Hiperrealitas Makna Premanisme
W. Riawan Tjandra, Pengamat
filsafat hukum, mengajar di FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Kata “premanisme” kini kian luas
dipergunakan dalam berbagai wacana bahkan juga menjadi rujukan kebijakan aparat
keamanan di saat melakukan operasi penangkapan terhadap kelompok-kelompok
masyarakat yang dengan tipologi dan karakteristik tertentu dihubungkan dengan
penggunaan kata tersebut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah
preman sebagai kata benda (noun)
diartikan sebagai:partikelir atau swasta, sipil
sebagai lawan kata tentara. Bisa juga diartikan sebagai kepunyaan sendiri jika dikaitkan dengan kendaraan;
orang sipil, bukan militer; mobil pribadi (bukan mobil
dinas); bukan pakaian seragam militer. Namun, dalam KBBI kata
“preman” juga digunakan sebagai sebutan kepada orang jahat (penodong, perampok,
pemeras, dan sebagainya) yang merupakan kualifikasi subjektif karena merujuk
pada pelakunya.
Istilah preman sendiri dalam kosa
kata perundang-undangan di bidang penegakan hukum pada hakikatnya tidak pernah
dipergunakan untuk mengkualifikasikan subjek (pelaku), namun beberapa ketentuan
dalam KUHP bisa dikaitkan dengan perbuatan pemaksaan, pemerasan, perampokan dan
sejenisnya sebagai kualifikasi objek karena merujuk pada perbuatan jahat yang
dilakukan seseorang pelaku tindak pidana. Kini, kata premanisme terkesan justru
digunakan sebagai justifikasi terselubung terhadap aksi penyerbuan dan
pembantaian yang dilakukan oleh sejumlah oknum Kopassus di Lapas Cebongan,
Sleman, DIY. Dari berbagai spanduk/pamflet yang bertebaran di berbagai sudut kota di seputar Jogyakarta dan Surakarta misalnya bisa menimbulkan penilaian
atau sekurang-kurangnya memang ada upaya
untuk memengaruhi opini publik bahwa aksi yang dilakukan di Lapas Cebongan
merupakan upaya pemberantasan preman.
Publik berupaya digiring melalui
hermeneutika sepihak agar membenarkan sekurang-kurangnya memberikan toleransi
bahwa aksi yang terjadi di Cebongan benar-benar upaya untuk menumpas
premanisme. Isu premanisme tersebut bisa
dimaknai sebagai penggeseran dari hal pokok mengenai diskursus tindakan
pelanggaran HAM yang dilakukan sekelompok prajurit elite terlatih dari Kopassus
Grup 2 Kandang Menjangan, Kartasura terhadap keempat tahanan Polda DIY yang
seharusnya mendapatkan proteksi hukum selama menjalani proses hukum terhadap
pembunuhan seorang anggota Kopassus di Hugo’s café Yogyakarta yang dititipkan
di Lapas Cebongan. Sekarang sah-sah saja jika banyak orang meragukan penggunaan
kata “diamankan” jika aparat kepolisian melakukan penangkapan terhadap
tersangka tindak pidana, karena ruang tahanan pun tidak lagi bisa memproteksi
seseorang. Padahal, dalam berbagai pernyataan resmi para aparat penegak hukum
maupun elite politik rajin mengkampanyekan adagium hukum yang menyatakan bahwa
harus dikedepankan asas praduga tak bersalah.
