Sistem Presidensial Rasa Parlementer
Oleh: Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.
Dalam berbagai event pengambilan keputusan yang terkait kebijakan publik di negeri
yang dalam konstitusinya menisbatkan diri sebagai pemerintahan bersistem
presidensial ini, terlihat presiden sebagai kepala pemerintahan (the chief of executive) seakan-akan
terbelenggu oleh apa yang disebut sebagai sekretariat gabungan koalisi partai.
Di negara yang pemerintahannya bersistem presidensial, sebenarnya setelah
eksekutif terbentuk, presiden yang didukung oleh para menterinya memiliki ruang
kewenangan yang besar untuk mengambil keputusan secara mandiri untuk memutuskan
berbagai isu kebijakan publik, tanpa harus selalu menggantungkan pada
proses-proses politik di parlemen. Berbagai kewenangan yang sebenarnya sudah
sangat jelas mandatnya untuk dilaksanakan oleh eksekutif tidak harus selalu
merepresentasi kemauan politik lembaga legislatif.
Menurut Rod Hague, pemerintahan presidensiil
terdiri dari 3 unsur yaitu: presiden yang dipilih rakyat memimpin pemerintahan dan mengangkat
pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait. Presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat
memiliki masa jabatan yang tetap dan tidak bisa saling menjatuhkan. Seharusnya,
tidak boleh ada status yang tumpang tindih antara badan eksekutif dan badan
legislatif. Dalam sistem presidensial, presiden memiliki posisi yang relatif
kuat dan tidak mudah dijatuhkan oleh kekuatan-kekuatan dalam parlemen karena menurunnnya/rendahnya
dukungan politik. Namun, masih ada mekanisme untuk mengontrol kekuasaan presiden.
Jika presiden melakukan pelanggaran konstitusi, pengkhianatan terhadap negara,
dan terlibat masalah kriminal, posisi presiden bisa dijatuhkan. Bila ia
diberhentikan karena pelanggaran-pelanggaran tertentu, biasanya seorang wakil
presiden akan menggantikan posisinya.
Corak pemerintahan tersebut berbeda dengan negara yang
pemerintahannya bersistem parlementer dimana parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam hal ini, parlemen
memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri dan parlemenpun dapat
menjatuhkan pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya. Berbeda dengan sistem presidensial, dalam sistem parlementer dapat memiliki
seorang presiden dan seorang perdana menteri, yang menjadi simbol pemimpin
pemerintahan. Dalam sistem presidensial, presiden berwenang terhadap jalannya
pemerintahan, namun dalam sistem parlementer presiden hanya menjadi
simbol kepala negara saja.
Sistem checks and
balances yang dianut dalam UUD Negara RI 1945 pasca amandemen telah
menggeser sedemikian jauh bandul kekuataan eksekutif kepada legislatif. Cukup banyak
kewenangan eksekutif yang dilucuti dan sebaliknya peran legisatif diperkuat,
baik dalam melaksanakan fungsi legislasi, pengawasan sampai pada penganggaran.
Bahkan, sampai persoalan pengangkatan duta besarpun presiden harus meminta
persetujuan dari DPR, padahal di negara manapun pengangkatan duta besar
sepenuhnya menjadi wilayah kewenangan eksekutif (presiden).
Dalam mekanisme legislasipun, kewenangan presiden tidak
dilekati dengan hak veto atas Rancangan Undang-Undang (RUU) yang telah mendapat
persetujuan bersama antara legislatif dan eksekutif (Pasal 20 ayat 5 UUD Negara
RI 1945). Akibatnya, RUU setelah mendapat persetujuan bersama antara DPR dan
Presiden namun tidak disahkan oleh Presiden, dalam waktu 30 hari sejak RUU
tersebut disetujui RUU tersebut sah menjadi UU. Presiden tidak diberikan hak
veto terhadap RUU tersebut.
Corak pengaturan ketatanegaraan dalam UUD Negara RI 1945
pascaamandemen meskipun sangat kental diwarnai sistem presidensialisme, namun mengandung
bias parlementer karena corak parliament
heavy yang secara implisit terkandung di dalamnya. Padahal, terbentuknya
fraksi-fraksi legislatif berasal dari partai-partai yang memperoleh suara dalam
pemilihan umum. Praktik ketatanegaraan yang berkembang sebagai konvensi selama
ini memperlihatkan adanya peranan yang besar dari sebuah institusi ad hoc ekstrastruktural dan
ekstrakonstitusi yang dinamakan setgab koalisi partai. Hampir seluruh keputusan
yang diambil oleh presiden tak lepas dari pengaruh dari setgab koalisi partai.
Meskipun dari sudut pandang praktik politik tentu bisa diajukan sejumlah
argumen pendukung terhadap eksistensi setgab koalisi partai tersebut, namun
dari segi teori hukum ketatanegaraan, berkembangnya konvensi ketatanegaraan
semacam itu menimbulkan problem ketatanegaraan tersendiri. Kesan yang muncul
dari relasi eksekutif, parlemen dan setgab partai koalisi semacam itu adalah
adanya kekuatan kepentingan ekstrakonstitusional yang bisa menekan
lembaga-lembaga yang secara resmi dibentuk dan memiliki kekuatan
konstitusional. Cara pengelolaan sistem ketatanegaraan semacam ini bisa
menimbulkan penilaian adanya supremasi politik dalam praktik ketatanegaraan,
meskipun Pasal 1 ayat (3) UUD Negara RI 1945 dengan jelas menyebutkan negara
ini mengakui adanya kedaulatan hukum/supremasi hukum. Presiden telah
mengembangkan “psikologi keraguan” terhadap kekuasaannya sendiri yang sejatinya
secara konstitusional sangat kuat dan tak dapat dijatuhkan begitu saja oleh DPR
melalui mosi tidak percaya seperti dalam sistem parlementer. Jerat sistem parlementer
semacam ini sebenarnya telah mengubah konsiderasi dan substansi pasal-pasal
dalam UUD Negara RI 1945 yang menggunakan corak presidensialisme. Sistem
pemerintahan hibrida/campuran (untuk tidak menyebutnya dengan banci) yang
dipraktikkan di negeri ini, telah membawa perubahan corak sistem ketatanegaraan
yang berbeda dari amanat konstitusi dan justru seringkali menimbulkan kesan
bahwa pemerintah yang menjadi representasi negara berfungsi antara ada dan
(ti)ada dalam berbagai permasalahan yang membutuhkan respons cepat dari
eksekutif.
*) Doktor Hukum Administrasi Negara, pengajar pada FH Universitas Atma Jaya
Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar