Menyoal CSR di Aras Lokal
W. Riawan Tjandra, Doktor
Hukum Administrasi lulusan UGM, pengajar di FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Corporate
Sosial Responsibility atau CSR kini semakin menjadi isu penting yang ingin
diletakkan di antara visi sosial sebuah perusahaan di tengah tarikan-tarikan
kontestasi investasi di ranah nasional yang berkelindan dengan jaringan pasar
global. CSR sendiri sejatinya bertitiktolak dari paradigma etis-sosial bisnis
perusahaan.
Operasi bisnis sebuah perusahaan
seringkali menimbulkan dampak terhadap lingkungan maupun sosial. Dampak yang
ditimbulkan terhadap lingkungan umumnya semakin besar terjadi apabila
perusahaan tersebut bergerak di bidang eksplorasi maupun eksploitasi Sumber
Daya Alam (SDA). Namun, aktivitas bisnis di luar bisnis inti tersebut juga
seringkali tak dapat melepaskan diri sama sekali terhadap potensi terjadinya
dampak lingkungan maupun sosial. Pengambilan air di bawah tanah yang
dipergunakan oleh beberapa bisnis jasa tertentu seperti perhotelan maupun industri
pengolahan produk-produk tertentu juga bisa menimbulkan dampak berupa penurunan
debit air bawah tanah dan secara sosial kebisingan suara yang ditimbulkan oleh
beberapa jenis bisnis tertentu juga bisa menimbulkan dampak secara sosial.
Meskipun ada yang berpendapat bahwa
CSR itu sejatinya bersifat melampaui regulasi (beyond regulation), namun amat sulit untuk meletakkan prinsip etis
tersebut sekedar sebagai sebuah tanggung jawab etis dalam kerangka self
obidence atau self respect (kepatuhan berdasarkan kesadaran) dari sebuah
perusahaan. Tekanan untuk memaksimalisasikan profit dan menekan biaya produksi
sebagai rumus dasar sebuah bisnis seringkali menjadi kendala bagi implementasi
CSR yang sekadar bersifat pro-aktif dan diserahkan semata-semata kepada kesadaran
sebuah perusahaan. Hal itulah yang kemudian diambil sebagai paradigma UU No. 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
yang diimplementasikan melalui PP No. 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan (TJSL) Perseroan Terbatas. Kedua regulasi tersebut
berupaya mencari jalan tengah bagi diimplementasikannya secara efektif TJSL di
tengah pro-kontra karakter CSR yang tak identik sepenuhnya dengan konsep TJSL
tersebut.
Secara histories-sosiologis, konsep social
sustainability pada awalnya muncul
sebagai kelanjutan konsep economic sustainability dan environmental
sustainability yang telah dicetuskan sebelumnya. Konsep ini muncul dalam
pertemuan di Yohannesberg pada tahun 2002 yang dilatarbelakangi oleh
alasan-alasan: 1) konsep economic sustainability dan environmental
sustainability yang dikembangkan sebelumnya belum dapat mengangkat
kesejahteraan komunitas di negara-negara di dunia; 2) perlunya suatu tatanan
aturan untuk menyeimbangkan kesejahteraan pembangunan baik di negara-negara
selatan maupun negara-negara utara. Dengan latar belakang tersebut dirumuskan
suatu visi yang sama dalam dunia usaha yang makin mengglobal dan mengarah pada
liberalisasi untuk mewujudkan kebersamaan aturan bagi tingkat kesejahteraan
umat manusia yaitu konsep social sustainability. Dalam perkembangan
selanjutnya, ketiga konsep ini menjadi patokan bagi perusahaan untuk
melaksanakan tanggung jawab sosial yang kita kenal dengan konsep corporate
social responsibility (CSR). CSR merupakan komitmen usaha untuk bertindak
secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk meningkatkan
kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya, komunitas lokal, dan komunitas
luas. Konsep CSR melibatkan tanggung jawab kemitraan antara pemerintah,
perusahaan, dan komunitas masyarakat setempat yang bersifat aktif dan dinamis.
The World Business Council for
Sustainable Development mendefinisikan CSR sebagai komitmen perusahaan untuk berkontribusi dalam
pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan,
keluarga karyawan, komunitas lokal, dan komunitas secara keseluruhan dalam
rangka meningkatkan kualitas kehidupan. Sankat dan Clement (2002) dalam Rudito
dan Famiola (2007) mendefinisikan CSR sebagai komitmen usaha untuk bertindak
secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk meningkatkan
kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya, komunitas lokal, dan komunitas
luas.
Mengacu pada pemaknaan CSR tersebut,
secara umum, CSR dapat didefinisikan sebagai bentuk kegiatan untuk meningkatkan
kualitas kehidupan masyarakat melalui peningkatan kemampuan manusia sebagai
individu untuk beradaptasi dengan keadaan sosial yang ada, menikmati,
memanfaatkan, dan memelihara lingkungan hidup yang ada. Makna CSR tersebut
sebenarnya tak berbeda dengan paradigma pemaknaan TJSL dalam UU No. 40 Tahun
2007dan PP No. 47 Tahun 2012. Sanksi yang dilekatkan oleh kedua regulasi
tersebut sebagai jaminan kepatuhan terhadap implementasi TJSL merupakan
instrumen untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan TJSL antara
lain menata relasi yang harmonis dunia usaha dengan masyarakat, sinergi TJSL
dengan kebijakan pemerintah dan upaya memberdayakan masyarakat setempat untuk
dapat mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih baik melalui kontribusi etis
dunia usaha melalui TJSL.
Beberapa daerah bahkan sudah
“mengakarkan” CSR atau TJSL tersebut melalui kerangka hukum lokal berupa
peraturan daerah (Perda) yang dilaksanakan melalui peraturan kepala daerah.
Kewenangan daerah dalam kerangka otonomi daerah memang memberikan peluang untuk
mengimplementasikan peraturan perundang-undangan yang mewajibkan pelaksanaan
TJSL tersebut di aras lokal. Terlepas dari problem kekuatan hukum sebuah Perda
dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang acapkali lemah dalam
implementasi sebagai dampak minimnya kemampuan daerah dalam pengaturan sanksi
dalam sebuah Perda, kewajiban mematuhi TJSL yang dikelola lanagsung
pengawasannya oleh daerah seharusnya lebih mendekatkan pelaksanaan TJSL
tersebut dengan kebutuhan masyarakarat setempat sejauh didasarkan atas analisis
kebutuhan yang memadai dengan metodologi analisis yang tepat. Pada dasarnya,
berbagai regulasi lokal tersebut juga telah mengatur variasi implementasi
kewajiban CSR yang tidak hanya terbatas pada pemberian sejumlah dana dari
perusahaan saja, namun juga bisa dilakukan dalam bentuk kemitraan dengan UMKM,
pendampingan/bimbingan tekhnis terhadap perusahaan daerah dan UMKM, atau
dilaksanakan melalui bentuk-bentuk lain. Dengan demikian, sudah ada kesadaran
bahwa implementasi CSR harus didasarkan atas paradigma pemberdayaan
potensi-potensi masyarakat setempat, bukan sekedar sebuah bentuk kedermawanan
sosial (social charity). Selain itu,
upaya untuk “mengakarkan” CSR melalui regulasi lokal, juga dapat menyelaraskan
CSR dengan kebijakan daerah berdasarkan sistem perencanaan pembangunan di
daerah berdasarkan RPJMD. Hanya saja harus tetap ada kewaspadaan kemungkinan moral hazard dari implementasi CSR
melalui permainan para elite lokal untuk mendulang suara di saat kontestasi
politik pemilu/kada dengan memanfaatkan dana CSR. Sesuatu yang barangkali sulit
dijangkau oleh berbagai regulasi antikorupsi, namun tetap saja di dalamnya ada
sebuah penyimpangan maupun penyalahgunaan kekuasaan yang memberikan keuntungan
melalui bentuk money politics yang
berselubungkan dana CSR atau TJSL tersebut. Sebuah praktik korupsi politik
berkedok kedermawanan sosial!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar