Anotasi
Putusan PTUN Jakarta Nomor 3/G/KI/2016/PTUN-JKT
Oleh:
Dr.
W Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.
Fakultas
Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Putusan PTUN Jakarta No. 3/G/KI/2016/PTUN-Jkt menempatkan
Putusan Komisi Informasi Pusat RI No. 025/IV/KIP-PS-A/2016 (selanjutnya
disebutkan putusan KIP) sebagai objek sengketa tata usaha negara. Selain
mendasarkan pada UU Peradilan TUN (UU No. 5/1986 jis UU No.9/2004 dan UU No.
51/2009), proses pengujian atas putusan KIP juga didasarkan atas Peraturan
Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa
Informasi Publik di Pengadilan.
Ditinjau dari perspektif kedudukan pihak Pemohon
Keberatan (Mensesneg) sebenarnya sudah tak sesuai dengan desain penyelesaian
sengketa tata usaha negara sebagaimana diatur dalam UU PTUN, yaitu
pihak-pihaknya terdiri dari penggugat (orang atau badan hukum perdata) dan
tergugat (badan atau pejabat tata usaha negara). Konstruksi kedudukan
pihak-pihak dalam sengketa TUN tersebut juga tetap dipertahankan dalam UU No.
30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Pasal 47 dan 48 UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik jo Perma No. 02 Tahun 2011 telah menempatkan pemerintah yang
melaksanakan fungsi sturen justru
menjadi pihak yang dapat mengajukan keberatan atas putusan Komisi Informasi
Publik melalui persidangan di PTUN. Jika dianalogikan dengan UU Administrasi
Pemerintahan, pemberian hak kepada Mensesneg selaku Badan Publik Negara untuk
dapat mengajukan keberatan atas putusan dari KIP sebenarnya telah “membungkus”
sengketa wewenang antara Mensesneg dengan KIP yang keduanya sejatinya sama
melaksanakan fungsi pemerintahan.
Pembentukan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir
dilakukan melalui Keppres No. 111 Tahun 2004 tentang Pembentukan Tim Pencari
Fakta Kasus Meninggalnya Munir tertanggal 22 Desember 2004 yang menetapkan
adanya 9 (sembilan) hal penting, diantaranya pada butir kedelapan ditetapkan
bahwa ‘setelah
selesai menjalankan tugasnya, Tim melaporkan hasil penyelidikannya
kepada Presiden. Dan butir kesembilan menetapkan bahwa Pemerintah mengumumkan hasil penyelidikan Tim
kepada masyarakat. Hal itu sejalan dengan logika asas contrarius actus similar fit bahwa pertanggungjawaban atas hasil
kerja Tim disampaikan kepada Presiden yang menetapkan pembentukan Tim tersebut
(periksa butir kedua Keppres) Sementara, jika dikaitkan dengan kewenangan
Kemensesneg yang berdasarkan pada Pasal 2 Perpres RI No. 31 Tahun 2005 tentang
Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet yang direvisi melalui Perpres No. 24
Tahun 2015 tentang Kementerian Sekretariat Negara, tanggung jawab untuk
menyelenggarakan dukungan tekhnis dan administrasi untuk membantu Presiden dan
Waki Presiden diberikan kepada Mensesneg, maka sudah menempatkan putusan Komisi
Informasi Publik RI No. 025/IVKIP-PS-A/2016 pada logika pertimbangan hukum yang
tepat dengan menyatakan hasil penyelidikan TPFKMM sebagai informasi publik yang
wajib diumumkan. KIP telah melaksanakan persidangan sebagaimana diamanatkan
oleh UU KIP maupun PP No. 61 Tahun 2010.
Kesesatan berpikir (fallacy)
dalam pertimbangan putusan PTUN Jakarta terlihat dalam pertimbangan hukum
halaman 46 dimana majelis hakim hanya mengandalkan pembuktian formal tertulis
dengan semata-mata melihat pada buku agenda surat masuk di kemensesneg saja,
tanpa mengaitkan dengan kewenangan Kemensesneg sebagai pendukung administrasi
bagi Presiden maupun Wapres. Padahal, dalam Hukum Acara PTUN terdapat asas
pembuktian bebas yang mengharuskan agar hakim dalam mengadili sengketa tata
usaha negara untuk menentukan beban pembuktian, pihak-pihak yang dibebani
pembuktian serta penilaian pembuktian. Majelis hakim PTUN Jakarta telah
mementahkan pertimbangan putusan KIP Pusat—meskipun pada bagian lain
pertimbangan hukumnya justru mengakui isi pertimbangan hukum putusan
KIP---hanya berdasarkan fakta-fakta procedural saja, tanpa berupaya menggali
lebih dalam objektum litis berupa siapa atau lembaga mana yang sesungguhnya
menguasai dokumen hasil penyelidikan TPFKMM. Bukankah dalam sengketa tata usaha
negara dikenal asas hakim aktif (dominus
litis principle).
Berdasarkan analisis tersebut terlihat bahwa majelis
hakim PTUN hanya mensimplifikasikan objectum litis seputar kewajiban bagi
Pemerintah untuk mengumumkan hasil penyelidikan TPFKMM menjadi soal prosedural locus kewenangan penguasaan dokumen ,
hal mana sebenarnya telah tuntas dipertimbangkan dalam persidangan di KIP. Pada
butir 4.6.1 putusan KIP telah ditegaskan bahwa ketidaktersediaan informasi
berupaa hasil penyelidikan TPFKMM pada Mensesneg tidak dapat melepaskan
tanggungjawab dari Kemensesneg untuk menyediakan informasi publik yang akurat,
benar dan tidak menyesatkan dan mengumumkan informasi tersebut kepada publik.
Putusan KIP juga telah melakukan uji konsekuensi yang menghasilkan kesimpulan
karakter dokumen hasil TPFKMM sebagai informasi publik yang wajib diumumkan
mengingat hal itu bertitiktolak dari penetapan Keppres RI No. 111 Tahun 2004.
Putusan PTUN Jakarta telah menggeser pertimbangan hukum
putusan KIP yang telah dilakukan sesuai dengan standar pembuktian dalam
persidangan KIP sebagaimana telah diatur adalam UU KIP, PP No. 61 Tahun 2010
dan Peraturan Komisi Informasi No. 1 Tahun 2013.Dengan kata lain, putusan PTUN
Jakarta aquo telah mengubah sifat
pertanggungjawaban dalam pengelolaan informasi publik yang melekat pada
Kemensesneg selaku PPID hanya menjadi perselisihan soal penguasaan dokumen
informasi yang sebenarnya telah diselesaikan melalui Putusan KIP. Atau dengan
kata lain, putusan PTUN Jakarta telah terjebak dalam fallacy yang disebut
dengan Argumentum ad ignoratiam , yaitu mengargumentasikan suatu
proposisi sebagai benar, karena tidak terbukti salah, atau suatu proposisi
salah karena tidak terbukti benar. Dapat diterapkan dalam hukum acara perdata
berdasarkan pasal 1385 BW. Namun, merupakan suatu fallacy jika diterapkan dalam
hukum acara PTUN karena adanya pasal 107 UU PTUN.
Kejanggalan putusan PTUN Jakarta disebabkan objek
pengujian yang bukan merupakan sebuah beschikking
yang lazim dalam sebuah sengketa tata usaha negara, namun, justru putusan KIP
yang lebih tepat disebut sebagai produk peradilan administrasi semu karena
dilakukan oleh KIP sebagai state
auxiliary agency yang bukan lembaga peradilan. Dengan demikian, metodologi
yang dipergunakan oleh majelis hakim dalam pengujian atas suatu Keputusan TUN
tak dapat diterapkan sepenuhnya dalam pengujian atas hasil putusan KIP. Di
titik inilah pertimbangan hukum putusan PTUN Jakarta yang membenarkan
dalil-dalil Mensesneg selaku pemohon keberatan justru terlihat tidak mampu
mengintegrasikan secara sempurna pertimbangan-pertimbangan hukum yang pernah
dilakukan oleh KIP sebelum memutuskan sengketa informasi tersebut.
Jika berkaca pada kewenangan PTUN sebagaimana diatur pada
Pasal 53 ayat (1) UU No 5 Tahun 1986 jo Pasal 116 UU No. 51 Tahun 2009 sebenarnya
:PTUN berdasarkan asas keaktifan hakim (dominus
litis) dan pembuktian bebas juga berwenang untuk melaksanakan kewenangan certiorari (perintah pengadilan untuk
melakukan pemeriksaan dokumen-dokumen yang menjadi dasar dibuatnya keputusan
oleh badan pemerintahan dan keputusan akan dibatalkan bila dibuat secara
bertentangan dengan hukum); quo waranto
(putusan pengadilan yang berisi perintah untuk meminta keterangan mengenai hak
bertindak dari pejabat publik); injunction
(dalam arti positif yaitu memerintahkan pejabat yang berwenang untuk membuat
keputusan untuk melakukan tindakan tertentu); atau mandamus (perintah atau petunjuk kepada pejabat pemerintah untuk
memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan).
Dengan kualitas putusan PTUN aquo, justru PTUN telah melegalisasi tindakan Mensesneg yang
melakukan pengabaian kewajiban hukum sesuai dengan kewenangannya, sesuatu yang
sebenarnya justru oleh Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan (implementasi
teori KTUN fiktif-positif) justru ingin dilarang secara tegas. Sekaligus,
disisi lain, PTUN Jakarta telah membunuh momentum untuk mengungkap kebenaran
secara tuntas fakta-fakta hukum di balik tragedi pembunuhan sang pahlawan
reformasi. Hal itu berarti PTUN telah melakukan pembusukan kewenangan pengujian
yang dimiikinya (examination decay) jika
dihadapkan dengan Keppres No. 111 Tahun 2004 yang pada butir ketiga menetapkan
agar Tim bertugas membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melakukan
penyelidikan secara bebas, cermat, adil dan tuntas terhadap peristiwa
meninggalnya Saudara Munir, SH.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar