Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Pejabat dan/atau Pegawai
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Sebagai Penyelanggara Negara dan Produk Hukum
Yang Diterbitkan Dalam Perspektigf Hukum Administrasi Negara[1]
oleh:
Dr. W.Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.
Ketua
Bagian Hukum Administrasi Negara pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya
Yogyakarta
Urusan pemerintah (bestuurszorg) di bidang kepabeanan,
merupakan salah satu varian dari kompleksitas urusan pemerintah yang paling
penting untuk diselenggarakan oleh pemerintah. Dalam interaksinya dengan
rakyat, pemerintah guna melaksanakan fungsinya harus memperhatikan 3 (tiga)
dimensi utama, yaitu:
- dimensi pelaksanaan fungsi
pemerintah (sturende functie)
- dimensi perlindungan hukum
(rechtsbescherming)
- dimensi partisipasi yang
metodenya bisa melalui hak untuk mengajukan keberatan atau gugatan (inspraak) atau penasihatan oleh
komisi penasihat (adviesering)
Dalam
melaksanakan fungsi pemerintah (sturende
functie), pemerintah diberikan wewenang untuk menggunakan sarana-sarana hukum
administrasi negara (bestuursmiddelen) yang meliputi: sarana yuridis (peraturan
perundang-undangan, Keputusan Tata Usaha Negara, peraturan kebijaksanaan,
sarana hukum perdata), sarana non yuridis (kepegawaian, keuangan negara dan
materiil/benda-benda milik negara).
Pelaksanaan
fungsi pemerintah (sturende functie)
oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang merupakan salah satu unit
pemerintahan di bawah Kementerian Keuangan dilaksanakan di ranah empat peran
yang penting sebagai perwujudan tugas negara, antara lain; mengumpulkan dan
mengamankan penerimaan negara dari sektor pabean dan cukai (revenue collector), mendukung
terciptanya penciptaan iklim usaha yang kondusif dengan pemberian berbagai
fasilitas di bidang kepabeanan dan cukai (industrial
assistance), memfasilitasi kegiatan perdagangan internasional (trade facilitator), dan mencegah dan
mengawasi masuknya barang-barang yang dilarang atau dibatasi yang dapat
menimbulkan efek negatif bagi keamanan masyarakat dan negara (community protector).
Perspektif
Hukum Administrasi Negara kewenangan mengeluarkan penetapan di bidang bea dan
cukai termasuk dalam klasifikasi kewenangan Hukum Administrasi Sektoral (bijzondere administratiieve recht).
Kriteria suatu tindakan yang dilakukan oleh badan atau pejabat tata usaha
negara merupakan suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat ditentukan berdasarkan
Pasal 1 angka (3) UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo
Pasal 1 angka (8) UU No. 51 Tahun 2009 yang meliputi:
1. Penetapan tertulis
2. Dikeluarkan oleh Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara
3. Berisi tindakan hukum tata
usaha negara
4. Berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
5. Bersifat konkrit,
individual dan final
6. Menimbulkan akibat hukum
bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Seluruh elemen kriteria
Keputusan Tata Usaha Negara di atas bersifat kumulatif, sehingga apabila suatu
tindakan hukum yang dilakukan oleh badan atau pejabat tata usaha negara
mengandung elemen-elemen tersebut di atas dikategorikan sebagai tindakan hukum
administrasi yang keabsahannya harus didasarkan atas parameter-parameter
pengujian suatu keputusan tata usaha negara sebagaimana diatur pada Pasal 53
ayat (2) UU No.9 Tahun 2004. Namun, ditinjau dari UU No. 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan, terdapat perkembangan pengaturan yang perlu
dicermati, yaitu: 1. Perluasan ruang lingkup subyek dan obyek Keputusan
Administrasi Pemerintahan; 2. Pergeseran konsep KTUN fiktif-negatif (vide Pasal
3 UU No. 5 Tahun 1986) menjadi KTUN fiktif-positif (vide Pasal 53 UU No. 30
Tahun 2014); 3. Standar keabsahan tindakan hukum tata usaha negara.
Perluasan
kewenangan dapat dimaknai sebagai penambahan kewenangan yang disebabkan adanya
perluasan atau perubahan batasan konsep yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang- Undang Nomor 51 Tahun 2009
(UU PTUN). Apabila dirinci, perluasan kewenangan tersebut terdapat pada
butir-butir berikut ini [2]:
a. Perluasan pemaknaan Keputusan
Tata Usaha Negara (KTUN) sebagai implikasi definisi KTUN dalam Pasal 87 UU AP
lebih luas dibandingkan definisi KTUN dalam UU PTUN;
b. Kompetensi Peradilan TUN terhadap
tindakan administrasi pemerintahan/tindakan faktual pejabat TUN (Pasal 1 angka
8 UU AP). Penetapan tertulis mencakup tindakan faktual, yang berarti kompetensi
PTUN tidak lagi hanya KTUN[3];
c. Pergeseran paradigma mengenai
tindakan diamnya Badan/Pejabat TUN, yang semula berdasarkan UU PTUN diartikan
menolak menerbitkan keputusan (fiktif negatif), bergeser menjadi mengabulkan
menerbitkan keputusan (fiktif positif), meskipun tindaklanjutnya tetap melalui
putusan pengadilan. Hal ini mengimplikasikan kompetensi PTUN untuk memutus
terhadap obyek sengketa fiktif positif (Pasal 53 UU AP);
d. Perluasan ruang lingkup sumber
terbitnya KTUN yang berpotensi menjadi sengketa di PTUN juga semakin luas,
dalam hal ini termasuk KTUN yang dikeluarkan di lingkungan TNI;
e. Kompetensi PTUN Tingkat I untuk
mengadili gugatan pasca Upaya Administratif;
f. Kompetensi PTUN untuk
mengadili/mengabulkan tuntutan ganti rugi, tanpa pembatasan jumlah tertentu;
g. Dalam rangka mengefektifkan
pelaksanaan keputusan peradilan administrasi, UU AP mengkonsepkan uang paksa (dwangsom)
sebagai bentuk dari sanksi administratif yang dikelompokkan ke dalam jenis
sanksi administratif sedang (tidak memandang sebagai suatu sarana eksekutor
sebagaimana konsep uang paksa dalam undang-undang peradilan administrasi
negara). Pelaksanaan uang paksa secara yuridis menjadi tanggungjawab atasan
pejabat dengan proses pemeriksaan internal instansi pemerintahan secara
berjenjang. Mengenai sumber uang paksa tersebut dibebankan kepada pejabat yang
bersangkutan sebagaimana Penjelasan Pasal 81 ayat (2) UU AP;
h. Perluasan terhadap legal
standing yang akan menggugat;
i.
Melegalkan
keputusan berbentuk elektronik.
UU AP menggeser paradigma
lama administrasi pemerintahan ke paradigma yang baru. Paradigma tersebut
mengiringi arah paradigma pelayanan publik dalam penyelenggaraan administrasi
pemerintahan yang makin berkembang, terutama seiring dengan era keterbukaan
yang menuntut akses informasi seluas-luasnya untuk publik. Hal demikian niscaya
mengingat tugas-tugas pemerintahan yang kian kompleks, baik mengenai sifat
pekerjaan, jenis tugas maupun mengenai orang-orang yang melaksanakan.[4]
Karakter Tindakan Hukum Administrasi Negara
Dalam kepustakaan Hukum Administrasi Negara
Belanda (Nederlandse Bestuursrecht), CJN. Versteden[5]
menyatakan bahwa:
Zo geeft het bestuursrecht het bestuur
veelvuldig bevoegdheden om hem eenzijdig (dus ook zonder dat betrokkene daaraan
behoeft mee te werken) te dwingen iets te doen of te laten. Een bestuursorgan
kan de hem als zodanig toekomende bevoegheden hebben gekregen d.m.v.
attributie, delegatie of mandaat. Deze begrippen zullen hierna nog nader uit de
doeken wirden gedaan. Legitimatie van het bestuur vindt bijvoorbeeld plaats in
alle bepalingen waarin bepaalde handelingen enz. verboden worden behoudens
vergunning, ontheffing en andere beschikkingen.
Karakter suatu Keputusan Tata Usaha
sebagai suatu perbuatan hukum administrasi negara yang bersifat sepihak (eenzijdig) lazimnya dilengkapi dengan
kewenangan memaksakan untuk dilakukan atau tidak dilakukannya sesuatu hal
tertentu. Penilaian terhadap kewenangan hukum administrasi negara dalam
pelaksanaan tindakan hukum administrasi negara oleh badan atau pejabat tata
usaha negara harus dikembalikan pada sifat wewenang pemerintahan tersebut dalam
bentuk: atribusi, delegasi dan mandat. Oleh karena itu, untuk menentukan
karakter hukum administrasi negara dari suatu tindakan pemerintah, harus
ditelusuri dari sifat kewenangan yang diberikan melalui 3 (tiga) sumber
kewenangan tersebut.
Terkait dengan sifat kewenangan hukum
administrasi negara suatu tindakan pemerintah perlu ditelusuri pula dari makna
hukum administrasi negara. Francisco Esparraga dan Ian Ellis-Jones[6]
mengatakan:
Administrative law is:
* a branch
of 'public law'
*
primarily concerned with the functions, powers and obligations of the executive
arm of government, including the administration, and certain non-governmental
bodies, known as 'domestic tribunals'.
Berdasarkan pemahaman makna
hukum administrasi negara tersebut dapat ditelusuri karakter suatu tindakan
hukum pemerintah sebagai suatu tindakan hukum administrasi negara yang
berkaitan dengan fungsi, kekuasaan dan berbagai kewajiban dari organ
pemerintah. Esparraga dan Ian Ellis-Jones melanjutkan bahwa: " However,
what is 'administrative' will include, for example, the application of a
general policy or rule to particular cases...." Oleh karena itu, dengan
menelusuri makna dan hakikat dari hukum administrasi negara, dapat diketahui
bahwa terhadap suatu tindakan hukum afministrasi negara terlebih dahulu harus diterapkan
parameter keabsahan dalam perspektif peraturan perundang-undangan di bidang
tata usaha negara maupun asas-asas umum pemerintahan yang baik. Hal itu
disebabkan suatu tindakan hukum administrasi negara selalu dapat diuji
legalitasnya karena merupakan produk kewenangan jabatan tata usaha negara.
Tanggung Gugat Jabatan Tata Usaha Negara
Berdasarkan ketentuan hukum, pejabat
hanya menjalankan fungsi dan wewenang, karena pejabat tidak memiliki wewenang.
Yang memiliki dan dilekati wewenang adalah jabatan. Dalam kaitan ini, Logemann
mengatakan bahwa, berdasarkan Hukum Tata Negara, jabatanlah yang dibebani
dengan kewajiban, yang diberi wewenang untuk melakukan perbuatan hukum.
Logemann[7]
mengatakan bahwa Negara dan organisasi jabatan “de staat is ambtenorganisatie”
dan dalam suatu Negara itu ada jabatan pemerintahan, yakni lingkungan pekerjaan
tetap yang dilekati dengan wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan,
yakni semua tugas-tugas kenegaraan selain bidang pembuatan undang-undang dan
peradilan, yang menurut CJN Versteden dikatakan sebagai: ”elke werkzaamheid van
de overheid, welke niet als wetgeving of als rechtspraak is aan te merken”[8].
Tugas dan wewenang yang melekat pada jabatan ini menurut FR Bothlingk[9]
dijalankan oleh manusia (natuurlijke persoon),
yang bertindak selaku wakil jabatan dan disebut pemangku jabatan atau pejabat.
Logemann juga berpendapat bahwa Hak dan Kewajiban berjalan terus, tidak peduli
dengan pergantian pejabat[10].
Karena kewenangan itu melekat pada jabatan, sementara tanggungjawab dalam
bidang hukum publik itu terkait dengan kewenangan, maka beban tanggungjawab itu
pada dasarnya juga melekat pada jabatan. Tanggungjawab jabatan ini berkenaan
dengan keabsahan tindakan hukum pemerintahan yang dilakukan oleh pejabat untuk
dan atas nama jabatan (ambtshalve).
Sehubungan dengan analisis tersebut, jika
terjadi dugaan adanya tindakan maladministrasi terlebih dahulu yang harus diuji
adalah keabsahan tindakan hukum administrasi negara yang dilakukan oleh pejabat
tata usaha negara tersebut dalam koridor hukum administrasi negara. Tindakan
hukum yang dilakukan oleh pejabat tata usaha negara yang dituangkan dalam suatu
Keputusan Tata Usaha Negara merupakan kompetensi dari Peradilan Tata Usaha
Negara, Peradilan Pajak atau jika terkait dengan pelayanan publik, hal itu
merupakan kewenangan dari Ombudsman.
Maladministrasi berasal dari bahasa Latin
malum (jahat, buruk, jelek) dan administrare (to manage, mengurus, atau melayani), Maladministrasi berarti
pelayanan atau pengurusan yang buruk atau jelak. Berdasarkan pasal 1 angka (3)
UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, yang dimaksud
Maladministrasi adalah “Perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui
wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan
wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam
penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara Negara dan
pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial masyarakat
dan orang perseorangan”.
Jika terjadi perdebatan seputar keabsahan
tindakan hukum pejabat tata usaha negara yang di dalam peraturan
perundang-undangan yang mendasari tindakan jabatan tata usaha negara tersebut
dinisbatkan sebagai tindakan hukum administrasi negara, harus digunakan
parameter keabsahan (rechtsmatigheid)
terhadap tindakan hukum tersebut. Jika ada tuduhan dilakukannya penyalahgunaan
kewenangan jabatan tata usaha negara sejauh didasarkan atas kewenangan
atributif, delegasi atau mandat dalam norma yang berkarakter Hukum Administrasi
Negara, yang diukur adalah keabsahan tindakan jabatan tata usaha negara itu
ditinjau dari sudut hukum administrasi negara, bukan diarahkan pertama-tama
kepada persoon pejabat-nya. Pengujian
keabsahan (rechtsmatigheid toetsing) terhadap tindakan pejabat tata
usaha negara harus ditelusuri ruang lingkupnya dari dimensi kewenangan,
prosedur dan substansinya dengan mengukur koherensi isi dan tujuan peraturan
dasarnya dengan isi dan tujuan Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) yang dikeluarkan oleh
pejabat tata usaha negara tersebut. Hal itu merupakan konsekuensi dari
eksistensi salah satu unsur dari negara hukum (rechtsstaat) yaitu prinsip pemerintahan menurut hukum (rectsmatigheid van het bestuur).
