Kebijakan Keuangan Negara Dalam
Mengatasi Pandemi Covid-19
Oleh: W. Riawan Tjandra
Pengajar Hukum Administrasi Negara
pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Pandemi Covid-19 yang melanda hampir
seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia, telah menimbulkan kedaruratan
kesehatan, sosial dan ekonomi di banyak negara. Langkah Pemerintah RI dalam
mengatasi pandemi Covid-19 dilakukan melalui serangkaian kebijakan struktural
untuk menghadapi bahaya penyakit yang mematikan itu.
Kebijakan yang diambil di sektor
keuangan dilakukan diawali dengan
menerbitkan Perppu No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan
Stabilitas Sistem Keuangan Untuk
Penanganan Pandemi Covid-19 Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian
Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan. Presiden juga mengeluarkan Inpres
No. 4 Tahun 2020 tentang Refocusing
Kegiatan, Realokasi Anggaran, Serta Pengadaan Barang dan Jasa Dalam Rangka
Percepatan Penanganan Covid-19
sebagai landasan kebijakan untuk menyesuaikan kebutuhan penanganan pandemi covid-19 secara efektif dengan anggaran
yang tersedia dalam APBN tahun 2020. Langkah mengeluarkan kebijakan ini dinilai
tepat, mengingat kebutuhan APD, rumah sakit darurat untuk menangani
pasien-pasien yang terpapar covid-19,
obat-obatan, biaya pendukung medis, dan lain-lain harus segera tersedia. Inpres tersebut merupakan solusi darurat
dalam menghadapi kondisi darurat covid-19
yang membutuhkan anggaran yang besar. Selain itu, dampak sosial ekonomi
dari kondisi darurat covid-19 juga harus diatasi melalui kebijakan keuangan
negara yang kemudian mendorong pemerintah untuk mengeluarkan Perppu No. 1 Tahun
2020.
Terkait lahirnya Perppu No. 1 Tahun
2020, ada sejumlah pihak yang mempertanyakan apakah kebijakan itu tidak
melanggar ketentuan Pasal 27 ayat (4) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara yang mengatur bahwa dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan
pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam
rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran.
Terkait dengan keberadaan Pasal 27 ayat (4) UU No. 17 Tahun 2003 tersebut dapat
diberikan catatan berikut. Pertama, pada saat menghadapi ancaman pandemi
Covid-19 yang mengharuskan langkah-langkah untuk melakukan physical distancing
maupun PSBB serta sejumlah protokol kesehatan lain, tidak mudah menggunakan
Pasal 27 ayat (4) UU No. 17 Tahun 2003 dengan menempuh jalur rancangan
perubahan APBN. Kedua, dalam menghadapi pandemi Covid-19 kebijakan yang
dilakukan pemerintah sesuai dengan keadaan yang dihadapi tidak hanya menyangkut
persoalan pengeluaran anggaran negara, namun juga menyangkut relaksasi dan
mengatur fleksibilitas/penundaan penerimaan negara baik yang bersumber dari
pajak maupun non pajak. Ketiga, dalam mengatasi dampak sosial dan ekonomi
akibat pandemi Covid-19 juga diperlukan sinergi kebijakan aktor-aktor kebijakan
di bidang fiskal dan keuangan. Hal itu juga diatur diantaranya pada Pasal 21 UU
No. 17 Tahun 2003 yang mengharuskan adanya koordinasi antara Pemerintah dengan
Bank Sentral.
Di
ranah tekhnis operasional pemerintah juga perlu membuat landasan hukum bagi
relaksasi penerimaan negara maupun stimulus fiskal dari sejumlah sumber
penerimaan dengan mengeluarkan sejumlah Peraturan Menteri Keuangan (PMK),
antara lain PMK No. 11/PMK.010/2020 yang memberikan fasilitas pajak penghasilan
untuk penanaman modal di bidang-bidang tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu,
PMK No. 12/PMK.010/2020 yang mengatur mengenai kebijakan pemerintah untuk
menanggung bea masuk sektor industri tertentu pada tahun anggaran 2020, PMK No.
16/PMK.010/2020 yang mengatur kebijakan pemberian fasilitas pengurangan
penghasilan neto atas penamanan modal baru atau perluasan usaha pada bidang
usaha tertentu yang merupakan industri padat karya dan sejumlah PMK lain.
Kebijakan
untuk melakukan refocusing kegiatan
dan realokasi anggaran melalui Inpres No. 4 Tahun 2020 dalam Hukum Administrasi
Negara menunjukkan digunakannya kewenangan diskresi presiden dalam menghadapi
kondisi darurat pandemi Covid-19 yang diwujudkan dalam bentuk produk peraturan
kebijakan (policy rule) berupa
Instruksi Presiden. Ketidakmungkinan penggunaan APBN dengan seluruh mata
anggaran yang tersedia sudah disusun sejak tahun 2019 melalui proses
perencanaan anggaran yang sangat panjang mengharuskan dikeluarkan Inpres No. 4
Tahun 2020. Di ranah pengadaan barang/jasa, dilakukan perubahan desain pengadaan
barang/jasa. Hal itu terjadi karena adanya gangguan pada rantai pasok yang menimbulkan disrupsi
terhadap produk maupun distribusi pengadaan barang/jasa penanganan Covid-19 yang
telah menimbulkan ketidakpastian yang tinggi bagi para pelaku ekonomi termasuk
pemerintah sebagai pembeli dan penyedia sebagai penjual. Guna mengatasi
kondisi itu. digunakanlah Peraturan LKPP Nomor 13 Tahun 2018 tentang Pengadaan
Barang/Jasa dalam Keadaan Darurat yang diikuti dengan diterbitkannya Surat
Edaran LKPP Nomor 3 Tahun 2020 tentang Penjelasan atas Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa dalam Rangka Penanganan Covid-2019, serta mengenai pengadaan dalam
keadaan darurat digunakan Bab VIII Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 yang
mengatur mengenai Pengadaan Khusus.
Perppu No. 1 Tahun 2020 yang
dimaksudkan untuk menjadi jalan darurat di bidang keuangan negara guna
merespons secara cepat ancaman bahaya Covid-19. Perppu No. 1 Tahun 2020
mengatur sejumlah kebijakan darurat prinsip. Pertama, menyangkut obyek diatur
kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan di bidang pendapatan
negara termasuk di bidang perpajakan, belanja negara termasuk di bidang
keuangan daerah, dan pembiayaan. Kedua, peranan aktor-aktor kebijakan di bidang
fiskal dan moneter yaitu Bank Indonesia, OJK, KSSK dan Lembaga Penjamin
Simpanan. Ketiga, konsekuensi dari dilakukan kebijakan diskresi dalam bidang
keuangan maka diperlukan jaminan kepastian hukum menyangkut subyek pengambil
kebijakan keuangan agar tidak dituntut secara perdata maupun pidana dengan
syarat pelaksanaan tugas dilakukan berdasarkan itikad baik dan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Menyangkut obyek kebijakan terkait implementasi
Perppu No. 1 Tahun 2020 biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau
lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara
termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk
kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas
sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari
biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan
kerugian negara. Meskipun hal itu merupakan konsekuensi dari diskresi yang
diberikan kepada badan atau pejabat administrasi negara, namun, potensi fraud dan penyalahgunaan wewenang harus
diantisipasi dengan mengefektifkan pengawasan internal maupun eksternal di
seluruh mekanisme penggunaan keuangan negara. Jika kebijakan dilakukan tidak
didasarkan atas itikad baik dan melanggar peraturan perundang-undangan,
tentunya hal itu berada di luar jaminan perlindungan hukum (legal protection) bagi kewenangan
diskresi pejabat administrasi negara dalam Perppu No. 1 Tahun 2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar