Minggu, 03 Mei 2020


Menyoal CSR di Aras Lokal
W. Riawan Tjandra, Doktor Hukum Administrasi lulusan UGM, pengajar di FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta

            Corporate Sosial Responsibility atau CSR kini semakin menjadi isu penting yang ingin diletakkan di antara visi sosial sebuah perusahaan di tengah tarikan-tarikan kontestasi investasi di ranah nasional yang berkelindan dengan jaringan pasar global. CSR sendiri sejatinya bertitiktolak dari paradigma etis-sosial bisnis perusahaan.
            Operasi bisnis sebuah perusahaan seringkali menimbulkan dampak terhadap lingkungan maupun sosial. Dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan umumnya semakin besar terjadi apabila perusahaan tersebut bergerak di bidang eksplorasi maupun eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA). Namun, aktivitas bisnis di luar bisnis inti tersebut juga seringkali tak dapat melepaskan diri sama sekali terhadap potensi terjadinya dampak lingkungan maupun sosial. Pengambilan air di bawah tanah yang dipergunakan oleh beberapa bisnis jasa tertentu seperti perhotelan maupun industri pengolahan produk-produk tertentu juga bisa menimbulkan dampak berupa penurunan debit air bawah tanah dan secara sosial kebisingan suara yang ditimbulkan oleh beberapa jenis bisnis tertentu juga bisa menimbulkan dampak secara sosial.
            Meskipun ada yang berpendapat bahwa CSR itu sejatinya bersifat melampaui regulasi (beyond regulation), namun amat sulit untuk meletakkan prinsip etis tersebut sekedar sebagai sebuah tanggung jawab etis dalam kerangka self obidence atau self respect (kepatuhan berdasarkan kesadaran) dari sebuah perusahaan. Tekanan untuk memaksimalisasikan profit dan menekan biaya produksi sebagai rumus dasar sebuah bisnis seringkali menjadi kendala bagi implementasi CSR yang sekadar bersifat pro-aktif dan diserahkan semata-semata kepada kesadaran sebuah perusahaan. Hal itulah yang kemudian diambil sebagai paradigma UU No. 40 Tahun 2007  tentang Perseroan Terbatas yang diimplementasikan melalui PP No. 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) Perseroan Terbatas. Kedua regulasi tersebut berupaya mencari jalan tengah bagi diimplementasikannya secara efektif TJSL di tengah pro-kontra karakter CSR yang tak identik sepenuhnya dengan konsep TJSL tersebut.
Secara histories-sosiologis, konsep social sustainability pada awalnya muncul sebagai kelanjutan konsep economic sustainability dan environmental sustainability yang telah dicetuskan sebelumnya. Konsep ini muncul dalam pertemuan di Yohannesberg pada tahun 2002 yang dilatarbelakangi oleh alasan-alasan: 1) konsep economic sustainability dan environmental sustainability yang dikembangkan sebelumnya belum dapat mengangkat kesejahteraan komunitas di negara-negara di dunia; 2) perlunya suatu tatanan aturan untuk menyeimbangkan kesejahteraan pembangunan baik di negara-negara selatan maupun negara-negara utara. Dengan latar belakang tersebut dirumuskan suatu visi yang sama dalam dunia usaha yang makin mengglobal dan mengarah pada liberalisasi untuk mewujudkan kebersamaan aturan bagi tingkat kesejahteraan umat manusia yaitu konsep social sustainability. Dalam perkembangan selanjutnya, ketiga konsep ini menjadi patokan bagi perusahaan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial yang kita kenal dengan konsep corporate social responsibility (CSR). CSR merupakan komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk meningkatkan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya, komunitas lokal, dan komunitas luas. Konsep CSR melibatkan tanggung jawab kemitraan antara pemerintah, perusahaan, dan komunitas masyarakat setempat yang bersifat aktif dan dinamis.
The World Business Council for Sustainable Development mendefinisikan CSR sebagai komitmen perusahaan untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan, komunitas lokal, dan komunitas secara keseluruhan dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan. Sankat dan Clement (2002) dalam Rudito dan Famiola (2007) mendefinisikan CSR sebagai komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk meningkatkan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya, komunitas lokal, dan komunitas luas.
Mengacu pada pemaknaan CSR tersebut, secara umum, CSR dapat didefinisikan sebagai bentuk kegiatan untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat melalui peningkatan kemampuan manusia sebagai individu untuk beradaptasi dengan keadaan sosial yang ada, menikmati, memanfaatkan, dan memelihara lingkungan hidup yang ada. Makna CSR tersebut sebenarnya tak berbeda dengan paradigma pemaknaan TJSL dalam UU No. 40 Tahun 2007dan PP No. 47 Tahun 2012. Sanksi yang dilekatkan oleh kedua regulasi tersebut sebagai jaminan kepatuhan terhadap implementasi TJSL merupakan instrumen untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan TJSL antara lain menata relasi yang harmonis dunia usaha dengan masyarakat, sinergi TJSL dengan kebijakan pemerintah dan upaya memberdayakan masyarakat setempat untuk dapat mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih baik melalui kontribusi etis dunia usaha melalui TJSL.
Beberapa daerah bahkan sudah “mengakarkan” CSR atau TJSL tersebut melalui kerangka hukum lokal berupa peraturan daerah (Perda) yang dilaksanakan melalui peraturan kepala daerah. Kewenangan daerah dalam kerangka otonomi daerah memang memberikan peluang untuk mengimplementasikan peraturan perundang-undangan yang mewajibkan pelaksanaan TJSL tersebut di aras lokal. Terlepas dari problem kekuatan hukum sebuah Perda dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang acapkali lemah dalam implementasi sebagai dampak minimnya kemampuan daerah dalam pengaturan sanksi dalam sebuah Perda, kewajiban mematuhi TJSL yang dikelola lanagsung pengawasannya oleh daerah seharusnya lebih mendekatkan pelaksanaan TJSL tersebut dengan kebutuhan masyarakarat setempat sejauh didasarkan atas analisis kebutuhan yang memadai dengan metodologi analisis yang tepat. Pada dasarnya, berbagai regulasi lokal tersebut juga telah mengatur variasi implementasi kewajiban CSR yang tidak hanya terbatas pada pemberian sejumlah dana dari perusahaan saja, namun juga bisa dilakukan dalam bentuk kemitraan dengan UMKM, pendampingan/bimbingan tekhnis terhadap perusahaan daerah dan UMKM, atau dilaksanakan melalui bentuk-bentuk lain. Dengan demikian, sudah ada kesadaran bahwa implementasi CSR harus didasarkan atas paradigma pemberdayaan potensi-potensi masyarakat setempat, bukan sekedar sebuah bentuk kedermawanan sosial (social charity). Selain itu, upaya untuk “mengakarkan” CSR melalui regulasi lokal, juga dapat menyelaraskan CSR dengan kebijakan daerah berdasarkan sistem perencanaan pembangunan di daerah berdasarkan RPJMD. Hanya saja harus tetap ada kewaspadaan kemungkinan moral hazard dari implementasi CSR melalui permainan para elite lokal untuk mendulang suara di saat kontestasi politik pemilu/kada dengan memanfaatkan dana CSR. Sesuatu yang barangkali sulit dijangkau oleh berbagai regulasi antikorupsi, namun tetap saja di dalamnya ada sebuah penyimpangan maupun penyalahgunaan kekuasaan yang memberikan keuntungan melalui bentuk money politics yang berselubungkan dana CSR atau TJSL tersebut. Sebuah praktik korupsi politik berkedok kedermawanan sosial!



Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...