Perspektif Yuridis Keputusan Tata Usaha Negara di
Bidang Kepabeanan
Pelaksanaan fungsi pemerintah (sturende functie) oleh Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang merupakan salah satu unit pemerintahan di
bawah Kementerian Keuangan dilaksanakan di ranah empat peran yang penting
sebagai perwujudan tugas negara, antara lain; mengumpulkan dan mengamankan
penerimaan negara dari sektor pabean dan cukai (revenue collector), mendukung terciptanya penciptaan iklim usaha
yang kondusif dengan pemberian berbagai fasilitas di bidang kepabeanan dan
cukai (industrial assistance),
memfasilitasi kegiatan perdagangan internasional (trade facilitator), dan mencegah dan mengawasi masuknya
barang-barang yang dilarang atau dibatasi yang dapat menimbulkan efek negatif
bagi keamanan masyarakat dan negara (community
protector).
Dalam melaksanakan keempat peran ini, DJBC
memiliki kewenangan-kewenangan sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor
17 tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007. Di antara banyak kewenangan
tersebut, ada kewenangan-kewenangan yang bersifat administatif (directive) yang tersebar dalam pasal 3,
4, 5, 8, 9, 10, 11, 13, 14, 15, 16, 17, 20, 23, 25, 26, 27, 28, 29, 32, 36, 37,
41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50,
dan 51 Undang-Undang Kepabeanan, dan pasal 7, 8, 9, 10, 12, 14, 16, 17,
26, 27, 33, 35, 40a, 41, dan 62 Undang-Undang Cukai.
Kewenangan pelaksanaan fungsi pemerintah
di bidang kepabeanan tersebut dilengkapi dengan kewenangan untuk melaksanakan
penegakan hukum di bidang kepabeanan melalui sanksi-sanksi dalam hukum
administrasi negara (handhaving van het
administratieve recht). Dalam hukum adminitrasi negara, badan atau pejabat
tata usaha negara memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi HAN berupa
paksaan administratif (bestuursdwang),
pencabutan Keputusan TUN, denda administratif (administratieve boete) maupun
uang paksa (dwangsom). Jika menilik kewenangan yang melekat pada jabatan tata
usaha negara di bidang kepabeanan, terlihat adanya kewenangan ganda (dual function), yaitu kewenangan di
bidang hukum afministrasi negara, sekaligus kewenangan penyidikan yang kazimnya
terletak di ranah hukum acara pidana (Pasal 112 UU Kepabeanan). Kewenangan
penyidikan itu merupakan kewenangan khusus yang diberikan kepada pejabat
pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai.Tidak berlakunya asas nebis in idem dalam hal penjatuhan sanksi pidana
bersamaan dengan sanksi hukum administrasi memungkinkan dijatuhkannya sanksi
pidana bersamaan dengan sanksi admibustratif terhadap pelanggaran hukum di
bidang kepabeanan, yang ditujukan untuk nengefektifkan fungsi pemerintah di
bidang kepabeanan. Namun, dalam penegakan hukum administrasi negara, harus
tetap diperhatikan prinsip bahwa sanksi yang bersifat sejenis tidak bisa
diterapkan bersama-sama (asas nebis
vexari). Misalnya, sanksi paksaan administratif (bestuursdwang) tidak boleh diterapkan bersama-sama dengan uang
paksa (dwangsom), karena sifatnya
yang substitutif.
Penetapan
Pejabat Pabean merupakan suatu keputusan oleh Pejabat Pabean yang dapat
mengakibatkan timbulnya kewajiban membayar bagi seseorang atau badan hukum
berupa sejumlah pungutan pabean dan/atau sanksi administrasi berupa denda.
Penetapan pabean juga dapat berupa pencabutan fasilitas pabean, atau penetapan
lainnya sebagai akibat penafsiran peraturan. Penetapan Pejabat Pabean dapat
merugikan orang atau badan hukum pengguna jasa kepabeanan. Orang atau badan
hukum yang tidak setuju karena merasa benar atau yang merasa kepentingannya
dirugikan atas penetapan Pejabat Pabean akan melakukan perlawanan. Penetapan
Pejabat Pabean yang dirasa tidak adil oleh pengguna jasa kepabeanan akan mendorongnya
untuk mengajukan gugatan atas penetapan Pejabat Pabean. Misalnya penetapan
pejabat di lingkungan Bea dan Cukai pada Pasal 17 UU Kepabeanan yang mengatur: (1)
Direktur Jenderal dapat menetapkan kembali tarif dan nilai
pabean untuk penghitungan bea masuk dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung
sejak tanggal pemberitahuan pabean; (2) Dalam hal penetapan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berbeda dengan penetapan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16, Direktur Jenderal memberitahukan secara tertulis kepada importir
untuk: a. melunasi bea masuk yang kurang dibayar; atau b. mendapatkan
pengembalian bea masuk yang lebih dibayar; (3). Bea masuk yang kurang dibayar
atau pengembalian bea masuk yang lebih dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dibayar sesuai dengan penetapan kembali; (4) Penetapan kembali
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila diakibatkan oleh
adanya kesalahan nilai transaksi yang diberitahukan sehingga mengakibatkan
kekurangan pembayaran bea masuk, dikenai sanksi administrasi berupa denda
paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang kurang dibayar dan
paling banyak 1000% (seribu persen) dari bea masuk yang kurang dibayar.[11]
Berkaitan
dengan upaya hukum yang dapat dilakukan terkait dengan penetapan sebagaimana dimaksud
pada Pasal 17 ayat (2), diatur adanya
hak untuk mengajukan keberatan (administratieve
bezwaar) sebagaimana diatur pada Pasal 95 UU Kepabeanan. Pasal 95 UU
Kepabeanan mengatur bahwa orang yang berkeberatan terhadap penetapan Direktur
Jenderal atas tarif dan nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(2), keputusan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2),
Pasal 93A ayat (4), atau Pasal 94 ayat (2) dapat mengajukan permohonan banding
kepada Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal
penetapan atau tanggal keputusan, setelah pungutan yang terutang dilunasi.
Jika mencermati ketentuan-ketentuan tersebut, terlihat
dengan jelas karakter tindakan hukum yang dilakukan pejabat pemerintah dengan
mendasarkan pada Pasal 17 UU Kepabeanan merupakan tindakan hukum administrasi
negara pejabat pemerintah yang berpotensi untuk dipersoalkan oleh pihak yang
merasa dirugikan atas keputusan tersebut.. Maka, jika ada keberatan terkait
penetapan pejabat pemerintah penilaian mengenai dimensi kewenangan, prosedur
dan substansi yang terkait dengannya, merupakan isu legalitas dan harus diuji
berdasarkan norma-norma hukum administrasi negara (bestuursnorm).
Rumusan ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU
Kepabeanan tersebut menggunakan kata "dapat" dalam ketentuan yang
menyatakan: Direktur Jenderal dapat
menetapkan kembali tarif dan nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dalam
jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean. Tipologi
norma semacam itu dalam Hukum Administrasi Negara dikategorikan sebagai norma
yang memberikan kebebasan penilaian (beoordelingsvrijheid)
kepada pejabat tata usaha negara. Dengan mempertimbangkan kondisi yang dihadapi
pejabat pemerintah diberikan wewenang secara eksklusif untuk mempertimbangkan
penetapan Keputusan TUN vide Pasal 17 ayat (2). Kewenangan diskresioner semacam
itu mengharuskan adanya penghormatan dari hakim dan aparat penegak hukum untuk
tidak mempersoalkannya, sejauh dipenuhi syarat-syarat penggunaan wewenang
diskresi, yaitu: (1) Tidak melanggar undang-undang dan (2) Tidak bertentangan
dengan kepentingan umum (publieke belang).
Kini, UU No. 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan secara normatif mengatur dengan tegas hal-hal seputar
kewenangan diskresi dari pejabat administrasi
pemerintah.
Pada Pasal 22 UUAP diatur bahwa: (1) diskresi hanya dapat dilakukan oleh
Pejabat Pemerintahan yang berwenang; (2) Setiap penggunaan Diskresi Pejabat
Pemerintahan bertujuan untuk: a. melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; b. mengisi kekosongan hukum; c. memberikan
kepastian hukum; dan d. mengatasi
stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan
umum. Lingkup diskresi Pejabat Pemerintahan pada Pasal 23 UUAP diatur meliputi:
a. pengambilan Keputusan dan/atau
Tindakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberikan
suatu pilihan Keputusan dan/atau Tindakan; b. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan
karena peraturan perundang-undangan tidak mengatur; c. pengambilan Keputusan
dan/atau Tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak
jelas; dan d. pengambilan Keputusan
dan/atau Tindakan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang
lebih luas.
Pasal 24 UUAP mengatur mengenai persyaratan penggunaan kewenangan
diskresi. Pejabat Pemerintahan yang menggunakan Diskresi menurut Pasal 24 UUAP harus
memenuhi syarat: a. sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (2); b. tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; c. sesuai dengan AUPB; d. berdasarkan alasan-alasan yang
objektif; e. tidak menimbulkan Konflik
Kepentingan; dan f. dilakukan dengan iktikad baik. Selanjutnya, Pasal 25 UUAP
mengatur bahwa: (1) penggunaan Diskresi yang berpotensi mengubah alokasi
anggaran wajib memperoleh persetujuan dari Atasan Pejabat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan apabila penggunaan Diskresi berdasarkan ketentuan Pasal
23 huruf a, huruf b, dan huruf c serta menimbulkan akibat hukum yang berpotensi
membebani keuangan negara; (3) Dalam hal penggunaan Diskresi menimbulkan
keresahan masyarakat, keadaan darurat, mendesak dan/atau terjadi bencana alam,
Pejabat Pemerintahan wajib memberitahukan kepada Atasan Pejabat sebelum
penggunaan Diskresi dan melaporkan kepada Atasan Pejabat setelah penggunaan
Diskresi; (4) Pemberitahuan sebelum penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilakukan apabila penggunaan Diskresi berdasarkan ketentuan dalam
Pasal 23 huruf d yang berpotensi menimbulkan keresahan masyarakat; (5)
Pelaporan setelah penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan apabila penggunaan Diskresi berdasarkan ketentuan dalam Pasal 23 huruf
d yang terjadi dalam keadaan darurat, keadaan mendesak, dan/atau terjadi
bencana alam.
Dakam teori hukum administrasi negara, dikenal
adagium "kebijakan tidak dapat diadili". Hal itu berarti adanya
jaminan imunitas dari tindakan uji materiil (judicial
review) terhadap tindakan hukum yang dilakukan oleh badan atau pejabat
pemerintah. Bahkan, sebagai komparasi, di Amerika Serikat, persoalan diskresi
yang dilakukan pejabat pemerintah termasuk dalam kategori political question atau nonjusticiable
issue. Artinya, pengadilan akan menahan diri untuk tidak melakukan
intervensi (self restraint) atas
kewenangan pemerintah yang bersifat tekhnikal dalam menggunakan kewenangan
diskresi (discretionnaire power)
tersebut.
Sehubungan
dengan karakter dari diskresi yang memang memiliki batas yang tipis dengan
potensi terjadinya penyalahgunaan wewenang, maka , dalam UUAP juga diatur
secara ketat prosedur penggunaan kewenangan diskresi. Hal disebabkan penggunaan
kewenangan diskresi berpotensi menimbulkan akibat hukum sebagaimana diatur pada
Pasal 30 UUAP yaitu terjadinya tindakan melampaui wewenang (power exceed ). Pasal 30 ayat (1) UUAP
mengatur bahwa penggunaan
Diskresi dikategorikan melampaui Wewenang apabila: a. bertindak melampaui batas waktu berlakunya
Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan; b.
bertindak melampaui batas wilayah berlakunya Wewenang yang diberikan oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau c. tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 26, Pasal
27, dan Pasal 28. Jika terjadi akibat hukum tersebut, maka, menurut Pasal 30
ayat (2) UUAP akibat hukum dari penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menjadi tidak sah.
Tindakan diskresi juga berpotensi menimbulkan akibat hukum berupa pencampuradukan
wewenang (power mixed). Pasal 31 UUAP
mengatur bahwa: (1) Penggunaan Diskresi dikategorikan mencampuradukkan Wewenang
apabila:a. menggunakan Diskresi tidak sesuai dengan tujuan Wewenang yang
diberikan; b. tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28;
dan/atau c.bertentangan dengan AUPB.
Selanjutnya ayat (2) dari pasal 31 tersebut mengatur bahwa akibat hukum dari
penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibatalkan.
Diskresi juga bisa dikategorikan sebagai tindakan sewenang-wenang (arbitrary)
jika dikeluarkan oleh pejabat yang tidak
berwenang (Pasal 32 ayat 2 UUAP). Akibat hukum dari penggunaan Diskresi semacam
itu menurut Pasal 32 ayat (2) UUAP menjadi tidak sah.
Kewenangan Penetapan oleh Pejabat Pabean ditetapkan dalam Undang-undang
Kepabeanan yang tersebar di dalam pasal Undang-undang. Hal tersebut berkaitan
dengan kewenangan Pejabat Pabean yang diatur dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun
2006 jo. Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan. Penetapan tarif dan nilai
pabean diatur dalam pasal 16 dan pasal 17 UU Kepabeanan. Penetapan sanksi
administrasi berupa denda diatur pada tiap-tiap pasal yang tersebar dalam UU
Kepabeanan; demikian juga penetapan selain tarif dan nilai pabean, misalnya
penetapan berupa pencabutan pemberian fasilitas atau kemudahan di bidang
kepabeanan, atau penetapan lainnya sebagai akibat dari perbedaan penafsiran
peraturan terkait kepabeanan (penjelasan pasal 93 A ayat 1)[12].
Tata
cara penetapan tarif, nilai pabean, dan sanksi administrasi, serta penetapan
Pejabat Pabean diatur dalam Peraturan Menteri keuangan Nomor 147/PMK.04/2009
jo. Nomor 51/PMK.04/2008. Penetapan Pejabat Pabean dapat berupa:
- Surat Penetapan Tarif dan
Nilai pabean (SPTNP) adalah surat penetapan Pejabat Pabean (Pejabat
Bea dan Cukai) atas Tarif dan/atau nilai pabean.
- Surat Penetapan Kembali
Tarif dan Nilai pabean (SPKTNP) adalah surat penetapan kembali atasan
Pejabat Pabean (Dirjen Bea dan Cukai atau Pejabat yang ditunjuk) atas
Tarif dan/atau nilai pabean.
- Surat Penetapan Pabean
(SPP) adalah surat penetapan pejabat pabean atas tarif dan/atau nilai
pabean, dan penetapan selain tarif dan/atau nilai pabean.
- Surat Penetapan Sanksi
Administrasi (SPSA) adalah surat penetapan Pejabat Pabean atas Sanksi
Administrasi berupa denda.
Penerbitan Surat Penetapan merupakan koreksi yang dilakukan oleh Pejabat Pabean
atas pemberitahuan pabean yang diajukan oleh importir yang merupakan hasil dari
pemeriksaan pabean. Pengguna jasa kepabeanan atau orang/badan hukum terkait
kepabeanan yang merasa pemberitahuan pabean yang disampaikannya sudah benar
atau merasa tidak berbuat menyimpang dari peraturan kepabeanan seyogyanya dapat
mengajukan gugatan atas penetapan Pejabat Pabean ke pengadilan. Penetapan
Pejabat Pabean dapat menimbulkan sengketa yang menyangkut Tata Usaha Negara,
sehingga masuk akal jika penetapan Pejabat Pabean dapat digugat ke Pengadilan
Tata Usaha Negara. Gugatan merupakan permohonan yang berisi tuntutan terhadap
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang diajukan ke Pengadilan untuk mendapat
keputusan. Dalam Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan
atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, termasuk semua keputusan yang ditetapkan oleh
Badan atau Pejabat tata usaha negara yang bersifat mengikat secara umum.
Dalam kaitannya dengan surat penetapan yang diterbitkan oleh Pejabat Pabean,
Penetapan Pejabat Pabean tersebut merupakan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Penetapan Pejabat Pabean tersebut
bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan.
Sebagaimana ditetapkan dalam
Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara, pengertian Tata Usaha Negara adalah
administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang merupakan kegiatan yang bersifat eksekutif. Seperti
diketahui bahwa kegiatan penetapan oleh Pejabat Pabean merupakan kegiatan yang
bersifat eksekutif, karena DJBC melaksanakan fungsi eksekutif yang merupakan
bagian dari pemerintah.
Perspektif Landasan Hukum Keputusan
Administrasi Pemerintahan
Supaya suatu Keputusan Tata Usaha
Negara yang dikeluarkan oleh pejabat Bea dan Cukai dinyatakan sah, perlu
memperhatikan batasan yang terdapat dalam Hukum Administrasi Materiil maupun
Hukum Administrasi Formi. Batasan dalam Hukum Administrasi Materiil diatur
dalam UUAP. Pasal 8 UUAP mengatur bahwa:
(1) Setiap
Keputusan dan/atau Tindakan harus ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan yang berwenang; (2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
dalam menggunakan Wewenang wajib berdasarkan: a. peraturan perundang-undangan;
dan b. AUPB; (3) Pejabat Administrasi Pemerintahan dilarang menyalahgunakan
Kewenangan dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.
Pasal 9 UUAP mengatur bahwa: (1) Setiap Keputusan dan/atau Tindakan
wajib berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB; (2)
Peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a.
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar Kewenangan; dan b. peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan
Keputusan dan/atau Tindakan; (3) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam
menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan wajib mencantumkan
atau menunjukkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
Kewenangan dan dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau
Tindakan. Namun, peluang diskresi dibuka ruangnya oleh Pasal 9 ayat (4) UUAP
yang mengatur bahwa ketiadaan atau ketidakjelasan peraturan perundang-undangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, tidak menghalangi Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan yang berwenang untuk menetapkan dan/atau melakukan
Keputusan dan/atau Tindakan sepanjang memberikan kemanfaatan umum dan sesuai
dengan AUPB. AUPB yang dimaksud
dalam UUAP diatur pada Pasal 10 meliputi asas: a. kepastian hukum; b. kemanfaatan; c.
ketidakberpihakan; d. kecermatan; e.
tidak menyalahgunakan kewenangan; f.
keterbukaan; g. kepentingan umum; dan h.
pelayanan yang baik.
Pasal 17 UUAP mengatur mengenai larangan penyalahgunaan wwewenang (abuse of power) bagi badan atau pejabat
pemerintahan.Pasal 17 UUAP mengatur bahwa: (1) Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan dilarang menyalahgunakan Wewenang; (2) Larangan penyalahgunaan
Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. larangan melampaui
Wewenang; b. larangan mencampuradukkan
Wewenang; dan/atau c. larangan bertindak sewenang-wenang.
Pasal 18 UUAP mengatur bahwa: (1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
dikategorikan melampaui Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2)
huruf a apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan: a. melampaui masa jabatan atau batas waktu
berlakunya Wewenang; b. melampaui batas
wilayah berlakunya Wewenang; dan/atau c. bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; (2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
dikategorikan mencampuradukkan Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (2) huruf b apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan: a. di luar cakupan bidang atau materi
Wewenang yang diberikan; dan/atau b.
bertentangan dengan tujuan Wewenang yang diberikan. (3) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan
bertindak sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c
apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan: a. tanpa dasar Kewenangan; dan/atau b. bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap.
Dalam rangka mewujudkan sistem checks
and balances dalam penyelenggaraan kekuasaan negara, Pasal 19 UUAP mengatur
kewenangan peradilan (dalam hal ini Peradilan Tata Usaha Negara) untuk menguji
tindakan hukum administrasi pemerintahan tersebut guna menentukan ada/tidaknya
tindakan yang dikategorikan sebagai melampaui wewenang (power exceed) atau sewenang-wenang (arbitrary). Hal itu dimaksudkan untuk mewujudkan asas kepastian
hukum jika terjadi dugaan/tuduhan adanya tindakan dari aparat pemerintah yang
melampaui wewenang atau sewenang-wenang.
Batasan bagi tindakan badan atau pejabat tata usaha negara dalam
melakukan tindakan hukum tata usaha negara dalam hukum formil (Hukum Acara
PTUN) dirumuskan secara lebih sederhana. Pasal 53 ayat (2) huruf b UU No. 9
Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara hanya mengatur syarat sahnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara
tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang
Baik (AAUPB).
Daftar Pustaka
Esparraga, Francisco, et.al., 2011, Administrative Law-Guidebook, Oxford
University Press, Australia & New Zealand.
Guntur Hamzah, Makalah, disampaikan pada Seminar
Sehari dalam rangka HUT Peradilan Tata Usaha Negara ke-26 dengan tema: Paradigma
Baru Penyelenggaraan Pemerintahan Berdasarkan Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan, kaitannya dengan Perkembangan Hukum Acara Peratun, yang
diselenggarakan di Hotel Mercure, Jakarta, 26 Januari 2016.
Haan, P. de, et.al., 1986, Bestuursrecht in de Sociale Rechtsstat Deel 1 Ontwikkeling,
Organisatie, Instrumentarium, Kluwer, Deventer, Nederland.
Versteden, CJN., 1984, Inleiding Algemeen Bestuursrecht, Samsom HD Tjeenk Willinkm Alphen
den Rijn, Vuga Boekerij 's Gravenhage.
W. Riawan Tjandra, 2012, Demokrasi Melawan Kekuasaan Melalui PTUN, Penerbitan Universitas
Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta.
__________________, 2018, Hukum Administrasi Negara, Sinar Grafika, Jakarta.
[1] Materi dalam In
House Training yang diselenggarakan di
Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B Yogyakarta,
27 November 2019.
[2] Guntur Hamzah,
Makalah dalam Seminar Sehari dalam rangka HUT Peradilan Tata Usaha Negara ke-26
dengan tema: Paradigma Baru
Penyelenggaraan Pemerintahan Berdasarkan Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan, kaitannya dengan Perkembangan Hukum Acara Peratun, yang
diselenggarakan di Hotel Mercure, Jakarta, 26 Januari 2016
[3] Dalam Pasal 87 UU AP dinyatakan:
Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Keputusan Tata
Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang- Undang Nomor 51 Tahun 2009 harus
dimaknai sebagai:
a. penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan
faktual;
b. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha
Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara
lainnya;
c. berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan
AUPB;
d. bersifat final dalam arti lebih luas;
e. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat
hukum; dan/atau
f. Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.
[4]Guntur Hamzah,
op.cit.
[5] Versteden, CJN.,
1984, Inleiding Algemeen Bestuursrecht,
Samsom HD Tjeenk Willink Alphen den Rijn, Vuga Boekerij 's Gravenhage.
[6] Francisco,
Esparraga, et.al., 2011, Administrative
Law-Guidebook, Oxford University Press, Australia & New Zealand.
[7] Logemann, 1854:88
[8]
C.J.N.Versteden,1984:13)
[9]
F.R.Bothlingk,1954:32.
[10] Logemann, 1958:89.
[11] Ahmad Dimyati, Pengajuan
Sengketa Penetapan Pejabat Pabean Ke Pengadilan Tata Tata Usaha Negara:
Mungkinkah, https://bppk.kemenkeu.go.id/id/9sml5wtcb8i/165v637/19744.html
[12] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar