penetapan Umum Minimum Kota (UMK) Batam Tahun 2013 (selanjutnya disebut sebagai KTUN objek sengketa TUN) yang digugat oleh  penggugat (Himpunan Kawasan Industri Indonesia dan Perhimpunan Hotel dan Restauran Indonesia) di PTUN Tanjung Pinang, dapat dianalisis berdasarkan 3 (tiga) aspek, yaitu: 1). Interpretasi pejabat TUN terkait substansi yang ditetapkan dalam objek sengketa TUN, 2).Dampak terjadinya selisih besaran nilai upah minimum kelompok usaha dengan Upah Minimum Kota (UMK) Kota Batam tahun 2013 ditinjau dari perspektif Hukum Administrasi Negara, dan 3) Prosedural penetapan KTUN objek sengketa TUN. Ketiga aspek tersebut akan dianalisis berdasarkan tinjauan Hukum Administrasi Negara.

1.    Interpretasi pejabat TUN terkait substansi yang ditetapkan dalam objek sengketa TUN (Sisi materiil KTUN)
Pejabat TUN (Gubernur Kepulauan Riau) dalam Keputusan No. 752 Tahun 2012 (selanjutnya disebut sebagai KTUN objek sengketa TUN) telah memperluas interpretasi terkait substansi yang ditetapkan dengan mengintroduksi istilah “Upah Minimum berdasarkan Kelompok Usaha” yang tidak diatur dalam Permenakertrans No. PER-01/MEN/1999 jo Permenakertrans No. KEP-226/MEN/2000. Dalam teori hukum administrasi negara, badan atau pejabat TUN terikat terhadap norma HAN umum (UU Peradilan TUN dan AAUPB) dan norma HAN sektoral, yaitu norma HAN yang mengikat kewenangan badan atau pejabat TUN sesuai dengan sektor pemerintahan terkait (dalam kasus tersebut peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan termasuk peraturan kebijaksanaan (policy rule) yang mengikat kewenangan pemerintahan sektoral).
Akibat perluasan interpretasi dalam konteks legal drafting penetapan KTUN objek sengketa TUN tersebut telah berimplikasi terhadap terjadinya tindakan yang nyata-nyata tidak beralasan/tidak sesuai dengan nalar (kennelijk onredelijk) dalam KTUN objek sengketa a quo. Hal itu juga dipertegas dari surat yang dalam Hukum Administrasi dikategorikan sebagai policy rule yang dikemukakan oleh Surat Kemenakertrans No. B 531/PHIJK/X/2012 tertanggal 12 Oktober 2012 yang ditujukan sebagai jawaban atas Surat Walikota Batam No. B.1651/TK-4/V/2012 tertanggal 2 Mei 2012 yang telah menjelaskan bahwa penetapan upah minimum berdasarkan kelompok usaha tidak diatur dalam Permenakertrans No. 1 Tahun 1999 tentang Upah Minimum.Dalam pandangan Ian ellis-Jones (2001: 7) keadaan tersebut dikategorikan sebagai suatu illegality karena terjadinya abuse of power dan failure to exercise power.
Jika ditinjau dari Pasal 89 ayat (1) huruf b UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hanya disebutkan bahwa salah satu unsur upah minimum adalah: upah minimum berdasarkan pada sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota. Penjelasan pasal 89 ayat (1) huruf b UU No. 13 Tahun 2003 yang memberikan eksplanasi bahwa penetapan upah minimum sektoral dapat ditetapkan untuk “kelompok lapangan usaha” harus dikembalikan pada nomenklatur yang diatur pada Pasal 89 ayat (1) huruf b UU No. 13 Tahun 2003. Hal itu disebabkan ditinjau dari teori perundang-undangan (legisprudence), hanya batang tubuh suatu undang-undanglah yang dapat membentuk suatu norma hukum, penjelasan tidak boleh diinterpretasikan seakan-akan dapat membentuk norma hukum baru. Selain itu, kata “dapat” yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 89 ayat (1) huruf b tidak boleh diartikan sebagai perintah suatu undang-undang, namun suatu bentuk kewenangan diskresi (discretionary power) yang dalam penggunaanya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan kepentingan umum.
 Nomenklatur yang dipergunakan dalam Permenakertrans No. PER-01/MEN/1999 jo Kepmenakertrans No. KEP-226/MEN/2000 tidak menggunakan istilah “Upah Minimum berdasarkan Kelompok Usaha” sebagaimana yang digunakan oleh keputusan objek sengketa TUN, namun justru merujuk pada istilah “Upah Minimum Propinsi, Upah Minimum Sektoral Propinsi (UMS Propinsi), Upah Minimum kabupaten/kota dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMS Kabupaten/Kota)” sebagaimana yang dipergunakan sebagai istilah normatif pada Pasal 89 ayat (1) huruf b UU No. 13 Tahun 2003. Hal tersebut berimplikasi bahwa Keputusan objek sengketa TUN (Keputusan Gubernur Kepulauan Riau) justru dapat ditafsirkan telah membentuk norma hukum baru diluar delegatie van wetgeving yang ditentukan dalam Pasal 89 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003. Hal itu kiranya memperlihatkan telah terjadinya kondisi hukum kennelijk onredelijk dalam keputusan objek sengketa yang menggunakan nomenklatur “Upah Minimum berdasarkan Kelompok Usaha”. Seharusnya, Keputusan TUN objek sengketa TUN tersebut merujuk pada nomenklatur yang telah dipergunakan dalam Pasal 89 ayat (1) huruf b UU No. 13 Tahun 2003 jis Permenakertrans No. PER-01/MEN1999 dan Kepmenakertrans No. KEP-226/MEN/2000 yang merupakan peraturan dasarnya. Hal tersebut ditinjau dari teori Hukum Administrasi Negara telah melanggar pula salah satu syarat materiil dalam Hukum Administrasi Negara yaitu KTUN sebagai suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring) tidak boleh mengandung kekurangan yuridis antara lain adanya kekeliruan (dwaling). Kekeliruan dalam interpretasi yang terdapat dalam KTUN objek sengketa jika diukur dari standar normatif dalam peraturan dasarnya (Pasal 89 ayat (1) huruf b UU No. 13 Tahun 2003 jis Permenakertrans No. PER-01/MEN1999 dan Kepmenakertrans No. KEP-226/MEN/2000) menunjukkan adanya kekeliruan (dwaling) dalam pilihan nomenklatur dari substansi yang ditetapkan. M Herweijer dalam buku KJ de Graaf, dkk (edited) berjudul: Quality of Decision-Making in Public Law – Studies in Administrative Decision-Making in the Netherlands (2007: 21) disebutkan bahwa: an administrative decision is lawful if the administration authority which made it had the power to do so, assessed the correct facts according to the relevant substantive standards, proceeded with due care and promptness, and had open mind to the interests and comments of the parties involved.

2.      Dampak terjadinya selisih besaran nilai upah minimum kelompok usaha dengan Upah Minimum Kota (UMK) Kota Batam Tahun 2013 Ditinjau dari Perspektif Hukum Administrasi Negara
Salah satu dimensi Hukum Administrasi Negara yang melekat pada penyelenggaraan fungsi pemerintahan (sturende functie) adalah fungsi perlindungan hukum (rechtsbescherming) secara adil terhadap semua elemen dalam masyarakat. Keputusan objek sengketa TUN tersebut berpotensi menimbulkan kerugian sebagaimana diuraikan dalam gugatan berupa terjadinya selisih kewajiban pembayaran upah minimum berdasarkan kelompok usaha yang justru lebih besar dibandingkan UMK Kota Batam tahun 2013. Hal ini merupakan dampak yang bersifat kausalitas dari pergeseran penggunaan nomenklatur dalam substansi penetapan KTUN objek sengketa TUN yang menggunakan nomenklatur “Upah Minimum berdasarkan Kelompok Usaha” tersebut dari istilah upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota pada Pasal 89 ayat (1) huruf b UU No. 13 Tahun 2003 dan Pasal 1 angka 1 Kepmenakertrans No. KEP-226/MEN/2000. Hal ini berdampak terhadap tidak terpenuhinya dimensi perlindungan hukum yang seharusnya melekat dalam setiap penggunaan kewenangan jabatan TUN berupa kerugian finansial yang potensial dialami oleh penggugat. Hal ini dikarenakan terjadinya cacat substansi dalam penetapan KTUN objek sengketa TUN, Alat ukur keabsahan dari KTUN tersebut dapat digunakan Pasal 53 ayat (2) huruf b UU No. 9 Tahun 2004 dan Asas Kecermatan (principle of carefulness) untuk menguji keabsahan KTUN objek sengketa TUN tersebut. Peraturan perundang-undangan yang dimaksudkan sebagai alat ukur keabsahan terhadap KTUN objek sengketa  adalah Pasal 89 ayat (1) huruf b UU No. 13 Tahun 2003 jis Permenakertrans No. PER-01/MEN1999 dan Kepmenakertrans No. KEP-226/MEN/2000 sebagaimana telah diuraikan di atas. Asas kecermatan (principle of carefullness) menghendaki badan atau pejabat TUN dalam melakukan perbuatan hukum administrasi negara  (bestuurshandeling)  harus senantiasa bertindak hati-hati agar tidak menimbulkan kerugian terhadap masyarakat/subjek hukum yang dituju oleh suatu KTUN.


