Batas
Hukum Administrasi Negara dan Tipikor dalam
Perspektif
Hukum Administrasi Negara
0leh:
Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.
Ketua
Bagian HAN FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Kasus
Posisi (Ditinjau dari Aspek Kebijakan BPPN)
(Acuan: Surat Dakwaan
Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 40/Tut.01.04/24/05/2018
tanggal 02 Mei 2018 sebagaimana termuat dalam Putusan PT DKI No.
29/PID.SUS-TPK/2018/PT.DKI)
v SYAFRUDDIN
ARSYAD TEMENGGUNG selaku Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)
periode Tahun 2002 sampai dengan Tahun 2004 yang diangkat berdasarkan Surat
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 73/M Tahun 2002 tanggal 22 April
2002, bersama-sama dengan DOROJATUN KUNTJORO-JAKTI, SJAMSUL NURSALIM dan ITJIH
S. NURSALIM, pada sekitar tanggal 21 Oktober 2003, tanggal 29 Oktober 2003,
tanggal 13 Februari 2004, tanggal 26 April 2004, bertempat di Kantor BPPN di
Wisma Danamon Lantai 15 Jalan Jendral Sudirman Kav. 45 - 46 Jakarta telah
melakukan atau turut serta melakukan perbuatan, secara melawan hukum yaitu
Terdakwa selaku Ketua BPPN melakukan penghapusan piutang Bank Dagang Nasional
Indonesia (BDNI) kepada petani tambak (petambak) yang dijamin oleh PT DIPASENA
CITRA DARMADJA (PT DCD) dan PT WACHYUNI MANDIRA (PT WM) serta menerbitkan Surat
Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham meskipun SJAMSUL NURSALIM belum
menyelesaikan kewajibannya terhadap kesalahan dalam menampilkan piutang BDNI
kepada petambak untuk diserahkan kepada BPPN seolah-olah sebagai piutang yang
lancar (misrepresentasi), yang bertentangan dengan TAP MPR-RI Nomor X/MPR/2001
ditetapkan tanggal 9 November 2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) oleh Lembaga Tinggi Negara
pada Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2001, Undang-undang RI Nomor 25 Tahun 2000
tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000 – 2004, Pasal 37
ayat (1) dan (2) huruf c Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, Keputusan Presiden RI Nomor 34 Tahun 1998 tentang Tugas
dan Kewenangan BPPN, Keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi,
Keuangan dan Industri selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK)
Nomor KEP.01.A/M.EKUIN/01/2000 tanggal 20 Januari 2000 tentang Kebijakan
Restrukturisasi dan Penyelesaian Pinjaman Bagi Debitur di BPPN, Keputusan KKSK
Nomor KEP.01/K.KKSK/05/2002 tanggal 13 Mei 2002 dan Keputusan KKSK Nomor
Kep.01/K.KKSK/10/2002 tanggal 7 Oktober 2002, melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yaitu memperkaya SJAMSUL
NURSALIM sejumlah Rp.4.580.000.000.000,00 (empat triliun lima ratus delapan
puluh miliar rupiah), yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, yaitu merugikan keuangan negara sejumlah Rp.4.580.000.000.000,00 (empat
triliun lima ratus delapan puluh miliar rupiah).[1]
v TAP
MPR-RI Nomor X/MPR/2001 ditetapkan tanggal 9 Nopember 2001 tentang Laporan
Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI)
oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2001, dalam Hasil
Pembahasan terkait pengelolaan dan penjualan aset-aset yang dikelola BPPN,
memerintahkan kepada Presiden antara lain : 1. Pengelolaan dan pemeliharaan
aset-aset BPPN diarahkan untuk meningkatkan produktivitas dan nilai aset; 2.
Mempercepat penjualan aset-aset yang ada di BPPN dengan tingkat pengembalian
harga (recovery rate) yang wajar dengan prosedur yang transparan dan akuntabel
serta mengupayakan penukaran aset dengan obligasi (asset to bond swap); 3. Pemerintah perlu konsisten melaksanakan
MSAA (Master Settlement and Acquisition Agreement) dan MRA (Master of
Refinancing Agreement) dan bagi mereka yang belum memenuhi kewajibannya sesuai
dengan UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas Bab IV butir C Nomor 2,3,4 perlu
diambil tindakan tegas;
v Undang-undang
Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000
– 2004, pada Bab IV. Pembangunan Ekonomi, diantaranya mengatur langkah-langkah
penyelesaian MSAA, yaitu : 1. Bagi debitur yang belum menandatangani dan akan
menandatangani MSAA perlu dikembangkan mekanisme insentif; 2. Bagi debitur yang
tidak menandatangani MSAA ataupun yang sudah menandatangani tetapi tidak dapat
memenuhi perjanjian tersebut (cidera janji) dapat dilakukan penyempurnaan
terhadap MSAA dan/atau dikenakan penalti dan; 3. Bagi debitur yang telah
menandatangani dan telah memenuhi MSAA perlu diberikan jaminan kepastian hukum.
v UU
Nomor 1 Tahun 2004 Pasal 37 ayat (1) dan (2) huruf c yang menegaskan : (1)
Piutang negara/daerah dapat dihapuskan secara mutlak atau bersyarat dari
pembukuan, kecuali mengenai piutang negara/daerah yang cara penyelesaiannya
diatur tersendiri dalam undang-undang; (2) Penghapusan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), sepanjang menyangkut piutang pemerintah pusat, ditetapkan oleh :
(c) Presiden dengan persetujuan DPR untuk jumlah lebih dari
Rp.100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
v Keputusan
Presiden Nomor 34 Tahun 1998 tentang Tugas dan Kewenangan BPPN, dalam pasal 8
mengatur bahwa dalam hal Bank Dalam Penyehatan tidak dapat disehatkan lagi,
maka selain kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), BPPN atas
dasar pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) berwenang pula :
1. Mengambil alih pengoperasian Bank; 2. Menentukan tingkat kompensasi yang
dapat diberikan kepada direksi, komisaris dan karyawan Bank; 3. Mengambil alih
pengelolaan termasuk penilaian kembali (revaluasi) atas kekayaan yang dimiliki
Bank; 4. Melakukan penggabungan, peleburan dan atau akuisisi Bank; 5.
Menguasai, menjual, mengalihkan dan/atau melakukan tindakan lain yang seluas-luasnya
atas suatu hak kekayaan milik Bank yang berada pada pihak ketiga, baik di dalam
maupun di luar Indonesia; 6. Meminta kepada pemegang saham yang terbukti ikut
serta baik secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan timbulnya kerugian
Bank untuk sepenuhnya bertanggung jawab atas kerugian tersebut sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; e. Keputusan Menteri Negara
Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri selaku Ketua KKSK Nomor
KEP.01.A/M.EKUIN/01/2000 tentang Kebijakan Restrukturisasi dan Penyelesaian
Pinjaman Bagi Debitur di BPPN tanggal 20 Januari 2000 yang ditandatangani KWIK
KIAN GIE, pada lampirannya disebutkan
“Bila jumlah aset dan/atau uang tunai yang diserahkan tidak cukup untuk
menyelesaikan jumlah hutang yang tertunggak, maka akan dilakukan penghapus
bukuan atas jumlah hutang yang masih tersisa. Adapun pedoman-pedoman yang dapat
digunakan BPPN dalam mempertimbangkan penghapus bukuan adalah sebagai berikut:
a. Tidak terdapat ketidakwajaran (no-
irregularity) sebagaimana butir I
pada halaman 3; b. Debitur dan Pemberi Jaminan telah mengerahkan seluruh
kemampuannya untuk membayar kewajiban hutangnya; c. Tidak ada kegiatan usaha atau perusahaan
telah tutup; f. Keputusan KKSK Nomor KEP.01/K.KKSK/05/2002 tanggal 13 Mei 2002
yang diantaranya berbunyi “Guna memantapkan proses penjualan aset AMK BPPN ini,
kepada BPPN diminta untuk melakukan langkah-langkah diantaranya (1) Atas
aset-aset yang terkait dengan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS)
dikoordinasikan penanganannya dengan Tim AMI yang dibentuk untuk menangani
masalah PKPS”; g. Keputusan KKSK Nomor Kep.01/K.KKSK/10/2002 tanggal 7 Oktober
2002 yang diantaranya menetapkan tindak lanjut atas penanganan MSAA – SN
sebagai berikut : 1. Terkait dengan kewajiban SJAMSUL NURSALIM untuk melakukan
pembayaran dimuka sebesar Rp.1 Triliun, SJAMSUL NURSALIM diminta untuk segera
menyelesaikan kekurangan pembayaran kewajibannya sebesar Rp.428 miliar secara
mayoritas tunai; 2. SJAMSUL NURSALIM diminta untuk segera melakukan penyempurnaan
pengalihan aset-aset yang telah diperjanjikan sesuai Master Settlement
Aqcuisition Agreement (MSAA); dan 3.
BPPN diminta melaporkan rincian lebih lanjut penanganan Penyelesaian Kewajiban
Pemegang Saham (PKPS) SJAMSUL NURSALIM termasuk pelaksanaan Financial Due
Dilligence (FDD) dan penyelesaian permasalahan PT DCD untuk mendapatkan
persetujuan KKSK.
Beberapa
Catatan dari Aspek Hukum Administrasi Negara.
Ø Karakter dari Tindakan Hukum Ketua BPPN
Mencermati posisi kasus di atas, perlu
dianalisis terlebih dahulu karakter dari tindakan hukum yang dilakukan oleh
Ketua BPPN dalam bentuk penghapusan piutang Bank Dagang Nasional Indonesia
(BDNI) kepada petani tambak (petambak) yang dijamin oleh PT DIPASENA CITRA
DARMADJA (PT DCD) dan PT WACHYUNI MANDIRA (PT WM) serta menerbitkan Surat
Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham meskipun SJAMSUL NURSALIM belum
menyelesaikan kewajibannya terhadap kesalahan dalam menampilkan piutang BDNI
kepada petambak untuk diserahkan kepada BPPN seolah-olah sebagai piutang yang lancar
(misrepresentasi). Tindakan tersebut memang memenuhi karakter sebagai tindakan
hukum administrasi negara, yang dalam teori Hukum Administrasi Negara suatu
tindakan pejabat tata usaha negara untuk dapat dikatakan sebagai tindakan hukum
administrasi negara harus memenuhi unsur-unsur: 1. Perbuatan itu
dilakukan oleh aparat pemerintahan dalam kedudukannya sebagai penguasa maupun
sebagai alat pemerintahan dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri; 2. Perbuatan
tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan
fungsi pemerintahan; 3. Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana
untuk menimbulkan akibat hukum di bidang hukum administrasi; 4. Perbuatan
tersebut menyangkut pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat; 5. Perbuatan
itu harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.[2]
Hal itu dapat dibandingkan dengan pendapat dari Claudiu Angelo Gherghina dalam
papernya berjudul “Normative Administrative Act”[3]
yang mengatakan bahwa “the unilateral
act with individual or normative nature issued by a public authority, in
exercising a public power, to organize law enforcement or to enforce the law
itself in concrete, which creates, modifies or extinguishes legal relations.
Although the text of the law does not specifically mention, the administrative
act can be defined as being an administrative act, only if its effects create,
modify or extinguish relations of administrative law. A legal act cannot be
defined as an administrative law, unless its effects regulate specific
standards of administrative law.” Dengan demikian, untuk dapat
dikatakan sebagai tindakan hukum administrasi negara harus memenuhi unsur
subyektif dan obyektf. Unsur subyektif yang harus dipenuhi adalah: 1. Pihak
yang melakukan tindakan harus pejabat yang berkedudukan
sebagai penguasa atau alat pemerintahan; dan 2. Dimaksudkan oleh pejabat yang bersangkutan untuk menimbulkan
akibat di bidang hukum administrasi negara[4].
Sedangkan unsur obyektif yang harus dipenuhi adalah: 1. Tindakan yang dilakukan
oleh pejabat tata usaha negara tersebut didasarkan
atas norma hukum administrasi negara dan terletak di ranah hukum administrasi negara; 2. Tindakan tersebut
dilakukan dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan ditujukan untuk melindungi
kepentingan umum.
Ø Syarat sahnya tindakan Hukum Administrasi Negara
Suatu tindakan Hukum Administrasi
Negara dikatakan sah apabila memenuhi syarat apabila tindakan hukum tersebut
sesuai dengan: a. peraturan perundang-undangan; dan b.
AUPB (Pasal 8 ayat 2 UU Adpem).Jika dicermati dari hukum positif yang berlaku
saat ini di bidang Hukum Administrasi Negara, Pasal 9 UU Adpem mengatur beberapa landasan
hukum penting terkait keabsahan tindakan badan atau pejabat tata usaha negara,
antara lain: (1) Setiap Keputusan dan/atau Tindakan wajib berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan AUPB; (2) Peraturan perundang-undangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar Kewenangan; dan b. peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan; (3)
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menetapkan dan/atau melakukan
Keputusan dan/atau Tindakan wajib mencantumkan atau menunjukkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar Kewenangan dan dasar dalam
menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan. Tindakan badan atau
pejabat tata usaha negara dengan demikian harus selalu mengacu pada produk
hukum yang menjadi dasar tindakan badan atau pejabat tata usaha negara
tersebut, termasuk dan terutama terhadap
tindakan tata usaha negara yang merupakan manifestasi penggunaan wewenang tata
usaha negara yang dituangkan dalam bentuk keputusan tata usaha negara (beschikking) maupun peraturan (regeling).
Ditinjau dari teori Hukum Administrasi Negara, karena Keputusan Tata Usaha Negara
merupakan tindakan in concreto dari pejabat tata usaha negara untuk
melaksanakan perintah peraturan perundang-undangan, maka, tindakan pejabat tata
usaha negara tersebut tidak boleh melanggar syarat, kriteria normatif dan
batasan-batasan dari peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dari
tindakan badan atau pejabat tata usaha negara tesebut. Jika tindakan badan atau
pejabat tata usah negara melanggar syarat, kriteria normatif dan
batasan-batasan dari peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dari
tindakan badan atau pejabat tata usaha negara tesebut, maka tindakan tersebut Bisa
dikatakan sebagai tindakan melawan hukum (contra
legem), menyalahgunakan wewenang (abuse
of prower), Mencampuradukkan wewenang (mixed
of power) atau melampaui wewenang (excess of power) . Konsekuensi dari
tindakan hukum tersebut bisa diukur berdasarkan norma hukum administrasi negara
atau norma hukum pidana, satu dan lain hal harus dikaitkan dengan karakter
subyektif dan obyektif di atas (motif, dasar hukum, dan akibat hukum yang
ditimbulkan). Manakalah suatu tindakan ingin dikategorikan sebagai tindakan
diskresi, dalam Hukum Administrasi Negara tetap harus memenuhi batas atas dan
batas bawah. Batas atas dari tindakan diskresi yang sah adalah undang-undang,
artinya tindakan diskresi tidak boleh melanggar undang-undang secara kontinyu.
Batas bawah dari tindakan diskresi adalah kepentingan umum (bonum commune).
Artinya, harus ada alasan untuk melindungi kepentingan umum berdasarkan
alasan-alasan yang rasional.
Ø Batas Hukum
Administrasi Negara dan Hukum Pidana
Ditinjau
secara normatif, memang disini timbul titik persoalan jika dikaitkan dengan
pengaturan soal kategori penyalahgunaan wewenang. Pasal 3 UU Tipikor menyatakan bahwa penyalahgunaan wewenang
yang dapat berujung pada kerugian uang negara adalah termasuk korupsi, dipidana
dengan hukuman maksimal penjara seumur hidup atau paling singkat selama satu
(1) tahun. Sementara, rumusan Pasal 17 UU No 30/2014 menyatakan bahwa badan
dan/atau pejabat pemerintahan dilarang menyalagunakan wewenang. Cukup menarik,
karena satu perkara hukum (penyalahgunaan wewenang) diatur di dalam dua norma
UU yang berbeda: UU No 31/1999 memasukkannya sebagai pelanggaran pidana,
sedangkan UU No 30/2014 memasukkannya sebagai pelanggaran administrasi.[5]
Permasalahan muncul ketika perkara yang sama diajukan secara bersamaan di dua
pengadilan tersebut. MA memang sudah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung
(Perma), yang mengatur bahwa perkara pidana harus lebih dahulu diselesaikan dan
mengesampingkan perkara administrasi, meskipun secara teoretis aturan tersebut
sedikit bermasalah karena asas hukum mengatur Lex specialis derrogat legi generali. Guna menentukan batas tindakan hukum pejabat tata usaha
negara termasuk dalam lingkup Hukum Administrasi Negara atau Hukum Pidana
kiranya harus diselesaikan dengan mencermati beberapa hal berikut: Pertama, memang dalam HAN berlaku asas in cauda venenum (di ekor ada
racun), artinya sanksi pidana dijatuhkan sebagai upaya hukum yang terakhir
setelah sanksi administratif tidak efektif untuk dilaksanankan (bandingkan
dengan asas ultimum remidium bagi sanksi pidana). Namun, UU Tipikor telah
menetapkan bahwa tindak pidana korupsi bersifat extra-ordinary. Kedua, dalam Hukum Administrasi Negara memang
berlaku asas
Nebis Vexari, artinya sanksi
administratif yang karakternya sejenis tidak boleh dijatuhkan bersamaan.
