Minggu, 03 Mei 2020



Batas Hukum Administrasi Negara dan Tipikor  dalam
Perspektif Hukum Administrasi Negara

0leh: Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.
Ketua Bagian HAN FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Kasus Posisi (Ditinjau dari Aspek Kebijakan BPPN)
(Acuan: Surat Dakwaan Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 40/Tut.01.04/24/05/2018 tanggal 02 Mei 2018 sebagaimana termuat dalam Putusan PT DKI No. 29/PID.SUS-TPK/2018/PT.DKI)

v  SYAFRUDDIN ARSYAD TEMENGGUNG selaku Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) periode Tahun 2002 sampai dengan Tahun 2004 yang diangkat berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 73/M Tahun 2002 tanggal 22 April 2002, bersama-sama dengan DOROJATUN KUNTJORO-JAKTI, SJAMSUL NURSALIM dan ITJIH S. NURSALIM, pada sekitar tanggal 21 Oktober 2003, tanggal 29 Oktober 2003, tanggal 13 Februari 2004, tanggal 26 April 2004, bertempat di Kantor BPPN di Wisma Danamon Lantai 15 Jalan Jendral Sudirman Kav. 45 - 46 Jakarta telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan, secara melawan hukum yaitu Terdakwa selaku Ketua BPPN melakukan penghapusan piutang Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) kepada petani tambak (petambak) yang dijamin oleh PT DIPASENA CITRA DARMADJA (PT DCD) dan PT WACHYUNI MANDIRA (PT WM) serta menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham meskipun SJAMSUL NURSALIM belum menyelesaikan kewajibannya terhadap kesalahan dalam menampilkan piutang BDNI kepada petambak untuk diserahkan kepada BPPN seolah-olah sebagai piutang yang lancar (misrepresentasi), yang bertentangan dengan TAP MPR-RI Nomor X/MPR/2001 ditetapkan tanggal 9 November 2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2001, Undang-undang RI Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000 – 2004, Pasal 37 ayat (1) dan (2) huruf c Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Keputusan Presiden RI Nomor 34 Tahun 1998 tentang Tugas dan Kewenangan BPPN, Keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Nomor KEP.01.A/M.EKUIN/01/2000 tanggal 20 Januari 2000 tentang Kebijakan Restrukturisasi dan Penyelesaian Pinjaman Bagi Debitur di BPPN, Keputusan KKSK Nomor KEP.01/K.KKSK/05/2002 tanggal 13 Mei 2002 dan Keputusan KKSK Nomor Kep.01/K.KKSK/10/2002 tanggal 7 Oktober 2002, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yaitu memperkaya SJAMSUL NURSALIM sejumlah Rp.4.580.000.000.000,00 (empat triliun lima ratus delapan puluh miliar rupiah), yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, yaitu merugikan keuangan negara sejumlah Rp.4.580.000.000.000,00 (empat triliun lima ratus delapan puluh miliar rupiah).[1]
v  TAP MPR-RI Nomor X/MPR/2001 ditetapkan tanggal 9 Nopember 2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2001, dalam Hasil Pembahasan terkait pengelolaan dan penjualan aset-aset yang dikelola BPPN, memerintahkan kepada Presiden antara lain : 1. Pengelolaan dan pemeliharaan aset-aset BPPN diarahkan untuk meningkatkan produktivitas dan nilai aset; 2. Mempercepat penjualan aset-aset yang ada di BPPN dengan tingkat pengembalian harga (recovery rate) yang wajar dengan prosedur yang transparan dan akuntabel serta mengupayakan penukaran aset dengan obligasi (asset to bond swap);  3. Pemerintah perlu konsisten melaksanakan MSAA (Master Settlement and Acquisition Agreement) dan MRA (Master of Refinancing Agreement) dan bagi mereka yang belum memenuhi kewajibannya sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas Bab IV butir C Nomor 2,3,4 perlu diambil tindakan tegas;
v  Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000 – 2004, pada Bab IV. Pembangunan Ekonomi, diantaranya mengatur langkah-langkah penyelesaian MSAA, yaitu : 1. Bagi debitur yang belum menandatangani dan akan menandatangani MSAA perlu dikembangkan mekanisme insentif; 2. Bagi debitur yang tidak menandatangani MSAA ataupun yang sudah menandatangani tetapi tidak dapat memenuhi perjanjian tersebut (cidera janji) dapat dilakukan penyempurnaan terhadap MSAA dan/atau dikenakan penalti dan; 3. Bagi debitur yang telah menandatangani dan telah memenuhi MSAA perlu diberikan jaminan kepastian hukum.
v  UU Nomor 1 Tahun 2004 Pasal 37 ayat (1) dan (2) huruf c yang menegaskan : (1) Piutang negara/daerah dapat dihapuskan secara mutlak atau bersyarat dari pembukuan, kecuali mengenai piutang negara/daerah yang cara penyelesaiannya diatur tersendiri dalam undang-undang; (2) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sepanjang menyangkut piutang pemerintah pusat, ditetapkan oleh : (c) Presiden dengan persetujuan DPR untuk jumlah lebih dari Rp.100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
v  Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1998 tentang Tugas dan Kewenangan BPPN, dalam pasal 8 mengatur bahwa dalam hal Bank Dalam Penyehatan tidak dapat disehatkan lagi, maka selain kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), BPPN atas dasar pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) berwenang pula : 1. Mengambil alih pengoperasian Bank; 2. Menentukan tingkat kompensasi yang dapat diberikan kepada direksi, komisaris dan karyawan Bank; 3. Mengambil alih pengelolaan termasuk penilaian kembali (revaluasi) atas kekayaan yang dimiliki Bank; 4. Melakukan penggabungan, peleburan dan atau akuisisi Bank; 5. Menguasai, menjual, mengalihkan dan/atau melakukan tindakan lain yang seluas-luasnya atas suatu hak kekayaan milik Bank yang berada pada pihak ketiga, baik di dalam maupun di luar Indonesia; 6. Meminta kepada pemegang saham yang terbukti ikut serta baik secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan timbulnya kerugian Bank untuk sepenuhnya bertanggung jawab atas kerugian tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; e. Keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri selaku Ketua KKSK Nomor KEP.01.A/M.EKUIN/01/2000 tentang Kebijakan Restrukturisasi dan Penyelesaian Pinjaman Bagi Debitur di BPPN tanggal 20 Januari 2000 yang ditandatangani KWIK KIAN GIE, pada lampirannya disebutkan  “Bila jumlah aset dan/atau uang tunai yang diserahkan tidak cukup untuk menyelesaikan jumlah hutang yang tertunggak, maka akan dilakukan penghapus bukuan atas jumlah hutang yang masih tersisa. Adapun pedoman-pedoman yang dapat digunakan BPPN dalam mempertimbangkan penghapus bukuan adalah sebagai berikut: a. Tidak terdapat ketidakwajaran (no- irregularity) sebagaimana butir I pada halaman 3; b. Debitur dan Pemberi Jaminan telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk membayar kewajiban hutangnya;  c. Tidak ada kegiatan usaha atau perusahaan telah tutup; f. Keputusan KKSK Nomor KEP.01/K.KKSK/05/2002 tanggal 13 Mei 2002 yang diantaranya berbunyi “Guna memantapkan proses penjualan aset AMK BPPN ini, kepada BPPN diminta untuk melakukan langkah-langkah diantaranya (1) Atas aset-aset yang terkait dengan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dikoordinasikan penanganannya dengan Tim AMI yang dibentuk untuk menangani masalah PKPS”; g. Keputusan KKSK Nomor Kep.01/K.KKSK/10/2002 tanggal 7 Oktober 2002 yang diantaranya menetapkan tindak lanjut atas penanganan MSAA – SN sebagai berikut : 1. Terkait dengan kewajiban SJAMSUL NURSALIM untuk melakukan pembayaran dimuka sebesar Rp.1 Triliun, SJAMSUL NURSALIM diminta untuk segera menyelesaikan kekurangan pembayaran kewajibannya sebesar Rp.428 miliar secara mayoritas tunai; 2. SJAMSUL NURSALIM diminta untuk segera melakukan penyempurnaan pengalihan aset-aset yang telah diperjanjikan sesuai Master Settlement Aqcuisition Agreement (MSAA); dan  3. BPPN diminta melaporkan rincian lebih lanjut penanganan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) SJAMSUL NURSALIM termasuk pelaksanaan Financial Due Dilligence (FDD) dan penyelesaian permasalahan PT DCD untuk mendapatkan persetujuan KKSK.

Beberapa Catatan dari Aspek Hukum Administrasi Negara.
Ø  Karakter dari Tindakan Hukum Ketua BPPN
Mencermati posisi kasus di atas, perlu dianalisis terlebih dahulu karakter dari tindakan hukum yang dilakukan oleh Ketua BPPN dalam bentuk penghapusan piutang Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) kepada petani tambak (petambak) yang dijamin oleh PT DIPASENA CITRA DARMADJA (PT DCD) dan PT WACHYUNI MANDIRA (PT WM) serta menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham meskipun SJAMSUL NURSALIM belum menyelesaikan kewajibannya terhadap kesalahan dalam menampilkan piutang BDNI kepada petambak untuk diserahkan kepada BPPN seolah-olah sebagai piutang yang lancar (misrepresentasi). Tindakan tersebut memang memenuhi karakter sebagai tindakan hukum administrasi negara, yang dalam teori Hukum Administrasi Negara suatu tindakan pejabat tata usaha negara untuk dapat dikatakan sebagai tindakan hukum administrasi negara harus memenuhi unsur-unsur: 1. Perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintahan dalam kedudukannya sebagai penguasa maupun sebagai alat pemerintahan dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri; 2. Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan  fungsi pemerintahan; 3. Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum di bidang hukum administrasi; 4. Perbuatan tersebut menyangkut pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat; 5. Perbuatan itu harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.[2] Hal itu dapat dibandingkan dengan pendapat dari Claudiu Angelo Gherghina dalam papernya berjudul “Normative Administrative Act”[3] yang mengatakan bahwa “the unilateral act with individual or normative nature issued by a public authority, in exercising a public power, to organize law enforcement or to enforce the law itself in concrete, which creates, modifies or extinguishes legal relations. Although the text of the law does not specifically mention, the administrative act can be defined as being an administrative act, only if its effects create, modify or extinguish relations of administrative law. A legal act cannot be defined as an administrative law, unless its effects regulate specific standards of administrative law.” Dengan demikian, untuk dapat dikatakan sebagai tindakan hukum administrasi negara harus memenuhi unsur subyektif dan obyektf. Unsur subyektif yang harus dipenuhi adalah: 1. Pihak yang melakukan tindakan harus pejabat yang berkedudukan sebagai penguasa atau alat pemerintahan; dan 2. Dimaksudkan oleh pejabat yang bersangkutan untuk menimbulkan akibat di bidang hukum administrasi negara[4]. Sedangkan unsur obyektif yang harus dipenuhi adalah: 1. Tindakan yang dilakukan oleh pejabat tata usaha negara tersebut didasarkan atas norma hukum administrasi negara dan terletak di ranah hukum administrasi negara; 2. Tindakan tersebut dilakukan dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan ditujukan untuk melindungi kepentingan umum.
Ø  Syarat sahnya tindakan Hukum Administrasi Negara
Suatu tindakan Hukum Administrasi Negara dikatakan sah apabila memenuhi syarat apabila tindakan hukum tersebut sesuai dengan: a. peraturan perundang-undangan; dan b. AUPB (Pasal 8 ayat 2 UU Adpem).Jika dicermati dari hukum positif yang berlaku saat ini di bidang Hukum Administrasi Negara,  Pasal 9 UU Adpem mengatur beberapa landasan hukum penting terkait keabsahan tindakan badan atau pejabat tata usaha negara, antara lain: (1) Setiap Keputusan dan/atau Tindakan wajib berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB; (2) Peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar Kewenangan; dan b. peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan; (3) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan wajib mencantumkan atau menunjukkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar Kewenangan dan dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan. Tindakan badan atau pejabat tata usaha negara dengan demikian harus selalu mengacu pada produk hukum yang menjadi dasar tindakan badan atau pejabat tata usaha negara tersebut, termasuk  dan terutama terhadap tindakan tata usaha negara yang merupakan manifestasi penggunaan wewenang tata usaha negara yang dituangkan dalam bentuk keputusan tata usaha negara (beschikking)  maupun peraturan  (regeling). Ditinjau dari teori Hukum Administrasi Negara, karena Keputusan Tata Usaha Negara merupakan tindakan in concreto dari pejabat tata usaha negara untuk melaksanakan perintah peraturan perundang-undangan, maka, tindakan pejabat tata usaha negara tersebut tidak boleh melanggar syarat, kriteria normatif dan batasan-batasan dari peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dari tindakan badan atau pejabat tata usaha negara tesebut. Jika tindakan badan atau pejabat tata usah negara melanggar syarat, kriteria normatif dan batasan-batasan dari peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dari tindakan badan atau pejabat tata usaha negara tesebut, maka tindakan tersebut Bisa dikatakan sebagai tindakan melawan hukum (contra legem), menyalahgunakan wewenang (abuse of prower), Mencampuradukkan wewenang (mixed of power) atau melampaui wewenang (excess of power) . Konsekuensi dari tindakan hukum tersebut bisa diukur berdasarkan norma hukum administrasi negara atau norma hukum pidana, satu dan lain hal harus dikaitkan dengan karakter subyektif dan obyektif di atas (motif, dasar hukum, dan akibat hukum yang ditimbulkan). Manakalah suatu tindakan ingin dikategorikan sebagai tindakan diskresi, dalam Hukum Administrasi Negara tetap harus memenuhi batas atas dan batas bawah. Batas atas dari tindakan diskresi yang sah adalah undang-undang, artinya tindakan diskresi tidak boleh melanggar undang-undang secara kontinyu. Batas bawah dari tindakan diskresi adalah kepentingan umum (bonum commune). Artinya, harus ada alasan untuk melindungi kepentingan umum berdasarkan alasan-alasan yang rasional.
Ø  Batas Hukum Administrasi Negara dan Hukum Pidana
Ditinjau secara normatif, memang disini timbul titik persoalan jika dikaitkan dengan pengaturan soal kategori penyalahgunaan wewenang. Pasal 3 UU Tipikor menyatakan bahwa penyalahgunaan wewenang yang dapat berujung pada kerugian uang negara adalah termasuk korupsi, dipidana dengan hukuman maksimal penjara seumur hidup atau paling singkat selama satu  (1) tahun. Sementara, rumusan Pasal 17 UU No 30/2014 menyatakan bahwa badan dan/atau pejabat pemerintahan dilarang menyalagunakan wewenang. Cukup menarik, karena satu perkara hukum (penyalahgunaan wewenang) diatur di dalam dua norma UU yang berbeda: UU No 31/1999 memasukkannya sebagai pelanggaran pidana, sedangkan UU No 30/2014 memasukkannya sebagai pelanggaran administrasi.[5] Permasalahan muncul ketika perkara yang sama diajukan secara bersamaan di dua pengadilan tersebut. MA memang sudah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma), yang mengatur bahwa perkara pidana harus lebih dahulu diselesaikan dan mengesampingkan perkara administrasi, meskipun secara teoretis aturan tersebut sedikit bermasalah karena asas hukum mengatur Lex specialis derrogat legi generali. Guna menentukan batas tindakan hukum pejabat tata usaha negara termasuk dalam lingkup Hukum Administrasi Negara atau Hukum Pidana kiranya harus diselesaikan dengan mencermati beberapa hal berikut: Pertama, memang dalam HAN berlaku asas in cauda venenum (di ekor ada racun), artinya sanksi pidana dijatuhkan sebagai upaya hukum yang terakhir setelah sanksi administratif tidak efektif untuk dilaksanankan (bandingkan dengan asas ultimum remidium bagi sanksi pidana). Namun, UU Tipikor telah menetapkan bahwa tindak pidana korupsi bersifat extra-ordinary. Kedua,  dalam Hukum Administrasi Negara memang berlaku asas Nebis Vexari, artinya sanksi administratif yang karakternya sejenis tidak boleh dijatuhkan bersamaan. Misalnya, sanksi paksaan pemerintahan (bestuursdwang) tidak dapat dijatuhkan bersamaan dengan sanksi uang paksa (dwangsom), karena uang paksa merupakan alternatif pengganti manakala paksaaan pemerintah (bestuursdwang) tidak dapat dilakukan. Namun, sifat sanksi administratif juga memungkinkan berlakunya kumulasi ekternal, artinya sanksi administratif dapat dijatuhkan bersamaan dengan sanksi di bidang hukum lain, misalnya administratif dapat dijatuhkan bersamaan dengan sanksi pidana.  Dan, ketiga,  meskipun hal ini sampai kini masih menimbulkan polemik di masyarakat, faktanya  Undang-Undang No 31/1999 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi juncto UU No 20/2001 tentang Perubahan atas UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menjadi landasan bagi upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi mengalami perubahan mendasar. Perubahan pertama terjadi pada 24 Juli 2006 ketika Mahkamah Konstitusi melalui putusan No 003/PUU-IV/2006 menyatakan bahwa norma Penjelasan Pasal 22 Ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) bertentangan dengan konstitusi sehingga menjadi delik formil. Perubahan kedua terjadi pada 25 Januari 2017 ketika MK melalui putusannya No 25/PUU-XIV/2016 menyatakan, frasa kata "dapat" dalam rumusan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan konstitusi sehingga "tidak mengikatnya" kata "dapat" menjadikan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor menjadi delik materiil. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya No 25/PUU-XIV/2016 menilai Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor terkait penerapan unsur merugikan keuangan negara telah bergeser dengan menitikberatkan adanya akibat (delik materil). Tegasnya, unsur merugikan keuangan negara tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potential loss), tetapi harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss) dalam tipikor. “Pencantuman kata ‘dapat’ membuat delik kedua pasal tersebut menjadi delik formil. Padahal, praktiknya sering disalahgunakan untuk menjangkau banyak perbuatan yang diduga merugikan keuangan negara termasuk kebijakan atau keputusan diskresi atau pelaksanaan asas freies ermessen yang bersifat mendesak dan belum ditemukan landasan hukumnya. Ini bisa berakibat terjadi kriminalisasi dengan dugaan terjadinya penyalahgunaan wewenang. Dengan demikian jika hanya sekadar menyimpulkan dari pendekatan dogmatik hukum batas antara Hukum Adminsitrasi Negara dengan Hukum Pidana (Tipikor) adalah: a. efektif tidaknya penerapan norma Hukum Administrasi Negara untuk mengukur tindakan badan atau pejabat tata usaha negara; b. motif dari tindakan pejabat tata usaha negara dengan mengukur akibat hukum yang ditimbulkannya; dan 3. Sifat kerugian keuangan negara yang menurut Putusan MK No 25/PUU-XIV/2016  harus bersifat nyata-nyata terjadi (actual loss). Sebelum dikeluarkan putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 untuk menilai suatu tindakan pejabat dapat dikualifikasikan sebagai penyalahgunaan wewenang yang dapat ditempatkan di ranah hukum pidana korupsi cukup dipenuhi unsur fraud. Fraud pada dasarnya merupakan serangkaian ketidakberesan (irregularities)[6] dan perbuatan melawan hukum (illegal act) yang dilakukan oleh  seseorang guna mendapatkan keuntungan dan merugikan orang lain atau menguntungkan orang lain secara melawan hukum. Menurut The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) yang merupakan organisasi profesional yang bergerak di bidang pemeriksaan atas kecurangan, fraud (kecurangan) dapat dikategorikan dalam tiga tingkatan yang disebut Fraud Tree, yaitu sebagai berikut [7]:a. Penyimpangan atas asset (Asset Misappropriation). Asset misappropriation meliputi penyalahgunaan/pencurian aset atau harta perusahaan atau pihak lain. Ini merupakan bentuk fraud yang paling mudah dideteksi karena sifatnya yang tangible atau dapat diukur/dihitung (defined value); b. Pernyataan palsu atau salah pernyataan (Fraudulent Statement). Fraudulent statement meliputi tindakan yang dilakukan oleh pejabat atau eksekutif suatu perusahaan atau instansi pemerintah untuk menutupi kondisi keuangan yang sebenarnya dengan melakukan rekayasa keuangan (financial engineering) dalam penyajian laporan keuangannya untuk memperoleh keuntungan atau mungkin dapat dianalogikan dengan istilah window dressing; c. Korupsi (Corruption). Jenis fraud ini yang paling sulit dideteksi karena menyangkut kerja sama dengan pihak lain seperti suap dan korupsi, di mana hal ini merupakan jenis yang terbanyak terjadi di negara-negara berkembang yang penegakan hukumnya lemah dan masih kurang kesadaran akan tata kelola yang baik sehingga faktor integritasnya masih dipertanyakan. Fraud jenis ini sering kali tidak dapat dideteksi karena para pihak yang bekerja sama menikmati keuntungan (simbiosis mutualisme). Termasuk didalamnya adalah penyalahgunaan wewenang/konflik kepentingan (conflict of interest), penyuapan (bribery), penerimaan yang tidak sah/illegal (illegal gratuities), dan pemerasan secara ekonomi (economic extortion).

Ø  Kesimpulan
Mencermati rangkaian landasan hukum dari Keputusan Ketua BPPN di atas dalam melakukan penghapusan piutang Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) kepada petani tambak (petambak) yang dijamin oleh PT DIPASENA CITRA DARMADJA (PT DCD) dan PT WACHYUNI MANDIRA (PT WM) serta menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham meskipun SJAMSUL NURSALIM belum menyelesaikan kewajibannya terhadap kesalahan dalam menampilkan piutang BDNI kepada petambak untuk diserahkan kepada BPPN seolah-olah sebagai piutang yang lancar (misrepresentasi) dapat dinilai sebagai berikut: Pertama, Jika sudah dapat dibuktikan adanya pelanggaran syarat-syarat dan batasan-batasan dalam regulasi untuk melakukan tindakan hukum administrasi negara tersebut sehingga jika motifnya mengandung unsur fraud dan akibat hukumnya menyimpang dari tujuan pemberian wewenang terhadapnya, tindakan tersebut tidak lagi terletak di ranah Hukum Administrasi Negara dan justru dapat diletakkan di ranah Hukum Pidana Korupsi. Apalagi sesungguhnya sudah ada audit investigatif BPK yang menemukan adanya 4 (empat) penyimpangan dalam Keputusan Ketua BPPN. Kedua, Jika diukur dari sudut pengambilan kebijakan, batas Hukum Administrasi dinilai terlampaui (termasuk jika digunakan alasan diskresi), manakala batas atas dan batas bawah keabsahan tindakan diskresi dalam Keputusan Ketua BPPN dalam kasus tersebut dilampaui. Bahkan, jika diukur dari keberadaan  Inpres Nomor 8 tahun 2002  sebagai beleidregel atau policy rule tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum Kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, mengingat kondisi-kondisi pelaksanaan Inpres tersebut yang tidak dipenuhi dalam penerbitan SKL Ketua BPPN, yaitu Surat Nomor SKL-22/PKPS-BPPN/0404 perihal Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham kepada SJAMSUL NURSALIM. Surat tersebut menyatakan SJAMSUL NURSALIM telah menyelesaikan kewajiban Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) sebesar Rp.28.408.000.000.000,00 (dua puluh delapan triliun empat ratus delapan miliar rupiah) kepada BPPN, termasuk penyelesaian seluruh kewajiban-kewajiban lainnya sebagaimana dipersyaratkan dalam perjanjian PKPS.

Kaki Merapi, Jumat Pahing, 26 Juli 2019
































[1] Audit investigatif yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam laporan hasil audit No.12/LHP/XXI/08/2017 menemukan 4 (empat) penyimpangan dalam pemberian surat keterangan lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Pertama, terjadi misrepresentasi utang petambak sebesar Rp 4,8 triliun; kedua, dilakukan pengalihan penanganan aset kredit tanpa melibatkan divisi aset manajemen investasi (AMI); Ketiga, ditemukan fakta bahwa dalam persetujuan KKSK atas penyelesaian MSAA, Kepala BPPN tidak memberikan informasi lengkap bahwa Sjamsul masih punya kewajiban tambahan karena ada misrepresentasi; Keempat, Kepala BPPN menandatangani akta penyelesaian akhir pada 12 april 2004. Kemudian, menandatangani SKL kepada Sjamsul pada 26 April 2004. Padahal Sjamsul belum menyelesaikan misrepresentasi piutang Rp 4.8 triliun. Misrepresentasi adalah pelaggaran jaminan atas pernyataan Sjamsul. Itu dapat diminta ganti rugi sesuai MSAA (https://nasional.kompas.com/read/2018/08/06/13122581/bpk-temukan-4-penyimpangan-pemberian-skl-blbi-kepada-sjamsul-nursalim.)

[2] Muchsan, Beberapa Catatan tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1981, halaman 18-19
[4] Dengan demikian motif tindakan pejabat tersebut harus sungguh didasarkan pertimbangan untuk menimbulkan akibat di bidang hukum administrasi negara, tidak boleh ada motif terselubung lain yang menyebabkan tindakan itu justru berada di ranah bidang hukum lain, seperti bidang hukum pidana atau bidang hukum keperdataan. Motif harus dihubungkan dengan akibat hukum yang ditimbulkan dan syarat-syarat dipenuhinya tindakan tersebut untuk memenuhi karakter sebagai tindakan hukum administrasi negara. Ditinjau dari aspek normatif Hukum Administrasi Negara, dasar dari tindakan tata usaha negara harus selalu memenuhi asas legalitas (rechtsmatigheid beginsel) dan asas kepastian hukum (rechtszekerheidsbeginsel). Bdk. Hal itu sekarang dituangkan pada Pasal 8 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Adpem) yang menyatakan bahwa Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menggunakan Wewenang wajib berdasarkan: a. peraturan perundang-undangan; dan b. AUPB. Demikian pula, Pasal 9 UU Adpem juga mengatur beberapa landasan hukum penting, antara lain: (1) Setiap Keputusan dan/atau Tindakan wajib berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan dan AUPB; (2) Peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar Kewenangan; dan b. peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan; (3) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan wajib mencantumkan atau menunjukkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar Kewenangan dan dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.
[5] Despan Heryansyah, Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII Yogyakarta, Opini Kompas tanggal 23 Mei 2018.
[6] Bdk. Penyimpangan (irregularities) adalah salah saji atau penghapusan dalam laporan keuangan yang disengaja, yang dalam keadaan demikian para pengambil keputusan berubah keputusannya. Penyimpangan dalam laporan keuangan ini biasanya menyesatkan bagi pemakai. Istilah yang biasa digunakan adalah kecurangan manajemen (management fraud). Kriteria-kriteria yang termasuk dalam penyimpangan, meliputi : a. Manipulasi, falsifikasi, dan alterasi catatan-catatan akuntansi atau dokumen pendukung yang menjadi dasar pembuatan laporan keuangan. b. Salah penyajian (misrepresentations) atau penghapusan (omissions) yang sengaja atas transaksi-transaksi dan informasi penting lainnya. c. Salah penerapan (misapplication) prinsip – prinsip akuntansi terhadap jumlah, klasifikasi, cara penyajian, dan pengungkapan yang disengaja (Anisa Putri., S.E., M.M artikel dalam http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?article=418501&val=1233&title=KAJIAN:%20FRAUD%20(KECURANGAN)%20LAPORAN%20KEUANGAN).
[7] Albrecht, W. Steve. 2012. Fraud Examination. South Western: Cengage Learning.


Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...