Minggu, 03 Mei 2020


Menuju Era Politik Postmodern
Oleh: W RIAWAN TJANDRA

            Tahun 2013 bukan hanya sekedar tahun ular dalam perhitungan kalender Tiongkok klasik, namun merupakan tahun pemanasan menuju Pilpres 2014.  Politik yang  di arena praksis mengalami peyorasi makna sebagai cara untuk meraih kekuasaan dalam pemikiran Aristoteles sejatinya memiliki makna yang mulia, karena berkaitan dengan hal-hal kenegaraan. Menurutnya, kemunculan sebuah negara tak terlepas dari watak politik manusia. Mahluk bernama manusia disebutnya sebagai zoon politicon, yaitu makhluk yang berpolitik.
            Tak jarang dikenal ungkapan bahwa manusia adalah hewan yang berpikir (human is an animal rational). Berdasarkan tabiat itu, maka pada negaralah manusia mempratikkan watak politik tersebut. Berbagai nama kandidat capres yang dihembuskan di ruang publik di awal tahun telah memetakan arena pertarungan politik dalam Pilpres mendatang yang bukan tak mungkin segera diikuti berbagai praktik transaksi politik, afirmasi politik hingga kampanye hitam (black campaign) dalam dimensi banalitas politik.
            Kontestasi politik di era modernitas berakar pada kedigdayaan kultur barat yang tak jarang menafikan kultur lokal yang di dalamnya terkandung berbagai akar nilai budaya luhur. Seluruh kontestasi berujung pada hitungan angka pemilih yang amat sering berangkat dari politik pencitraan. Tak heran, ruang publik sarat muatan berbagai pencitraan politik kaum elite yang memberangus suara kritis publik terhadap rekam jejak para aktor yang memoles dirinya dalam tampilan baru tokoh yang populis, bersih, dicintai oleh rakyat dan piawai dalam bernegara. Akibatnya, berbagai kontestasi seringkali diwarnai oleh praktik black campaign yang berakar dari naluri buas manusia di era homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya).
            Politik di era postmodern sejatinya meletakkan dasar eksistensinya di atas kedigdayaan kultur lokal serta segala sesuatu yang berasal dari wilayah sendiri. Politik postmodern mempromosikan keadilan (equity) dan kesejahteraan rakyat (bonum commune). Maka, politik di era postmodern telah menjadi rahim bagi lahirnya para pemimpin yang menempatkan kesejahteraan rakyatnya sebagai pilar kekuasaan politiknya. Blusukan di kampung-kampung kumuh, berdialog secara bebas dan egaliter dengan rakyatnya, serta sikap empati seakan-akan menandai berakhirnya politik modern yang sarat pencitraan dan kontestasi. Politik di era postmodern memungkinkan diskursus mengenai pluralitas, yang kaya dan yang miskin bisa berdampingan dalam ruang publik yang sama. Tak saling mengganggu malah memungkinkan terjadinya sinergi.
            Politik postmodernitas telah mendekonstruksi politik quidditas (esensi) yang menekankan bahwa kesejatian dilahirkan oleh representasi, bukan sekedar esensi. Kesejatian dalam postmodernitas dimaknai sebagai kehadiran atau representasi. Maka, rakyat sangat paham bahwa negara ini memang sarat masalah, banjir tak mudah diatasi karena faktor geospasial yang buruk, dan seterusnya. Namun, kehadiran/representasi sang pemimpin di kala kesusahan dialami oleh rakyat, bukan hanya memastikan bahwa negara masih ada, namun empati sang pemimpin yang bersama-sama dengan rakyatnya hendak mencari solusi atas masalah telah mengalahkan pendewaan rasionalitas manusia yang mengembalikan pemahaman bahwa manusia adalah makhluk kultural. Dengan demikian rasionalitas harus dibangun di atas nilai-nilai kultural yang beraneka ragam.
            Kesadaran bahwa sejatinya manusia juga adalah makhul kultural sebagai tanda lahirnya era politik postmodern akan kian memastikan bahwa manusia tak bisa digeneralisasi apalagi hanya dilihat sekedar dalam hitungan angka statistik. Manusia bukan sekedar sederet konstituen yang berakhir nasibnya dalam kotak suara.
W. RIAWAN TJANDRA
Pengamat Filsfat Hukum,
Pengajar FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
           
           

Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...