Minggu, 03 Mei 2020


Anotasi Putusan PTUN Jakarta Nomor 3/G/KI/2016/PTUN-JKT
Oleh:
Dr. W Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.
Fakultas Hukum  Universitas Atma Jaya Yogyakarta
            Putusan PTUN Jakarta No. 3/G/KI/2016/PTUN-Jkt menempatkan Putusan Komisi Informasi Pusat RI No. 025/IV/KIP-PS-A/2016 (selanjutnya disebutkan putusan KIP) sebagai objek sengketa tata usaha negara. Selain mendasarkan pada UU Peradilan TUN (UU No. 5/1986 jis UU No.9/2004 dan UU No. 51/2009), proses pengujian atas putusan KIP juga didasarkan atas Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Informasi Publik di Pengadilan. 
            Ditinjau dari perspektif kedudukan pihak Pemohon Keberatan (Mensesneg) sebenarnya sudah tak sesuai dengan desain penyelesaian sengketa tata usaha negara sebagaimana diatur dalam UU PTUN, yaitu pihak-pihaknya terdiri dari penggugat (orang atau badan hukum perdata) dan tergugat (badan atau pejabat tata usaha negara). Konstruksi kedudukan pihak-pihak dalam sengketa TUN tersebut juga tetap dipertahankan dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
            Pasal 47 dan 48 UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik jo Perma No. 02 Tahun 2011 telah menempatkan pemerintah yang melaksanakan fungsi sturen justru menjadi pihak yang dapat mengajukan keberatan atas putusan Komisi Informasi Publik melalui persidangan di PTUN. Jika dianalogikan dengan UU Administrasi Pemerintahan, pemberian hak kepada Mensesneg selaku Badan Publik Negara untuk dapat mengajukan keberatan atas putusan dari KIP sebenarnya telah “membungkus” sengketa wewenang antara Mensesneg dengan KIP yang keduanya sejatinya sama melaksanakan fungsi pemerintahan.
            Pembentukan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir dilakukan melalui Keppres No. 111 Tahun 2004 tentang Pembentukan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir tertanggal 22 Desember 2004 yang menetapkan adanya 9 (sembilan) hal penting, diantaranya pada butir kedelapan ditetapkan bahwa ‘setelah selesai menjalankan tugasnya, Tim melaporkan hasil penyelidikannya kepada Presiden. Dan butir kesembilan menetapkan bahwa  Pemerintah mengumumkan hasil penyelidikan Tim kepada masyarakat. Hal itu sejalan dengan logika asas contrarius actus similar fit bahwa pertanggungjawaban atas hasil kerja Tim disampaikan kepada Presiden yang menetapkan pembentukan Tim tersebut (periksa butir kedua Keppres) Sementara, jika dikaitkan dengan kewenangan Kemensesneg yang berdasarkan pada Pasal 2 Perpres RI No. 31 Tahun 2005 tentang Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet yang direvisi melalui Perpres No. 24 Tahun 2015 tentang Kementerian Sekretariat Negara, tanggung jawab untuk menyelenggarakan dukungan tekhnis dan administrasi untuk membantu Presiden dan Waki Presiden diberikan kepada Mensesneg, maka sudah menempatkan putusan Komisi Informasi Publik RI No. 025/IVKIP-PS-A/2016 pada logika pertimbangan hukum yang tepat dengan menyatakan hasil penyelidikan TPFKMM sebagai informasi publik yang wajib diumumkan. KIP telah melaksanakan persidangan sebagaimana diamanatkan oleh UU KIP maupun PP No. 61 Tahun 2010.
            Kesesatan berpikir (fallacy) dalam pertimbangan putusan PTUN Jakarta terlihat dalam pertimbangan hukum halaman 46 dimana majelis hakim hanya mengandalkan pembuktian formal tertulis dengan semata-mata melihat pada buku agenda surat masuk di kemensesneg saja, tanpa mengaitkan dengan kewenangan Kemensesneg sebagai pendukung administrasi bagi Presiden maupun Wapres. Padahal, dalam Hukum Acara PTUN terdapat asas pembuktian bebas yang mengharuskan agar hakim dalam mengadili sengketa tata usaha negara untuk menentukan beban pembuktian, pihak-pihak yang dibebani pembuktian serta penilaian pembuktian. Majelis hakim PTUN Jakarta telah mementahkan pertimbangan putusan KIP Pusat—meskipun pada bagian lain pertimbangan hukumnya justru mengakui isi pertimbangan hukum putusan KIP---hanya berdasarkan fakta-fakta procedural saja, tanpa berupaya menggali lebih dalam objektum litis berupa siapa atau lembaga mana yang sesungguhnya menguasai dokumen hasil penyelidikan TPFKMM. Bukankah dalam sengketa tata usaha negara dikenal asas hakim aktif (dominus litis principle).
            Berdasarkan analisis tersebut terlihat bahwa majelis hakim PTUN hanya mensimplifikasikan objectum litis seputar kewajiban bagi Pemerintah untuk mengumumkan hasil penyelidikan TPFKMM menjadi soal prosedural locus kewenangan penguasaan dokumen , hal mana sebenarnya telah tuntas dipertimbangkan dalam persidangan di KIP. Pada butir 4.6.1 putusan KIP telah ditegaskan bahwa ketidaktersediaan informasi berupaa hasil penyelidikan TPFKMM pada Mensesneg tidak dapat melepaskan tanggungjawab dari Kemensesneg untuk menyediakan informasi publik yang akurat, benar dan tidak menyesatkan dan mengumumkan informasi tersebut kepada publik. Putusan KIP juga telah melakukan uji konsekuensi yang menghasilkan kesimpulan karakter dokumen hasil TPFKMM sebagai informasi publik yang wajib diumumkan mengingat hal itu bertitiktolak dari penetapan Keppres RI No. 111 Tahun 2004.
            Putusan PTUN Jakarta telah menggeser pertimbangan hukum putusan KIP yang telah dilakukan sesuai dengan standar pembuktian dalam persidangan KIP sebagaimana telah diatur adalam UU KIP, PP No. 61 Tahun 2010 dan Peraturan Komisi Informasi No. 1 Tahun 2013.Dengan kata lain, putusan PTUN Jakarta aquo telah mengubah sifat pertanggungjawaban dalam pengelolaan informasi publik yang melekat pada Kemensesneg selaku PPID hanya menjadi perselisihan soal penguasaan dokumen informasi yang sebenarnya telah diselesaikan melalui Putusan KIP. Atau dengan kata lain, putusan PTUN Jakarta telah terjebak dalam fallacy yang disebut dengan Argumentum ad ignoratiam , yaitu mengargumentasikan suatu proposisi sebagai benar, karena tidak terbukti salah, atau suatu proposisi salah karena tidak terbukti benar. Dapat diterapkan dalam hukum acara perdata berdasarkan pasal 1385 BW. Namun, merupakan suatu fallacy jika diterapkan dalam hukum acara PTUN karena adanya pasal 107 UU PTUN.
            Kejanggalan putusan PTUN Jakarta disebabkan objek pengujian yang bukan merupakan sebuah beschikking yang lazim dalam sebuah sengketa tata usaha negara, namun, justru putusan KIP yang lebih tepat disebut sebagai produk peradilan administrasi semu karena dilakukan oleh KIP sebagai state auxiliary agency yang bukan lembaga peradilan. Dengan demikian, metodologi yang dipergunakan oleh majelis hakim dalam pengujian atas suatu Keputusan TUN tak dapat diterapkan sepenuhnya dalam pengujian atas hasil putusan KIP. Di titik inilah pertimbangan hukum putusan PTUN Jakarta yang membenarkan dalil-dalil Mensesneg selaku pemohon keberatan justru terlihat tidak mampu mengintegrasikan secara sempurna pertimbangan-pertimbangan hukum yang pernah dilakukan oleh KIP sebelum memutuskan sengketa informasi tersebut.
            Jika berkaca pada kewenangan PTUN sebagaimana diatur pada Pasal 53 ayat (1) UU No 5 Tahun 1986 jo Pasal 116 UU No. 51 Tahun 2009 sebenarnya :PTUN berdasarkan asas keaktifan hakim (dominus litis) dan pembuktian bebas juga berwenang untuk melaksanakan kewenangan certiorari (perintah pengadilan untuk melakukan pemeriksaan dokumen-dokumen yang menjadi dasar dibuatnya keputusan oleh badan pemerintahan dan keputusan akan dibatalkan bila dibuat secara bertentangan dengan hukum); quo waranto (putusan pengadilan yang berisi perintah untuk meminta keterangan mengenai hak bertindak dari pejabat publik); injunction (dalam arti positif yaitu memerintahkan pejabat yang berwenang untuk membuat keputusan untuk melakukan tindakan tertentu); atau mandamus (perintah atau petunjuk kepada pejabat pemerintah untuk memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan).
            Dengan kualitas putusan PTUN aquo, justru PTUN telah melegalisasi tindakan Mensesneg yang melakukan pengabaian kewajiban hukum sesuai dengan kewenangannya, sesuatu yang sebenarnya justru oleh Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan (implementasi teori KTUN fiktif-positif) justru ingin dilarang secara tegas. Sekaligus, disisi lain, PTUN Jakarta telah membunuh momentum untuk mengungkap kebenaran secara tuntas fakta-fakta hukum di balik tragedi pembunuhan sang pahlawan reformasi. Hal itu berarti PTUN telah melakukan pembusukan kewenangan pengujian yang dimiikinya (examination decay) jika dihadapkan dengan Keppres No. 111 Tahun 2004 yang pada butir ketiga menetapkan agar Tim bertugas membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melakukan penyelidikan secara bebas, cermat, adil dan tuntas terhadap peristiwa meninggalnya Saudara Munir, SH.




Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...