3.      Prosedural penetapan KTUN objek sengketa TUN
Ditinjau dari teori doktrin Hukum Administrasi Negara, dua diantara keempat syarat keabsahan (rechtsmatigheid) dari suatu Keputusan TUN (beschikking) yang merupakan syarat formil sebagaimana dikatakan oleh Van der Wel adalah syarat yang ditentukan sehubungan dengan persiapan dibuatnya Keputusan TUN dan berhubung dengan cara dibuatnya Keputusan TUN harus dipenuhi serta jangka waktu yang ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya atau diumumkannya  suatu Keputusan TUN harus diperhatikan. Berkaitan dengan syarat formil yang seharusnya menjadi standar dalam penetapan suatu Keputusan TUN dalam konteks penetapan Keputusan objek sengketa TUN dapat dianalisis berikut ini.

a.    Syarat yang ditentukan sehubungan dengan persiapan dibuatnya Keputusan TUN dan berhubung dengan cara dibuatnya Keputusan TUN harus dipenuhi

Syarat penetapan Keputusan TUN objek sengketa TUN sebagaimana diatur pada Pasal 89 UU No. 13 Tahun 2003 telah diatur lebih lanjut dalam Pasal 10 Kepmenakertrans No. KEP-226/Men/2000 tentang Upah Minimum yang mengatur:
(1).Usulan penetapan Upah Minimum Sektoral Propinsi dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota  dirundingkan dan disepakati oleh asosiasi perusahaan dan serikat pekerja.
(2).Dalam hal sektor atau sub sektor belum mempunyai asosiasi perusahaan di sektor atau sub sektor yang bersangkutan bersama APINDO dengan serikat pekerja terkait.
(3).Dalam hal sektor atau sub sektor belum mempunyai asosiasi perusahaan dan serikat pekerja,perundingan dan kesepakatan UMS Provinsi dan atau UMS Kabupaten/Kota dilakukan oleh APINDO dengan gabungan serikat pekerja yang terkait dengan sektor atau sub sektor.
(4).Hasil kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada  Gubernur melalui Kepala Kantor Wilayah Departemen tenaga kerja/instansi pemerintah yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan di Provinsi.

Ketentuan tersebut telah menjadikan sifat penetapan yang bersifat  sepihak (eenzijdige beschikking) menjadi penetapan berkarakter banyak pihak (meerzijdige beschikking) karena untuk mengikatnya suatu penetapan UMS harus ada persetujuan dari seluruh unsur secara lengkap yang terdapat dalam Dewan Pengupahan, termasuk dari harus adanya persetujuan dari unsur perwakilan pihak pengusaha. Hal itu berimplikasi penetapan KTUN objek sengketa oleh Gubernur Provinsi Kepulauan Riau perlu dibuat berdasarkan adanya kesepakatan bipartit mengingat karakternya yang bersifat banyak pihak (meerzijdige beschikking). Konsekuensinya, pelanggaran terhadap syarat yang ditentukan sehubungan dengan persiapan dibuatnya Keputusan TUN dan berhubung dengan cara dibuatnya Keputusan TUN tersebut bisa menimbulkan akibat hukum tidak sahnya KTUN. Dalam pandangan Ian Ellis-Jones 2001: 7) hal semacam itu dikategorikan sebagai unfairness karena penetapan dibuat dalam proses no hearing, artinya tidak mendengar secara memadai/mendapat persetujuan dari pihak-pihak yang dituju.

b.    jangka waktu yang ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya atau diumumkannya  suatu Keputusan TUN harus diperhatikan
Pengaturan mengenai syarat formil penetapan Keputusan objek sengketa TUN terdapat dalam Pasal 4 ayat (4) Permenakertrans No. 1 Tahun 1999 jo Kepmenakertrans No. KEP-226/Men/2000 tentang Upah Minimum yang mengatur bahwa “ Ketetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan selambat-lambatnya 40 (empat puluh) hari sebelum tanggal berlakunya upah minimum, akan tetapi Keputusan TERGUGAT nomor 752 tahun 2012 tertanggal 06 Desember 2012 baru ditandatangani dan ditetapkan tertanggal 06 Desember 2012. Jadi, hanya 26 (dua puluh) enam hari sebelum tanggal diberlakukan UMK Kota Batam 2013. Hal ini berarti terjadi keterlambatan waktu selama 2 (dua) minggu yang menyebabkan terjadinya pelanggaran terhadap syarat procedural penetapan KTUN objek sengketa TUN ditinjau dari peraturan dasar Keputusan objek sengketa tersebut.
Dalam teori Hukum Administrasi Negara, fase berlakunya suatu KTUN antara lain ditentukan dari syarat validitas, yaitu syarat mulai berlakunya suatu tindak administratif secara yuridis formail (saat valid/sahnya), yakni pada saat ditandatanganinya suatu KTUN tersebut oleh pejabat yang berwenang dan tidak bisa berlaku secara retroaktif. Hal ini menjadi justifikasi untuk menilai bahwa penetapan KTUN objek sengketa TUN tersebut telah melanggar syarat prosedur dalam teori Hukum Administrasi Negara. Tidak dipenuhinya syarat prosedural dalam penetapan KTUN yang telah ditentukan dalam peraturan dasar suatu KTUN, ditinjau dari doktrin Hukum Administrasi Negara bisa menjadi sebab tidak sahnya (onrechtmatigheid) suatu KTUN. J de Ridder dalam J de Graaf, dkk (editor) (2007) menegaskan hal itu dengan menyatakan bahwa administration should comply with basic legal standards such as equality, fairness and proportionality, and ensure that decisions are not made arbitrarily.

Kesimpulan:

1.    Keputusan Gubernur Kepulauan Riau tertanggal 06 Desember 2012 No. 752 Tahun 2012 tentang Penetapan Umum Minimum Kota (UMK) Batam Tahun 2013 mengandung kekurangan yuridis yang disebabkan oleh: a. ketidaksesuaian interpretasi menyangkut substansi yang ditetapkan sebagaimana yang diatur dalam peraturan dasarnya (Pasal 89 ayat (1) huruf b UU No. 13 Tahun 2003 jis Permenakertrans No. PER-01/MEN1999 dan Kepmenakertrans No. KEP-226/MEN/2000);
2.    Dalam proses penetapan Keputusan Gubernur Kepulauan Riau tertanggal 06 Desember 2012 No. 752 Tahun 2012 tentang Penetapan Umum Minimum Kota (UMK) Batam Tahun 2013 terlihat adanya pelanggaran terhadap syarat yang ditentukan sehubungan dengan persiapan dibuatnya Keputusan TUN dan berhubung dengan cara dibuatnya Keputusan TUN tersebut, yaitu syarat yang diatur pada Pasal 10 Kepmenakertrans No. KEP-226/Men/2000 tentang Upah Minimum.
3.    Ditinjau dari syarat prosedural dalam proses penetapan Keputusan Gubernur Kepulauan Riau tertanggal 06 Desember 2012 No. 752 Tahun 2012 tentang Penetapan Umum Minimum Kota (UMK) Batam Tahun 2013 telah melanggar limitasi waktu 40 (empat puluh) hari sebagaimana telah diatur secara tegas pada Pasal 4 ayat (4) Permenakertrans No. 1 Tahun 1999 jo Kepmenakertrans No. KEP-226/Men/2000 tentang Upah Minimum.
4.    Berdasarkan analisis hukum tersebut dapat disimpulkan bahwa penetapan Keputusan Gubernur Kepulauan Riau tertanggal 06 Desember 2012 No. 752 Tahun 2012 tentang Penetapan Umum Minimum Kota (UMK) Batam Tahun 2013 telah melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku dan AAUPB.


Daftar Pustaka

Ellies – Jones, Ian, 2001, Essential Administrative Law, second edition, Cavendish Pulishing, Sydney, Australia.

Graaf, KJ de, dkk (editor), 2007, Quality of Decision-Making in Public Law – Studies in Administrative Decision-Making in the Netherlands,Europa Law Publishing, Groningen, Amsterdam.

Kunnecke, Martina, 2006, Tradition and Change in Administrative Law – An Anglo-German Comparison, Springer-Verlag, Berlin.

W. Riawan Tjandra, 2012, Demokrasi Melawan Kekuasaan Melalui PTUN, Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta.




Lampiran : Biodata Ahli

Bio Data

    

Nama:  Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.
Tempat dan Tanggal Lahir: Madiun, 16 Mei 1969
Alamat kantor:
Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Jl. Mrican Baru No. 28 Yogyakarta 55281 Kotak Pos 1086 Telp. O274 – 514319, 561031 Fax. +62-274-580525 Website: //www.uajy.ac.id 
Alamat Rumah:
Dusun Sono RT 01 RW 33 Wedomartani Ngemplak Sleman DIY Telp. 0274 – 884224
HP. 08174120158 
Alamat E-mail:
Pendidikan dan Pelatihan:
  1. Lulus cumlaude dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang pada tahun 1993
  2.  Lulus cumlaude dari Magister Hukum Bidang Konsentrasi Hukum Kenegaraan Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada pada tahun 2003.
  3. Lulus cumlaude dari Program Doktor Ilmu Hukum Bidang Hukum Administrasi Negara UGM tahun 2009.

Beberapa pelatihan yang pernah diikuti antara lain:
  1. Penataran Belajar Mengajar Kopertis (1994)
  2. Penataran Penelitian Kopertis (1996).
  3. Pelatihan Bantuan Hukum LBH UII (1998)
  4. Lokakarya Class Action yang diselenggarakan oleh YLBHI – LBH Jakarta pada tahun 2000.
  5. Kursus Perijinan Lingkungan yang diselenggarakan oleh BKPSL & Lemlit Universitas Airlangga Surabaya pada tahun 2000.
  6. Kursus Comparative Administrative Law UGM-Maastricht (2006)
  7. Training of Materials Budget Oversight LGSP-USAID (2009)

Pengalaman Pekerjaan
  1. Lektor Kepala IV/A pada Fakultas Hukum dan Magister Ilmu Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
  2. Advokat.

Keahlian Khusus:
  1. Perancangan Peraturan Perundang-undangan (Legal Drafter)
  2. Ahli Hukum/Advokat

Pengalaman Jabatan:
  1. Sekretaris Pusat Bantuan dan Konsultasi Hukum (PBKH) FH Univ Atma Jaya Yogyakarta (2000-2001).
  2. Direktur Pasca Sarjana Universitas Atma Jaya Yogyakarta (2010-2012)

Pengalaman Organisasi:
  1. Ketua Litbang Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Wilayah DIY.
  2. Ikatan Advokat Indonesia Cabang Sleman
  3. Advisor pada Pusat Pengembangan Kebijakan Daerah (PPKD) (2007)
  4. Associate Research pada IRE-Yogyakarta
  5. Anggota PERADI.
  6. Dewan Pakar Asosiasi Pengajar Mata Kuliah Peradilan Konstitusi DIY.

Pengalaman Menjadi Fasilitator dan Pembicara Seminar
  1. Fasilitator dalam Training Pelayanan Publik Pemda di Pemda-pemda DIY dan Jateng yang diselenggarakan oleh Pokja PEMBARUAN di DIY(2004).
  2. Pembicara dalam seminar Pilkada yang diselenggarakan oleh AIPI bekerja sama dengan Pemerintah Kota Batam di Batam (Mei 2005).
  3. Legal Drafter untuk penyusunan regulasi Mukim dan Gampong kerjasama IRE dan LOGICA-AIPRD (Ausaid) 2006-2007 di Nanggroe Aceh Darussalam.
  4. Konsultan Legislative Strengthening Service Provider pada LGSP-USAID 2007-2009 untuk DPRD Kabupaten Boyolali, DPRD Kabupaten Karanganyar, DPRD Kabupaten Klaten, DPRD Kabupaten Jepara, DPRD Kabupaten Semarang, DPRD Kabupaten Pacitan, DPRD Kabupaten Kudus, DPRD Kabupaten Sukoharjo dan DPRD Kabupaten Kebumen.
  5. Legal Drafter untuk beberapa DPRD dalam penyusunan Peraturan Daerah antara lain: Penyusunan Perda Pengelolaan Barang Milik Daerah DPRD Boyolali (2008
  6. Narasumber dalam Workshop Transparansi dan Informasi Kebijakan Publik di Kabupaten Gunung Kidul (8 Desember 2007).
  7. Narasumber dalam Seminar “Pola Organisasi Kelembagaan Daerah Menurut Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2001 tentang Pola Organisasi Perangkat Daerah” di Kabupaten Kuloprogo (3 Desember 2007).
  8. Konsultan pada Proyek Peningkatan Kapasitas Berkelanjutan untuk Desentralisasi (Sustainable Capacity Building for Decentralization Project) ADB Loan No. 1964-I NO di Pemkab Bantul, DIY (2007-2008).
  9. Legal Specialist pada PT Duta Harimurti and Associates (2009)
  10. Ahli dan Legal Drafter untuk penyusunan Raperda Standar Pelayanan Pendidikan dan Raperda Rumput Laut kerja sama Bina Swagiri/Fitra Tuban dan DPRD Provinsi Maluku.
  11. Narasumber untuk berbagai bimbingan tekhnis Pemerintah Daerah dan DPRD dari berbagai daerah.
  12. Konsultan pada Proyek Peningkatan Kapasitas Berkelanjutan untuk Desentralisasi (Sustainable Capacity Building for Decentralization Project) ADB Loan di Pemkab Bantul, DIY (2011).
13.Saksi Ahli dalam Pemeriksaan Perkara Tipikor atas permintaan menjadi ahli dari KPK-RI dalam kasus pengadaan outsourcing di PLN Disjatim dengan tersangka Hariadi Sadono, dalam kasus pengadaan Outsourcing di PLN Wilayah Lampung dengan terdakwa Budi Harsono dan George Kumaat.
14. Saksi Ahli dalam Pemeriksaan sengketa tata usaha negara dalam persidangan perkara No. 145/G/2011/PTUN-Jkt di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta tanggal 17 Januari 2012 dalam perkara WALHI dan Gema Alam melawan Men-Negara Lingkungan Hidup RI.
  1. Tenaga Ahli Riset Dana Ad Hoc DPID kerjasama Kementerian Keuangan RI – PT Sinergi Visi Utama bulan Mei-Juni 2012.
  2. Legal Drafter Penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten Lingga dan Nias Barat di Sumatera, 2012.
Publikasi:
  1. Hukum Acara PTUN diterbitkan oleh Universitas Atma Jaya (edisi revisi) 2010.
  2. Teori dan Praktik PTUN diterbitkan oleh Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2011.
  3. PTUN – Upaya Mendorong Terwujudnya Pemerintah yang Bersih dan Berwibawa (Uajy Press, 2009)
  4. Dinamika Peran Pemerintah Dalam Perspektif Hukum Administrasi diterbitkan oleh Universitas Atma Jaya (2005).
  5. Litis Domini Principle diterbitkan oleh Universitas Atma Jaya (2004).
  6. Democratic Good Governance diterbitkan Pokja Pembaruan (2005.
  7. Hukum Keuangan Negara, Grasindo, Jakarta, 2006.
  8. Bergerak Menuju Mukim dan Gampong (2007).
  9. Legislative Drafting – Teori dan Teknik Penyusunan Peraturan Daerah (2006).
  10. Menulis lebih dari 60 artikel pada media massa Kompas, Seputar Indonesia, Suara Pembaruan, Kedaulatan Rakyat, Koran Tempo, Suara Merdeka, Bernas Jogja dan Harian Jogja.





[1] Legal opinion Ahli Hukum Administrasi Negara dalam sidang tanggal 5 Maret 2013 di PTUN Tanjung Pinang, Batam, Kepulaun Riau dalam perkara register nomor 02/G/2013/PTUN-TPI tertanggal 14 Januari 2013.
[2] Penulis adalah Lektor Kepala bidang Hukum Administrasi  Negara dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...