Misalnya, sanksi paksaan pemerintahan (bestuursdwang)
tidak dapat dijatuhkan bersamaan dengan sanksi uang paksa (dwangsom), karena uang paksa merupakan alternatif pengganti
manakala paksaaan pemerintah (bestuursdwang)
tidak dapat dilakukan. Namun, sifat sanksi administratif juga memungkinkan
berlakunya kumulasi ekternal, artinya sanksi administratif dapat dijatuhkan
bersamaan dengan sanksi di bidang hukum lain, misalnya administratif dapat
dijatuhkan bersamaan dengan sanksi pidana. Dan, ketiga, meskipun hal ini sampai kini masih
menimbulkan polemik di masyarakat, faktanya
Undang-Undang No
31/1999 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi juncto UU No 20/2001 tentang Perubahan atas UU No 31/1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menjadi landasan bagi upaya pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana korupsi mengalami perubahan mendasar. Perubahan
pertama terjadi pada 24 Juli 2006 ketika Mahkamah Konstitusi melalui putusan No
003/PUU-IV/2006 menyatakan bahwa norma Penjelasan Pasal 22 Ayat (1) UU Tindak
Pidana Korupsi (Tipikor) bertentangan dengan konstitusi sehingga menjadi delik
formil. Perubahan kedua terjadi pada 25 Januari 2017 ketika MK melalui
putusannya No 25/PUU-XIV/2016 menyatakan, frasa kata "dapat" dalam
rumusan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan konstitusi sehingga
"tidak mengikatnya" kata "dapat" menjadikan Pasal 2 dan
Pasal 3 UU Tipikor menjadi delik materiil. Mahkamah
Konstitusi dalam putusannya No
25/PUU-XIV/2016 menilai Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor
terkait penerapan unsur merugikan keuangan negara telah bergeser dengan
menitikberatkan adanya akibat (delik materil). Tegasnya, unsur merugikan keuangan
negara tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potential loss),
tetapi harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual
loss) dalam tipikor. “Pencantuman
kata ‘dapat’ membuat delik kedua pasal tersebut menjadi delik formil. Padahal,
praktiknya sering disalahgunakan untuk menjangkau banyak perbuatan yang diduga
merugikan keuangan negara termasuk kebijakan atau keputusan diskresi atau
pelaksanaan asas freies ermessen yang bersifat mendesak dan
belum ditemukan landasan hukumnya. Ini bisa berakibat terjadi kriminalisasi
dengan dugaan terjadinya penyalahgunaan wewenang. Dengan demikian jika hanya
sekadar menyimpulkan dari pendekatan dogmatik hukum batas antara Hukum
Adminsitrasi Negara dengan Hukum Pidana (Tipikor) adalah: a. efektif tidaknya penerapan
norma Hukum Administrasi Negara untuk mengukur tindakan badan atau pejabat tata
usaha negara; b. motif dari tindakan pejabat tata usaha negara dengan mengukur
akibat hukum yang ditimbulkannya; dan 3. Sifat kerugian keuangan negara yang
menurut Putusan MK No
25/PUU-XIV/2016 harus bersifat
nyata-nyata terjadi (actual loss). Sebelum dikeluarkan putusan MK No.
25/PUU-XIV/2016 untuk menilai suatu tindakan pejabat dapat dikualifikasikan
sebagai penyalahgunaan wewenang yang dapat ditempatkan di ranah hukum pidana
korupsi cukup dipenuhi unsur fraud. Fraud pada dasarnya merupakan serangkaian ketidakberesan (irregularities)[6] dan perbuatan melawan
hukum (illegal act) yang dilakukan
oleh
seseorang guna mendapatkan
keuntungan dan merugikan orang lain atau menguntungkan orang lain secara
melawan hukum. Menurut The Association of Certified Fraud
Examiners (ACFE) yang merupakan organisasi profesional yang bergerak di bidang
pemeriksaan atas kecurangan, fraud (kecurangan) dapat dikategorikan dalam tiga
tingkatan yang disebut Fraud Tree,
yaitu sebagai berikut [7]:a. Penyimpangan
atas asset (Asset Misappropriation). Asset
misappropriation meliputi penyalahgunaan/pencurian aset atau harta perusahaan
atau pihak lain. Ini merupakan bentuk fraud yang paling mudah dideteksi karena
sifatnya yang tangible atau dapat diukur/dihitung (defined value); b. Pernyataan palsu
atau salah pernyataan (Fraudulent
Statement). Fraudulent statement meliputi tindakan yang
dilakukan oleh pejabat atau eksekutif suatu perusahaan atau instansi pemerintah
untuk menutupi kondisi keuangan yang sebenarnya dengan melakukan rekayasa
keuangan (financial engineering) dalam penyajian laporan keuangannya untuk
memperoleh keuntungan atau mungkin dapat dianalogikan dengan istilah window
dressing; c. Korupsi (Corruption).
Jenis fraud ini yang paling sulit dideteksi
karena menyangkut kerja sama dengan pihak lain seperti suap dan korupsi, di
mana hal ini merupakan jenis yang terbanyak terjadi di negara-negara berkembang
yang penegakan hukumnya lemah dan masih kurang kesadaran akan tata kelola yang
baik sehingga faktor integritasnya masih dipertanyakan. Fraud jenis ini sering
kali tidak dapat dideteksi karena para pihak yang bekerja sama menikmati
keuntungan (simbiosis mutualisme). Termasuk didalamnya adalah penyalahgunaan
wewenang/konflik kepentingan (conflict of
interest), penyuapan (bribery),
penerimaan yang tidak sah/illegal (illegal
gratuities), dan pemerasan secara ekonomi (economic extortion).
Ø Kesimpulan
Mencermati rangkaian landasan hukum
dari Keputusan Ketua BPPN di atas dalam melakukan penghapusan piutang Bank
Dagang Nasional Indonesia (BDNI) kepada petani tambak (petambak) yang dijamin
oleh PT DIPASENA CITRA DARMADJA (PT DCD) dan PT WACHYUNI MANDIRA (PT WM) serta
menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham meskipun SJAMSUL NURSALIM
belum menyelesaikan kewajibannya terhadap kesalahan dalam menampilkan piutang
BDNI kepada petambak untuk diserahkan kepada BPPN seolah-olah sebagai piutang
yang lancar (misrepresentasi) dapat
dinilai sebagai berikut: Pertama, Jika
sudah dapat dibuktikan adanya pelanggaran syarat-syarat dan batasan-batasan
dalam regulasi untuk melakukan tindakan hukum administrasi negara tersebut
sehingga jika motifnya mengandung unsur fraud
dan akibat hukumnya menyimpang dari tujuan pemberian wewenang terhadapnya,
tindakan tersebut tidak lagi terletak di ranah Hukum Administrasi Negara dan
justru dapat diletakkan di ranah Hukum Pidana Korupsi. Apalagi sesungguhnya
sudah ada audit investigatif BPK yang menemukan adanya 4 (empat) penyimpangan
dalam Keputusan Ketua BPPN. Kedua, Jika diukur dari sudut
pengambilan kebijakan, batas Hukum Administrasi dinilai terlampaui (termasuk
jika digunakan alasan diskresi), manakala batas atas dan batas bawah keabsahan
tindakan diskresi dalam Keputusan Ketua BPPN dalam kasus tersebut dilampaui.
Bahkan, jika diukur dari keberadaan
Inpres Nomor 8 tahun 2002 sebagai beleidregel
atau policy rule tentang Pemberian
Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya
atau Tindakan Hukum Kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya
Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, mengingat kondisi-kondisi
pelaksanaan Inpres tersebut yang tidak dipenuhi dalam penerbitan SKL Ketua
BPPN, yaitu Surat Nomor SKL-22/PKPS-BPPN/0404 perihal Pemenuhan
Kewajiban Pemegang Saham kepada SJAMSUL NURSALIM. Surat tersebut menyatakan
SJAMSUL NURSALIM telah menyelesaikan kewajiban Penyelesaian Kewajiban Pemegang
Saham (PKPS) sebesar Rp.28.408.000.000.000,00 (dua puluh delapan triliun empat
ratus delapan miliar rupiah) kepada BPPN, termasuk penyelesaian seluruh
kewajiban-kewajiban lainnya sebagaimana dipersyaratkan dalam perjanjian PKPS.
Kaki
Merapi, Jumat Pahing, 26 Juli 2019
[1]
Audit
investigatif yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam laporan
hasil audit No.12/LHP/XXI/08/2017 menemukan 4 (empat) penyimpangan dalam
pemberian surat keterangan lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang
saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Pertama, terjadi
misrepresentasi utang petambak sebesar Rp 4,8 triliun; kedua, dilakukan
pengalihan penanganan aset kredit tanpa melibatkan divisi aset manajemen
investasi (AMI); Ketiga, ditemukan fakta bahwa dalam persetujuan KKSK atas
penyelesaian MSAA, Kepala BPPN tidak memberikan informasi lengkap bahwa Sjamsul
masih punya kewajiban tambahan karena ada misrepresentasi; Keempat, Kepala BPPN
menandatangani akta penyelesaian akhir pada 12 april 2004. Kemudian,
menandatangani SKL kepada Sjamsul pada 26 April 2004. Padahal Sjamsul belum
menyelesaikan misrepresentasi piutang Rp 4.8 triliun. Misrepresentasi adalah
pelaggaran jaminan atas pernyataan Sjamsul. Itu dapat diminta ganti rugi sesuai
MSAA (https://nasional.kompas.com/read/2018/08/06/13122581/bpk-temukan-4-penyimpangan-pemberian-skl-blbi-kepada-sjamsul-nursalim.)
[2]
Muchsan, Beberapa Catatan tentang Hukum
Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi Negara di Indonesia,
Liberty, Yogyakarta, 1981, halaman 18-19
[3] RSP
• No. 51 • 2016: 120-130, http://cis01.central.ucv.ro/revistadestiintepolitice/files/numarul51_2016/11.pdf
[4]
Dengan demikian motif tindakan pejabat tersebut
harus sungguh didasarkan pertimbangan untuk menimbulkan akibat di bidang hukum
administrasi negara, tidak boleh ada motif terselubung lain yang menyebabkan
tindakan itu justru berada di ranah bidang hukum lain, seperti bidang hukum
pidana atau bidang hukum keperdataan. Motif harus dihubungkan dengan akibat
hukum yang ditimbulkan dan syarat-syarat dipenuhinya tindakan tersebut untuk
memenuhi karakter sebagai tindakan hukum administrasi negara. Ditinjau dari
aspek normatif Hukum Administrasi Negara, dasar dari tindakan tata usaha negara
harus selalu memenuhi asas legalitas (rechtsmatigheid
beginsel) dan asas kepastian hukum (rechtszekerheidsbeginsel).
Bdk. Hal itu sekarang dituangkan pada Pasal 8 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan (UU Adpem) yang menyatakan bahwa Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menggunakan Wewenang wajib berdasarkan: a.
peraturan perundang-undangan; dan b. AUPB. Demikian pula, Pasal 9 UU Adpem juga
mengatur beberapa landasan hukum penting, antara lain: (1) Setiap Keputusan
dan/atau Tindakan wajib berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan dan
AUPB; (2) Peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi: a. peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar Kewenangan; dan b.
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dalam menetapkan dan/atau
melakukan Keputusan dan/atau Tindakan; (3) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan wajib
mencantumkan atau menunjukkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar Kewenangan dan dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan
Keputusan dan/atau Tindakan.
[5]
Despan
Heryansyah, Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII
Yogyakarta, Opini Kompas tanggal 23 Mei 2018.
[6]
Bdk. Penyimpangan (irregularities)
adalah salah saji atau penghapusan dalam laporan keuangan yang disengaja, yang
dalam keadaan demikian para pengambil keputusan berubah keputusannya.
Penyimpangan dalam laporan keuangan ini biasanya menyesatkan bagi pemakai.
Istilah yang biasa digunakan adalah kecurangan manajemen (management fraud).
Kriteria-kriteria yang termasuk dalam penyimpangan, meliputi : a. Manipulasi,
falsifikasi, dan alterasi catatan-catatan akuntansi atau dokumen pendukung yang
menjadi dasar pembuatan laporan keuangan. b. Salah penyajian (misrepresentations) atau penghapusan (omissions) yang sengaja atas
transaksi-transaksi dan informasi penting lainnya. c. Salah penerapan
(misapplication) prinsip – prinsip akuntansi terhadap jumlah, klasifikasi, cara
penyajian, dan pengungkapan yang disengaja (Anisa Putri., S.E., M.M artikel
dalam http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?article=418501&val=1233&title=KAJIAN:%20FRAUD%20(KECURANGAN)%20LAPORAN%20KEUANGAN).
[7]
Albrecht, W. Steve.
2012. Fraud Examination. South
Western: Cengage Learning.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar