New
Normal
Di Tengah Pandemi Covid-19
Oleh: W. Riawan Tjandra
Pengajar pada FH Universitas Atma
Jaya Yogyakarta
Kebijakan new normal saat ini banyak digaungkan di berbagai negara, termasuk
di Indonesia, di tengah pandemi Covid-19 yang kian meluas dan menginfeksi
jutaan orang di dunia, lebih dari seribu orang meninggal di Indonesia.
Perekonomian yang mulai terguncang memaksa sejumlah negara melonggarkan
kebijakan terkait mobilitas warganya masing-masing, termasuk Indonesia yang
mempersiapkan memasuki masa new normal.
New
normal adalah perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal,
hanya saja perubahan ini ditambah dengan menerapakan protokol kesehatan guna
mencegah terjadinya penularan Covid-19. Esensi dari new normal adalah penyesuaian pola hidup. Protokol kesehatan yang
sering dijadikan rujukan dalam implementasi new
normal adalah menjaga jarak sosial (social
distancing) dan menjaga jarak fisik dengan orang lain (physical distancing).
Beberapa pakar kesehatan memprediksi bahwa vaksin bagi Covid-19 diperkirakan
baru bisa ditemukan pada tahun 2021. Hal ini berarti kehidupan dalam suasana new normal harus tetap dijalani oleh
masyarakat paling sedikit sampai pada tahun 2021, bahkan kemungkinan bisa lebih
lama lagi.
Kebijakan mengenai new normal sudah dituangkan dalam Keputusan
Kementerian Kesehatan RI Nomor HK 01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan
Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri
Dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi. Kasus positif
Covid-19 di Indonesia hingga saat ini masih tergolong tinggi, meskipun jumlah
pasien yang sembuh juga terus meningkat secara konsisten. Sampai saat ini,
bahkan kondisi di Indonesia belum melewati puncak pandemi.
Jika mencermati panduan new normal yang dikeluarkan oleh Kemenkes di atas, sesungguhnya
lebih memperlihatkan upaya untuk mengurangi risiko terpapar Covid-19, tetapi memang
tidak menjamin terhadap tidak adanya penularan. Hal itu disebabkan resiko penularan bisa
ditularkan oleh orang yang tanpa gejala (OTG). Fasilitas medis dan tenaga medis
sendiri saat ini sudah cukup kewalahan menangani para penderita Covid-19 yang
jumlahnya juga belum memperlihatkan kurva landai atau bahkan menurun. Kondisi
ini perlu dijadikan momentum untuk melakukan kajian secara menyeluruh dan
perbaikan terhadap kualitas sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Banyak
daerah terpencil masih mengalami kesenjangan dalam pelayanan kesehatan
dibandingkan di kawasan perkotaan. Sementara, penanganan terhadap pandemi
Covid-19 ini membutuhkan kapasitas pelayanan kesehatan dengan standar kualitas
yang tinggi. Sistem hukum kesehatan yang ada saat ini juga masih jauh dari
memadai untuk menjadi kerangka hukum kebijakan yang mampu mendukung sistem
pelayanan kesehatan secara memadai dan komprehensif. Masih terdapat celah hukum
disana sini yang belum mampu mendukung pelayanan kesehatan publik secara
memadai, misalnya pengaturan mengenai keseimbangan hak dan kewajiban bagi para
tenaga medis, perlindungan hak-hak pasien, pengaturan mengenai distribusi obat
dan fasilitas kesehatan lainnya.
Pemerintah saat ini memang menghadapi dilema
untuk tetap bertahan menuntaskan penanganan pandemi Covid-19 melalui sejumlah
kebijakan PSBB di daerah-daerah yang terdampak, sampai kurva positif Covid-19
betul-betul menunjukkan angka penurunan berhadapan dengan tekanan krisis
ekonomi yang melanda banyak negara terpapar Covid-19 termasuk Indonesia. Paling
tidak, kini ada 10 (sepuluh) jenis usaha yang terpuruk sebagai dampak Covid-19,
yaitu sektor hotel dan pariwisata;
penerbangan; Meeting, Incentives,
Conference, Exhibitions (MICE); rumah makan/restoran; bioskop dan konser;
olah raga; mall dan ritel; consumer
electronic; otomotif dan bahan bakar. Kondisi tersebut bisa memicu terjadinya
dampak berikutnya ke sektor rumah tangga sebagai akibat gelombang massal PHK
tenaga kerja. Jika dampak tersebut tak terkendali bisa berpotensi terjadinya
anomali sistem sosial karena rumah tangga-rumah tangga kehilangan sumber
penghasilan.
Jika mencermati kondisi yang terjadi sebagai
dampak Covid-19 di atas, sesungguhnya kebijakan yang diambil pemerintah untuk
menerapkan new normal dikhawatirkan
lebih cenderung bias kepentingan ekonomi daripada kebijakan yang mengarusutamakan
faktor kesehatan masyarakat. Tetapi, dihadapkan pada pilihan sulit itu,
pemerintah terlihat berusaha mengambil jalan tengah dengan tetap melakukan
kebijakan new normal dikaitkan dengan
kondisi tiap daerah yang dinilai sudah mulai mengalami kurva landai atau
menurun dari Covid-19. Namun, tetap saja, faktor kedisplinan dan kepatuhan masyarakat
yang akan menguji kesahihan kebijakan yang diambil pemerintah tersebut, agar
tak menyebabkan datangnya gelombang kedua Covid-19 seperti yang terjadi di RRT,
Korea, dan beberapa negara lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar