Semiotika Keadilan Sosial atas KonstitusI
Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.
(willyriawan@yahoo.com)
(Pengajar Hukum Administrasi
Negara FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta)
Memahami konstitusi sebagai sebuah pesan peradaban
dan puncak kesadaran hukum tertinggi dalam suatu negara, sejatinya merupakan upaya
untuk memahami sebuah norma hukum tertinggi dalam suatu negara atau norma normarum (norm der normen). Ditinjau dari ajaran beslissingenleer atau dezisionismus,
konstitusi dari suatu negara merupakan keputusan politik tertinggi, termasuk UUD
Negara RI 1945 yang menjadi fondasi reformasi.
Meskipun cukup banyak yang menilai bahwa masih
belum sepenuhnya terwujud garis ide yang linier antara Pembukaan dengan UUD Negara
RI 1945, namun, jika ditafsir menggunakan pendekatan historis dan sosio-politik,
UUD Negara RI 1945 telah melakukan perubahan terhadap struktur ketatanegaraan. Dinamika
implementasi konsititusi masih diwarnai oleh kehendak untuk menempatkan Pembukaan
UUD Negara RI 1945 sebagai rehctsidee
yang menjiwai konstitusi sebagai suatu hukum positif tertinggi (the highest law of the land). Namun, harus
diakui bahwa masih diperlukan waktu yang memadai untuk menjadikan norma-norma konstitusi
menjadi konstitusi yamg hidup dalam perilaku masyarakat (the living constitution). Dalam kacamata sosiologis, Sir Ivor Jenings
(1979: 117) bahkan berani berpendapat bahwa: "a written constitution is not
law because somebody has made it, but because has been accepted by the people."
Jadi, bagi Jenings, suatu konstitusi mempunyai kekuatan mengikat bukan semata-mata
karena keabsahan badan yang membuatnya, tetapi karena konstitusi itu diterima dan
ditaati oleh rakyat.
UUD Negara RI 1945 sebagai norma hukum tertinggi
di negeri ini belum sepenuhnya diresapi dan djadikan sebagai pedoman bertindak dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Masih cukup banyak produk hukum yang diderivasi
dari konstitusi belum mencerminkan nilai-nilai Pembukaan dan UUD Negara RI 1945,
baik produk hukum Pusat maupun Daerah. Konstitusi cukup sering hanya sebatas dikutip
sebagai konsiderasi yuridis pembuatan produk hukum, namun substansi yang dijabarkan
dalam produk hukum tersebut belum secara sempurna mampu mewujudkan nilai-nilai yang
terkandung dalam UUD Negara RI 1945. Bahkan, tak jarang konstitusi dipergunakan
sekedar sebagai pembenaran/justifikasi untuk sikap dan tindakan yang jauh dari wujud
pengamalan konstitusi. Tengoklah kebijakan publik yang ternyata justru menciptakan
kesenjangan sosial daripada keadilan sosial. Produk hukum yang justru membuat lapisan
sosial antara yang kaya (the have) dan
yang miskin (the have not). Padahal, keadilan
sosial merupakan sila kelima yang mentransendensikan sila pertama.
Kehidupan
sosial yang mengalami keterputusan dengan nilai-nilai konstitusi telah menyiratkan
sebuah penyangkalan (negation), oposisi
dan kontradiksi dengan norma dasar yang seharusnya dijadikan sebagai suatu pedoman.
Heidegger menawarkan filsafat diferensi untuk mendekonstruksi oposisi biner dan
kontradiksi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam perspektif teori konstitusi,
upaya itu bisa dilakukan melalui rekonstruksi dari hal-hal yang telah didekonstruksi.
Sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai yang diamanahkan oleh konstitusi merupakan
conditio sine qua non untuk menjadikan
UUD Negara RI 1945 sebagai "the living constitution."
Konstitusi yang hanya sekedar menjadi keseluruhan
bangunan organisasi dan bangunan hukum dari suatu negara (forma formarum) tanpa pemahaman hakiki terhadap makna dan kontekstualitasnya,
meminjam istilah Baudrillard, hanya menjadi sebuah tanda dusta (false sign), yaitu tanda yang menggunakan
penanda yang salah (false signifier).
Kutipan-kutipan maupun klaim menggunakan dalih konstitusi tanpa kesungguhan untuk
melaksanakannya, hanya menjadikannya sebuah tanda yang menopengi realitas yang sesungguhnya
tidak ada (masks the absence of basic
reality). Di sisi lain, Althusser pernah juga mengingatkan bahwa cara ideologi
mencari pengikutnya adalah melalui mekanisme ajakan atau interpelasi, bukan lewat
kekuatan senjata. Menurutnya, untuk dapat mereproduksi dirinya, sebuah ideologi
harus selalu memanggil subjeknya secara simpatik.
Pancasila dan UUD Negara RI 1945 dalam semiotika
sosial adalah upaya untuk menjadikan nilai-nilai tersebut memiliki kekuatan efektif
dalam newujudkan keadilan sosial (social
justice). Migrasi nilai-nilai ideologis tersebut dalam kehidupan sosial dapat
menghasilkan transformasi sosial pada bagaimana Pancasila dan UUD Negara RI 1945
dipandang, didefinisikan dan memiliki makna konkrit dalam kehidupan sosial. Jika
berkaca pada pandangan Alfred Shutz dan Luckmann yang mengatakan bahwa dunia kehidupan
melibatkan kesadaran dan ketaksadaran. Kesadaran manusia selalu merupakan kesadaran
akan sesuatu yaitu kesadaran kognitif yang menangkap objek-objek di sekitar, termasuk
manusia lain, Dalam dunia ideologis, kesadaran yang dibangun di dalamnya adalah
kesadaran yang berhadapan dengan makna ideologis yang dilaksanakan oleh aktor dalam
sebuah sistem yang dibentuk. Di titik ini, kesadaran terhadap makna ideologis yang
terkandung dalam Pembukaan dan UUD Negara RI 1945 akan diuji berdasarkan perilaku
aktor dalam sistem yang dibentuk. Semiotika sosial terhadap konsitusi akan memastikan
bahwa UUD Negara RI 1945 sungguh menjadi "the living constitution" yang
oleh karenanya setiap warga negara sungguh merasa memilikinya dan menjadikannya
sebagai pedoman hidup.
Daftar Pustaka
Taylor, Chris, Constitutional and Administrative Law, Pearson,
Longman, UK.
Woll, Peter, 1982, Constitutional Demicracy: Policies and Politics,
Litle, Brown and Company, USA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar