Minggu, 03 Mei 2020


Hiperrealitas Makna Premanisme
W. Riawan Tjandra, Pengamat filsafat hukum, mengajar di FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta

          Kata “premanisme” kini kian luas dipergunakan dalam berbagai wacana bahkan juga menjadi rujukan kebijakan aparat keamanan di saat melakukan operasi penangkapan terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang dengan tipologi dan karakteristik tertentu dihubungkan dengan penggunaan kata tersebut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah preman sebagai kata benda (noun) diartikan sebagai:partikelir atau swasta, sipil sebagai lawan kata tentara. Bisa juga diartikan sebagai kepunyaan sendiri jika dikaitkan dengan kendaraan;  orang sipil, bukan militer; mobil pribadi (bukan mobil dinas);  bukan pakaian seragam militer. Namun, dalam KBBI kata “preman” juga digunakan sebagai sebutan kepada orang jahat (penodong, perampok, pemeras, dan sebagainya) yang merupakan kualifikasi subjektif karena merujuk pada pelakunya.
            Istilah preman sendiri dalam kosa kata perundang-undangan di bidang penegakan hukum pada hakikatnya tidak pernah dipergunakan untuk mengkualifikasikan subjek (pelaku), namun beberapa ketentuan dalam KUHP bisa dikaitkan dengan perbuatan pemaksaan, pemerasan, perampokan dan sejenisnya sebagai kualifikasi objek karena merujuk pada perbuatan jahat yang dilakukan seseorang pelaku tindak pidana. Kini, kata premanisme terkesan justru digunakan sebagai justifikasi terselubung terhadap aksi penyerbuan dan pembantaian yang dilakukan oleh sejumlah oknum Kopassus di Lapas Cebongan, Sleman, DIY. Dari berbagai spanduk/pamflet yang bertebaran di berbagai sudut kota di seputar Jogyakarta dan Surakarta misalnya bisa menimbulkan penilaian atau sekurang-kurangnya memang  ada upaya untuk memengaruhi opini publik bahwa aksi yang dilakukan di Lapas Cebongan merupakan upaya pemberantasan preman.
            Publik berupaya digiring melalui hermeneutika sepihak agar membenarkan sekurang-kurangnya memberikan toleransi bahwa aksi yang terjadi di Cebongan benar-benar upaya untuk menumpas premanisme. Isu premanisme tersebut  bisa dimaknai sebagai penggeseran dari hal pokok mengenai diskursus tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan sekelompok prajurit elite terlatih dari Kopassus Grup 2 Kandang Menjangan, Kartasura terhadap keempat tahanan Polda DIY yang seharusnya mendapatkan proteksi hukum selama menjalani proses hukum terhadap pembunuhan seorang anggota Kopassus di Hugo’s café Yogyakarta yang dititipkan di Lapas Cebongan. Sekarang sah-sah saja jika banyak orang meragukan penggunaan kata “diamankan” jika aparat kepolisian melakukan penangkapan terhadap tersangka tindak pidana, karena ruang tahanan pun tidak lagi bisa memproteksi seseorang. Padahal, dalam berbagai pernyataan resmi para aparat penegak hukum maupun elite politik rajin mengkampanyekan adagium hukum yang menyatakan bahwa harus dikedepankan asas praduga tak bersalah.
            Tindakan main hakim sendiri yang merupakan extrajudicial killing oleh sekelompok anggota TNI tersebut sebenarnya bukan merupakan yang pertama dan satu-satunya yang (pernah) terjadi. Belum hilang dari ingatan publik peristiwa perusakan dan pembakaran Mapolres OKU di Baturaja oleh sekitar 75 anggota personel Yon Armed 15/76 yang  kini belum tuntas diselesaikan. Tak lama berselang setelah penyerbuan Lapas Cebongan, sekelompok oknum anggota TNI AD dari Yon Zipur 13 juga melakukan perusakan kantor DPP PDIP Lenteng Agung  Jakarta yang dipicu oleh perisitwa kecelakaan dua sepeda motor yang melibatkan anggota TNI AD tersebut. Sederet peristiwa kekerasan dan tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh sejumlah oknum TNI tersebut jelas bukan hanya rentetan peristiwa kebetulan yang terjadi secara acak.  Bukanlah suatu peristiwa yang lumrah jika aparat yang dilatih dan dipersenjatai oleh negara yanag dibiayai dengan uang rakyat dari APBN untuk mengamankan negara terhadap ancaman kedaulatan dari luar, justru mengancam kedaulatan negara hukum yang dijamin oleh konstitusi di negeri ini. Para petinggi TNI harus mengevaluasi ulang kesahihan program reformasi TNI yang selama ini didengung-dengungkan.
Kasus penyerbuan Lapas Cebongan yang dilanjutkan dengan aksi pembantaian terhadap keempat orang tahanan oleh sekelompok oknum anggota Kopassus harus tetap diletakkan di ranah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Pernyataan dari Menteri Pertahanan bahwa apa yang dilakukan para pelaku penyerbuan tersebut bukan sebagai pelanggaran HAM merupakan ungkapan yang terlalu dini dan merupakan sebuah pernyataan yang melampaui batas kewenangannys sebagai pejabat (ultra vires), karena Menteri Pertahanan tidak memiliki kapasitas dan kewenangan untuk menilai kasus tersebut sebagai sebuah pelanggaran HAM atau bukan. Semestinya Komnas HAM berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan yang berwenang untuk mengkualifikasikan kasus tersebut sebagai sebuah pelanggaran HAM yang harus diselesaikan melalui mekanisme peradilan HAM.
Tidak tepat pula jika kasus tersebut akan diseret ke peradilan militer karena tindakan pembantaian di Lapas Cebongan oleh segerombolan anggota Kopassus sampai saat ini masih terlihat dilakukan di luar dinas kemiliteran, meskipun subjek pelakunya adalah anggota militer aktif. Pasal 65 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI secara eksplisit-tekstual menegaskan bahwa prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang. Ditinjau dari rumusan gramatikal ketentuan tersebut sudah sangat jelas bahwa proses peradilan terhadap kasus pembantaian di Lapas Cebongan tersebut tunduk pada sistem peradilan umum. Negara harus menyediakan perangkat hukum dan prasarana untuk melaksanakan amanah undang-undang tersebut yang semestinya sudah harus dibentuk segera setelah dikeluarkannya UU tentang TNI. Dalam kondisi saat ini, Perppu bisa menjadi jalan darurat penyelesaian kasus tersebut mengingat amanat Pasal 65 ayat (2) UU TNI. Jika dilaksanakan melalui peradilan militer, maka sangat mudah bagi para pengacara para oknum prajurit Kopassus yang melakukan pembantaian tersebut untuk menyatakan tidak sahnya proses peradilan militer dalam pembelaannya atau untuk mementahkan proses peradilan militer yang dilaksanakan atas argumentasi Pasal 65 ayat (2) UU tentang TNI tersebut pada tingkat upaya hukum banding/kasasi. Pemberantasan premanisme dengan cara-cara premanisme telah mengaburkan hakikat makna konstitusi yang di awal pasalnya telah menegaskan jatidiri republik ini sebagai negara hukum. Akhirnya, makna kata “preman” perlu diredefinisi karena ternyata siapapun bisa melakukan aksi tersebut baik dalam bentuk kekerasan fisik atau kekerasan simbolik, entah dia sipil atau militer, entah dia rakyat jelata atau pejabat!
           



Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...