Minggu, 03 Mei 2020


Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Pejabat dan/atau Pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Sebagai Penyelanggara Negara dan Produk Hukum Yang Diterbitkan Dalam Perspektigf Hukum Administrasi Negara[1]

oleh:
Dr. W.Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.
Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta

            Urusan pemerintah (bestuurszorg) di bidang kepabeanan, merupakan salah satu varian dari kompleksitas urusan pemerintah yang paling penting untuk diselenggarakan oleh pemerintah. Dalam interaksinya dengan rakyat, pemerintah guna melaksanakan fungsinya harus memperhatikan 3 (tiga) dimensi utama, yaitu:
  • dimensi pelaksanaan fungsi pemerintah (sturende functie)
  • dimensi perlindungan hukum (rechtsbescherming)
  • dimensi partisipasi yang metodenya bisa melalui hak untuk mengajukan keberatan atau gugatan (inspraak) atau penasihatan oleh komisi penasihat (adviesering)

      Dalam melaksanakan fungsi pemerintah (sturende functie), pemerintah diberikan wewenang untuk menggunakan sarana-sarana hukum administrasi negara (bestuursmiddelen) yang meliputi: sarana yuridis (peraturan perundang-undangan, Keputusan Tata Usaha Negara, peraturan kebijaksanaan, sarana hukum perdata), sarana non yuridis (kepegawaian, keuangan negara dan materiil/benda-benda milik negara).
      Pelaksanaan fungsi pemerintah (sturende functie) oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang merupakan salah satu unit pemerintahan di bawah Kementerian Keuangan dilaksanakan di ranah empat peran yang penting sebagai perwujudan tugas negara, antara lain; mengumpulkan dan mengamankan penerimaan negara dari sektor pabean dan cukai (revenue collector), mendukung terciptanya penciptaan iklim usaha yang kondusif dengan pemberian berbagai fasilitas di bidang kepabeanan dan cukai (industrial assistance), memfasilitasi kegiatan perdagangan internasional (trade facilitator), dan mencegah dan mengawasi masuknya barang-barang yang dilarang atau dibatasi yang dapat menimbulkan efek negatif bagi keamanan masyarakat dan negara (community protector).
Perspektif Hukum Administrasi Negara kewenangan mengeluarkan penetapan di bidang bea dan cukai termasuk dalam klasifikasi kewenangan Hukum Administrasi Sektoral (bijzondere administratiieve recht). Kriteria suatu tindakan yang dilakukan oleh badan atau pejabat tata usaha negara merupakan suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat ditentukan berdasarkan Pasal 1 angka (3) UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo Pasal 1 angka (8) UU No. 51 Tahun 2009 yang meliputi:
1. Penetapan tertulis
2. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
3. Berisi tindakan hukum tata usaha negara
4. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
5. Bersifat konkrit, individual dan final
6. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Seluruh elemen kriteria Keputusan Tata Usaha Negara di atas bersifat kumulatif, sehingga apabila suatu tindakan hukum yang dilakukan oleh badan atau pejabat tata usaha negara mengandung elemen-elemen tersebut di atas dikategorikan sebagai tindakan hukum administrasi yang keabsahannya harus didasarkan atas parameter-parameter pengujian suatu keputusan tata usaha negara sebagaimana diatur pada Pasal 53 ayat (2) UU No.9 Tahun 2004. Namun, ditinjau dari UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, terdapat perkembangan pengaturan yang perlu dicermati, yaitu: 1. Perluasan ruang lingkup subyek dan obyek Keputusan Administrasi Pemerintahan; 2. Pergeseran konsep KTUN fiktif-negatif (vide Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986) menjadi KTUN fiktif-positif (vide Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2014); 3. Standar keabsahan tindakan hukum tata usaha negara.
Perluasan kewenangan dapat dimaknai sebagai penambahan kewenangan yang disebabkan adanya perluasan atau perubahan batasan konsep yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang- Undang Nomor 51 Tahun 2009 (UU PTUN). Apabila dirinci, perluasan kewenangan tersebut terdapat pada butir-butir berikut ini [2]:  
a.       Perluasan pemaknaan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) sebagai implikasi definisi KTUN dalam Pasal 87 UU AP lebih luas dibandingkan definisi KTUN dalam UU PTUN;
b.      Kompetensi Peradilan TUN terhadap tindakan administrasi pemerintahan/tindakan faktual pejabat TUN (Pasal 1 angka 8 UU AP). Penetapan tertulis mencakup tindakan faktual, yang berarti kompetensi PTUN tidak lagi hanya KTUN[3];
c.       Pergeseran paradigma mengenai tindakan diamnya Badan/Pejabat TUN, yang semula berdasarkan UU PTUN diartikan menolak menerbitkan keputusan (fiktif negatif), bergeser menjadi mengabulkan menerbitkan keputusan (fiktif positif), meskipun tindaklanjutnya tetap melalui putusan pengadilan. Hal ini mengimplikasikan kompetensi PTUN untuk memutus terhadap obyek sengketa fiktif positif (Pasal 53 UU AP);
d.      Perluasan ruang lingkup sumber terbitnya KTUN yang berpotensi menjadi sengketa di PTUN juga semakin luas, dalam hal ini termasuk KTUN yang dikeluarkan di lingkungan TNI;
e.       Kompetensi PTUN Tingkat I untuk mengadili gugatan pasca Upaya Administratif;
f.       Kompetensi PTUN untuk mengadili/mengabulkan tuntutan ganti rugi, tanpa pembatasan jumlah tertentu;
g.      Dalam rangka mengefektifkan pelaksanaan keputusan peradilan administrasi, UU AP mengkonsepkan uang paksa (dwangsom) sebagai bentuk dari sanksi administratif yang dikelompokkan ke dalam jenis sanksi administratif sedang (tidak memandang sebagai suatu sarana eksekutor sebagaimana konsep uang paksa dalam undang-undang peradilan administrasi negara). Pelaksanaan uang paksa secara yuridis menjadi tanggungjawab atasan pejabat dengan proses pemeriksaan internal instansi pemerintahan secara berjenjang. Mengenai sumber uang paksa tersebut dibebankan kepada pejabat yang bersangkutan sebagaimana Penjelasan Pasal 81 ayat (2) UU AP;
h.      Perluasan terhadap legal standing yang akan menggugat;
i.        Melegalkan keputusan berbentuk elektronik.

UU AP menggeser paradigma lama administrasi pemerintahan ke paradigma yang baru. Paradigma tersebut mengiringi arah paradigma pelayanan publik dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang makin berkembang, terutama seiring dengan era keterbukaan yang menuntut akses informasi seluas-luasnya untuk publik. Hal demikian niscaya mengingat tugas-tugas pemerintahan yang kian kompleks, baik mengenai sifat pekerjaan, jenis tugas maupun mengenai orang-orang yang melaksanakan.[4]


Karakter Tindakan Hukum Administrasi Negara
    Dalam kepustakaan Hukum Administrasi Negara Belanda (Nederlandse Bestuursrecht), CJN. Versteden[5] menyatakan bahwa:

    Zo geeft het bestuursrecht het bestuur veelvuldig bevoegdheden om hem eenzijdig (dus ook zonder dat betrokkene daaraan behoeft mee te werken) te dwingen iets te doen of te laten. Een bestuursorgan kan de hem als zodanig toekomende bevoegheden hebben gekregen d.m.v. attributie, delegatie of mandaat. Deze begrippen zullen hierna nog nader uit de doeken wirden gedaan. Legitimatie van het bestuur vindt bijvoorbeeld plaats in alle bepalingen waarin bepaalde handelingen enz. verboden worden behoudens vergunning, ontheffing en andere beschikkingen.

     Karakter suatu Keputusan Tata Usaha sebagai suatu perbuatan hukum administrasi negara yang bersifat sepihak (eenzijdig) lazimnya dilengkapi dengan kewenangan memaksakan untuk dilakukan atau tidak dilakukannya sesuatu hal tertentu. Penilaian terhadap kewenangan hukum administrasi negara dalam pelaksanaan tindakan hukum administrasi negara oleh badan atau pejabat tata usaha negara harus dikembalikan pada sifat wewenang pemerintahan tersebut dalam bentuk: atribusi, delegasi dan mandat. Oleh karena itu, untuk menentukan karakter hukum administrasi negara dari suatu tindakan pemerintah, harus ditelusuri dari sifat kewenangan yang diberikan melalui 3 (tiga) sumber kewenangan tersebut.
      Terkait dengan sifat kewenangan hukum administrasi negara suatu tindakan pemerintah perlu ditelusuri pula dari makna hukum administrasi negara. Francisco Esparraga dan Ian Ellis-Jones[6] mengatakan:

      Administrative law is:
      * a branch of 'public law'
      * primarily concerned with the functions, powers and obligations of the executive arm of government, including the administration, and certain non-governmental bodies, known as 'domestic tribunals'.
Berdasarkan pemahaman makna hukum administrasi negara tersebut dapat ditelusuri karakter suatu tindakan hukum pemerintah sebagai suatu tindakan hukum administrasi negara yang berkaitan dengan fungsi, kekuasaan dan berbagai kewajiban dari organ pemerintah. Esparraga dan Ian Ellis-Jones melanjutkan bahwa: " However, what is 'administrative' will include, for example, the application of a general policy or rule to particular cases...." Oleh karena itu, dengan menelusuri makna dan hakikat dari hukum administrasi negara, dapat diketahui bahwa terhadap suatu tindakan hukum afministrasi negara terlebih dahulu harus diterapkan parameter keabsahan dalam perspektif peraturan perundang-undangan di bidang tata usaha negara maupun asas-asas umum pemerintahan yang baik. Hal itu disebabkan suatu tindakan hukum administrasi negara selalu dapat diuji legalitasnya karena merupakan produk kewenangan jabatan tata usaha negara.

Tanggung Gugat Jabatan Tata Usaha Negara
      Berdasarkan ketentuan hukum, pejabat hanya menjalankan fungsi dan wewenang, karena pejabat tidak memiliki wewenang. Yang memiliki dan dilekati wewenang adalah jabatan. Dalam kaitan ini, Logemann mengatakan bahwa, berdasarkan Hukum Tata Negara, jabatanlah yang dibebani dengan kewajiban, yang diberi wewenang untuk melakukan perbuatan hukum. Logemann[7] mengatakan bahwa Negara dan organisasi jabatan “de staat is ambtenorganisatie” dan dalam suatu Negara itu ada jabatan pemerintahan, yakni lingkungan pekerjaan tetap yang dilekati dengan wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, yakni semua tugas-tugas kenegaraan selain bidang pembuatan undang-undang dan peradilan, yang menurut CJN Versteden dikatakan sebagai: ”elke werkzaamheid van de overheid, welke niet als wetgeving of als rechtspraak is aan te merken”[8]. Tugas dan wewenang yang melekat pada jabatan ini menurut FR Bothlingk[9] dijalankan oleh manusia (natuurlijke persoon), yang bertindak selaku wakil jabatan dan disebut pemangku jabatan atau pejabat. Logemann juga berpendapat bahwa Hak dan Kewajiban berjalan terus, tidak peduli dengan pergantian pejabat[10]. Karena kewenangan itu melekat pada jabatan, sementara tanggungjawab dalam bidang hukum publik itu terkait dengan kewenangan, maka beban tanggungjawab itu pada dasarnya juga melekat pada jabatan. Tanggungjawab jabatan ini berkenaan dengan keabsahan tindakan hukum pemerintahan yang dilakukan oleh pejabat untuk dan atas nama jabatan (ambtshalve).
      Sehubungan dengan analisis tersebut, jika terjadi dugaan adanya tindakan maladministrasi terlebih dahulu yang harus diuji adalah keabsahan tindakan hukum administrasi negara yang dilakukan oleh pejabat tata usaha negara tersebut dalam koridor hukum administrasi negara. Tindakan hukum yang dilakukan oleh pejabat tata usaha negara yang dituangkan dalam suatu Keputusan Tata Usaha Negara merupakan kompetensi dari Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Pajak atau jika terkait dengan pelayanan publik, hal itu merupakan kewenangan dari Ombudsman.
      Maladministrasi berasal dari bahasa Latin malum (jahat, buruk, jelek) dan administrare (to manage, mengurus, atau melayani), Maladministrasi berarti pelayanan atau pengurusan yang buruk atau jelak. Berdasarkan pasal 1 angka (3) UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, yang dimaksud Maladministrasi adalah “Perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial masyarakat dan orang perseorangan”. 
      Jika terjadi perdebatan seputar keabsahan tindakan hukum pejabat tata usaha negara yang di dalam peraturan perundang-undangan yang mendasari tindakan jabatan tata usaha negara tersebut dinisbatkan sebagai tindakan hukum administrasi negara, harus digunakan parameter keabsahan (rechtsmatigheid) terhadap tindakan hukum tersebut. Jika ada tuduhan dilakukannya penyalahgunaan kewenangan jabatan tata usaha negara sejauh didasarkan atas kewenangan atributif, delegasi atau mandat dalam norma yang berkarakter Hukum Administrasi Negara, yang diukur adalah keabsahan tindakan jabatan tata usaha negara itu ditinjau dari sudut hukum administrasi negara, bukan diarahkan pertama-tama kepada persoon pejabat-nya. Pengujian keabsahan (rechtsmatigheid toetsing) terhadap tindakan pejabat tata usaha negara harus ditelusuri ruang lingkupnya dari dimensi kewenangan, prosedur dan substansinya dengan mengukur koherensi isi dan tujuan peraturan dasarnya dengan isi dan tujuan Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) yang dikeluarkan oleh pejabat tata usaha negara tersebut. Hal itu merupakan konsekuensi dari eksistensi salah satu unsur dari negara hukum (rechtsstaat) yaitu prinsip pemerintahan menurut hukum (rectsmatigheid van het bestuur).


Perspektif Yuridis Keputusan Tata Usaha Negara di Bidang Kepabeanan
      Pelaksanaan fungsi pemerintah (sturende functie) oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang merupakan salah satu unit pemerintahan di bawah Kementerian Keuangan dilaksanakan di ranah empat peran yang penting sebagai perwujudan tugas negara, antara lain; mengumpulkan dan mengamankan penerimaan negara dari sektor pabean dan cukai (revenue collector), mendukung terciptanya penciptaan iklim usaha yang kondusif dengan pemberian berbagai fasilitas di bidang kepabeanan dan cukai (industrial assistance), memfasilitasi kegiatan perdagangan internasional (trade facilitator), dan mencegah dan mengawasi masuknya barang-barang yang dilarang atau dibatasi yang dapat menimbulkan efek negatif bagi keamanan masyarakat dan negara (community protector).
    Dalam melaksanakan keempat peran ini, DJBC memiliki kewenangan-kewenangan sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007. Di antara banyak kewenangan tersebut, ada kewenangan-kewenangan yang bersifat administatif (directive) yang tersebar dalam pasal 3, 4, 5, 8, 9, 10, 11, 13, 14, 15, 16, 17, 20, 23, 25, 26, 27, 28, 29, 32, 36, 37, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50,  dan 51 Undang-Undang Kepabeanan, dan pasal 7, 8, 9, 10, 12, 14, 16, 17, 26, 27, 33, 35, 40a, 41, dan 62 Undang-Undang Cukai.
      Kewenangan pelaksanaan fungsi pemerintah di bidang kepabeanan tersebut dilengkapi dengan kewenangan untuk melaksanakan penegakan hukum di bidang kepabeanan melalui sanksi-sanksi dalam hukum administrasi negara (handhaving van het administratieve recht). Dalam hukum adminitrasi negara, badan atau pejabat tata usaha negara memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi HAN berupa paksaan administratif (bestuursdwang), pencabutan Keputusan TUN, denda administratif (administratieve boete) maupun uang paksa (dwangsom). Jika menilik kewenangan yang melekat pada jabatan tata usaha negara di bidang kepabeanan, terlihat adanya kewenangan ganda (dual function), yaitu kewenangan di bidang hukum afministrasi negara, sekaligus kewenangan penyidikan yang kazimnya terletak di ranah hukum acara pidana (Pasal 112 UU Kepabeanan). Kewenangan penyidikan itu merupakan kewenangan khusus yang diberikan kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.Tidak berlakunya asas nebis in idem dalam hal penjatuhan sanksi pidana bersamaan dengan sanksi hukum administrasi memungkinkan dijatuhkannya sanksi pidana bersamaan dengan sanksi admibustratif terhadap pelanggaran hukum di bidang kepabeanan, yang ditujukan untuk nengefektifkan fungsi pemerintah di bidang kepabeanan. Namun, dalam penegakan hukum administrasi negara, harus tetap diperhatikan prinsip bahwa sanksi yang bersifat sejenis tidak bisa diterapkan bersama-sama (asas nebis vexari). Misalnya, sanksi paksaan administratif (bestuursdwang) tidak boleh diterapkan bersama-sama dengan uang paksa (dwangsom), karena sifatnya yang substitutif.
Penetapan Pejabat Pabean merupakan suatu keputusan oleh Pejabat Pabean yang dapat mengakibatkan timbulnya kewajiban membayar bagi seseorang atau badan hukum berupa sejumlah pungutan pabean dan/atau sanksi administrasi berupa denda. Penetapan pabean juga dapat berupa pencabutan fasilitas pabean, atau penetapan lainnya sebagai akibat penafsiran peraturan. Penetapan Pejabat Pabean dapat merugikan orang atau badan hukum pengguna jasa kepabeanan. Orang atau badan hukum yang tidak setuju karena merasa benar atau yang merasa kepentingannya dirugikan atas penetapan Pejabat Pabean akan melakukan perlawanan. Penetapan Pejabat Pabean yang dirasa tidak adil oleh pengguna jasa kepabeanan akan mendorongnya untuk mengajukan gugatan atas penetapan Pejabat Pabean. Misalnya penetapan pejabat di lingkungan Bea dan Cukai pada Pasal 17 UU Kepabeanan yang mengatur: (1) Direktur  Jenderal  dapat menetapkan kembali tarif dan nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean; (2) Dalam hal penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbeda dengan penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Direktur Jenderal memberitahukan secara tertulis kepada importir untuk: a. melunasi bea masuk yang kurang dibayar; atau b. mendapatkan pengembalian bea masuk yang lebih dibayar; (3). Bea masuk yang kurang dibayar atau pengembalian bea masuk yang lebih dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibayar sesuai dengan penetapan kembali; (4) Penetapan  kembali  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (2), apabila diakibatkan oleh adanya kesalahan nilai transaksi yang diberitahukan sehingga mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk, dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang kurang dibayar dan paling banyak 1000% (seribu persen) dari bea masuk yang kurang dibayar.[11]


Berkaitan dengan upaya hukum yang dapat dilakukan terkait dengan penetapan sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 ayat (2),  diatur adanya hak untuk mengajukan keberatan (administratieve bezwaar) sebagaimana diatur pada Pasal 95 UU Kepabeanan. Pasal 95 UU Kepabeanan mengatur bahwa orang yang berkeberatan terhadap penetapan Direktur Jenderal atas tarif dan nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), keputusan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2), Pasal 93A ayat (4), atau Pasal 94 ayat (2) dapat mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan atau tanggal keputusan, setelah pungutan yang terutang dilunasi.
      





Jika mencermati ketentuan-ketentuan tersebut, terlihat dengan jelas karakter tindakan hukum yang dilakukan pejabat pemerintah dengan mendasarkan pada Pasal 17 UU Kepabeanan merupakan tindakan hukum administrasi negara pejabat pemerintah yang berpotensi untuk dipersoalkan oleh pihak yang merasa dirugikan atas keputusan tersebut.. Maka, jika ada keberatan terkait penetapan pejabat pemerintah penilaian mengenai dimensi kewenangan, prosedur dan substansi yang terkait dengannya, merupakan isu legalitas dan harus diuji berdasarkan norma-norma hukum administrasi negara (bestuursnorm).


      Rumusan ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU Kepabeanan tersebut menggunakan kata "dapat" dalam ketentuan yang menyatakan: Direktur  Jenderal  dapat menetapkan kembali tarif dan nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean. Tipologi norma semacam itu dalam Hukum Administrasi Negara dikategorikan sebagai norma yang memberikan kebebasan penilaian (beoordelingsvrijheid) kepada pejabat tata usaha negara. Dengan mempertimbangkan kondisi yang dihadapi pejabat pemerintah diberikan wewenang secara eksklusif untuk mempertimbangkan penetapan Keputusan TUN vide Pasal 17 ayat (2). Kewenangan diskresioner semacam itu mengharuskan adanya penghormatan dari hakim dan aparat penegak hukum untuk tidak mempersoalkannya, sejauh dipenuhi syarat-syarat penggunaan wewenang diskresi, yaitu: (1) Tidak melanggar undang-undang dan (2) Tidak bertentangan dengan kepentingan umum (publieke belang).


 



            Kini, UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan secara normatif mengatur dengan tegas hal-hal seputar kewenangan diskresi dari pejabat administrasi  pemerintah.

Pada Pasal 22 UUAP diatur bahwa: (1) diskresi hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan yang berwenang; (2) Setiap penggunaan Diskresi Pejabat Pemerintahan bertujuan untuk: a. melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;  b. mengisi kekosongan hukum; c. memberikan kepastian hukum; dan  d. mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Lingkup diskresi Pejabat Pemerintahan pada Pasal 23 UUAP diatur meliputi:  a. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan Keputusan dan/atau Tindakan;  b. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak mengatur; c. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas; dan  d. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.
Pasal 24 UUAP mengatur mengenai persyaratan penggunaan kewenangan diskresi. Pejabat Pemerintahan yang menggunakan Diskresi menurut Pasal 24 UUAP harus memenuhi syarat: a. sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2); b. tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. sesuai dengan AUPB; d. berdasarkan alasan-alasan yang objektif;  e. tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan f. dilakukan dengan iktikad baik. Selanjutnya, Pasal 25 UUAP mengatur bahwa: (1) penggunaan Diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran wajib memperoleh persetujuan dari Atasan Pejabat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila penggunaan Diskresi berdasarkan ketentuan Pasal 23 huruf a, huruf b, dan huruf c serta menimbulkan akibat hukum yang berpotensi membebani keuangan negara; (3) Dalam hal penggunaan Diskresi menimbulkan keresahan masyarakat, keadaan darurat, mendesak dan/atau terjadi bencana alam, Pejabat Pemerintahan wajib memberitahukan kepada Atasan Pejabat sebelum penggunaan Diskresi dan melaporkan kepada Atasan Pejabat setelah penggunaan Diskresi; (4) Pemberitahuan sebelum penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan apabila penggunaan Diskresi berdasarkan ketentuan dalam Pasal 23 huruf d yang berpotensi menimbulkan keresahan masyarakat; (5) Pelaporan setelah penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan apabila penggunaan Diskresi berdasarkan ketentuan dalam Pasal 23 huruf d yang terjadi dalam keadaan darurat, keadaan mendesak, dan/atau terjadi bencana alam.
             Dakam teori hukum administrasi negara, dikenal adagium "kebijakan tidak dapat diadili". Hal itu berarti adanya jaminan imunitas dari tindakan uji materiil (judicial review) terhadap tindakan hukum yang dilakukan oleh badan atau pejabat pemerintah. Bahkan, sebagai komparasi, di Amerika Serikat, persoalan diskresi yang dilakukan pejabat pemerintah termasuk dalam kategori political question atau nonjusticiable issue. Artinya, pengadilan akan menahan diri untuk tidak melakukan intervensi (self restraint) atas kewenangan pemerintah yang bersifat tekhnikal dalam menggunakan kewenangan diskresi (discretionnaire power) tersebut.
Sehubungan dengan karakter dari diskresi yang memang memiliki batas yang tipis dengan potensi terjadinya penyalahgunaan wewenang, maka , dalam UUAP juga diatur secara ketat prosedur penggunaan kewenangan diskresi. Hal disebabkan penggunaan kewenangan diskresi berpotensi menimbulkan akibat hukum sebagaimana diatur pada Pasal 30 UUAP yaitu terjadinya tindakan melampaui wewenang (power exceed ). Pasal 30 ayat (1) UUAP mengatur bahwa penggunaan Diskresi dikategorikan melampaui Wewenang apabila:  a. bertindak melampaui batas waktu berlakunya Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan; b. bertindak melampaui batas wilayah berlakunya Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau  c. tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28. Jika terjadi akibat hukum tersebut, maka, menurut Pasal 30 ayat (2) UUAP akibat hukum dari penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tidak sah.
Tindakan diskresi juga berpotensi menimbulkan akibat hukum berupa pencampuradukan wewenang (power mixed). Pasal 31 UUAP mengatur bahwa: (1) Penggunaan Diskresi dikategorikan mencampuradukkan Wewenang apabila:a. menggunakan Diskresi tidak sesuai dengan tujuan Wewenang yang diberikan; b. tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28; dan/atau  c.bertentangan dengan AUPB. Selanjutnya ayat (2) dari pasal 31 tersebut mengatur bahwa akibat hukum dari penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibatalkan.
Diskresi juga bisa dikategorikan sebagai tindakan sewenang-wenang (arbitrary) jika  dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berwenang (Pasal 32 ayat 2 UUAP). Akibat hukum dari penggunaan Diskresi semacam itu menurut Pasal 32 ayat (2) UUAP menjadi tidak sah.
Kewenangan Penetapan oleh Pejabat Pabean ditetapkan dalam Undang-undang Kepabeanan yang tersebar di dalam pasal Undang-undang. Hal tersebut berkaitan dengan kewenangan Pejabat Pabean yang diatur dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 jo. Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan. Penetapan tarif dan nilai pabean diatur dalam pasal 16 dan pasal 17 UU Kepabeanan. Penetapan sanksi administrasi berupa denda diatur pada tiap-tiap pasal yang tersebar dalam UU Kepabeanan; demikian juga penetapan selain tarif dan nilai pabean, misalnya penetapan berupa pencabutan pemberian fasilitas atau kemudahan di bidang kepabeanan, atau penetapan lainnya sebagai akibat dari perbedaan penafsiran peraturan terkait kepabeanan (penjelasan pasal 93 A ayat 1)[12].
 Tata cara penetapan tarif, nilai pabean, dan sanksi administrasi, serta penetapan Pejabat Pabean diatur dalam Peraturan Menteri keuangan Nomor 147/PMK.04/2009 jo. Nomor 51/PMK.04/2008.  Penetapan Pejabat Pabean dapat berupa:
  1. Surat Penetapan Tarif dan Nilai pabean (SPTNP) adalah surat penetapan Pejabat Pabean  (Pejabat Bea dan Cukai) atas Tarif dan/atau nilai pabean.
  2. Surat Penetapan Kembali Tarif dan Nilai pabean (SPKTNP) adalah surat penetapan kembali atasan Pejabat Pabean (Dirjen Bea dan Cukai atau Pejabat yang ditunjuk) atas Tarif dan/atau nilai pabean.
  3. Surat Penetapan Pabean (SPP) adalah surat penetapan pejabat pabean atas tarif dan/atau nilai pabean, dan penetapan selain tarif dan/atau nilai pabean.
  4. Surat Penetapan Sanksi Administrasi (SPSA) adalah surat penetapan Pejabat Pabean atas Sanksi Administrasi berupa denda.
        Penerbitan Surat Penetapan merupakan koreksi yang dilakukan oleh Pejabat Pabean atas pemberitahuan pabean yang diajukan oleh importir yang merupakan hasil dari pemeriksaan pabean. Pengguna jasa kepabeanan atau orang/badan hukum terkait kepabeanan yang merasa pemberitahuan pabean yang disampaikannya sudah benar atau merasa tidak berbuat menyimpang dari peraturan kepabeanan seyogyanya dapat mengajukan gugatan atas penetapan Pejabat Pabean ke pengadilan. Penetapan Pejabat Pabean dapat menimbulkan sengketa yang menyangkut Tata Usaha Negara, sehingga masuk akal jika penetapan Pejabat Pabean dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Gugatan merupakan permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang diajukan ke Pengadilan untuk mendapat keputusan. Dalam Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk semua keputusan yang ditetapkan oleh Badan atau Pejabat tata usaha negara yang bersifat mengikat secara umum.  Dalam kaitannya dengan surat penetapan yang diterbitkan oleh Pejabat Pabean, Penetapan Pejabat Pabean tersebut merupakan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Penetapan Pejabat Pabean tersebut bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan.
 Sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara, pengertian Tata Usaha Negara adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang merupakan kegiatan yang bersifat eksekutif.  Seperti diketahui bahwa kegiatan penetapan oleh Pejabat Pabean merupakan kegiatan yang bersifat eksekutif, karena DJBC melaksanakan fungsi eksekutif yang merupakan bagian dari pemerintah.
Perspektif Landasan Hukum Keputusan Administrasi Pemerintahan
            Supaya suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh pejabat Bea dan Cukai dinyatakan sah, perlu memperhatikan batasan yang terdapat dalam Hukum Administrasi Materiil maupun Hukum Administrasi Formi. Batasan dalam Hukum Administrasi Materiil diatur dalam UUAP.  Pasal 8 UUAP mengatur bahwa: (1) Setiap Keputusan dan/atau Tindakan harus ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang; (2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menggunakan Wewenang wajib berdasarkan: a. peraturan perundang-undangan; dan b. AUPB; (3) Pejabat Administrasi Pemerintahan dilarang menyalahgunakan Kewenangan dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.

Pasal 9 UUAP mengatur bahwa: (1) Setiap Keputusan dan/atau Tindakan wajib berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB; (2) Peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar Kewenangan; dan b. peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan; (3) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan wajib mencantumkan atau menunjukkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar Kewenangan dan dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan. Namun, peluang diskresi dibuka ruangnya oleh Pasal 9 ayat (4) UUAP yang mengatur bahwa ketiadaan atau ketidakjelasan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, tidak menghalangi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan sepanjang memberikan kemanfaatan umum dan sesuai dengan AUPB. AUPB yang dimaksud dalam UUAP diatur pada Pasal 10 meliputi asas: a. kepastian hukum; b. kemanfaatan; c. ketidakberpihakan;  d. kecermatan; e. tidak menyalahgunakan kewenangan;  f. keterbukaan;  g. kepentingan umum; dan h. pelayanan yang baik.











Pasal 17 UUAP mengatur mengenai larangan penyalahgunaan wwewenang (abuse of power) bagi badan atau pejabat pemerintahan.Pasal 17 UUAP mengatur bahwa: (1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan Wewenang; (2) Larangan penyalahgunaan Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. larangan melampaui Wewenang;  b. larangan mencampuradukkan Wewenang; dan/atau c. larangan bertindak sewenang-wenang.
Pasal 18 UUAP mengatur bahwa: (1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan melampaui Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan:  a. melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya Wewenang;  b. melampaui batas wilayah berlakunya Wewenang; dan/atau c. bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan mencampuradukkan Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan:  a. di luar cakupan bidang atau materi Wewenang yang diberikan; dan/atau  b. bertentangan dengan tujuan Wewenang yang diberikan.  (3) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan bertindak sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan:  a. tanpa dasar Kewenangan; dan/atau  b. bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Dalam rangka mewujudkan sistem checks and balances dalam penyelenggaraan kekuasaan negara, Pasal 19 UUAP mengatur kewenangan peradilan (dalam hal ini Peradilan Tata Usaha Negara) untuk menguji tindakan hukum administrasi pemerintahan tersebut guna menentukan ada/tidaknya tindakan yang dikategorikan sebagai melampaui wewenang (power exceed) atau sewenang-wenang (arbitrary). Hal itu dimaksudkan untuk mewujudkan asas kepastian hukum jika terjadi dugaan/tuduhan adanya tindakan dari aparat pemerintah yang melampaui wewenang atau sewenang-wenang.
Batasan bagi tindakan badan atau pejabat tata usaha negara dalam melakukan tindakan hukum tata usaha negara dalam hukum formil (Hukum Acara PTUN) dirumuskan secara lebih sederhana. Pasal 53 ayat (2) huruf b UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara hanya mengatur syarat sahnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara tidak boleh bertentangan  dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB).

Daftar Pustaka

Esparraga, Francisco, et.al., 2011, Administrative Law-Guidebook, Oxford University Press, Australia & New Zealand.

Guntur Hamzah, Makalah, disampaikan pada Seminar Sehari dalam rangka HUT Peradilan Tata Usaha Negara ke-26 dengan tema: Paradigma Baru Penyelenggaraan Pemerintahan Berdasarkan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, kaitannya dengan Perkembangan Hukum Acara Peratun, yang diselenggarakan di Hotel Mercure, Jakarta, 26 Januari 2016. 

Haan, P. de, et.al., 1986, Bestuursrecht in de Sociale Rechtsstat Deel 1 Ontwikkeling, Organisatie, Instrumentarium, Kluwer, Deventer, Nederland.

Versteden, CJN., 1984, Inleiding Algemeen Bestuursrecht, Samsom HD Tjeenk Willinkm Alphen den Rijn, Vuga Boekerij 's Gravenhage.

W. Riawan Tjandra, 2012, Demokrasi Melawan Kekuasaan Melalui PTUN, Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta.

__________________, 2018, Hukum Administrasi Negara, Sinar Grafika, Jakarta.



[1] Materi dalam In House Training  yang diselenggarakan di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B Yogyakarta, 27 November 2019.
[2] Guntur Hamzah, Makalah dalam Seminar Sehari dalam rangka HUT Peradilan Tata Usaha Negara ke-26 dengan tema: Paradigma Baru Penyelenggaraan Pemerintahan Berdasarkan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, kaitannya dengan Perkembangan Hukum Acara Peratun, yang diselenggarakan di Hotel Mercure, Jakarta, 26 Januari 2016
[3] Dalam Pasal 87 UU AP dinyatakan:
Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang- Undang Nomor 51 Tahun 2009 harus dimaknai sebagai:
                        a. penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
                        b. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;
                        c. berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;
                        d. bersifat final dalam arti lebih luas;
                        e. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau
                        f. Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.

[4]Guntur Hamzah, op.cit.
[5] Versteden, CJN., 1984, Inleiding Algemeen Bestuursrecht, Samsom HD Tjeenk Willink Alphen den Rijn, Vuga Boekerij 's Gravenhage.

[6] Francisco, Esparraga, et.al., 2011, Administrative Law-Guidebook, Oxford University Press, Australia & New Zealand.

[7] Logemann, 1854:88
[8] C.J.N.Versteden,1984:13)
[9] F.R.Bothlingk,1954:32.
[10] Logemann, 1958:89.
[11] Ahmad Dimyati, Pengajuan Sengketa Penetapan Pejabat Pabean Ke Pengadilan Tata Tata Usaha Negara: Mungkinkah, https://bppk.kemenkeu.go.id/id/9sml5wtcb8i/165v637/19744.html


[12] Ibid.


Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...