Minggu, 03 Mei 2020


Sistem Presidensial Rasa Parlementer
Oleh: Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.
            Dalam berbagai event pengambilan keputusan yang terkait kebijakan publik di negeri yang dalam konstitusinya menisbatkan diri sebagai pemerintahan bersistem presidensial ini, terlihat presiden sebagai kepala pemerintahan (the chief of executive) seakan-akan terbelenggu oleh apa yang disebut sebagai sekretariat gabungan koalisi partai. Di negara yang pemerintahannya bersistem presidensial, sebenarnya setelah eksekutif terbentuk, presiden yang didukung oleh para menterinya memiliki ruang kewenangan yang besar untuk mengambil keputusan secara mandiri untuk memutuskan berbagai isu kebijakan publik, tanpa harus selalu menggantungkan pada proses-proses politik di parlemen. Berbagai kewenangan yang sebenarnya sudah sangat jelas mandatnya untuk dilaksanakan oleh eksekutif tidak harus selalu merepresentasi kemauan politik lembaga legislatif.
            Menurut Rod Hague, pemerintahan presidensiil terdiri dari 3 unsur yaitu: presiden yang dipilih rakyat memimpin pemerintahan dan mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait. Presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat memiliki masa jabatan yang tetap dan tidak bisa saling menjatuhkan. Seharusnya, tidak boleh ada status yang tumpang tindih antara badan eksekutif dan badan legislatif. Dalam sistem presidensial, presiden memiliki posisi yang relatif kuat dan tidak mudah dijatuhkan oleh kekuatan-kekuatan dalam parlemen karena menurunnnya/rendahnya dukungan politik. Namun, masih ada mekanisme untuk mengontrol kekuasaan presiden. Jika presiden melakukan pelanggaran konstitusi, pengkhianatan terhadap negara, dan terlibat masalah kriminal, posisi presiden bisa dijatuhkan. Bila ia diberhentikan karena pelanggaran-pelanggaran tertentu, biasanya seorang wakil presiden akan menggantikan posisinya.
            Corak pemerintahan tersebut berbeda dengan negara yang pemerintahannya bersistem parlementer dimana parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam hal ini, parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri dan parlemenpun dapat menjatuhkan pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya. Berbeda dengan sistem presidensial,  dalam sistem parlementer dapat memiliki seorang presiden dan seorang perdana menteri, yang menjadi simbol pemimpin pemerintahan. Dalam sistem presidensial, presiden berwenang terhadap jalannya pemerintahan, namun dalam sistem parlementer presiden hanya menjadi simbol kepala negara saja.
            Sistem checks and balances yang dianut dalam UUD Negara RI 1945 pasca amandemen telah menggeser sedemikian jauh bandul kekuataan eksekutif kepada legislatif. Cukup banyak kewenangan eksekutif yang dilucuti dan sebaliknya peran legisatif diperkuat, baik dalam melaksanakan fungsi legislasi, pengawasan sampai pada penganggaran. Bahkan, sampai persoalan pengangkatan duta besarpun presiden harus meminta persetujuan dari DPR, padahal di negara manapun pengangkatan duta besar sepenuhnya menjadi wilayah kewenangan eksekutif (presiden).
            Dalam mekanisme legislasipun, kewenangan presiden tidak dilekati dengan hak veto atas Rancangan Undang-Undang (RUU) yang telah mendapat persetujuan bersama antara legislatif dan eksekutif (Pasal 20 ayat 5 UUD Negara RI 1945). Akibatnya, RUU setelah mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden namun tidak disahkan oleh Presiden, dalam waktu 30 hari sejak RUU tersebut disetujui RUU tersebut sah menjadi UU. Presiden tidak diberikan hak veto terhadap RUU tersebut.
            Corak pengaturan ketatanegaraan dalam UUD Negara RI 1945 pascaamandemen meskipun sangat kental diwarnai sistem presidensialisme, namun mengandung bias parlementer karena corak parliament heavy yang secara implisit terkandung di dalamnya. Padahal, terbentuknya fraksi-fraksi legislatif berasal dari partai-partai yang memperoleh suara dalam pemilihan umum. Praktik ketatanegaraan yang berkembang sebagai konvensi selama ini memperlihatkan adanya peranan yang besar dari sebuah institusi ad hoc ekstrastruktural dan ekstrakonstitusi yang dinamakan setgab koalisi partai. Hampir seluruh keputusan yang diambil oleh presiden tak lepas dari pengaruh dari setgab koalisi partai. Meskipun dari sudut pandang praktik politik tentu bisa diajukan sejumlah argumen pendukung terhadap eksistensi setgab koalisi partai tersebut, namun dari segi teori hukum ketatanegaraan, berkembangnya konvensi ketatanegaraan semacam itu menimbulkan problem ketatanegaraan tersendiri. Kesan yang muncul dari relasi eksekutif, parlemen dan setgab partai koalisi semacam itu adalah adanya kekuatan kepentingan ekstrakonstitusional yang bisa menekan lembaga-lembaga yang secara resmi dibentuk dan memiliki kekuatan konstitusional. Cara pengelolaan sistem ketatanegaraan semacam ini bisa menimbulkan penilaian adanya supremasi politik dalam praktik ketatanegaraan, meskipun Pasal 1 ayat (3) UUD Negara RI 1945 dengan jelas menyebutkan negara ini mengakui adanya kedaulatan hukum/supremasi hukum. Presiden telah mengembangkan “psikologi keraguan” terhadap kekuasaannya sendiri yang sejatinya secara konstitusional sangat kuat dan tak dapat dijatuhkan begitu saja oleh DPR melalui mosi tidak percaya seperti dalam sistem parlementer. Jerat sistem parlementer semacam ini sebenarnya telah mengubah konsiderasi dan substansi pasal-pasal dalam UUD Negara RI 1945 yang menggunakan corak presidensialisme. Sistem pemerintahan hibrida/campuran (untuk tidak menyebutnya dengan banci) yang dipraktikkan di negeri ini, telah membawa perubahan corak sistem ketatanegaraan yang berbeda dari amanat konstitusi dan justru seringkali menimbulkan kesan bahwa pemerintah yang menjadi representasi negara berfungsi antara ada dan (ti)ada dalam berbagai permasalahan yang membutuhkan respons cepat dari eksekutif.
*) Doktor Hukum Administrasi Negara, pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta



Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...