Tindakan main hakim sendiri yang
merupakan extrajudicial killing oleh
sekelompok anggota TNI tersebut sebenarnya bukan merupakan yang pertama dan
satu-satunya yang (pernah) terjadi. Belum hilang dari ingatan publik peristiwa perusakan dan
pembakaran Mapolres OKU di Baturaja
oleh sekitar 75 anggota
personel Yon Armed 15/76 yang kini belum
tuntas diselesaikan. Tak lama berselang setelah penyerbuan Lapas Cebongan, sekelompok oknum anggota TNI AD dari Yon
Zipur 13 juga melakukan perusakan kantor DPP PDIP Lenteng Agung Jakarta yang dipicu oleh perisitwa kecelakaan
dua sepeda motor yang melibatkan anggota TNI AD tersebut. Sederet peristiwa
kekerasan dan tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh sejumlah oknum
TNI tersebut jelas bukan hanya rentetan peristiwa kebetulan yang terjadi secara
acak. Bukanlah suatu peristiwa yang
lumrah jika aparat yang dilatih dan dipersenjatai oleh negara yanag dibiayai
dengan uang rakyat dari APBN untuk mengamankan negara terhadap ancaman
kedaulatan dari luar, justru mengancam kedaulatan negara hukum yang dijamin
oleh konstitusi di negeri ini. Para petinggi
TNI harus mengevaluasi ulang kesahihan program reformasi TNI yang selama ini
didengung-dengungkan.
Kasus penyerbuan
Lapas Cebongan yang dilanjutkan dengan aksi pembantaian terhadap keempat orang
tahanan oleh sekelompok oknum anggota Kopassus harus tetap diletakkan di ranah
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Pernyataan dari Menteri Pertahanan bahwa apa yang
dilakukan para pelaku penyerbuan tersebut bukan sebagai pelanggaran HAM
merupakan ungkapan yang terlalu dini dan merupakan sebuah pernyataan yang
melampaui batas kewenangannys sebagai pejabat (ultra vires), karena Menteri Pertahanan tidak memiliki kapasitas
dan kewenangan untuk menilai kasus tersebut sebagai sebuah pelanggaran HAM atau
bukan. Semestinya Komnas HAM berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan yang
berwenang untuk mengkualifikasikan kasus tersebut sebagai sebuah pelanggaran
HAM yang harus diselesaikan melalui mekanisme peradilan HAM.
Tidak tepat pula jika kasus tersebut akan diseret ke peradilan militer
karena tindakan pembantaian di Lapas Cebongan oleh segerombolan anggota
Kopassus sampai saat ini masih terlihat dilakukan di luar dinas kemiliteran,
meskipun subjek pelakunya adalah anggota militer aktif. Pasal 65 ayat (2) UU
No. 34 Tahun 2004 tentang TNI secara eksplisit-tekstual menegaskan bahwa prajurit tunduk
kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer
dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana
umum yang diatur dengan undang-undang.
Ditinjau dari rumusan gramatikal ketentuan tersebut sudah sangat jelas bahwa
proses peradilan terhadap kasus pembantaian di Lapas Cebongan tersebut tunduk pada
sistem peradilan umum. Negara harus menyediakan perangkat hukum dan prasarana
untuk melaksanakan amanah undang-undang tersebut yang semestinya sudah harus
dibentuk segera setelah dikeluarkannya UU tentang TNI. Dalam kondisi saat ini,
Perppu bisa menjadi jalan darurat penyelesaian kasus tersebut mengingat amanat
Pasal 65 ayat (2) UU TNI. Jika dilaksanakan melalui peradilan militer, maka
sangat mudah bagi para pengacara para oknum prajurit Kopassus yang melakukan
pembantaian tersebut untuk menyatakan tidak sahnya proses peradilan militer
dalam pembelaannya atau untuk mementahkan proses peradilan militer yang
dilaksanakan atas argumentasi Pasal 65 ayat (2) UU tentang TNI tersebut pada
tingkat upaya hukum banding/kasasi. Pemberantasan premanisme dengan cara-cara
premanisme telah mengaburkan hakikat makna konstitusi yang di awal pasalnya
telah menegaskan jatidiri republik ini sebagai negara hukum. Akhirnya, makna kata
“preman” perlu diredefinisi karena ternyata siapapun bisa melakukan aksi
tersebut baik dalam bentuk kekerasan fisik atau kekerasan simbolik, entah dia
sipil atau militer, entah dia rakyat jelata atau pejabat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar